Senin, 20 Maret 2017

Kumpulan Cerpen Terbaik 9A, 9B, dan 9C



Laut Tenerife
Oleh Victoria Beatrice 9A

            Perkenalkan, namaku Bethany Andrea tetapi semua orang memanggilku Drea sejak kecil. Aku sangat suka nyanyi dengan sambil memainkan gitar hitamku yang kudapatkan saat ulang tahunku yang kesepuluh. Ulang tahunku bertepatan dengan hari kasih saying sedunia, sehingga setiap tahun kue ulang tahunku selalu ada tulisan “Happy Valentine’s Day”. Namun, aku sangat senang karena ulang tahunku bertepatan saat orang-orang merayakan hari kasih sayang.
Berhubungan dengan kasih sayang, sejak kecil aku telah mendengarkan begitu banyak kisah romantis seperti Putri Salju yang diselamatkan oleh seorang pangeran dengan sebuah ciuman, Cinderella yang bertemu kembali dengan pangerannya walaupun telah dipisahkan oleh ibu tirinya, dan Putri Ariel yang mengorbankan suaranya agar bisa bersama sang pangeran. Dari sekian banyak kisah romantis, kisah favoritku adalah Putri Ariel yang mengorbankan apapun demi cintanya.
Segala cerita romantis telah kudengarkan, namun aku tetap tidak percaya satu hal. Satu hal tersebut adalah jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin sebagian besar orang juga tentu tidak percaya dengan cinta pada pandangan yang pertama. Aku pun juga tidak mempercayainya sebelumnya, namun setelah merasakannya sekarang aku menjadi percaya dengan cinta pada pandangan yang pertama.
            Kisah ini berawal saat waktu istirahat di sekolah. Pada saat itu aku masih duduk di bangku kelas 7 SMP dan sedang menghabiskan waktu istirahat dengan bercanda dengan teman-temanku. Secara tidak sengaja mataku bertemu dengan mata seorang laki-laki yang memiliki rambut yang sempurna dan memiliki tatapan yang sangat indah. Namun, aku tidak menghiraukan tatapan kami sama sekali dan tetap menikmati waktu istirahat.
            Setahun kemudian ketika aku membuka media sosial milikku, aku menemukan laki-laki itu kembali melalui sosial media dan akhirnya aku mengetahui namanya. Laki-laki itu bernama Shawn dan dia hobi bermain gitar, selain itu dia juga mengcover lagu-lagu di sosial medianya. Dengan dipenuhi rasa penasaran aku mencoba untuk menonton salah satu video cover miliknya. Menurutku covernya hanya biasa saja dan aku sama sekali tidak menghiraukannya.
            Bulan-bulan dan tahun pun berganti, sekarang aku duduk di kelas sembilan, hatiku kosong tidak dipenuhi masa-masa manis dengan kenangan indah bersama pasangan. Sebagian besar temanku sudah memiliki pasangan namun diriku belum. Yah, mungkin rasa kesepianku itu seringkali datang karena aku tidak memiliki pasangan.
            Lintas balik pun mulai memenuhi pikiranku mengenai laki-laki tersebut yang pernah bertatapan denganku. Laki-laki tersebut menjadi sering mengisi pikiranku. Aku pun menjadi penasaran dan ingin sekali berkenalan dengan Shawn. Namun, apa dayaku karena diriku hanya seorang adik kelas yang lebih muda setahun dari laki-laki itu. Perasaanku pun mulai tumbuh untuk Shawn, namun aku tetap tidak berani untuk berkenalan dengannya.
            Hari itu aku telat untuk datang ke sekolah karena takut mendapat surat telat oleh guru piket, aku pun berlari sekencang mungkin. Tanpa tersadar aku menabrak seorang laki-laki dan orang itu adalah Shawn.
            “Eh, sorry ga sengaja.” Kataku.
            “Ga apa-apa kok, hahaha.” Balasnya.
            Setelah itu, kita berdua pun berpisah menuju koridor yang berbeda karena kelas kita berada di koridor yang berbeda namun satu lantai. Ucapan maaf yang kukatakan kepada Shawn merupakan kalimat pertama dan satu-satunya yang pernah kuucapkan kepada Shawn. Aku hanya bisa berharap bahwa aku dapat benar-benar mengenal dirinya.
            Pada saat istirahat makan siang, guru walikelasku memanggilku. Dia menanyakan apakah aku ingin mengikuti lomba membuat lagu se-Jakarta. Tanpa berpikir panjang aku pun menyetujuinya karena menurutku ini merupakan kesempatan yang bagus untuk menunjukkan bakatku. Sudah sejak lama aku suka membuat lagu dengan menggunakan gitarku. Gitarku berwarna hitam dengan dinominasi warna merah.
            “Oh iya, nanti kamu lombanya bukan hanya sendiri namun kamu akan berpasangan dengan seorang laki-laki untuk menciptakan lagu. Dia merupakan kakak kelasmu yang duduk di kelas sepuluh, ia bernama Shawn.” Ucap guru walikelasku.
            Saat itu juga aku tidak percaya bahwa aku akan menciptakan lagu bersama Shawn. Keinginanku pun tercapai untuk berkenalan dengan Shawn. Aku sangat senang karena akhirnya aku dapat mengenalinya. Dengan perasaan yang sangat senang, aku pun menceritakannya dengan teman-temanku.
            “Cie, bakal kenalan deh sama dia.” Ucap Janice.
            “Kesampaian juga ya! Kirain gak mungkin bakal kenalan, hahaha.” Ucap Melda.
            “Jangan gitu dong, hahaha.” Ucapku.
            Saat pulang sekolah, tepatnya pukul tiga aku datang ke kelas Shawn untuk memperkenalkan diriku bahwa kita berdua akan bekerja sama untuk menciptakan lagu. Teman-teman sekelasnya melirikku ketika aku berdiri di depan kelasnya, namun aku hanya mengabaikan hal tersebut. Aku menunggu sangat lama, sudah setengah jam aku menunggu sekarang pukul setengah empat hampir saja aku pulang. Tiba-tiba dia pun datang, wajahnya dibanjiri dengan keringat dan dia menggunakan baju basket tim sekolah bernomor punggung sebelas.
            “Salam kenal, namaku Drea kak.” Tanyaku kepadanya.
“Iya, kita bakal kerja sama dalam perlombaan menciptakan lagu kan? Kamu yang nabrak aku juga ya? Hahaha.” Tanyanya dengan senyum.
            “Iya, haha. Maafin aku waktu itu ya kak, hahaha.” Ucapku dengan malu.
“Ga apa-apa kok. Kalau begitu, besok kita ketemuan di kafe Glorious pukul tiga, kamu bisa kan?” Tanyanya.
“Bisa kok, kak. Kalau gitu sampai jumpa ya.” Ucapku dengan senyum.
Perjalananku saat pulang ke rumah dipenuhi dengan senyuman. Sesampainya di rumah
aku langsung mencari inspirasi untuk lagu yang akan kukerjakan bersama Shawn. Aku pun memutar lagu kesukaanku yaitu Tenerife Sea yang dinyanyikan Ed Sheeran sambil mencari inspirasi. Akhirnya aku pun menemukan beberapa kata untuk menjadi lirik di dalam lagu aku dan Shawn.
            Keesokan harinya aku pun menemuinya di kafe Glorious, dia sudah datang sebelumku. Shawn menggunakan kaus hitam, jins hitam, dan sepatu sneakers Adidas yang berwarna hitam dan putih. Dia memilih tempat duduk di ujung ruangan bagian kanan dan sedang memesan makanan. Semua orang tentu setuju bahwa Shawn memiki wajah yang sangat sempurna. Pelayan di kafe ini sampai menggoda Shawn dengan tingkah centilnya. Ketika aku datang menghampiri Shawn, pelayan itu pergi dengan raut muka yang jutek dan kesal padaku.
            “Hai, sorry telat hahaha.” Ucapku.
“Gak apa-apa kok aku juga baru sampai di sini, paling hanya baru dua atau tiga menit. Oh iya, aku tadi juga udah pesan makanan buat kamu, aku yang traktir ya.” Balasnya dengan senyuman.
“Makasi ya.” Ucapku dengan senyuman lebar yang muncul seketika.
            Kita menghabiskan waktu bersama untuk menciptakan lagu kurang lebih selama lima jam. Tanpa tersadar sekarang sudah jam delapan malam. Sebagian besar lagu ciptaanku dan Shawn sudah selesai. Akhirnya kita menetapkan sebuah judul untuk lagu yang kita buat yaitu “Unspoken Feelings”. Lagu ini menceritakan tentang seorang perempuan yang memendam perasaannya untuk seorang laki-laki yang dia cintai. Kalau boleh jujur, sebagian besar lagu ini sangat mengambarkan diriku sekarang. Mungkin perasaanku untuknya hanya bisa diabaikan dengan lagu yang kita ciptakan bersama ini.
            Minggu-minggu pun berlalu dan lagu yang kita ciptakan telah selesai kita buat. Namun, kita belum merekam lagu yang kita ciptakan. Aku pun berusaha untuk mencari studio yang bagus untuk merekam lagu “Unspoken Feelings” milikku dan Shawn. Setelah berjam-jam dan berhari-hari mencari studio, akhirnya aku pun menemukan sebuah studio yang cukup jauh dari rumahku dan Shawn.
            Hari ini hari Sabtu dan sekarang sudah jam sembilan, aku dan Shawn harus pergi ke studio untuk merekam lagu yang kita ciptakan. Usiaku saja baru menginjak empat belas tahun dan Shawn berusia lima belas tahun. Usia kita masih dibawah umur tujuh belas tahun sehingga tidak boleh membawa kendaraan pribadi sendiri. Pada akhirnya, kita pun naik transportasi umum untuk menempuh studio tersebut yang cukup jauh dari rumah kita karena tidak ada yang bisa mengantar kita. Dalam waktu kurang lebih tiga puluh lima menit, kita pun sampai di studio tersebut. Tiga puluh menit termasuk sangat cepat karena biasanya memakan waktu kurang lebih satu jam. Hari ini hari sabtu sehingga jalanan cukup kosong.
            Rekaman di studio memakan waktu sekitar lima jam dan berjalan dengan sangat lancar. Hasil dari rekaman tersebut pun sangat bagus. Kita sangat bangga, senang, dan semangat atas lagu yang telah kita ciptakan. Selain mengumpulkan hasil rekaman, kita juga harus menampilkannya di atas panggung. Kita harap agar penampilan kami dapat membanggakan sekolah kami yaitu Sekolah Cahaya Harapan.
            Setelah melakukan rekaman di studio, kita pun memutuskan untuk pergi ke mall yang dekat dengan studio tersebut. Ya, kita anggap sebagai refreshing setelah kerja keras menciptakan sebuah lagu. Setelah berjam-jam tidak makan, aku pun mengusulkan untuk makan terlebih dahulu di restoran favoritku dan Shawn pun setuju karena dia juga sangat lapar. Pada akhirnya, Shawn membayar semua makanan yang kita pesan. Aku merasa tidak enak karena setiap kali dia yang membayar. Namun, dia bilang kepadaku kalau laki-laki sudah sepantasnya yang membayar.
            Dengan perut yang sudah terisi dan kenyang, kita pun jalan-jalan di dalam mall sebelum pulang. Kita mampir di sebuah toko boneka yang dipenuhi dengan anak-anak perempuan. Aku menemukan sebuah boneka kuda unicorn yang lucu sekali dan secara spontan aku memeluknya. Tiba-tiba seorang anak perempuan menghampiriku dan Shawn.
            “Kakak, kalian lagi pacaran ya?” Tanyanya dengan polos.
            “Engga kok, kita hanya pergi bersama saja.” Balasku.
“Iya dik. Kamu main disana aja ya, nanti kalau kamu pergi, ibumu akan susah mencarimu.” Ucap Shawn dengan senyuman.
“Kakak benar juga ya. Kalau begitu sampai jumpa.” Ucap anak itu sambil berlarian kembali kepada ibunya.
“Tapi kalau benaran pacaran juga, gak apa-apa sih.” Ucap Shawn kepadaku.
“Apa, tadi kamu ngomong apa?” Tanyaku dengan pura-pura tidak mendengar ucapannya.
“Gak apa-apa kok, hahaha.” Tawanya.
            Mukaku seketika merah saat mendengarnya mengucapkan kalimat tersebut tadi. Aku sangat terkejut dengan kalimat yang diucapkannya tadi. Apa mungkin aku hanya bermimpi? Jika ini hanya mimpi, berarti ini mimpi yang sangat indah bagiku, namun ini merupakan realita yang benar-benar terjadi. Apakah Shawn memiliki rasa yang sama denganku?
            Selain masuk ke dalam toko boneka, aku dan Shawn juga pergi ke toko baju H&M yang merupakan toko baju favorit kita berdua. Shawn menemukan sebuah dress berwarna putih yang didominasi warna emas. Dia bilang dress itu sangat cocok untuk digunakan olehku. Pada akhirnya, Shawn membelikan dress itu untukku dan dia mau agar aku menggunakannya saat hari perlombaan.
            Setelah menghabiskan waktu bersama di mall, kita pun pulang dengan menggunakan transportasi umum kembali. Perjalanan pulang dipenuhi dengan obrolan dan candaan. Tidak terasa perjalanan pulang cepat sekali, aku pun sampai di rumah. Shawn mengantarku pulang sampai di depan rumah. Shawn mengucapkan selamat malam kepadaku dan dia pun pulang ke rumahnya.
            Hari Senin kembali hadir dan tidak terasa weekend berlangsung dengan sangat cepat. Walikelasku memanggilku dan katanya perlombaan diundur, tadinya perlombaan akan diadakan pada tanggal tujuh Februari namun diundur menjadi tanggal empat belas Februari. Perlombaan bertepatan dengan ulang tahunku dan hari kasih sayang. Aku pun segera memberitahukan Shawn agar dia juga mengetahuinya. Untungnya, kami berdua tidak berhalangan di hari perlombaan itu, sehingga kita tetap dapat mengikuti lomba tersebut.
            Aku dan Shawn berusaha sebaik mungkin agar kita dapat memenangkan perlombaan ini. Sehingga setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat aku dan Shawn akan berlatih lagu yang kita ciptakan. Semua waktu yang kita miliki, kita prioritaskan untuk perlombaan ini. Shawn memainkan gitar akustiknya dan aku menyanyi. Sebenarnya aku juga ingin memainkan gitar, tetapi aku takut kita tidak bisa menyamakan tempo saat kita memainkan gitar bersamaan. Sehingga pada akhirnya aku yang akan menyanyi karena Shawn sangat mahir memainkan gitar dibandingkanku.
            Hari ini tanggal empat belas Februari yang merupakan hari kasih sayang, hari ulang tahunku, dan hari perlombaan. Sebelum menuju tempat di mana perlombaan diadakan, aku dan keluargaku merayakan ulang tahunku sebentar karena perlombaan diumlai jam dua belas dan sekarang jam menunjukkan jarum panjang ke delapan. Ibu, Ayah, dan adik-adikku mengucapkan ulang tahun kepadaku. Ibu dan Ayah berharap agar aku bisa semakin dewasa dan adik-adikku berharap agar aku tidak pelit kepada mereka. Selain itu, anggota keluarga besar dari Ayah dan Ibu juga mengucapkan ulang tahun melalui telefon dan aku mengucapkan terima kasih.
Setelah keluargaku mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, aku meniup lilin dan memotong kue ulang tahun red velvet yang Ibu belikan. Ibu dan Ayah bilang bahwa nanti malam keluarga kita akan makan malam bersama. Aku pun tidak sabar untuk makan malam bersama dengan keluargaku nanti malam. Kita akan makan di restoran antik di pusat kota Jakarta yang biasanya tamunya adalah artis-artis terkenal dan orang-orang penting.
Sekarang jarum jam menunjukkan pukul sepuluh, aku harus berangkat ke tempat di mana perlombaan diadakan yaitu di Hotel Berlin-Inn. Aku bergegas menuju kamarku untuk mengganti pakaianku menjadi dress yang dibelikan Shawn untukku. Dress berwarna putih yang didominasi warna emas tersebut sangat kelihatan elegan. Oleh karena itu aku memasangkannya dengan high heels putih elegan yang cocok dengan dress itu. Setelah selesai mengganti pakaianku, aku langsung bergegas ke bawah untuk segera berangkat.
Hari ini, ayahku bisa mengantarku ke tempat perlombaan tersebut karena jaraknya tidak jauh dari rumahku dan hari ini hari Sabtu sehingga ayahku tidak pergi ke kantor. Tidak sampai setengah jam, aku dan ayah sudah sampai di Hotel Berlin-Inn. Aku sudah tidak sabar untuk menampilkan penampilan yang sangat baik di depan para juri. Ayah mengucapkan good luck kepadaku dan dia sangat mendukungku.
Aku langsung bergegas menuju aula hotel tersebut yang tempatnya sangat besar dan mewah. Semua peserta berada di belakang panggung, aku pun juga pergi ke belakang panggung untuk mencari Shawn. Tidak perlu mencari dengan waktu yang lama, aku langsung menemukan Shawn yang sedang berlatih gitar.
“Hai kak! Sorry aku baru datang jam sekarang.” Ucapku.
“Ga apa-apa kok, aku juga baru sampai. Aku barusan ngambil gitarku buat latihan dan tiba-tiba kamu datang. Tuh kan, dressnya cocok sekali dipakai olehmu.” Balasnya.
“Makasi ya kak dressnya.” Ucapku dengan menunduk karena malu.
“Sama-sama memang dress ini cocok sekali digunakan olehmu.” Senyumnya.
Namun, apakah Shawn tidak tahu bahwa hari ini aku ulang tahun? Aku sangat ingin diucapkan ulang tahun olehnya. Semoga saja dia mengetahui bahwa hari ini aku berulang tahun. Ingin sekali kuundang dia untuk makan malam bersama keluargaku di restoran antik. Akhirnya, aku pun tersadar bahwa aku tidak seharusnya memikir hal seperti itu karena perlombaan akan segera dimulai.
Aku dan Shawn pun mencoba untuk berlatihan beberapa kali lagi sebelum menampilkan lagu yang kita ciptakan di atas panggung. Saat kita melakukan latihan kembali, kita berdua sudah dapat bernyanyi dan bermain gitar dengan baik. Shawn dan aku yakin bahwa kita bisa menampilkan yang terbaik di atas panggung nantinya.
Setelah berlatih berulang-ulang kali, akhirnya kami pun dipanggil untuk menuju ke panggung. Kami berdoa terlebih dahulu sebelum naik ke panggung, berdoa agar semuanya dapat berjalan dengan lancar. Setelah berdoa, Shawn dan aku saling berpelukan untuk meyakinkan bahwa kami pasti bisa. Akhirnya, kami pun menaiki panggung dan menampilkan lagu yang kami ciptakan. Semua penonton dan para juri menyambut baik saat kami menaiki panggung.
Penampilan yang kami tampilkan berjalan sangat lancar dan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Selesai menampilkan lagu yang kita ciptakan dengan baik, aku merasa sangat lega karena hasil kerja keras kita berdua terbayar. Kami menonton penampilan peserta lain yang sangat bagus dan membuatku menjadi pesimis untuk menang. Aku hanya bisa berharap dan berdoa agar kami dapat memenangkan perlombaan dan membanggakan sekolah.
Pengumuman pemenang lomba pun akhirnya dimulai. Pembawa acara membacakan para pemenang dimulai dari tingkatan rendah ke tingkatan tinggi. Nama kami belum disebut semenjak pembawa acara mulai membacakan nama-nama para pemenang. Aku hanya bisa berharap dan memohon agar juara satu nya adalah aku dan Shawn.
Akhirnya, pembawa acara akan membacakan pemenang juara satu.. Dengan suara yang lantang, pembawa acara mengumumkan bahwa juara satunya adalah aku dan Shawn. Secara spontan aku langsung memeluk Shawn dan dia juga memelukku. Kami saling mengucapkan selamat karena ini merupakan hasil kerja keras kami berdua. Para juri dan penonton mengucapkan selamat kepada kami. Setelah perlombaan selesai aku meminta izin kepada ayahku untuk menemui Shawn sebentar dan ayah pun mengizinkanku.
“Kak, terima kasih ya!” Ucapku dengan lantang.
“Ga usah panggil kakak, panggil saja Shawn. By the way, aku mau menanyakan sesuatu kepada kamu.” Ucapnya dengan raut muka yang serius.
“Mau nanya apa, Shawn?” Tanyaku dengan heran.
“Mata mu itu bagaikan laut tenerife yang begitu indah. Aku selalu memperhatikanmu jauh sebelum kamu menabrakku pada hari itu. Maukah hatimu menetap di dalam hatiku?” Tanyanya dengan muka yang merah.
“Maksud kamu?” Tanyaku dengan muka yang memerah juga.
“Ya kalau mau dipersingkat, mau ga kamu jadi pacarku?” Tanyanya dengan menunduk.
“Iya.” Ucapku dengan menunduk.
Setelah aku mengucapkan iya, Shawn langsung memelukku dengan erat dan sangat senang. Mimpi apa aku semalam? Rasanya seperti dalam mimpi. Akhirnya, apa yang selalu ku mimpikan pun terjadi kepadaku. Segala hal yang kita inginkan dapat terjadi di saat yang tepat walaupun terkadang memakan waktu yang lama. Aku sangat tidak percaya bahwa hari seperti ini akhirnya akan datang di hidupku.
 “Selamat ulang tahun juga ya!” Ucap Shawn.
“Makasi!” Ucapku dengan senyum terlebar yang pernah kutunjukan.
Shawn akhirnya mengaku kepadaku bahwa sebenarnya dia dan orangtuaku sudah bekerja sama untuk menyiapkan semua hal ini. Nanti malam Shawn juga akan ikut makan malam dengan keluargaku. Dia bilang bahwa dia akan berpakaian setampan mungkin agar dapat menaklukkan hatikku dan aku hanya tersenyum. Tahun ini adalah ulang tahun terbaikku, sepanjang hidupku.
Malamnya ayah menyetir mobil untuk pergi makan malam dan Shawn juga ikut dengan kami. Kami makan sangat banyak dan perut kami sangat terisi. Setelah selesai makan, kami semua mengobrol dengan penuh canda, semuanya sempurna dan kami sangat menikmati waktu itu. Saat kami sudah mau pulang, tiba-tiba restoran itu menyetel lagu Tenerife Sea yang dinyanyikan dan diciptakan oleh Ed Sheeran. Saat mendengar lagu itu, aku langsung tersenyum karena membawa kembali memori-memori yang ada.
Jadi apa selama ini Shawn tahu aku menyukai lagu Tenerife Sea yang diciptakan Ed Sheeran? Sampai-sampai dia menembakku dengan mengucapkan laut Tenerife. Apakah selama ini Shawn mengetahui semua hal yang aku sukai tapi bagaimana mungkin? Aku hanya bisa tersenyum.
“Lagu ini untukmu.” Ucapnya yang membuat mukaku merah padam.
Makan malam pada malam itu membuat kenangan yang sangat banyak untuk diingat. Aku sangat senang karena ayah dan ibu dapat bekerja sama dengan Shawn untuk menciptakan kejutan untuk ulang tahunku. Dalam hatiku, aku hanya bisa bersyukur karena dapat merasakan ulang tahun yang sangat indah tahun ini.
Dari pengalamanku tersebut akhirnya aku mempercayai jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Mungkin sebagian besar orang masih menganggapnya sebagai fiksi dan hanya karangan manusia yang hanya terjadi di cerita-cerita romantis yang tidak masuk akal. Namun, aku berbeda justru aku sangat mempercayainya. Apakah setelah membaca ceritaku, kalian juga menjadi percaya dengan cinta pada pandangan yang pertama?

1 Januari
Oleh Felicia
1 Januari hari dimana kita lost contact.
D
ulu kita sangat dekat hampir tiap hari bertatapan muka, melihat wajahmu membuat hatiku langsung berbunga – bunga. Tetapi semua hal itu sirna seketika. Dua tahun sebelum itu…
***
Aku yang sedang terbaring di kasur membuka hp ku dan melihat Steven, teman sebangku SMP ku mengirimkan sebuah pesan kepadaku.
“Hai Ta, mau curhat dong” ketik Steven
“Yauda cerita aja” jawabku
“Bantuin aku deket lagi dong sama Caitlin, kamu kan sekarang temen baiknya”
“Yauda entar coba aku bantu kamu dhe sama dia”
Seketika obrolan kita berakhir. Aku dan Steven sekelas waktu SMP 2 dan sekarang kita duduk di bangku SMA 1. Steven adalah idola semua kaum hawa. Awalnya aku akui kalau aku pernah menyukai Steven ketika kelas SMP 2 tetapi aku tutup rasa itu.
Setiap sesi pelajaran aku selalu mengungkit tentang Steven ke Caitlin dan Aku selalu berkata bahwa Steven sepertinya ingin balikan lagi. Tetapi Cailtlin tetap tidak acuh dan menggangap itu adalah sebuah kebohongan. Nicholas, pria yang sangat handal bermain alat musik petik itu disukai oleh Caitlin sekarang.
***
Kring…Pelajaran sekolah berlalu dengan cepat. Aku melihat Steven pulang secepat kilat, tidak seperti biasanya ngborol dulu bersama temannya. Lalu aku melihat mobil ku sudah sampai dan aku pulang ke rumah. Sepulang dari sekolah, aku membuka handphone ku dan membuka Instagram. Sesudah itu aku membuka line dan melihat Caitlin mengirim pesan kepadaku, Aku langsung memuntahkan air ku saat melihat pesan dari Caitlin.
“Ta tau ga masa tiba –tiba si Steven line aku sih”
“Hah iya?? Tuhkan udah aku bilang kayaknya Steven mau balikan lagi” ucapku dengan ekspresi kaget
“Ga lah itu perasaan kamu doang kan aku sukanya sama Nicho”
“Ya kamu bisa bilang gitu sekarang eh entar akhirnya suka”
“Udah ah jangan ngomongin gituan, btw pr ipa no 3 gimana sih”

Akhirnya, Caitlin mengganti pembicaraan. Beberapa menit kemudian, Steven mengirim pesan kepadaku bahwa ia dengan tekad dan keberanian yang besar mengirim pesan ke Caitlin. Aku hanya berkata Aku senang dan sejak itu mereka dekat lagi karena bantuanku.. Sejak itu mereka dekat lagi karena bantuanku… Mungkin aku terlihat senang di depan tetapi hatiku seperti tertusuk – tusuk pisau yang baru diasah. Aku berpikir mungkin sudah seharusnya aku tidak mengharapkan Steven lagi dan sejak itu aku tidak kelihatan terlalu antusias membantu Steven. Dalam pikiranku Steven tidak mungkin mengirim pesan kepada Caitlin dan Caitlin tidak mungkin menyukai Steven tetapi pikiran ku salah.
Rutinitas ku tiap hari selalu sama Senin – Jumat pergi ke sekolah. Di sekolah biasanya jika Aku bertemu dengan Steven kami saling menyapa. Aku takut kalau bertatapan muka dengan dia Aku tidak bisa menutup perasaan ini jadi tiap kali Aku melihat Steven dari kejauhan aku langsung balik lawan arah. Steven menyadari itu semua dan pada hari rabu pulang sekolah ia mengirim pesan kepadaku
“Ta, kok kamu ngehindar dari aku si?” tanya Steven sambil menunjukkan ekspresi kebingungannya
“Siapa yang ngehindar perasaan kamu aja kali”
“Tiap kali aku ngeliat kamu, kamu selau balik lawan arah”
“Oh… yang waktu itu aku ketinggalan barang jadi aku suruh yang lain pada duluan aja” jawabku dengan kebohongan
“Oh btw kamu dah makan belom? Ohh ya aku masih ngechat lho sama Caitlin sampe sekarang”
Hatiku tertusuk oleh pisau lagi untuk sekian kalinya tetapi Aku sudah berusaha untuk kebal akan situasi ini meskipun aku sempat luluh karena Steven menanyakan kepadaku kalau aku sudah makan atau belum. Entah kenapa sekarang aku saling mengirim pesan kepada Steven hampir setiap hari dan situasi kembali seperti biasa. Ketika kami bertemu kami saling menyapa dan Aku tidak menghindari Steven lagi. Caitlin mencurigai Aku dan Steven mempunyai hubungan lebih dari pertemanan dan sewaktu di sesi pelajaran matematika ia menanyakan ku
“Cieee... sekarang sama Steven ya” ledek Caitlin
“Yaampun siapa yang sama Steven ada juga kamu kali” ucapku dengan wajah yang memerah
“Itu kalo ketemu saling nyapa”
“Yaelha nyapa doang, tenang aja Lin aku gabakal rebut dia kok dari kamu”
“Ihhh... ambil aja dia mah kan hati aku buat Nicho”
Aku tidak memberitahu Caitlin bahwa sebenarnya Nicho menyatakan kepadaku kalau ia menyukai ku kemarin sewaktu pulang sekolah. Aku berkata bahwa aku tidak bisa menerimanya karena Aku memang tidak ada perasaan kepada Nicho dan sekalipun jika Aku ada perasaan kepada Nicho aku tetap tidak akan menerimanya karena itu akan merusak persahabatan ku dan Caitlin. Nicho memang juga sudah menyadari bahwa Caitlin menyukai dirinya tetapi ia tidak ada sebutir pun perasaan kepada Caitlin.
Sesampainya di rumah Aku mendapati pesan dari Steven dan tiba – tiba ia menjadi perhatian kepadaku. Aku merasa jika ia mungkin menyukaiku tapi setelah aku pikir – pikir mungkin tidak karena memang Caitlin yang selalu ada di hatinya. Beberapa 3 bulan ini kami semakin dekat dan Steven tidak pernah mengungkit – ungkit tentang Caitlin lagi. Sedangkan Nicho pun tidak pernah mengirim pesan kepadaku lagi mungkin karena ia berusaha untuk menutup perasaannya kepada ku dan Aku menyadari itu. Akhirnya Aku tidak bisa menahan rasa ini lagi dan memutuskan kalau Aku masih akan menyukai Steven.
***
Sewaktu jam istirahat tiba – tiba aku mendapatkan sebuah coklat di loker ku yang bertuliskan “Lop yu” Aku terkejut dan langsung mengambilnya secepat mungkin seperti sedang dikejar hantu karena Aku tidak ingin orang – orang melihatnya dan menanyakan dari siapa coklat itu. Aku pun juga tidak tahu siapa pemberi coklat itu dan Aku tidak bakal berpikir kalau coklat itu pemberian dari Steven….
Jam pelajaran di sekolah berlalu, seperti biasa aku membuka handphone ku dan melihat pesan yang dikirim Steven tadi pagi karena setiap pagi Aku jarang sekali membuka handphone. Suara dari handphone ku muncul yang menandakan Aku mendapat sebuah pesan baru
“Ta, gimana coklatnya enak ga?” tanya Steven
“Hah kok kamu tau aku dapet coklat?” balasku dengan kaget
“Iya lha orang aku yang kasih gimana sih, loker kamu juga ga dikunci sih wkwk”
“Ohhh kirain aku siapa, enak kok coklatnya makasih ya”
“Yoi sama – sama”
Mendapati pesan itu membuat hati ku merasa gembira dan jiwa raga ku menjadi segar lagi seperti sedang meminum air dingin di padang gurun. Aku merasa bahwa indahnya jatuh cinta dan indahnya dicintai saat Steven menjadi miliku. Setelah Steven mengirim pesan itu kepadaku, kita masih lanjut saling mengirim pesan tetapi Aku bingung harus menulis apa. Aku membuka chatroom di handphone ku yang menunjukkan nama “Lisa”
“Lis tau ga akhir – akhir ini aku deket weh sama Steven” tulisku dengan kegembiraan
“Wahhh kok bisa cocok sih kalian”
“Tapi aku takut kalo si Caitlin tau”
“Lah napa karena dulu Caitlin pernah sama Steven? Keknya kamu harus santai aja kali kan Caitlin sekarang juga suka sama Nicho ini” balas Lisa
“Iya sih tapi sekarang kamu jaga dlu ya rahasia ini soalnya aku gamau siapa – siapa tau. Toh kan aku sama Steven juga ga jadian”
“Oke kalo ada apa – apa cerita aja sama aku”
Lisa, teman curhat ku dari aku duduk di bangku kelas 4 SD dan sampai sekarang pun tetap. Ia selalu menjaga rahasia ku dan tidak pernah membocorkannya. Pertama kali diumumkan awal masuk ajaran kelas SMA 1 jantungku berhenti sejenak karena melihat Lisa menjadi teman sekelasku karena Aku dan Lisa sudah lama tidak sekelas. Segala hal tentang diriku Lisa mengetahuinya dan Aku memutuskan tidak akan pernah meninggalkan Lisa karena ia paling banyak mengetahui tentang hidupku….
***
Pada tanggal 1 September Steven menyatakan perasaanya kepadaku bukan secara langsung tetapi dengan mengirim pesan kepadaku. Aku belum membuka pesan itu dan melihatnya dari notification. Aku langsung bergegas membuka chatroom Lisa dan memberi tahu nya bahwa Steven menyatakan kepadaku kalau ia menyukaiku. Lisa sangat terkejut dan ia mendukung hubunganku dengan Steven.
“Serius weh si Steven nyatain ke kamu?” ketik Lisa dengan ekspesi kaget
“Iya jadi aku jawab apa nih” jawabku dengan ekspresi yang masih terkejut kalau Steven menyatakannya kepadaku
“Udah jawab aja kalo kamu mau, jangan gengsi – gengsi”

*chatroom Steven* 4.30 PM
“Agatha, aku suka sama kamu”
“Ini dare ya?” jawabku bingung
“Ga sumpah kamu mau ga jadi cewe aku”
“Hmm…” Aku tidak tahu harus menjawab apa
“Bener mau ga?”
“Iya aku mau” jawabku dengan ekspresi yang masih terkejut

Tanggal 1 September adalah tanggal terindah yang kurasakan pada hidupku. Hari – hariku bersama Steven adalah hari terindah yang pernah kurasakan, berjalan mulus seperti sutera. Setiap hari ku dijemputnya sepulang sekolah di kelasku karena kita berbeda kelas. Dari antara teman – teman dekatku di kelas hanya Caitlin yang tidak mengetahui bahwa Aku dan Steven sudah jadian. Aku memutuskan untuk tidak memberitahu Caitlin karena Aku takut ia akan marah denganku.
Setiap Aku dan Steven sedang pulang bersama dan kita melihit Caitlin kami pura – pura saling tidak mengenal satu sama lain. Anak – anak dari luar kelas hanya mengira Aku jalan dengan Steven sebuah insiden saja karena jika kami sedang jalan berdua, posisi kami tidak beriringan tetapi depan belakang. Walapun begitu hatiku masih saja senang dengan melihat keberadaan Steven didekatku. Hatiku selalu luluh melihat mata Steven yang sangat bersinar – sinar.
***
Hingga akhirnya pada suatu kali…
Caitlin tiba – tiba berbicara dan memecahkan keheningan sewaktu jam istirahat. Ia berkata bahwa sepertinya Ia menyukai Steven lagi, seketika hatiku berdegup kencang seperti ada sesuatu yang menonjok hatiku dengan keras.
“Wah kok bisa bukannya kamu suka sama Nicho” tanya Lisa
“Iya tadinya aku suka sama Nicho tapi keknya sekarang aku suka sama Steve lagi soalnya dia akhir – akhir ini care sama aku”
“Kamu chat an sama dia tiap hari sampai sekarang?” tanyaku dengan muka memendam amarah
“Iya emang kenapa?” jawab Caitlin
Aku langsung terdiam dan berpikir apakah Steven hanya mempermainkanku selama ini dan mungkin ia juga mempermainkan Caitlin. Empat teman ku yang sedang duduk di meja kantin itu tahu bahwa hatiku hancur.
“Oh yaa aku takut nih sama quiz IPA kayaknya susah dhe soalnya aku ga belajar sama sekali” ucap Naomi untuk mengalihkan pembicaraan
Dengan serentak semuanya menjawab “Selalu bilang ga belajar tapi entar dapet 100” kecuali Aku. Aku hanya kembali memakan makananku dan memilih untuk diam sepanjang sisa waktu istirahat. Saat kita mengembalikan piring ke stand di mana tempat kami masing – masing membeli makanan, Caitlin mengungkit lagi tentang Steven.
“Ta kamu deket ya sama Steven” Caitlin bertanya
“Ga kok”
“Tapi Steve bilang katanya kamu chat sama dia”
“Kita chat tuh cuman ngomongin kamu, dia minta bantuan aku untuk deket lagi sama kamu”
“Hah iya??” tanya Caitlin dengan ekspresi kaget
“Iyaa” jawabku dengan wajah memelas
“Kalo gitu bantuin aku juga dong biar deket sama Steve” dengan wajah penuh senyuman
“Iya aku bantuin cuman sekarang si Steve ga pernah ngomong tentang kamu lagi sih”
“Yahh... cari topik dong biar dia omongin aku, terus kamu kasihtau aku deh”
“Kan kamu chatan sama Steve tiap hari” jawabku dengan muka sedikit geram
“Chat sih chat cuman ya gitu doang nanya pelajaran”
“Yaudah entar aku coba ya” jawabku dengan muka kebohongan
***
Kring…Bel berbunyi yang menandakan jam istirahat berakhir. Tetapi kami ber 6 masih berjalan menuju kelas IPA dan pada akhirnya kita berlari bersama berharap pintu ruangan kelas IPA belum ditutup. Dari kejauhan kita melihat bahwa pintu ruangan sudah ditutup dan guru mendapati kita telat masuk kelas “Ahh… essay lagi”  batinku. Aku dan teman – temanku suka sekali terlambat seperti makanan siangku tiap hari. Sisa hari ini berjalan seperti biasa…
Seperti biasa Steven menjemputku dikelas sewaktu pulang sekolah, Aku ingin menghindarinya sejak Aku tahu bahwa ia masih saling mengirim pesan dengan Caitlin sampai sekarang. Tetapi Aku telat. Saat Aku ingin menghindarinya ia sudah menepuk punggungku dan berkata
“Caitlin gak ada kan?” tanya Steven sambil memandangi koridor
“Ahh.. sepertinya benar ia hanya mempermainkanku” batinku
Setelah Steven memandangi situasi sekitar akhirnya kita jalan berdua menuju lobby dengan posisi Aku didepan Steven. Sepanjang perjalanan Aku yang biasanya senang dan selalu menanyakan banyak pertanyaan kepada Steven sekarang hanya berdiam. Steven menyadari itu dan bertanya apakah ada yang salah denganku. Aku hanya diam termenung dan menggelengkan kepalaku begitu saja. Akhirnya itu memecahkan keheningan Steven bertanya kepadaku untuk memecahkan keheningan
“Gimana hari ini sekolah?” tanya Steven
“Baik” ucapku
“Kamu kenapa sih kok hari ini aneh gitu”
“Ga gapapa kok”
“Udah bilang aja yang sebenernya”
“Aku denger kamu chatan ya sama Caitlin sampai sekarang”
“Oh yaampun gara – gara itu, dia cuman nanya tentang sekolah kok ga lebih, lagian kan aku sekarang sukanya sama kamu. Aku bakal lebih milih kamu kok dari Caitlin soalnya aku emang udah gaada rasa lagi sama Caitlin. Jangan marah lagi ya” ucap Steven dengan suara beratnya
“Iya iya” jawabku
Akhirnya ia kembali menghiburku dan suasana kembali seperti biasanya. Aku sebenarnya masih bingung apakah ia benar menyukai ku dan tidak mempermainanku seperti boneka tetapi rasa curiga ku itu Aku tutup karena melihat hubungan ku dengan Steven sekarang sudah membuatku bahagia meskipun Caitlin tidak mengetahuinya.
Tetapi perkataan Caitlin bahwa ia ingin aku membantunya balikkan dengan Steven terus menghantui benakku. Sebelum Aku tidur, Aku selalu berpikir apakah sebaiknya Aku merelakan Steven saja. Aku sudah mengikari janjiku bahwa Aku lebih memilih persahabatan daripada percintaan. Lalu Aku berpikir jika Aku memutuskan Steven tiba – tiba tanpa suatu kesalahan apa pun itu sama saja kalau Aku begitu kejam kepadanya padahal ia sudah memberikan yang terbaik padaku. Sungguh ini membuatku bingung Aku tidak tahu bahwa percintaan juga penting begitu juga dengan sahabat. Memutuskan Steven atau Melanjutkan hubungan dengan Steven adalah yang kupikirkan selama beberapa hari ini…
Sahabat atau percintaan pikiranku selalu menuju itu daritadi selama sesi pelajaran sama saja seperti memilih untuk tidak makan atau minum selamanya. Mencintai orang yang sama dengan sahabat adalah hal yang paling repot dan menakutkan sepanjang hidupku karena cinta tak bisa disalahkan…
Lama – kelamaan Caitlin mengetahui bahwa Aku mempunyai hubungan yang lebih dari pertemanan bersama dengan Steven. Ia sudah mencurigai bahwa setiap pulang sekolah kita selalu berjalan depan belakang dan Aku selalu tidak pulang bersama Caitlin dan teman – temanku lainnya. Caitlin juga sering melihat Steven di depan kelas dan ia sering mengira Steven ingin melihat dirinya tetapi kenyataannya tidak. Ia meyadari setiap kali Steven ke kelas Aku, orang yang pertama dihampiri adalah Aku. Mulai dari situ Ia selalu menanyakan kepadaku terus apakah aku mempunyai hubunga khusus.
***



Di pelajaran seni budaya kami sedang melakukan tugas melukis pemandangan dan kami ber 6 memutuskan untuk melukis di lantai kelas agar lebih nyaman dan tiba – tiba…
“Ta kali ini aku mau kamu serius sama aku, kamu beneran jadian kan sama Steven” ucap Caitlin
Aku yang saat itu sedang melukis lalu mendengar Caitlin memanggil namaku langsung mengangkat kepalaku dan menunggu ia berbicara lebih lanjut. Setelah Caitlin selesai berbicara suasana diantara kita ber 6 hening karena Aku tidak tahu ingin mengatakan yang sejujurnya atau tidak karena Aku merasa bersalah kepada Caitlin telah membohongi dia selama beberapa minggu ini.
“Iya aku sama Steve udah jadian, maafin aku Lin” ucapku sambil menundukkan kepala
“Tuh kan bener apa yang aku kira, aku emang udah curiga terus pas aku nanya sama Naomi dia bilang ga. Ya, akhirnya aku mutusin kalo aku bakal nanya langsung ke kamu. Kenapa kamu bohongin aku dan ga kasih tau aku Ta selama ini?”
“Karena aku ga enak sama kamu, aku tau aku salah udah jadian sama mantan kamu tapi itupun tanpa aku ketahuin kalo kamu juga masi ada rasa sama Steve” jawabku dengan mata yang berkaca – kaca
“Udah nih ya yang penting kan Agatha udah jujur sama kamu Lin terus kamu mau gimana sekarang” ucap Nadia sebagai penengah
“Aku terserah si Lin kamu mau benci aku kek ato apa tapi kalo kamu emang mau aku sama Steve putus yaudah aku bakal ikutin perkataan kamu deh”
“Ga lha udah santai aja aku udah relain kok lagian aku dulu juga emang salah udah ninggalin dia dengan alasan mau fokus belajar. Mungkin dia juga lebih bahagia sama kamu kok” ucap Caitlin dengan senyum yang dipaksa
Akhirnya, keadaan pun kembali riang dan kita kembali ketawa dan tersenyum bersama lagi. Aku tidak tahu apa yang Caitlin rasakan mungkin ia sakit di dalam karena mengetahui bahwa Aku dengan Steven memang sudah jadian atau memang ia sudah benar – benar merelakan Steven untukku. Untuk mengetahui apakah Caitlin marah dengan ku Aku menyuruh teman baikku, Ella untuk memberitahuku. Diantara teman – teman ku memang Ella yang paling dekat dengan Caitlin dan selalu menjadi tempat curhat Caitlin sama seperti Aku dengan Lisa.
***


Ella sedang duduk di sofa ruang tamunya dan membuka handphone lalu ia mengklik nama “Caitlin” ia mulai mengirim pesan kepadanya
“Lin kamu kaget ga apa yang Agatha ngomong waktu di kelas seni” ketik Ella
“Kaget lha gila aja kali ga kaget” jawab Caitlin
“Trus kamu gimana sekarang menurut aku meningan kamu balik ke Nicho”
“Iya aku juga bakal relain tapi sekarang rasa gak seneng aku masih ada sih cuman yaudah lha ya gabisa disalahin juga” ketik Caitlin
“Yaudah pelan – pelan kamu juga bakal suka sama Nicho lagi lagian kan ngapain sih berantem cuman karena 1 cowok”
“Iya bener… aku ngalah aja lagian kan Steve juga bekas aku ini”
Aku yang sedang duduk di meja makan sambil memakan oreo yang dilumuri susu langsung membuka pesan yang dikirim Ella. Ternyata itu adalah screenshoot gambar chat Ella dengan Caitlin. Ketika aku mengklik nya Aku merasa hatiku tenang dan sejuk karena Caitlin tidak begitu membenci ku meskipun begitu Aku masih merasa tidak enak dengan Caitlin karena bisa dibilang Aku menikungnya. Mungkin Aku juga seharusnya menerima kenyataan bahwa Caitlin masih sedikit marah denganku karena itu adalah sebuah hal yang wajar dan sepantasnya. Dalam pikiranku Aku pantas untuk dibenci Caitlin, tetapi kenyataanya Caitlin tidak membenciku. Caitlin adalah orang yang baik, ramah, dan paling bisa memaafkan orang lain.
***
Hari – hari ku dengan Steven akhir – akhir ini lebih menyegarkan dibanding sebelumnya karena teman – temanku semua sudah mengetahuinya dan tidak ada yang perlu ditutupi, seperti biasa ia selalu menjemputku di kelas dan kita pulang bersama. Entah kenapa pada hari itu Nicho menghampiriku sewaktu Aku sedang berjalan dengan Steven. Nicho memang tidak tahu bahwa Aku sudah berpacaran dengan Steven.
“Ta, jajan yuk kedepan?” Nicho bertanya
“Ga bisa aku ada les langsung habis ini” Aku berbohong
“Ini kan hari senin kamu lesnya hari selasa Ta”
“Ohh iya aku lupa hehe”
Aku merinding saat itu tubuhku bergetar. Aku tidak berani menoleh ke belakang melihat Steven karena Aku takut ia akan marah tetapi pikirku Aku sudah berusaha untuk menolaknya. Tiba – tiba Aku merasa ada yang memegang pergelangan tanganku dan itu ternyata Nicho. Aku tidak menoleh untuk melihat siapa orang itu hanya melihat tangan yang sedang memegangku semua orang pasti tahu bahwa itu Nicho. Nicho mempunyai urut nadi yang timbul di tangan dan memberi kesan maskulin. Sewaktu Aku ingin melepaskannya ia malah semakin menggengam erat tangan kecilku ini.
Terik panas api menyinari lapangan basket tempat aku sedang berdiri. Tanpa disadari ada yang memegang pundak Nicho dan itu adalah Steven. Steven dengan gesitnya ia menonjok Nicho di pipinya dengan sangat akurat karena Steven sudah belajar boxing selama 7 tahun. Nicho mengusap pipinya dan melihat tangannya berwarna merah. Suasana memanas dan akhirnya mereka saling memukul satu sama lain. Jackson, kapten basket itu datang untuk menahan Steven bersama dengan Mark. Begitupun Axel dan Joshua, mereka menahan Nicholas untuk tidak saling memukul lagi. Hal itupun belum terlalu ampuh untuk mehentikan mereka, Aku berpikir bahwa mereka bertengkar karena Aku. Akhirnya Aku yang tadinya hanya diam di tempat menonton pertunjukkan ini, datang ke antara mereka dan mencoba untuk mehentikan mereka dari pertengengkaran ini.
Tetesan air jatuh dari mata ku menuju ke lapangan biru merah hijau itu. Aku membentangkan tangan ku dan terus berteriak untuk berhenti, tanpa kusadari pipiku tercakar oleh Steven. Saat itu juga pertengkaran mereka menarik perhatian murid – murid yang sedang berada di lapangan basket dan mereka akhirnya bisa memisahkan Nicholas dan Steven. Teman – teman ku datang untuk menghampiriku kecuali Caitlin. Aku melihat ia berdiri di dekat ring basket sambil menutup mulutnya dengan tangannya.
Pasti Aku akan terkena masalah lagi dengan Caitlin  batinku
***
Bibi mengobati lukaku. Aku berbohong kepada bibi dan orangtua ku bahwa Aku tercakar oleh temanku. Aku tidak punya keberanian untuk berkata yang sebenarnya. Aku rasa Aku telah merusak pertemanan Nicho dan Steven yang ia bangun dari dlu. Betapa jahatnya diriku ini...
Aku yang sedang tersungkur di ranjang melihat notifikasi handphone ku dan ternyata itu dari Caitlin ia menyuruhku untuk menceritakan semua kejadiannya.
“Ta, ceritain semuanya insiden tadi aku mau tau”  tulis Caitlin
“Itu ga penting kok cuman pertengkaran kecil aja” ujar ku
“GAUSAH BOONG!! Kasihtau yang sebenernya ke aku
Melihat Caitlin sudah menulis dengan caps lock aku langsung merinding, bulu kuduk ku naik. Oleh karena itu, Aku mengirim sebuah voice note yang menceritakan semua insidennya tanpa kekurangan suatu apapun dan Aku berharap Caitlin tidak marah kepadaku untuk yang kedua kalinya.
“Jadi mereka berantam karena kamu?” tulis Caitlin
“Ya begitulha...”
“Ohhh... harusnya kamu kalo gitu meningan jelasin ke Nicho kalo kamu pacarnya Steven biar mereka berdua ga salah paham kalo gini kan ribet urusannya”
“Iya bener juga aku harusnya bilang”
“Terus si Steve hari ini chat kamu ga?” tanya Caitlin
“Masih kok kayak gak ada terjadi apa – apa dan dia minta maaf ke aku soalnya udah nyakar aku tanpa sengaja”
“Bagus deh, oh ya Ta aku tau kamu orangnya banyak pikiran tenang aja kok aku gak marah kalo Nicho suka sama kamu walaupun aku ada rasa sama Nicho”
Dari sini Aku benar – benar menyadari untuk kesekian kalinya bahwa betapa baiknya Caitlin. Pertemanan ku dengan Caitlin berjalan seperti biasa kita masih tertawa bersama – sama. Begitupun dengan Nicho dan Steven ternyata mereka sudah baikan karena Jackson menyuruhnya. Mereka pun tidak menyimpan dendam satu sama lain lagi. Nicho sekarang sudah mengetahui hubungan ku dengan Steven dan ia menggap bahwa Steven memukul dia adalah hal yang wajar lagipula sekarang Nicho dan Aku sudah jarang chat tetapi jika bertemu kami masih sering menyapa. Sekali lagi hubungan ku dengan Steven berjalan dengan mulus.
Aku percaya bahwa mungkin Aku dengan Steven bisa berpacaran sampai lulus SMA ini. Aku tidak pernah terbayang sesuatu yang buruk yang akan terjadi di hubungan kita karena Aku takut itu akan terjadi. Akhir – akhir ini pertemanan ku bersama Lisa, Caitlin, Naomi, Ella, dan Jennie semakin erat seperti lem. Aku turut senang dengan kehidupan ini dan mensyukuri dengan apa yang ku punya sekarang.
Suatu kali Aku sedang membaringkan diri di bangku atap sekolah sambil memandangi langit. Datang Lisa menghampiriku dengan wajah yang menandakan berita penting. Ia memberitahu bahwa Caitlin sudah berpacaran dengan Nicho secara resmi 1 menit yang lalu. Aku langsung beranjak dari kursi dan turut senang mendengarkan berita tersebut.
Cerita dari Caitlin yang kita ber 5 dengar akhir – akhir ini bahwa ia sedang dekat dengan Nicho dan ia pasti akan menggaruk tembok jika Nicho menyatakan perasaannya dan meminta Caitlin untuk menjadi pacarnya. Sekarang Aku pulang tidak selalu berdua dengan Steven tetapi ditemani oleh Caitlin dan Nicholas. Sampai – sampai kita pernah double date dan mungkin untuk sekarang itu merupakan rutinitas tiap sabtu malam.
Untuk merayakan pertemanan kita sekaligus merayakan liburan natal dan tahun baru Caitlin memesan tiket liburan bersama di Bali untuk Aku dan 4 teman ku lainnya. Meskipun pada akhirnya kami yang membayar tiket itu juga. Kami berangkat tanggal 20 Desember dan pulang tanggal 3 Januari.
***


20 Desember, 5:30 AM
Matahari belum menampakkan dirinya. Aku sudah berkemas dan menyiapkan barang – barangku dari 3 hari yang lalu. Aku bergegas menuju Bandara Soekarno – Hatta bersama dengan teman – temanku.Sesampainya di Bali, kami check in di hotel yang sudah Aku pesan. Aku mendapati pesan dari Steven
“Safe flight yaa”
“Udah nyampe blom??”
“Ohh belom nyampe ya soalnya kamu blom jawab”
“Sekarang udah sampe?”
Terlihat di hp ku total 50 pesan yang Steven kirim pada ku padahal jarak waktu dari Jakarta ke Bali tidak terlalu lama. Aku mendapati ini adalah sesuatu yang lucu yang sering ia lakukan kepadaku. Dari sini Aku bisa melihat kalau Steven benar – benar menyayangi ku dan selalu memberikan perhatian lebih kepadaku.
Kami memutuskan malam pertama di Bali kami hanya beristirahat di hotel dan memesan makanan yang disajikan oleh hotel tersebut. Hari – hari di Bali sangat menyenangkan karena ku habiskan bersama dengan teman – temanku. Tidak lupa setiap hari Aku juga skype bersama dengan Steven selama hari – hariku di Bali.
Kami ber 6 mengunjungi banyak tempat seperti Nusa Dua Beach, Dreamland Beach, Kuta Beach, Hardrock Cafe, Uluwatu, Jimbaran, Tampak Siring, tidak lupa Kintamani juga kami jelajahi. Kami berencana tanggal 31 Desember untuk menghabiskan akhir tahun di Jimbaran Beach Bali karena suasana tempat makannya yang sejuk dan makanannya yang sangat memuaskan lidah. Pagi harinya kami memutuskan untuk hanya menggunakan fasilitas yang tersedia di hotel yaitu dengan berenang. Tidak lupa kami memakan sarapan gratis yang tersedia di hotel juga.
Terik matahari mulai tidak terlihat dan digantikan oleh sinar – sinar kecil di langit berwarna biru kehitaman tersebut. Kami bergegas pergi ke Jimbaran Beach untuk menghabiskan sisa tahun tersebut. Aku menceritakan sebuah pengalamanku selama di Bali tiap harinya kepada Steven entah itu lewat chat, skype, ataupun voice note. Masa – masa remaja ini lah yang harus kukenang dan kuingat selama di hidupku batinku.
***
Sesampainya di Jimbaran Beach kami memilih tempat duduk dan memesan banyak makanan. Tidak sabar rasanya Aku menunggu pergantian tahun yang kurayakan di Bali bersama teman – temanku dan terlebih lagi Aku tidak sabar untuk menunggu makanan – makanan yang sudah kami pesan tadi. Akhirnya makanan – makanan tersebut datang dan dengan kesepakatan bersama kami memutuskan untuk memakan makanan tersebut ketika pergantian tahun.
Waktu menunjukkan pukul 00:00 di jam tangan ku dan serontak semua orang yang ada di Jimbaran Beach tersebut semuanya berteriak yang menandakan betapa senangnya mereka dengan pergantian tahun. Tidak lupa aku mengucapkan “Happy New Year” kepada Steven juga meskipun hanya lewat pesan
“Happy New Year ya” ucapku
“Happy New Year juga” jawab Steven
“Iyaaa” tulisku dengan buru – buru karena Aku sudah tidak sabar untuk menyantap makanan yang tepat berada di depan mataku
Aku langsung mematikan handphoneku karena lowbatt dan menghabiskan tahun baru dengan makanan yang sedang ku makan dan teman – teman ku yang tercinta. Aku dan teman – teman ku balik dari Jimbaran Beach sewaktu matahari belum terbit. Sesampainya di hotel Aku tidak menghidupkan handphone ku lagi dan hanya mengambil charger dan mencolokkan ke handphone ku. Tidak lupa Aku membersihkan badanku dan langsung melompat ke kasur untuk istirahat karena Aku sangat lelah dengan hari ini.
***
Pagi harinya Aku terbangun dan langsung bergegas menyalakan handphone ku. Aku merasa ada yang janggal karena biasanya akan keluar notification yang bertulis Steven mengirimkan sebuah pesan tetapi hari ini tidak. Lalu Aku membuka chatroom ku dengan Steven dan mendapati bahwa ia belum membaca pesanku. Aku berpikir bahwa mungkin ia ketiduran malam itu dan belum bangun sampai sekarang.
Aku menghabiskan sisa – sisa 2 hari liburan tersebut di Ubud Bali bersama dengan teman – temanku. Tiap tempat yang Aku kunjungi, Aku pasti akan membuka chat ku dengan Steven apakah ia sudah mengirim pesan baru atau belum. Tetapi tiap kali Aku memastikannya, Aku melihat tidak ada pesan baru yang dikirim oleh Steven dan pesan lama ku pun belum ada tanda baca olehnya. Aku memutuskan untuk mengirim banyak pesan baru kepadanya,
“Steven?”
“Oi”
“Belom bangun ya? Kebo ih”
“Jangan bilang chat aku tenggelem”
“Yaampun masih belom di read juga”
Aku mengirim pesan – pesan sejenis itu tiap harinya. Sampai liburan ku bersama teman – teman ku di Bali telah usai Aku masih belum mendapatkan respon dari Steven. Aku memutuskan untuk menanyakan ke Vernon, teman baiknya. Vernon berkata bahwa ia sedang on di group kelas mereka sekarang. Aku terkejut dan tidak percaya akan hal ini, tetapi Aku mulai mempercayainya ketika Vernon mengirim gambar chat group kelas mereka. Dari sini Aku baru mengetahui kalau Steven memblokir kontak ku sehingga ia tidak bisa mendapatkan pesan – pesan baru dariku lagi. Aku langsung menghubungi semua teman – temanku dan menceritakan semua kejadian ini.
Dengan kilat, teman – teman ku datang ke rumah ku dan menenangkan diriku. Aku yang terus mengeluarkan banyak air mata bertanya – tanya pada diriku apakah aku melakukan sebuah kesalahan yang membuat Steven memutuskan untuk memblokir kontaku. Lisa tidak menerima ini ia bertanya ke Steven kenapa ia melakukan ini melalui sebuah pesan dan ternyata Lisa juga diblokir oleh Steven begitupun dengan teman – teman ku yang lainnya. Aku mengetahuinya karena Aku selalu bertanya kepada Vernon apakah Steven sedang on di group atau tidak setiap saat.
Selama beberapa hari, Aku selalu mengeluarkan butir – butir air dan Aku tidak mempunyai nafsu untuk makan dan minum karena Aku terus berpikir apakah Aku berbuat kesalahan yang fatal sehingga Steven tidak mau lagi berhubungan denganku... Apakah ini akhir dari hubungan kita..? Apakah yang Aku harapkan selama ini tentang hubungan ku dengan Steven gagal...?
Mungkin Aku bisa menerima jika Steven ingin memutuskan ku jika ia mempunyai penjelasan tetapi bagaimana Aku bisa menerimanya jika ia tidak menjelaskan alasannya kepada ku sepatah kata pun tidak!! Betapa jahatnya dirimu Steven, selama ini pikiranku tentang kau semuanya salah. Aku tidak menyangka semuanya akan begini pada akhirnya. Jika Aku tahu akan begini pada akhirnya seharusnya dari awal Aku tidak menerimamu. Semua harapan baikku tentang hubungan kita hancur...
Sejenak Aku berpikir lagi bahwa tahun baru ini adalah tahun baru yang terburuk selama Aku tinggal di dunia ini meskipun ini adalah tahun baru yang pertama kalinya Aku rayakan bersama dengan teman – temanku
“Ahh... Benar tahun baru terburuk. 1 Januari dimana ia meninggalkan ku tanpa alasan. 1 Januari hari dimana kita lost contact. 1 Januari adalah tanggal ketika Aku dan dirimu tidak bersama lagi dan 1 Januari dimana Aku kehilangan dirimu, Steven” batinku
***
Beberapa bulan ini, Aku merasa hari – hariku sangat buruk dan suasana di dalam hatiku seperti setiap hari selalu turun hujan. Berkat teman – teman ku Aku tidak merasakan hari – hari yang buruk karena teman – teman ku selalu ada di samping ku dan Aku merasa bahwa Aku tidak perlu memerlukan seorang pacar.
Aku juga mulai biasa dan tidak memalingkan wajahku ketika bertemu dengan Steven, orang – orang yang mungkin tidak mengetahui hubungan ku dengan Steven dulu bisa berkata bahwa kita seperti murid yang tidak kenal satu sama lain dan Aku pun juga tidak menyapanya lagi seperti dahulu. Dulu awal – awal setelah Aku masuk sekolah, Aku sangat takut harus berpapasan dengan Steven dan Aku selalu menghindari diri dari dia dan menjadi salah tingkah tiap kali bertemu dia, tetapi seiring berjalannya waktu Aku tidak seperti itu lagi.
***
*Dua tahun berlalu*
Aku masih belum juga mendapatkan alasan kenapa ia meninggalkan diriku bahkan teman – teman terdekatnya pun tidak mengetahui itu. Aku juga sudah berusaha untuk melupakan itu semua tapi kadang – kadang pikiran itu terus muncul di benakku.....
Kringg... bel sekolah berbunyi yang menandakan bel pulang sekolah. Datanglah sosok laki – laki gagah yang kukenal menuju ke koridor kelas ku. Aku yang saat itu sedang menaruh buku di loker ku langsung kembali menghadap loker ku dan menaruh buku lagi. Tiba – tiba laki – laki itu datang menghampiriku dan ternyata itu adalah Steven. Aku sangat kaget hingga menjatuhkan buku ku, begitupun juga dengan teman – temanku tetapi mereka lebih memilih untuk berdiam diri.
“Ta”
“Iya” jawabku sedikit cuek
Aku mau ngomong sesuatu sama kamu tolong kamu dengerin baik – baik ya”
“Iya cepetan aku ga punya banyak waktu habis ini ada les” ujarku dengan ketus
“Maafin aku ya Ta selama dua tahun ini aku ngegantunggin kamu dan aku baru punya nyali sekarang buat jelasin ke kamu semuanya. Aku minta maaf Ta. Aku ngaku aku salah waktu itu udah ngeblokir kontak kamu, aku gatau aku mikir apa waktu itu. Wajar kamu marah sama aku, kamu benci aku, aku bakal nerima dengan lapang dada kok”
Hatiku menjadi luluh.
“Iya gapapa udah aku maafin kok, santai aja”
“Jadi kamu mau ga kasih kesempatan ke dua buat aku untuk memperbaiki kesalahan aku yang dulu”
Seketika Aku langsung bingung tidak tahu ingin berkata apa.
“Plisss Ta aku yakin kali ini aku gabakal kecewain kamu lagi” tambah Steven
Aku harus pikirin ini dlu, ini terlalu mendadak buat aku
“Iya Ta, aku bakal tunggu sampai kapanpun”
***
Brukk... Aku memegang pinggangku yang terbentur lantai. Ini sudah kesekian kalinya Aku jatuh dari tempat tidur jika Aku bermimpi Steven ingin mengajakku balikkan. Ya, Aku sering sekali mengkhayal di bawah alam sadar ku bahwa Steven mengajakku balikkan ternyata tidak. Sampai sekarang, Aku pun masih belum tahu mengapa ia memblokir kontak ku dan alasan mengapa ia meninggalkan ku dengan begitu saja....

“Salkir.”
(salah kirim)
Oleh Irene Devina

            Aku ingin merasakan rasanya jatuh cinta yang berakhir dengan manis. Sebagai seorang anak kelas 3 SMA, aku termasuk seorang gadis yang lugu, polos, dan tidak mau terlibat lagi dengan cinta. Tidak seperti teman-temanku yang lain, aku tidak mempunyai kekasih, apalagi mantan. Mungkin bagi mereka cinta adalah hal yang indah, tapi hal itu tidak berlaku bagiku.
            Orang-orang banyak berkata bahwa cinta itu buta. Jika engkau mencintai seseorang, maka kau sudah tidak bisa lagi berfikir dengan sehat. Seolah-olah cinta menutupi segala keburukan dari seorang itu dan apapun akan kau lakukan untuk menyenangkan hatinya. Jika ia berbohong, kau akan menerimanya dan memaafkannya walaupun itu sakit. Jika ia memperlakukan-mu seenaknya, kau juga akan memakluminya karena kau pasti berfikir untuk melakukan yang terbaik untuknya. Kemudian, dia bisa saja meninggalkanmu dan membuatmu jatuh lebih dalam ke dalam “perangkap” cintanya. Kesalahan-kesalahan yang ia lakukan yang menyakitkan hatimu akan kau terima dengan lapang dada, walaupun kenyataanya memang sangat pahit. Cinta seakan-akan membuat kita tertipu, membuat kita seakan-akan menjadi manusia terbodoh di dunia, dan seakan-akan cinta itu membuat kita menyerahkan diri kita untuk orang yang kita cintai. “Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa lama pun selama aku mencintainya.”
            Di sisi lain, cinta tidak selamanya menyakitkan hati. Cinta juga bisa membuat orang terbang tinggi dan menggapai bintang. Cinta juga bisa memulihkan hati yang dulu telah hancur. Cinta juga bisa melengkapi hidup seseorang yang merasa hampa. Tapi itu semua tegantung bagaimana setiap orang yang ingin merasakan cinta itu melihatnya. Pengalaman setiap orang tentang cinta bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik, atau justru malah memperburuk hidupnya.
Bagiku, cinta hanyalah khayalan-khayalan dan omong kosong semata. Tidak seperti banyak orang yang meyakini indahnya hidup bersama cinta, aku sudah muak dan bagiku cinta bagaikan musuh yang terus-menerus membayangi, mengikuti dan menakutiku. Masa laluku, sudah membuatku tidak percaya akan cinta dan kebahagiaannya. Walaupun cinta awalnya memang manis, tapi lama-lama cinta bisa berbalik menyerang kita dan menimbulkan kepahitan di hati yang tidak bisa diobati. Bagiku, cinta hanyalah parasit yang seharusnya pergi dari hidupku.
Apa itu cinta? Jika ada orang yang menanyakan ku hal semacam itu, sudah dipastikan bahwa aku tidak akan menjawab. Apa itu cinta? Aku sudah tidak mau memikirkannya. Mendengarnya saja aku tak mau, apalagi memikirkannya.
Kelas 1 SMA menjadi salah satu waktu yang bersejarah. Kelas 1 SMA, aku bertemu dengannya. Ketika aku melihat daftar nama teman sekelasku, mataku langsung tertuju pada nama pertama absen pertama. Abrian. “sepertinya dia anak baru, dari namanya saja sudah keren. Pasti tingginya sampai 170 centimeter” Batinku. Sejak hari itu, aku sudah tidak sabar masuk sekolah dan berkenalan dengannya. Tanggal 18 Juli 2015 adalah hari pertama masuk sekolah. Terlebih lagi, nama Abrian terus membayangi pikiranku. Pikiran-pikiran tentang Abrian yang keren membuatku semakin tidak sabar untuk berkenalan dengannya.
“Selamat pagi anak-anak, hari ini hari pertama masuk sekolah. Perkenalkan nama bapak, Pak Ahmad Joni. Kalian bisa memanggil Pak Joni. Selamat datang di awal kelas 10.” ucap Pak Joni saat awal masuk sekolah. “Sebelum bapak jelaskan mengenai tata tertib sekolah dan memilih pengurus kelas, bapak mau kalian memperkenalkan diri kalian terlebih dahulu. Sebutkan nama lengkap, nama panggilan, hobi, cita-cita, dan sekolah asal kalian bagi murid baru. Silahkan, mulai dari absen nomor 1.” perintah Pak Joni.
“Saya  pak?” tanyanya. “Iya iya kamu,” Jawab Pak Joni. “Berdiri pak?” tanyanya lagi. “Terserah kamu, mau sambil duduk juga boleh, senyamannya aja.” Jawab Pak Joni lagi. “Sekarang pak?” tanyanya lagi, sekarang dengan sedikit unsur kesengajaan. “Terserah kamu deh, mau tahun depan juga gapapa, bapak tungguin.” Canda Pak Joni. “Disini?” kemudian pecahlah tawa satu kelas. Pertanyaannya membuat suasana kelas yang tadinya dingin menjadi lebih hangat. “Iya-iya pak, saya bercanda...” “Pagi teman-teman.” Sapanya dengan hangat. “Saya yakin kalian semua belum pernah melihat saya karena saya anak baru. Nama saya Abr
ian Bellion. Kalian bisa panggil saya Ian. Dulu saya bersekolah di Tunas Bangsa. Tinggi badan saya 170 centimeter, berat 65 kilogram” benar dugaanku, dia pasti tingginya 170 centimeter, batinku. “Hobi saya bermain basket, cita-cita saya adalah menjadi seorang pengusaha yang sukses dan kaya.” Jelasnya. Keren, tinggi, ganteng, humoris, batinku. “Lengkap sekali, sudah seperti mau pemilihan pasangan saja. Baik, terimakasih, Abrian-” “Ian pak,” potongnya. “Iya, maksudnya Ian.” Pak Joni mendengus kesal. “Sekarang lansung saja lanjut ke absen berikutnya.”
“Pagi semua, nama saya Adrian , hobi saya main game online, cita-cita saya adalah menjadi pria yang dewasa dan bertanggung jawab” kata Adrian  yang mengundang tawa satu kelas. “tunggu-tunggu, saya rasa menjadi pria yang dewasa dan bertanggung jawab bukan cita-cita deh Al.” Selak Pak Joni. “Tapi, kita sebagai laki-laki harus menjadi pria yang baik, dewasa, dan bertangung jawab nantinya. Apalagi kalau mencari pasangan hidup pak, kitanya harus dewasa dulu, baru deh nanti pada ngejer-ngejer saya. Saya yakin bapak juga pasti begitu waktu cari istri.” jawab Adrian  asal. “Iya kalau begitu mah memang sudah menjadi kewajiban semua laki-laki.” Jawab Pak Joni. “Tapi bener tuh pak yang dibilang sama Al- siapa tadi?” sahut Ian. “Oiya Adrian . Misalnya kayak saya bercita-cita jadi pengusaha sukses, kalau tidak dewasa dan bertanggung jawab, bagaimana bisa jadi sukses?” tambahnya. “Tuh Pak, anak baru aja setuju sama Saya.” ucap Adrian  bangga. “Sudahlah, jika dilanjutkan bisa sampai subuh. Kita lanjutkan saja ke absen berikutnya.” Perintah Pak Joni. Ketiga adalah giliranku.
“Pagi teman-teman, nama saya Bianca. Hobi saya bermain musik, cita-cita saya menjadi dokter.” Aku tidak berani melihat dia. Tapi dari ekor mata, aku bisa mengetahui kalau ada yang sedang memperhatikanku. Entah itu Ian atau Adrian , tapi yang jelas salah satu dari mereka sedang menatapku sekarang. Jantungku berdetak lebih cepat, berharap Ian-lah yang melihatku. Setelah memperkenalkan diri, aku segera duduk. “Wah.. bagus-bagus, bapak nanti mau mendengar kamu main musik ya Chel. Sepertinya kamu bisa jadi kandidat ketua kelas nih..” goda Pak Joni. Aku hanya tersenyum kecil. Kemudian, perkenalan kelas lanjut sampai absen terakhir.
“Oke baiklah, perkenalan sudah selesai. Bapak harap kalian bisa lebih akrab dan kompak lagi di dalam satu kelas. Sekarang mari kita piih pengurus kelas. Ada yang mau sukarela menjadi ketua kelas?” tanya Pak Joni. Hening. Seluruh siswa di kelas hening. Selalu saja, setiap tahun, saat pemilihan ketua kelas, pasti tidak ada yang mau menjadi sukarela. “Baiklah, saya tahu pasti tidak ada yang berani mencalonkan diri sebagai ketua kelas. Kalau begitu, saya saja yang pilih kandidatnya, lalu kita lakukan voting.” Semua siswa hanya menangguk-angguk menyetujui. “Kandidat pertama.. Abrian, kedua.. Bianca” deg. Kenapa bisa pas begini? Kenapa harus aku? Beribu-ribu pertanyaan muncul di kepalaku karena aku tidak suka ketika aku menjadi pusat perhatian dan semua orang bergantung padaku. Tapi apa boleh buat, aku tidak bisa membantah Pak Joni.
“Saya rasa cukup dua kandidat saja, mari kita lakukan voting.” usul Pak Joni. Hampir semua orang memilih Ian menjadi ketua kelas, bukan hanya karena sifatnya yang bisa dengan mudah berbaur dan humoris, tapi juga pasti karena penampilannya yang menarik perhatian. Terlebih lagi, sebagian besar siswa di kelas adalah perempuan. “Baiklah, maka ketua kelasnya adalah Ian dan Bianca, kamu akan menjadi wakil ketua kelas.” Deg. Untuk yang kedua kalinya, aku dikagetkan dengan ucapan Pak Joni. Jika aku menjadi wakil ketua kelas, maka aku akan sering berkomunikasi dengan Ian. Rasa senang, takut, dan malu semua bercampur aduk. Mungkin ini bisa jadi satu kesempatan yang baik, batinku. “Baik Pak,” jawabku.
Sesudah pemilihan pengurus kelas dan penjelasan tata tertib dan prosedur sekolah, Pak Joni menyampaikan beberapa informasi, sesi pelajaran-pun dimulai. “Hai, Bianca” Aku menoleh. Dengan tatapan kaget dan tidak percaya, aku menjawab. “Ha-hai..” Aku tersenyum kikuk. “Manggilnya Bi, Bianca, Ca, atau apa nih biar enak?” tanya Ian. “Ca aja” jawabku singkat. “oke. Ca, tadi Pak Joni bilang besok ada upacara. Dia suruh ketua kelas kasih tau temen-temen. Boleh kamu aja yang kasih tau ga? Soalnya aku masih belum deket sama mereka.” ucap Ian. “Oh gitu.. oke deh nanti aku kasih tau temen-temen.” Jawabku. “Makasih banyak ya Ca..” Ucapnya sambil tersenyum. Manis, batinku. “Iya, sama-sama.” “Yuk, ke kelas.” ajaknya sambil menatapku. Untuk pertama kalinya, aku menatap wajahnya. Paras wajahnya bagaikan bagaikan pemandangan indah yang memanjakan mata. Mata hazelnut yang ia miliki bagaikan hamparan angin yang menyejukkan hati. Tak sadar, aku telah diam sejenak. “Ca? Ayo..” ucapnya kedua kali dan menyadarkan lamunanku. “eh.. iya ayo” jawabku langsung.
Setelah melihat dalam matanya, aku merasakan hal yang berbeda. Sejak saat itu, saat aku bertemu dengannya, tatapan dan tingkahnya menjadi berbeda. Entah ada pengaruh apa yang membuatku bertingkah aneh seperti ini. Aneh, hal ini belum pernah kurasakan sebelumnya. Atau, mungkinkah ini yang dinamakan cinta? Batinku. Kata orang, cinta adalah perasaan yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Kata orang juga, cinta bisa membuat kita tidak fokus, mengacaukan pikiran karena kita terus menerus memikirkan orang yang kita sukai.
Aku tidak mau cinta itu membuatku tidak bisa berfikir, aku tidak mau cinta membuatku tidak fokus dan mengacaukan prestasiku di sekolah. Walaupun memang kehadirannya membuat hariku lebih berarti dan bersemangat, tapi tetap saja aku harus tetap fokus dengan prestasiku di sekolah. Aku harus bertanggung jawab kepada orangtuaku dengan nilai-nilai yang aku raih. Apalagi, aku sekarang sudah masuk ke jenjang SMA. Tugas-tugas, ulangan, dan pelajarannya pasti menjadi lebih susah. Aku sudah menetapkan target bahwa aku harus meraih peringkat pertama di sekolah karena aku ingin membuat orangtuaku bangga. Jerih payah mereka untuk membiayai uang sekolah dan keperluanku harus aku hargai dengan mendapatkan prestasi terbaik di sekolah. Untuk mendapatkan itu tentu dibutuhkan komitmen dan kerja keras. Ketika aku sudah berkomitmen, aku akan berjuang sampai aku mencapai target tersebut. Maka aku tidak akan membiarkan cinta mengacaukan segalanya.
Hari-hariku di sekolah menjadi semakin bersemangat. Dia menjadi salah satu penyemangatku di tengah ulangan-ulangan dan tugas-tugas yang menumpuk di kelas 10 ini. “Ca, kamu ngerti pelajarannya Pak Budi ga?” tanya Ian. “Matematika maksudnya? Ngerti, kenapa?” tanyaku balik. “Susah banget nih.. bisa bantuin aku ga?” tanyanya. “Bantuin? Kasih contekan maksudnya?” tanyaku apa adanya. “hehehe.. peka banget sih.. boleh ya caaa.. baik dehh” rengeknya. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, ia sudah menyergah, “oke makasi Ca, bukunya ada di meja ya.. aku buru-buru soalnya udah ditungguin sama yang lain.” Aku hanya bisa membuang nafas panjang. Entah ini sudah menjadi keberapa kalinya ia memintaku untuk mengerjakan ini-itu, mengerjakan tugasnya, memberinya contekan, dan masih banyak lagi. Anehnya, aku mau melakukannya tanpa beban. Seakan-akan dia yang mengendalikanku.
Ian sekarang memang sudah menjadi salah satu siswa terkenal seangkatan. Ia sekarang mempunyai banyak teman dan fans, apalagi dengan kemampuan bermain basketnya yang diatas rata-rata membuat semua orang terkagum-kagum. Sampai-sampai, banyak Ibu guru yang memuji ketampanan dan keahliannya dalam bermain basket. Termasuk diriku sendiri. Diam-diam, aku menyukai Ian. Hanya teman-teman dekatku dan Tuhan yang tahu.
“Tuh Yan, PR nya udah aku kerjain ya, aku taruh di atas meja kamu.” Ucapku. “Iya Ca makasi” jawabnya singkat, padat. Setelah itu, ketika aku mau pergi meninggalkan tempat itu, langkahku terhenti karena aku mendengar namaku disebut. Aku berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. “Yan, suka ya sama Bianca?” tanya teman-temannya yang duduk bersama dengannya di kantin. Deg. Mungkin jika saat itu ada cermin, sudah dipastikan wajahku pasti merah saat itu. Aku semakin mempertajam pendengaranku. Aku tersenyum, berharap bahwa apa yang Ian katakan akan membuat hatiku bahagia. Aku semakin memperlambat langkah kakiku dan mendengar jawaban darinya. “Suka?” jawabnya. “Sama Bianca?” tanyanya. “keliatan banget ya?” Sejenak aku merasa bahagia. Ternyata dia juga menyukaiku, batinku. Tapi, kemudian aku memutuskan untuk tidak mengambil kesimpulan sendiri dan mendengar percakapan itu lebih lanjut. Seketika, tawa-pun lepas dari mulutnya. “Ya gak mungkin lah! Kalian ada-ada aja. Cewe polos, mau disuruh-suruh, pinter sih, tapi bukan tipe yang ideal untuk seorang Abrian Bellion.” Jawab Ian. “Terus kok keliatannya kamu kayak lagi deketin Bianca gitu?” tanya teman-temannya. “Deketin? Oh, kayak tadi maksudnya? Itu mah dia balikin PR matematika yang udah dia kerjain. Sebenernya lebih ke arah manfaatin kepinterannya dia sih, makanya sengaja dideketin. Jahat ya?” Jelas Ian.
Seketika, aku berharap waktu berhenti bergerak. Sakit. Kecewa. Sedih. Saat kata-kata itu masuk ke bagian dalam telingaku. Kata-kata itu bagaikan pisau tajam yang mengiris hati. Akhirnya aku tersadar, bahwa selama ini, hal yang dia lakukan kepada ku hanyalah untuk memanfaatkan dan mempermainkanku. Perasaan yang kurasakan saat itu tidak bisa diungkapkan dan tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Saat aku bercerita dengan teman-teman dekatku, mereka hanya berkata “yang sabar ya Ca, pasti masih ada yang lebih baik dari dia kok..” “iya Ca, berarti itu salah satu cara Tuhan buat nunjukkin kalau dia gak baik buat kamu..” “udah Ca, jangan dipikirin terus, anggap saja angin berlalu” dan lain sebagainya. Perlahan-lahan, butiran-butiran air jatuh dari sumbernya, membasahi yang dibawahnya. Aku menangis. Memang salahku untuk menyukai dia. Memang salahku juga untuk tidak berfikir dua kali untuk menyukai laki-laki semacam itu. Perempuan polos, mau disuruh-suruh seperti ini menyukai dan mengharapkan cinta dari seorang pria populer satu sekolah. Bodoh bukan? Hancur, mungkin hanya satu kata itulah yang bisa menjelaskan semuanya.
Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku membayangkan wajahnya, hal-hal yang kulakukan bersamanya. Aku meratapi diriku yang sangat bodoh, aku telah melakukan hal yang sangat memalukan dan selama ini aku tidak menyadarinya. Aku menangis sampai aku terlarut dalam tidur. Mimpi indah yang sebelumnya hadir sekarang sudah musnah. Kata-kata yang ia ucapkan sudah menghancurkan segalanya. Keesokan paginya, mataku sembab dan karena itu, aku tidak masuk sekolah.
Sejak saat itu, aku tidak pernah mau lagi berbicara dengannya dan menatap mukanya. Aku memutuskan untuk menjauhi Ian. Sejak saat itu aku berubah, aku bukan lagi seperti aku yang dulu. Aku sekarang tidak mau lagi dibodoh-bodohi oleh cinta.  Kejadian itu mengajarku bahwa cinta memang menyakitkan, apalagi kau sudah mengetahui kebenaran dibalik permainan yang ia lakukan. Aku berkomitmen bahwa aku tidak mau lagi menyukainya dan mencoba untuk melupakan dia. Sekarang, aku harus berfokus pada hal lainnya yang jauh lebih penting daripada terus menyesali kebodohan yang kulakukan.
Terbukti, jika kau mencoba, pasti kau akan berhasil. Aku berhasil melupakannya dan aku berhasil mendapatkan nilai tertinggi di sekolah. Aku berhasil membuat orangtuaku bangga. Aku bahagia karena aku telah berhasi membuat orangtuaku bahagia. Aku percaya, cinta dari ayah dan ibu jauh lebih indah dan tulus daripada cinta antara sepasang kekasih karena mereka tidak mungkin membohongi-mu, memanfaatkan dan memperminkanmu. Kasih dari orangtua, berhasil membuatku melupakan perasaanku terhadap dia, Abrian Bellion.
Waktu terus berlalu hingga akhirnya aku memasuki kelas 3 SMA. Kelas 3 SMA ini, guruku menunjuk aku lagi untuk menjadi ketua kelas. Bukan hanya karena aku yang dikenal orang sebagai siswi yang pintar, tapi juga karena sifat ku yang bertanggung jawab dan suka menolong teman yang kesulitan. Mungkin itu jadi salah-satu alasan mengapa aku ditunjuk sebagai ketua kelas.
Seperti halnya 2 tahun lalu, aku tidak bisa membantah ataupun menolak perintah dari guru. Tapi aku berfikir, jika aku menjadi ketua kelas, maka tugasku akan menjadi lebih banyak dan aku akan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Pasti akan ada lebih banyak teman-teman yang menanyakan tugas, pr dan hal semacam itu. Untungnya, aku tidak sekelas dengan Ian. Tahun ini, aku pasti bisa menjalani sekolah dengan tenang tanpa terbayang-bayang wajahnya.
Suatu hari, saat aku membuka media sosial, pesan secara berbondong-bondong datang memenuhi layar kaca handphone-ku.
Chelsea: Ca, tugas sosial kumpul kapan?
Gita: Ca, tugas bahasa Indonesia minimal berapa lembar?
Radin: Ca, tugas bahasa Indonesia harus dijilid ya?
Azka: Ca, bagi jawaban PR matematika dong, ga ngerti nih..
Gellar: Besok ulangan apa aja?
Dio: Biancaaaa ajarin ipaaa dongg...
Bryan: Ca Ca Ca Ca.. tolong jawab
Deon: fotoin catetan sosial dong caa..
Ryan: Caa.. tadi Bu Susi jelasin apa ya di kelas?
Matthew: Ca besok buat kerja kelompok bawa apa aja?
Kenneth: Besok pelajaran sosial harus bawa laptop ya ca?
Shavira: Caa.. tolong bantu print dong.. bisa ga?
Adrian: Ca..
dan masih banyak lagi...
 Kurang banyak teman-teman.. harus bales siapa dulu ya?batinku. Kasih tau Abel dulu deh tentang rencana besok, pikirku.  Aku mencari-cari nama Abel di salah satu media sosialku.
Bianca: Besok jangan lupa ya, pulang sekolah ngerjain tugas di rumahku. Sent
            Satu detik. Dua detik. Tiga detik. “KOK. ASTAGA! SALAH KIRIM!” teriakku. Penyesalan itu datang kembali setelah aku melihat nama orang yang kukirimi pesan itu, Abrian Bellion. Aku merasakan seakan-akan darahku membeku ketika mengetahuinya. Kenapa harus dia, kayak tidak ada orang lain saja, batinku. “Bilang maaf atau ga usah ya?” tanyaku sendiri. “gak, maaf, gak, maaf, gak, maaf, gak, maaf, gak, maaf. Yah maaf.” Setelah menimbang-nimbang cukup lama, aku memberanikan diri untuk meminta maaf.
Bianca: maaf, salah kirim. Sent.
            Singkat, padat, jelas, pikirku. Rasa menyesal dan rasa malu kembali menghampiri diriku. Mengapa aku tidak berhati-hati. Setidaknya, jika itu salah kirim, kenapa harus Ian? Dia lagi, dia lagi. Seakan aku tidak bisa terlepas dari nama itu. Setelah satu tahun bergumul dan terus mencoba, aku fikir aku telah melupakan dirinya. Tapi ternyata, mungkin rasa itu masih ada, meskipun hanya sedikit. Sejujurnya, aku rindu masa-masa kelas satu SMA saat aku dan dirinya ditempatkan dalam satu kelas. Waktu-waktu yang aku nikmati saat kerja kelompok bersamanya, bercanda bersamanya, dan hal-hal lainnya yang dulu kupikir sangat menyenangkan. Tentu saja, sebelum aku mengetahui maksud dari tingkahnya yang sangat manis dan baik terhadapku. Satu tahun, waktu yang cukup lama bukan untuk  melupakan dia? Seharusnya aku sudah melupakan dia, tapi mengapa belum juga? Diriku sendiripun tidak tau alasannya.
            Sesudah itu, pada tidak sampai satu menit, Ian membalas kiriman pesanku. Tanganku seakan membeku dan tidak sanggup untuk membuka pesan dari dia. “nanti aja lah, bales temen-temen dulu.” Pikirku. 
Chelsea: Ca, tugas sosial kumpul kapan?
Bianca: tanggal 10. sent
Gita: Ca, tugas bahasa Indonesia minimal berapa lembar?
Bianca: minimal 5 lembar, tapi ga boleh lebih dari 10 lembar ya. sent
Radin: Ca, tugas bahasa Indonesia harus dijilid ya?
Bianca: gak harus sih, tapi kalo dijilid nambah nilai. sent
Azka: Ca, bagi jawaban PR matematika dong, ga ngerti nih..
Bianca: coba liat buku aja, ada caranya kok. sent
Gellar: Besok ulangan apa aja?
Bianca: ulangan biologi doang kok.. sent
Dio: Biancaaaa ajarin ipaaa dongg...
Bianca: yang bagian apa? sent
Bryan: Ca Ca Ca Ca.. tolong jawab
Bianca: iyaa.. kenapa? sent
Deon: fotoin catetan sosial dong caa..
Bianca: oke.. bentar ya. sent
Ryan: Caa.. tadi Bu Susi jelasin apa ya di kelas?
Bianca: banyak. sent
Matthew: Ca, besok buat kerja kelompok bawa apa aja?
Bianca: bawa karton aja kok. sent.
Kenneth: Besok pelajaran sosial harus bawa laptop ya ca?
Bianca: iyaa. sent
Shavira: Caa.. tolong bantu print dong.. bisa ga?
Bianca: Bisa, kirim ke email aja ya.. sent
Adrian: Ca..
Bianca: kenapa dri? Sent
            Akhirnya selesai juga, tinggal pesan dari Ian batinku.
Abrian:  haha.. sipsip. Gapapa kok.. mau kerjain tugas apa ca?
Bianca: tugas sosial. Sent
            Saat itu juga Ian langsung membalas pesanku. Ia mengajakku mengobrol sampai malam. Ia lagi-lagi membuatku lupa waktu. Aku juga terus menanggapi pesan yang ia kirim. Awalnya aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak kembali menyukainya. Tapi sekarang aku jadi tidak yakin bahwa aku bisa menepati janji itu. Ingatan-ingatan tentangnya berusaha kutepis, tapi sepertinya aku tak mampu.
Abrian: udah malem loh ca, ga tidur?
Bianca: iya nih, belum paling bentar lagi.
Abrian: tidur aja ca, nanti besok ngantuk loh di sekolah.
Bianca: kamu ga tidur?
Abrian: aku masih ngerjain tugas, paling bentar lagi.
Bianca: oh gitu, oke deh daripada ganggu kamu lagi, aku tidur.
Abrian: good night ca, mimpi indahJ
Bianca: bye.
            Tak sadar, pesan tersebut membuat ku tersenyum. Ya Tuhan, kenapa dia jadi berubah sekarang? Dulu dia tidak pernah semanis itu. Jangan, jangan, jangan Bianca. Jangan jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali. Tapi namanya perasaan, tidak bisa dipaksa. Ah sudahlah, aku sudah tidak mengerti dengan diriku sendiri. Lebih baik aku tidur dan melupakan segalanya.
            Keesokan harinya, aku berlari dengan sangat cepat di koridor sekolah sampai aku tidak melihat ada orang yang sedang berjalan di depanku. *bruk!* Semua kertas dan buku yang aku bawa jatuh ke lantai. “Aduh, maaf, buru-buru jadi ga liat ada orang..” ucapku langsung meminta maaf tanpa melihat siapa yang kutabrak. “iya, gapapa kok, sini aku bantuin.”jawabnya. Sepertinya aku mengenal suara ini, jangan bilang- aku segera melihat ke depan. Benar dugaanku, orang yang kutabrak adalah Abrian. Kenapa diantara ribuan orang di sekolah ini, yang harus kutabrak adalah Ian. Dia lagi, dia lagi, batinku. “makasih, maaf sekali lagi” aku segera mengambil buku-buku yang terjatuh dan segera berlari meninggalkannya tanpa melihat wajahnya lagi. Sepanjang jalan, aku terus mengutuki diriku sendiri. Kenapa aku ga hati-hati lagi sih, selalu saja begitu. Dan kenapa harus dengan dia lagi dan lagi. Aduh, aku sudah muak dengan ini. Tuhan, tolong akuu.
            Malamnya, aku mendapat pesan lagi dari dia.
Abrian: ca, tadi buru-buru banget ya?
Bianca: iya, tadi dipanggil sama Bu Susi ke ruangannya.
Abrian: ohh.. pantesan, lain kali hati-hati ya..
Bianca: iya, maaf juga tadi bener bener ga sengaja
Abrian: justru aku yang harusnya minta maaf ca
Bianca: maaf kenapa?
Abrian: karena kejadian dua tahun lalu.
Bianca: dua tahun lalu? Kejadian apa? (pura-pura tidak tahu)
Abrian: iya, pas kita kelas satu SMA.
Bianca: memangnya ada kejadian apa?
Abrian: maaf ca, waktu itu aku ga bermaksud buat nyakitin kamu dengan kata-kataku. Aku taku kamu denger apa yang aku katakan ke temen-temen pas di kantin waktu itu. Aku juga yakin kata-kataku waktu itu membuat kamu jadi jauh. Maaf ca.
            Astaga! Bagaimana dia bisa tahu? Pasti ini ulah Adrian, ia pasti memberitahu tentang perasaanku ke Ian pada waktu itu. Lalu bagaimana ini, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku sudah tidak bisa berfikir lagi. Jawab saja apa adanya, batinku.
Bianca: iya, udah dimaafin kok, udah lama juga.
Abrian: kalau gitu, gimana kalo aku traktir kamu makan di kafe deket sekolah sebagai tanda permintaan maaf?
            Aku berfikir sejenak. Kalau ia mentraktir, berarti hanya aku dan dia saja berdua? Tidak, tidak, jika seperti ini bagaimana aku bisa melupakannya? Jika seperti ini aku bisa jatuh cinta lagi, bahkan aku akan jatuh lebih dalam lagi. Tapi, dalam lubuk hati yang paling dalam, aku ingin makan bersamanya. Mungkin kali ini aku harus mengikuti kata hatiku, pikirku.
Bianca: terserah sih, tapi ga usah repot-repot traktir juga udah dimaafin kok..
Abrian: oke kalo gitu besok pulang sekolah, kita ke kafe deket sekolah bareng ya..
Bianca: oke.
Abrian: sampai jumpa besok Ca, byee J read
            Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan sekarang. Senang, bingung, benci, takut, malu, semuanya tercampur aduk jadi satu. Setelah membaca kembali pesan darinya, aku merasa aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Mungkin sekarang aku benar-benar sudah gila. Ia yang membuatku gila. Mungkinkah ia menyukaiku?  Sudahlah ca, jangan berharap terlalu tinggi, batinku.
Keesokan paginya,  aku sengaja bangun lebih pagi untuk bersiap siap. Entah kenapa, aku ingin menjadi Bianca dengan penampilan yang berbeda hari ini. Rambut yang biasa terikat, hari ini sengaja aku gerai dan aku memberi sentuhan ikal di ujung rambut agar terlihat berbeda. Liptint berwarna merah muda cerah kupakai di bibir agar terlihat lebih manis. Ku semprotkan parfum dengan aroma bunga freesia yang hangat dan manis. "Ca? Tumben digerai.. Makin cantik aja, wangi lagi. Mau ketemu siapa hayoo di sekolah?" tanya mama saat aku menduduki meja makan. "Masa sih ma? Biasa aja deh kayaknya, udah yuk bentar lagi telat nih." aku mengelak. "Iya deh, ayo berangkat" jawab mama. "Oiya ma, nanti sore, mang Ujang ga usah jemput aku ya, soalnya ada acara abis pulang sekolah" pintaku. "Acara apa? Pulang jam berapa? Terus nanti kamu pulang naik apa?" tanya mama bertubi-tubi. Memang beginilah mama jika aku mengatakan kalau aku akan mengikuti kegiatan. "Tugas sekolah kok ma, di rumah temen, paling nanti temen aku yang anterin pulang. Ga sampe malem kok.." jawabku berusaha menenangkan mama. "Ohh.. Okeoke kalo gitu. Jaga diri baik-baik ya ca." kata mama. "Iya maa.. Aku masuk ke sekolah ya.. Dahh" aku mengecup kening mama dan pergi menuju kelas.

Jujur, saat pelajaran pikiranku tidak fokus. Aku tidak mendengarkan penjelasan guru dengan baik, aku tidak bisa berfikir dengan cermat karena  aku tidak bisa berhenti memikirkan makan bersama Ian nanti sore. Aku merasa seakan-akan jarum jam bergerak begitu lambat, waktu tidak bertambah, yang ada malah semakin lambat. Mungkin ini adalah efek ketidak-sabaranku untuk nanti sore. Sungguh, dia benar benar sudah membuatku gila.
Saat makan siang, aku bertemu dengan Ian di kantin. "Ca, nanti sore jadi kan?" tanyanya. "Iya jadi kok, nanti langsung nunggu disana aja atau gimana?" tanyaku balik. "Aku samperin ke kelas kamu aja ya, biar gampang nanti jalan kesananya" ucapnya. "oh, yaudah kalo gitu" jawabku singkat. Aku berusaha untuk tidak menunjukkan perasaanku di depan dia. Aku berusaha menahan senyum. "Oke ca, see you later." ucapnya. Setelah itu, aku kembali ke meja makan. 

Akhirnya, waktu yang aku tunggu-tunggupun tiba. Jam menunjukkan pukul 3 sore yang artinya lima belas menit lagi bel pulang sekolah akan berbunyi. Lima belas menit terakhir ini serasa berabad-abad bagiku. "Ya, itu saja materi saya pada hari ini, silahkan kalian beres beres." perintah Pak Doni. Yes, akhirnya selesai juga, batinku. "Beri salam" ucapku sebagai ketua kelas dengan suara lantang  setelah semuanya berberes.
Aku berjalan ke loker dan mengambil buku pelajaran yang harus dipelajari untuk besok. "Udah Ca?" tanya Ian yang tiba tiba berada di belakangku.  Aku kaget dan segera menoleh. "Waw, cantik ca" samar-samar aku melihat mulutnya bergumam.  "Eh, u-udah kok, ayo" ucapku dengan terbata-bata. "A-yo" ajaknya sambil mengulurkan tangan kanannya. Aku bingung harus berbuat apa. Mengambil uluran tangannya atau berjalan pura pura tidak tau? Belum sempat aku mengambil keputusan, dia tiba tiba berbicara. "Eh, refleks ca maaf, ga maksud. Tapi kalo mau digandeng juga gapapa kok." candanya. Aku memutuskan untuk tidak menanggapi dan langsung berjalan. Keheningan tercipta diantara aku dan Ian saat kami berdua berjalan. Aku yakin masing masing sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Aku sibuk memikirkan apakah dia sudah berubah atau masih sama seperti dulu. Apakah yang ia lakukan sekarang adalah tulus atau ternyata ada maksud tersembunyi dibalik tingkahnya ini. Aku tidak tau kebenarannya, tapi yang jelas aku hanya berharap kejadian dulu tidak terulang lagi atau bahkan menjadi lebih parah.

Hempasan angin menembus keheningan yang tercipta antara kami berdua. Kami berjalan santai, menikmati hembusan angin sore yang menyejukkan hati. "Sejuk ya" ucapnya memecahkan keheningan. Aku hanya memberikan senyuman kecil. "Yan, boleh nanya ga?" tanyaku. "Nanya aja, kenapa?" jawabnya. "Pernah suka sama orang ga?" tanyaku lagi. Entah dari mana pertanyaan itu muncul dan mendorongku untuk menanyakan hak ini padanya. "Suka sama orang?" tanyanya lagi. "Iya, pernah ga?" aku memperjelas. "em.. Per-nah sih.. Dulu, tapi abis itu dia tiba tiba pergi menjauh" ujarnya. "Kalau kamu?" "aku? Pernah sih dulu juga, tapi abis itu aku tau aku dimanfaatin sama dia jadi mutusin buat pergi dan menjauh daripada sakit hati" jelasku. "Kok bisa gitu ya. Disaat aku ditinggalin, kamu malah meninggalkan"ucapnya sambil tertawa kecil. Dalam hatiku juga ikut tertawa, yang aku ceritakan tadi adalah dirinya dan ia tidak menyadari hal tersebut. "Tuh kafenya, hari ini aku yang traktir ya.." ucapnya. "Mau pesen apa?" "Aku pesen hot chocolate deh" jawabku. "Mba, hot chocolatenya dua ya" ucapnya. "Baik kak" jawab pelayan.

Beberapa menit kemudian, minuman yang kami pesan datang. Kami berbincang-bincang bersama, tertawa bersama karena lelucon yang ia lontarkan. Aku sudah tidak bisa membohongi diriku sendiri lagi. Ya, aku mencintainya lagi. Ya, aku jatuh ke dalamnya lagi tapi kali ini dengan perlahan. Abrian Bellion berhasil meruntuhkan tembok yang sudah ku bangun dengan kokoh di dalam hati. Sekali lagi, dia berhasil membuatku melakukan hal bodoh lagi. Tapi kini ku berfikir mungkin dia sudah berubah, bahkan aku berfikir klau ia menyukaiku.

Tidak sadar, waktu sudah mau menunjukkan pukul 6 sore. 3 jam yang kulalui bersamanya terasa sangat singkat. Aku ingin bercanda lebih lama dengannya, tapi aku sudah berjanji kepada mama untuk tidak pulang terlalu malam dan janji harus ditepati. "Yan, udah mau jam 6 nih, aku pulang ya? Takut mama cemas di rumah" ucapku. "Sekarang? Mau aku anterin ca?" tawarnya. "Anterin? Ga usah deh nanti ngerepotin, aku bisa pulang pake angkutan umum kok" aku menolak. "Gak kok, ga ngerepotin sama sekali, ga baik loh cewe jalan sendiri pas magrib. Yuk sini aku anterin aja. Rumah kamu dimana?" tanyanya langsung. "Emang kamu bawa motor?" tanyaku balik karena seingatku tadi aku dan dia berjalan kaki menjuju kafe ini. "Bawa dongg.. Udah aku parkirin di depan kafe tadi, ayo ca" ajaknya. Aku langsung menerima tawaran itu. Saat dia menaiki motor, ada sebuah kertas yang terjatuh dan aku yakin pasti milik Ian. Rasa penasaranku muncul sehingga aku memutuskan untuk membacanya di rumah dan mengembalikan besok di sekolah. "Pegangan yang erat ya ca" ucapnya. Aiu mulai salah tingkah. Bagaimana cara aku memegangnya? Memeluk? Memegang pundak? Atau bagaimana? Untuk kesekian kalinya, dia membuat aku bingung dan salah tingkah. "Pegangan ya, yang penting nanti jangan kaget pas aku ngebut" ucapnya.

Matahari terbenam melengkapi pemandangan indah di sore hari ini bersamanya. Perpaduan warna merah, oranye, kuning di langit sore menambah suasana hangat ditengah ketegangan yang aku rasakan. Menembus angin di atas sebuah motor hitam mengkilap bersamanya adalah salah satu hal yang aku impikan dan Ian sudah mewujudkannya.

"Sampe deh ca.." ucapnya. "Makasih ya yan buat traktirannya dan tumpangannya" ucapku. "Iya sama sama, udah sana masuk, udah malem nanti dicariin sama mama papa kamu lagi"ucapnya. "Oke, aku masuk ya, byee" ucapku dengan lembut. "Byee" dan kemudian dia meninggalkan rumahku. Aku segera lari ke kamar dan membuka lembaran kertas yang tadi terjatuh.
Hai, ca
Surat ini khusus aku tuliskan untukmu. Aku ingin meminta maaf atas kesalahan-kesalahanku. Memang salahku karena aku memanfaatkanmu. Tapi itu baru awalnya. Lama kelamaan, aku merasakan sesuatu yang berbeda jika berada di dekatmu. Aku merasa nyaman dan bahagia. Bukan karena kamu mau membantu aku mengerjakan tugas saja, tapi aku juga merasa nyaman jika aku bercerita denganmu. Aku memang laki-laki pengecut yang tak berani mengungkapkan perasaan sendiri. Waktu itu di kantin, aku tau kamu mendengar apa yang aku ucapkan. Aku minta maaf karena apa yang kamu dengar tidak semuanya benar. Aku mengatakan bahwa aku memanfaatkan kepintaranmu, aku berbohong bahwa aku tidak menyukaimu. Iya, aku berbohong pada saat itu. Aku berbohong karena aku tidak mau orang lain tau kalau aku menyukaimu. Tapi apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur.  Ca, maafkan aku. Aku harap ketika kamu sudah membaca surat ini, kami bisa kembali menjadi Bianca yang dulu aku kenal.
3 Februari 2014
Tertanda, Abrian.
Air mata menetes dari mataku. Selama ini aku salah paham. Ternyata dia memang menyukaiku. Seharusnya dia memberikan surat ini saat itu. Bodoh! Jika seperti ini, maka untuk apa aku menangis? Sudahlah, lebih baik aku kembalikan saja surat ini kepada penulisnya besok.
Keesokan harinya di kantin, aku menghampiri meja makan Ian dan teman-temannya. "Yan-" ucapanku terhenti karena lagi lagi aku mendengar namaku disebutkan diantara mereka. Aku penasaran hal apa lagi yang  mereka ingin bicarakan tentang aku. Aku mempertajam pendegaranku. "Gimana yan? Berhasil ga bikin Bianca jatuh lagi?" tanya salah satu temannya. "Berhasil dong... Siapa dulu, Abrian Bellion." ucap Ian. "Nah gitu dong my bro! Nih, karena sudah memenangkan taruhannya,  sesuai kesepakatan, kita akan jajanin selama 1 bulan penuh, ga kurang." ucap temannya lagi. "Tapi Bianca marah ga ya dijadiin bahan taruhan? Kan kalian tau dulu dia pernah suka  sampe sekarang bahkan." tanyanya. "Ya gak lah, dia aja ga tau kalo dia dijadiin bahan taruhan" jawab teman-temannya. Pada saat itu, Ian berbalik badan dan menghadap ke arahku. Mata kita bertemu dan aku yakin dia tau aku mendengar percakapan mereka sejak tadi. Ian diam mematung, matanya yang menatapku seakan penuh dengan penyesalan dan maaf, tapi ia tidak bisa berkata-kata.
Dadaku sesak. Dua kali. Dua kali aku dibohongi dan dipermainkan. Kali ini aku dijadikan bahan taruhan. Sakit. Hancur. Kali ini sakit yang kurasakan berkali-kali lipat lebih menyakitkan dari yang sebelumnya. Ya, aku jatuh lagi ke dalam lubang yang sama dua kali. Surat yang kupegang ku jatuhkan ke lantai. Aku menangis dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi tempat itu. Aku menuju balkon paling ujung sekolah yang jarang dilalui orang. Aku terisak di tempat, aku sudah tidak sanggup lagi menerima kenyataan ini.
Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan dan rencanakan dalam otak liciknya. Aku tidak tahu apakah surat yang ia tulis itu adalah isi hatinya atau hanya omong kosong lagi. Aku benar-benar sudah gila dan merasa bodoh. Aku sekali lagi menyesali perasaanku, pandanganku tentang dirinya, dan kali ini aku benar-benar harus pergi dan tidak mau kembali lagi.
Sesampainya di rumah, aku segera naik ke kamar untuk menenangkan diri. *toktoktok* “Ca, ini ada surat dari orang, tadi dia suruh bibi kasih ke kamu” ucap bibi di luar kamar. “Iya bi, masuk aja taruh di mejaku, aku lagi mandi.” Teriakku dari dalam kamar mandi. “oke, bibi taruh di meja ya” kata bibi. Setelah selesai mandi, aku segera membuka surat yang ditaruh bibi di meja.
ca, pergi ke pohon bawah rumah kamu ya, terus temuin kertas warna biru.
“siapa nih? Misterius banget” ucapku pada diriku sendiri. Aku segera memakai baju dan menuju pohon dan menemukan kertas warna biru.
ca, ke taman kompleks ya, temui orang berbaju biru.
“taman? Jauh banget.” Tapi karena rasa penasaran yang terlalu tinggi, aku-pun berjalan menuju taman kompleks. Sesuai yang tertulis, pria berbaju biru berdiri membelakangi. Angin malam menerpanya, membuat rambutnya berterbangan dengan indah, tubuhnya tinggi dan besar. Ia memakai baju kaos biru dan celana selutut. Aku mencoba mendekatinya. Dia berbalik menghadapku. Aku terperangah kaget. “I-ian?” tanyaku terbata-bata.
"Ca" panggilnya. Aku tidak menyahut. "Ca, maafin aku" ucapnya lagi. Aku berusaha mengatur nafas. Dia berjalan mendekatiku. Kini dia berada di sampingku. "Ca, aku minta maaf." ucapnya lagi. "Udah cukup yan! Udah cukup kamu buat aku kecewa. Udah cukup kamu buat aku sakit hati. Udah cukup yan, cukup kamu buat aku jatuh untuk yang kedua kalinya." bentakku, meluapkan semua emosi yang kumiliki sambil terisak.
"Ca, aku ga peduli harus berapa kali aku minta maaf karena kesalahan yang aku lakukan emang ga layak untuk dimaafin. Tapi ca, aku mau kamu tau satu hal bahwa aku, Abrian Bellion  juga mencintaimu sepenuhnya. Apa yang selama ini kamu lihat, itu bukanlah yang sebenarnya karena yang sebenarnya selalu aku simpan dalam hati dan aku menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Ca, aku-" tiba tiba dia berhenti berbicara.
Jarinya bergerak, menuju wajahku dan mengusap air mata yang terus menerus mengalir. Pikiranku kacau, seseorang yang aku benci sekaligus yang aku cintai baru saja mengungkapkan perasaannya yang sama kepadaku. “Ja-jadi, surat itu-” “iya, itu beneran ca, surat itu harusnya aku kasih dua tahun lalu, tapi aku menunggu waktu yang tepat.” potongnya.
Dia mendekat dan dia memelukku. Aku menangis di pelukannya. "Yan, makasih banyak."
--selesai--


Sebatas Kenangan

Oleh Archangela Janice Noveline

A
ku seorang gadis perempuan bernama Mary. Aku berumur 15 tahun. Aku tidak berani dan aku susah berinteraksi dengan lingkungan baru. Bisa dibilang aku orang yang pemalu. Aku tidak berani berkenalan dengan orang yang baru kutemui. Aku memiliki banyak kisah dan kenagan yang harus kuceritakan pada orang terdekatku. Itulah aku. Aku lahir dan tinggal di kota terpencil bersama ayahku yang bekerja sebagai tukang kayu. Banyak orang yang bertanya tentang ibuku. Pertanyaan yang sering kali muncul saat orang ingin berkenalan denganku.
Ibuku bernama Maria. Tanggapan orang banyak mengenai namaku yang sengaja mirip dengan ibuku itu benar. Ibuku adalah orang yang baik, sabar, penyayang, dan rela berkorban. Ibuku mirip seperti Maria ibu Yesus bukan? Dia selalu ada di saat aku membutuhkannya. Dia selalu menghiburku ketika aku menangis. Dia selalu berada di sisiku ketika aku sendirian. Semua kebaikan ada di dalam diri ibuku. Kebaikan membuatnya dipanggil Tuhan. Menurutku mungkin karena ibuku terlalu baik untuk lahir di dunia sehingga Tuhan sulit untuk memberi cobaan pada orang yang baik.
Ibuku memiliki keunikan yang sulit untuk dijelaskan. Aku hanya menceritakan kejadian ini kepada beberapa orang karena aku takut dijauhi orang yang baru kukenal. Waktu itu saat aku lahir, aku mengidap penyakit mata bernama Glaukoma. Penyakit yang menyebabkan tekanan tinggi pada bola mata yang membuat saraf dan retina mataku rusak. Ayah dan ibu selalu sedih ketika mereka melihat aku menangis karena mataku yang memerah saat nyeri pada mata timbul. Dokter menyarankan untuk melakukan pembedahan pada kedua mataku agar mata menjadi normal. Tetapi ayah dan ibu tidak tega melihat anak mereka yang harus dibedah matanya karena tidak sempurna secara fisik.
Ibuku memutuskan untuk berkorban dengan memberikan kedua bola matanya kepadaku. Ayah sudah melarang ibu untuk memberikan matanya dengan rayuan menggunakan mata orang lain yang masih sehat saja. Ibu tetap menolak karena menurutnya dengan mata orang lain ibu tidak bisa lega karena anak semata wayangnya ini secara fisik harus sama atau mirip dengan salah satu kedua orang tuanya. Pada awalnya aku tidak tahu mengapa ibu rela berkorban seperti ini. Bahkan aku juga tidak tega karena ibu menjadi tidak bisa melihat. Karena ibu memberikan matanya kepadaku, aku menjadi menyesal karena setelah bertahun-tahun ada kejadian yang seharusnya ibu bisa selamat jika masih memiliki indra penglihatannya itu.
Ketika hari pertama masuk Sekolah Dasar di kota tempat kelahiranku, ayah dan ibu mengantarku ke kelas. Sekolah di kota terpencil tidak memiliki kelas yang banyak seperti sekolah di daerah perkotaan. Hanya ada satu kelas di satu tingkat sekolah. Saat itu, ibu berjalan menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.
Tiba-tiba telepon genggam ayah berdering. Tetangga sebelah rumah menelepon untuk memberi tahu ayah bahwa rumahnya kebakaran dan meminta bantuan ayahku untuk memadamkan apinya. Ibu menyuruh ayah untuk bergegas pulang membantu tetangga dan ibu berkata bahwa ia bisa pulang sendiri ke rumah. Ayah mungkin lupa kalau ibu sekarang sudah tidak memiliki indra penglihat dan menyetujui keinginan ibu untuk pulang sendiri ke rumah. Ibu sosok yang baik bukan? Ibu rela ditinggal oleh ayah yang bisa menuntunnya untuk jalan ke rumah dan rela berjalan sendiri tanpa tahu arah jalan pulang demi kepentingan orang yang butuh bantuan.
Aku masih periang waktu itu sehingga aku memberanikan diri untuk mengajak teman sekelas berkenalan. Ibuku memang tidak bisa melihat, tetapi ibu bisa mendengarkan suara tertawaku yang keras dan membayangkan wajahku yang senang ketika aku memiliki teman baru di hari pertama sekolah itu. Ibuku hanya tersenyum tanpa menanyakan tentang teman-temanku. Aku bisa melihat wajah ibu yang senang waktu itu saat aku bisa bermain bersama teman-teman.
Ketika bel masuk sekolah sudah berbunyi, ibu menghampiriku dan berjanji siang nanti akan kembali untuk menjemputku bersama ayah saat pulang sekolah. Ibu meninggalkanku di kelas dan ibu langsung pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ibu tidak terluka sedikitpun. Entah bagaimana ibu bisa sampai di rumah dengan selamat. Mungkin ibu sudah hafal arah pergi dari rumah ke sekolah atau arah pulang dari sekolah ke rumah, atau mungkin ada yang mengantar atau menuntun ibu sehingga ibu bisa sampai di rumah dengan selamat, atau bahkan Tuhan yang menunjukkan jalan pulang melalui cahaya yang bisa menembus mata ibu sehingga ibu bisa mengikuti arah cahaya yang diberikan Tuhan itu.
Saat bertemu ayah di rumah, ibu pamit kepada ayah untuk pergi ke pasar dan membeli bahan-bahan untuk dimasak. Kali ini ibu ingin masak karena ibu ingin merayakan hari pertama aku masuk sekolah. Aku bahkan masih bingung kenapa ayah tidak mengantar ibu pergi ke pasar. Saat hari pertama masuk sekolah, aku ingat hari itu adalah hari dimana ayah harus bekerja keras karena banyak pesanan kayu. Mungkin karena ayah sedang sibuk, sehingga ayah tidak bisa mengantar ibu atau ayah menganggap ibu pasti selamat sampai tujuan seperti ibu pulang sendirian setelah mengantarku sekolah.
Pada siang hari ayah menjemputku seorang diri. Aku tidak melihat ibu saat itu. Aku bertanya kepada ayah mengapa ibu tidak menjemputku. Pertanyaan itu selalu kulontarkan setiap menit, setiap aku teringat ibu. Ibu tidak pulang bahkan sampai berhari-hari. Ayah bahkan tidak tahu dimana keberadaan ibu. Beberapa tetangga membantu ayah pergi mencari ibu, tetapi tidak ada yang bisa menemukan ibu. Ayah berusaha menghubungi polisi untuk mencari ibu. Polisi bahkan masih dalam proses pencarian ibu. Ibu tidak pulang. Aku mulai menangis dan ayah selalu menghiburku. Aku menganggap ibu tersesat karena ia tidak bisa melihat arah jalanan, karena ia memberikan matanya untukku, karena aku lahir di dunia ini, dan karena ibu orang yang rela berkorban.
            Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun aku selalu teringat ibu. Aku selalu menyalahkan diriku yang terlahir di dunia ini. Ayah selalu mencari ibu, mencari orang yang hilang entah kemana ia pergi. Ayah bahkan menyalahkan dirinya juga saat ia tidak mengantar ibu ke pasar waktu itu. Terlintas dalam pikiranku untuk mengingat bahwa tidak ada yang bisa disesali. Semua rencana Tuhan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan atau yang kita harapkan. Kita hanya bisa berdoa agar keinginan kita bisa terwujud.
            Aku memang bisa bersenang-senang bersama teman-teman di sekolah, tetapi kesenangan ini tidak bisa mengalahkan kesedihanku. Teman-teman selalu menghiburku dan mereka selalu ada di saat aku menangis ketika aku teringat ibu. Aku sedih karena aku kehilangan satu orang yang aku sayangi di dunia ini. Tidak ada lagi ibu di sisiku, tidak ada lagi seorang Maria di sampingku, dan tidak ada lagi orang yang membantuku ketika ada masalah. Ayah juga orang yang aku sayangi dan juga membantuku ketika ada masalah, tetapi aku lebih menyayangi ibu karena ibu lebih meluangkan waktunya dari pada ayah. Mungkin karena ibu seorang ibu rumah tangga, jadi ibu lebih punya waktu dan karena ayah seorang wiraswasta, jadi ayah lebih sibuk daripada ibu.
            Bertahun-tahun sudah berlalu. Sekolah Dasar sudah kulewati dan enam tahun sudah kujalani tanpa ibu. Sekarang aku sudah tamat Sekolah Dasar. Entah hasil ujianku bagus atau tidak, yang terpenting aku bisa masuk Sekolah Menengah Pertama. Aku memang bukan tergolong anak yang pintar di sekolah, tetapi aku bisa masuk sekolah yang cukup pintar murid-muridnya. Aku mendaftar di SMP yang sama dengan teman-temanku. Walaupun ayahku menyuruhku untuk sekolah di tempat lain, aku menolak permintaan ayah. Aku masih ingin bersama teman-teman lama dan aku tidak ingin meninggalkan kenangan bersama teman-teman yang selalu ada di sampingku.
            Kenangan indah di Sekolah Dasar sudah kulewati. Aku ingat waktu itu aku pernah menjahili guru wali kelas dengan melemparinya telur. Aku pernah berkerja sama dalam ulangan matematika. Aku pernah mencoret-coret tembok kelas dengan cat minyak. Semua itu aku lakukan bersama teman-teman saat akhir kelas enam SD. Aku pernah melakukan hal yang terlarang dan tertulis dalam peraturan, tetapi hal itu tidak pernah diketahui guru dan aku tidak pernah dihukum. Di mata wali kelas, aku adalah anak periang yang selalu mengikuti kegiatan di sekolah dengan baik.
            SMP adalah tingkatan yang cukup sulit bagiku. Sekolah baruku ini memiliki guru-guru yang berbeda sikapnya dengan yang di Sekolah Dasar. Peraturan-peraturan yang ada memang lebih banyak. Aku dan teman-teman merasa kesulitan ketika harus menaati peraturan yang ada dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Ayah selalu membantuku dalam mengerjakan tugas, tetapi ayah memang lebih sibuk dengan pekerjaannya. Aku meluangkan waktuku untuk membersihkan rumah dan belajar memasak agar bisa meringankan pekerjaan ayah.
Aku menjalani masa remaja dengan cukup baik di SMP, sekolah baruku bersama teman-teman lama. Ayahku selalu melontarkan pertanyaan yang membuatku kesal. Ayahku selalu bertanya mengapa aku tidak bosan berteman dengan teman-teman lama? Aku tidak menghiraukan pertanyaan ayah itu, tetapi semakin lama aku pikirkan, semakin aku ingin tahu alasan yang membuatku tidak pernah bosan dengan teman-teman lamaku. Aku menyadari bahwa aku adalah orang yang sulit untuk memulai hal yang baru dan sulit meninggalkan kengangan yang lama. Itulah alasannya mengapa aku tidak mau berkenalan dengan orang yang baru.
            Selama beberapa tahun ini, aku merasa semua berjalan baik-baik saja tanpa ibu. Mungkin karena aku sudah terbisa hidup berdua dengan ayah jadi aku bisa terbiasa untuk hidup mandiri tanpa orang yang dulu biasanya melayaniku dan membantuku. Ayah juga sosok yang mirip seperti ibu. Kebaikan juga ada dalam diri ayah. Aku mulai merasakan kebaikan ayah ketika aku kehilangan ibu. Kenangan ibu kini akan selalu teringat olehku. Walaupun hanya sebatas kenangan, ibu adalah orang yang paling kukagumi.
            Sudah lama aku dan ibu berpisah, rupanya aku tidak bisa melepaskan ibu begitu saja. Aku hanya bisa berharap kejadian yang ibu alami tidak terulang pada ayah. Sampai sekarang aku dan ayah bahkan belum mengetahui keberadaan ibu dan keadaan ibu. Aku hanya ingin melupakannya karena aku pasti sedih ketika aku mengingatnya. Akan sakit rasanya jika harus kehilangan dua orang keluarga yang kita sayangi. Masa remaja adalah masa yang harus dijalani dengan bersenang-senang menurutku, tetapi aku harus mengkahiri masa remajaku dengan perpisahan.
Sampai akhirnya ketika usaha kayu ayah di kota terpencil ini sudah mulai gulung tikar, ayah mengajakku untuk pindah ke kota besar karena orang-orang perkotaan sering membangun rumah dan pasti membutuhkan barang-barang yang terbuat dari kayu. Tak terasa aku sudah hampir lulus SMP. Setelah aku menyelesaikan ujian nasional, ayah mengajakku untuk memulai kehidupan baru di daerah perkotaan dan mencari pengalaman disana.
Semua kejadian yang terjadi selama aku hidup di dunia ini membuatku tidak mau dekat dengan orang lain. Sakit rasanya ketika harus berpisah dengan orang yang kita sayangi, yang selalu membuat kita tersenyum, yang selalu menghibur kita, dan yang selalu ada ketika kita kesusahan. Kali ini aku harus berpisah dengan teman-teman lamaku. Aku ingin terlepas dari hubungan interaksi dengan orang lain termasuk ayahku, tetapi rasanya sulit ketika kita memaksakan hati untuk jauh dari orang yang kita sayangi.
Menyutujui ajakkan ayah dengan terpaksa menurutku adalah keputusan yang baik. Sebenarnya aku belum ingin meninggalkan teman-teman lama, tetapi demi kesuksesan usaha ayah, aku rela untuk memulai kisah di ibu kota Jakarta. Dengan kesuksesan, ayah pasti bisa bahagia. Ayah menjual sisa-sisa kayu yang ada, perabotan rumah yang ada, dan rumah tua untuk kebutuhan di Jakarta nanti. Ayah memang ingin memulainya dari awal dan berkomitmen untuk tidak kembali ke kota asal jika tidak berhasil atau tidak sukses.
            Aku berusaha untuk tidak mengingat semua kenangan itu dan mengalihkan pikiran ke hal positif yang akan terjadi saat aku tinggal di kota metropolitan di Indonesia. Ini pertama kalinya aku ke kota ramai dan ini kedua kalinyaaku harus kehilangan orang yang aku sayangi. Memulai kisah yang baru untuk masa depan nanti. Mary dan ayah siap untuk ke Jakarta. Mary dan ayah siap untuk memulai kisah hidup yang baru demi masa depan yang lebih baik.
            Perjalanan menuju kota itu sangat melelahkan bagiku dan ayah. Jarak antara stasiun kota terpencil tempat kami tinggal dulu dan Stasiun Mangga besar cukup jauh sehingga memakan waktu 4 jam. Aku berharap kota tempat kelahiranku itu hanya sebatas kenangan yang dulu dan aku berharap untuk tidak mengingatnya lagi karena aku ingin memulai lembar yang baru bersama ayah. Entah mengapa perjalanan ini terasa sangat cepat. Mungkin karena aku tidak sabar untuk memulai lembaran hidup yang baru.
            Sesampainya di Jakarta, aku dan ayah berusaha untuk menemui alamat paman dan bibi yang sudah lama tinggal di daerah Jakarta Pusat. Selama beberapa hari, kami menginap di rumah paman dan bibi sambil mencari-cari rumah yang coock dan nyaman untuk kami tinggali. Pengeluaran di Jakarta jauh lebih besar dari pada di kota terpencil. Mulai dari makanan, minuman, rumah, perabotan rumah tangga, dan barang-barang lainnya juga jauh lebih mahal di Jakarta. Pendaftaran sekolah juga membuat aku dan ayah terkejut, tetapi ayah bisa menangani semuanya dengan baik.
            Kami pindah ke rumah sederhana yang terdiri dari dua lantai yang baru ayah sewa sementara. Kami merasa tidak keberatan ketika melihat rumah sebelah kami semuanya besar dan tidak ada yang sesederhana kami. Ayah memutuskan untuk menggunakan lantai satu sebagai tempat ayah bekerja membuat perabotan rumah tangga dari kayu dan lantai dua digunakan untuk tempat tinggal kami berdua. Berhari-hari kiriman kayu ayah dari kota terpencil sampai dengan selamat tanpa ada yang rusak. Hari semakin hari pesanan perabotan dari kayu semakin banyak dan pendapatan ayah juga semakin bertambah. Ayah memutuskan untuk mendaftarkanku di SMA swasta ternama di daerah Jakarta Pusat dekat tempat tinggalku.
            Satu bulan kemudian aku akan masuk sekolah. Waktu yang cukup lama untuk berdiam diri di rumah. Hatiku tergerak oleh belas kasihan pada ayah yang harus menanggung biaya cukup besar untuk kehidupan sehari-hari kami berdua. Aku memutuskan untuk membuat kerajinan tangan dari sisa pahatan kayu ayah berupa gantungan kunci, tempelan kulkas, pin, ataupun benda kecil lainnya yang bisa dijual di pasar dekat kami tinggal. Selama liburan, pada pagi hari aku akan berjualan di pasar tradisional dan pada malam hari aku akan berjualan di pasar malam, sedangkan siang dan sore hari aku akan membuat kerajinan tangan.
            Ayah mendukung usahaku itu dengan membelikanku sepeda untuk memudahkanku dalam pergi ke pasar karena jarak antar rumah dan pasar bisa dibilang cukup jauh. Dua minggu sudah tak terasa aku berjualan seperti ini. Penghasilan yang aku dapatkan juga lumayan dan aku bisa membantu ayah untuk membiayai kebutuhan pangan sehari-hari. Ayah bangga dengan usahaku karena aku memberanikan diri untuk berjaualan di tempat asing yang belum terlalu kukenali. Aku mulai tidak memikirkan kenangan di kota terpencil itu, melainkan pikiranku fokus pada kehidupan yang ada di Jakarta sekarang.
            Sekarang sudah saatnya aku masuk sekolah dan memulai pertemanan yang baru. Aku pergi ke sekolah sendiri menggunakan sepeda yang ayah berikan. Aku tidak bisa apa-apa disini. Aku malu untuk berkenalan dengan orang disini. Kebanyakan murid di sekolah ini diantar orang tuanya menggunakan mobil. Tetapi aku tidak malu untuk pergi ke sekolah naik sepeda. Aku sadar bahwa Jakarta ini memang terkena dampak globalisasi yang cukup besar dalam segala hal. Aku juga yakin aku tidak akan tahan untuk menunggu sampai jam 12 siang nanti ketika bel tanda pulang sekolah bordering.
Aku memberanikan diri untuk menyapa orang yang pertama kali kulihat di depan gerbang sekolah dan aku tidak mementingkan kelas berapa dia. Menurutku yang terpenting aku kenal dengan salah satu orang di sekolah ini. Dia menyapaku juga. Terlihat dari senyumannya yang membuat orang bisa menyimpulkan bahwa dia orang yang ramah dan murah senyum. Aku berkenalan dengannya dan mulai memberi tahu tentang diriku. Kali ini aku tidak memberi tahu aku tinggal dengan siapa agar dia tidak bertanya tentang ibu, agar aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar, dan agar aku tidak perlu mengingat kenangan yang dulu.
            Senang ketika mendengar bahwa dia juga pindahan dari kota terpencil yang berbeda. Kota terpencil memang banyak di Indonesia, tetapi kota yang cukup maju sedikit di Indonesia. Namanya Hanna, dia anak dari orang tua yang keturunan Inggris. Neneknya dulu pindah ke kota terpencil karena menghindari pertempuran di kota-kota besar dan melahirkan ayah Hanna di kota terpencil itu. Ayah Hanna menikah dengan seorang wanita keturunan asli Indonesia dan melahirkan Hanna. Walaupun keturunan Inggris, Hanna bisa berbicara Bahasa Indonesia dengan lancar. Secara fisik, Hanna terlihat seperti orang sakit karena badannya kurus, kulitnya putih, dan sedikit bungkuk. Kami mulai berkenalan sambal berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Ketika melihat kertas pembagian kelas, kami sangat senang. Kami sekelas di sekolah ini dan aku senang aku bisa mempunyai teman baru.
            Aku dan Hanna berkeliling sekolah untuk mengetahui seluk beluk sekolah baru kami. Kami melihat seorang laki-laki yang sedang berjalan sendiri. Kami menyapanya dan mengajaknya berkenalan. Namanya Sam dan ia memiliki keunikan tersendiri. Aku dan Hanna sudah yakin betul bahwa Sam juga sekelas dengan kami kaeran kami hafal betul nama-nama murid yang akan sekelas dengan kami di kelas 10.2. Sam selalu memakai topi yang bertuliskan namanya. Dia memakai topi itu mungkin agar orang mengenalnya dengan mengetahui namanya. Dia selalu membuat lelucon yang bisa menghibur orang termasuk aku dan Hanna.
            Kegiatan awal tahun ajaran di SMA ini cukup unik. Keunikannya yaitu pada tugas dan tantangan yang diberikan. Entah menurutku tugas ini aneh karena kita harus berinteraksi dengan kakak kelas dengan meminta tanda tangan mereka sebanyak-banyaknya. Tugas yang cukup aneh dan tidak ada hubungannya dengan pelajaran sekolah. Mungkin memang perkembangan globalisasi yang pesat di Jakarta sehingga tugas yang diberikan juga sesuai tren dari negara lain. Kami diminta untuk mengumpulkan tanda tangan itu pada waktu istirahat, tepatnya pada pukul 9.00 sampai 10.00 pagi. Isitirahat satu jam yang membingungkan untuk mencari kegiatan yang harus diluangkan saat waktu istirahat selain meminta tanda tangan.
            Saat ini belum waktunya istirahat. Kami, siswa dan siswi SMA baru di sekolah ini diberi penjelasan lanjut tentang organisasi sekolah, peraturan-peraturan yang ada, dan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di sekolah ini. Senang rasanya mendengar banyak kegiatan yang akan dilaksanakan. Aku hanya terbanyang oleh kegiatan yang ada. Aku tidak memikirkan hal-hal lain seperti peraturan di sekolah ini dan yang hanya aku dengarkan secara tiba-tiba adalah bel istirahat.
            Aku, Hanna, dan Sam bergegas mencari tanda tangan sebanyak-banyaknya. Kami bertemu dengan kakak kelas yang memiliki karakteristik yang berbeda. Ada yang baik, ada yang sombong, ada yang ramah, ada yang usil, ada yang pelit, ada yang eksis, dan bahkan ada yang kutu buku. Itulah sekolah. Sekolah adalah tempat dimana berbagai orang yang memiliki karakteristik yang berbeda dikumpulkan untuk mencari ilmu dan pelajaran yang berguna untuk masa depan.
Kami juga bertemu dengan kakak kelas yang mukanya terlihat pucat. Ingin aku menanyakan keadaannya, tetapi malu untuk bertanya. Seperti itulah sifatku sejak dulu, seorang pemalu yang tidak berani berbuat apa-apa. Kami ingin mengenalnya sebatas kakak dan adik kelas, tetapi kami ragu dan hanya meminta tanda tangan darinya. Kami menghampirinya meski ketiga dari kami sama-sama takut untuk berbicara dengannya, apa lagi meminta tanda tangannya. Sam memberikan lelucon garing yang berhasil membuat kakak kelas itu tersenyum manis. Aku melanjutkan percakapan dengan meminta tanda tangannya. Ia mulai menanda-tangani buku kami dan menuliskan kata-kata penyemangat.
            Kami bertiga sudah mengumpulkan banyak tanda tangan. Mungkin sebanyak ribuan daun yang ada di pohon cemara yang tertanam di taman sekolah dan sebanyak senyumanku ketika aku teringat kakak kelas yang terlihat pucat itu. Tanda tangan yang ada di buku ini tidak hanya penuh dengan garis bertinta hitam, tetapi juga penuh dengan makna tersirat. Aku selalu memandangi tanda tangan orang yang membuatku tersenyum. Aku senang melihat tanda tangannya walaupun tanda tangannya simpel.
            Bel tanda selesai istirahat berbunyi. Kami berlari menaiki puluhan anak tangga dari lantai satu ke lantai tiga dan berlari dari ujung ke ujung untuk sampai ke aula. Untungnya kami tidak terlambat. Selanjutnya ada sesi perkenalan antara teman-teman sekelas. Kami boleh ke kelas kami masing-masing dan berkenalan satu sama lain. Kelas ini bisa membuatku nyaman walapun siswa-siswi di kelas ini tergolong anak yang hiperaktif kecuali aku.
            Tak terasa jam dinding yang terpasang di bagian depan kelas sudah menunjukkan pukul 12 siang. Waktu pasti terasa berjalan begitu cepat ketika kita menghabiskan waktu bersama orang yang bisa membuat kita tersenyum dan tertawa bahagia. Waktu seolah berlari. Seandainya waktu hanya bisa berjalan merangkak, aku pasti akan sangat senang karena aku bisa menghabiskan hari-hari dengan keceriaan bersama teman-teman di sekolah.
            Aku pulang sekolah dengan sepeda kesayanganku. Aku menyebutnya ini kesayangan karena ini pertama kalinya aku punya kendaraan berupa sepeda ontel. Aku mengendarai sepeda seperti orang aneh. Sepanjang perjalanan ke rumah, aku tersenyum membanyangkan hal yang tidak kuketahui dengan jelas. Pikiranku hanya penuh dengan kebahagiaan. Mungkin aku tidak akan menyesal untuk pindah ke kota, karena aku bisa melupakan kengangan dulu bersama orang-orang yang kusayangi.
            Ketika sampai di rumah, ayah heran melihatku bahagia seperti ini. Kata ayah aku tidak pernah senyum selebar ini. Ayah mulai meletakkan perkakas untuk membuat perabotan dan mengalihkannya dengan menanyakkan beberapa pertanyaan padaku. Aku menceritakan kejadian hari ini di sekolah yang tak akan kulupakan. Aku tahu ayah akan senang jika aku juga senang dan pasti ayah tidak akan melarangku untuk mencari teman sebanyak-banyaknya.
            Siang, sore, dan malam hari aku lewati dengan membersihkan diri, membuat kerajinan tangan, membersihkan rumah, memasak, makan, dan berjualan. Aku tidak sabar untuk berjualan dan bertemu pelanggan. Entah mengapa hari ini aku bersemangat sekali. Ingin rasanya menghibur anak-anak yang biasanya membeli gantungan kunci dengan lelucon yang tadi dilontarkan Sam. Tetapi sepertinya aku buka tipe orang yang suka melawak seperti itu. Setiap aku teringat lelucon Sam dan aku selalu teringat pada kakak kelas yang bewajah pucat tadi.
            Aku pulang membawa hasil yang membuat ayah senang kali ini. Ayah menyuruhku untuk menabung hasil yang aku dapatkan untuk membeli barang yang akan aku butuhkan dan memintaku untuk segera beristirahat malam ini.
            Alarm berbunyi tanda sudah pukul lima pagi. Aku bersiap-siap sebelum sekolah. Aku mengetuk pintu kamar ayah dan menemukan ayah yang tertidur pulas. Sepertinya ayah tidur larut malam semalam dan terlihat sangat kelelahan karena harus membuat pesanan yang banyak. Aku senang usaha ayah belakangan ini maju, tetapi aku tidak tega melihat ayah yang terlalu lelah dalam bekerja. Aku membiarkan ayah yang tertidur dengan pulas. Aku pergi ke dapur untuk memasak sarapan untuk ayah. Setelah memasak, aku menulis surat kecil untuk ayah yang isinya aku pamit pergi ke sekolah. Kali ini aku tidak mengendarai sepeda ontelku, aku memilih untuk berjalan kaki.
            Sesampainya di sekolah, aku menghampiri Hanna yang sudah menungguku di depan pintu gerbang sekolah. Kami menuju kelas kami yang ada di lantai dua. Saat berjalan ke kelas, aku melihat kakak kelas berwajah pucat itu. Ia memasuki kelas 11.3. Sekarang aku tahu bahwa kelasku dan kelasnya bersebelahan. Tak terasa aku dan Hanna sudah sampai di kelas. Kelas kali ini sepertinya membosankan karena sesi pelajaran sudah berjalan sesuai dengan jadwal hari ini dan hari ini kami pulang lebih siang.
            Setelah beberapa menit pelajaran pertama dimulai, aku bosan dan aku menguap karena pelajaran pertama adalah pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah adalah pelajaran yang tidak kusukai karena banyak yang harus dihafal. Aku memutuskan untuk mencuci muka di wastafel yang ada di depan toilet. Aku bertemu dengan kakak kelas yang berwajah pucat itu saat aku sedang berjalan ke arah wastafel. Mungkin dia juga mau mencuci mukanya, pikirku.
            Aku tahu, namanya Farel. Aku tahu dari orang yang memanggilnya dan menanyakan keadaannya saat aku sedang berjalan ke arah wastafel yang ada di depan toilet. Aku memberi sapaan berupa senyuman padanya dan dia tersenyum juga. Aku tidak tahu apakah ia masih mengenaliku apa tidak. Aku mulai memasuki toilet dan aku bisa mendengar suara jeritan kesakitannya dari wastafel depan toilet karena toilet wanita dan laki-laki bersebelahan. Walaupun hanya kakak kelasku, aku takut terjadi apa-apa di toilet. Aku berpura-pura mencuci tanganku dengan lama. Aku memutuskan untuk mengikutinya berjalan sampai kelas dengan selamat dan aku berharap ia tidak lecet sedikitpun.
            Selama pelajaran, aku selalu memikirkannya. Dalam benakku timbul tanya. Mungkinkah dia sedang sakit ringan? Atau bahkan dia memiliki penyakit yang sulit untuk disembuhkan? Penjelasan guru sejarah aku lewati. Pertanyaan ragu yang membingungkan tentang Farel selalu kuingat. Rasa penasaranku semakin mendalam sehingga aku memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang dia. Aku ingin peduli tetapi aku malu untuk bertanya tentang penyakitnya. Kupendam dalam-dalam rasa keingin-tahuanku ini.
            Hari-hari di sekolah berjalan dengan baik. Farel orang yang baik. Kuketahui itu ketika aku melihat orang yang terjatuh dan Farel membantu orang itu berdiri. Kebaikan Farel selalu kuingat dan membuatku ingin tahu lebih dalam tentang dia. Farel selalu membuatku tersenyum dan ia selalu bisa mengalihkan perhatianku.
            Berminggu-minggu aku menjalani sekolah dengan baik, tetapi keraguanku tentang Farel muncul, Sudah lama aku tidak melihatnya di sekolah. Apakah ia di rawat di rumah sakit? Aku juga tidak tahu dan aku hanya bisa berharap ada berita heboh muncul tentang dia. Aku bingung mengapa aku terus memikirkannya. Aku bukan siapa-siapanya dan aku bukan temannya. Apakah ini yang namanya cinta?
Aku tidak tahu mengapa rasa ini timbul. Berawal dari tatap, tawa, dan kenangan indah di hari pertama masuk sekolah saat aku meminta tanda tangannya. Hanya sebatas menganguminya, tetapi bertambah menjadi entah apa rasa yang sedang kurasakan ini. Entah mengapa rasa ini timbul secara tiba-tiba yang membuatku ingin memiliki dia, tetapi menurutku hal ini tidak mungkin terjadi karena dia tidak mungkin bisa dekat denganku. Aku membiarkan semuanya berjalan walaupun rasa ini bertambah. Dia telah membuatku luluh. Dia telah membuatku senang. Dia telah menyapu seluruh isi hatiku dan menggantinya dengan isi hatinya. Senyumnya membuatku terus tersenyum.
            Aku menceritakan isi hatiku pada Hanna. Kata Hanna aku jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi menurutku aku jatuh cinta pada pandangan kesekian kalinya karena rasaku padanya selalu bertambah setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik. Semakin diingat, kecepatannya semakin bertambah.
Telah kuketahui bahwa Farel sudah jatuh di hati orang lain. Aku tahu sebelum Farel sakit, ia mempunyai hubungan dengan teman perempuan yang sekelas dengannya. Aku mengetahui hubungan itu, tetapi aku tetap meneruskan perasaan ini. Aku orang yang tidak berpengangalam dalam hal ini karena aku baru pertama kali merasakan apa itu cinta.
Aku ingin berusaha mundur tetapi hati ini berusaha untuk maju. Harus senang atau sedih memaksakan hati ini untuk jatuh pada hati seseorang yang tidak mungkin aku miliki. Aku selalu merindukan dia, dia yang sudah berbulan-bulan tidak masuk sekolah. Apakah ia sakit? Apakah ia pindah ke luar kota? Rasa penasaran ini memaksa untuk dijawab, tetapi rasa malu mengalahkannya. Aku harus mengakuinya aku tak mampu untuk meneruskan rasa ini. Semakin diingat, semakin sakit rasanya karena aku selalu berpikir dia tidak mungkin berpisah dengan kekasihnya. Aku juga berpikir bahwa dia tidak akan kembali ke sekolah ini lagi.
Sedih untuk berpindah hati. Sedih untuk mencari yang baru. Sedih ketika jatuh untuk kesekian kalinya ketika harus kehilangan orang yang kita sayangi. Sedih saat harus meninggalkan rasa ini. Pedih ketika rindu untuk bersama dengannya tidak bisa terungkap. Rasanya aku ingin membuat dia berpisah dengan kekasihnya, tetapi hal itu tidak mungkin kulakukan untuk kesenangan diriku saja dan aku ingin dia kembali ke sekolah ini.
Hanna dan Sam mengetahui isi hatiku. Mungkin mereka bisa melihatnya dari wajahku yang sedih ketika aku merindukan Farel. Ada apa dengan hati ini. Hati ini terus mempengaruhi wajah untuk bersedih. Seharusnya bibir ini bisa tersenyum untuk menutupi kesedihan, tetapi mengapa bibir ini bekerja sama dengan hati. Hanna dan Sam selalu menghiburku dengan lelucon yang mereka buat. Aku terhibur walaupun hanya sementara. Aku tersenyum walaupun hanya beberapa menit.
Ayah juga melihat kesedihanku akhir-akhir ini. Aku tidak bisa menceritakan semua ini pada ayah. Aku kasihan pada ayah yang harus merasakan kesedihanku juga, padahal penderitaan ayah yang harus menanggung banyak biaya keperluan sehari-hari. Aku tidak ingin merepotakan ayah dan aku masih berusaha untuk terlihat senang di depan ayah. Aku tidak ingin orang yang aku sayangi sedih karena harus merasakan kesedihanku juga.
Semester satu telah berlalu kujalani bersama orang terdekatku. Aku selalu menghabiskan waktu di sekolah bersama Hanna dan Sam. Mereka ada di saat aku membutuhkan mereka. Satu untuk semua dan semua untuk satu. Itulah komitmen kami dalam menjalankan pertemanan. Kami saling mendukung satu sama lain. Kami saling membantu dan kami selalu melakukan kegiatan bersama-sama dengan bahagia.
Liburan tengah semester kujalani seperti liburan kenaikan kelas waktu itu. Selama liburan aku bermain ke rumah Hanna atau ke rumah Sam. Aku sepertinya mengganggu kebersamaan Hanna dan Sam. Aku tahu Sam mempunyai perasaan yang lebih dari teman pada Hanna. Aku ingin menjauhi mereka karena aku takut membuat Sam gagal, tetapi aku tidak bisa jauh dari teman-teman yang sudah cukup lama kukenal. Aku tidak bisa untuk meninggalkan orang dan mencari teman yang baru karena aku orang yang pemalu.
1 Januari tanggal Hanna dan Sam jadian. Aku senang mendengar berita itu. Aku masih dekat dengan mereka, tetapi aku terkadang merasa aku tidak boleh terlalu dekat dengan salah satu dari mereka karena aku takut aku membuat mereka berpisah.
Hari pertama masuk sekolah di semester kedua. Aku terkejut ketika melihat Farel berjalan bersama kekasihnya. Senang bercampur aduk dengan kesedihan. Aku terharu ketika melihat Farel datang ke sekolah, tetapi aku juga sedih melihatnya berjalan bersama kekasihnya itu. Aku sedih harus melihat Farel bahagia dengan kekasihnya.
Badanku sakit sekali. Aku terjatuh dari tempat tidurku. Aku tiba-tiba terbangun dari tidur nyenyakku. Ternyata semua itu hanyalah mimpi. Aku bermimpi tentang Farel yang masuk sekolah di semester dua. Aku melihat ke arah jam dinding dan waktu menunjukkan pukul 06.08 pagi. Aku terlambat bangun dan langsung bergegas untuk bersiap-siap ke sekolah. Aku pamit pada ayah dan langsung naik sepeda ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, aku merasakan kebahagiaan yang tiba-tiba terasa, Aku berjalan ke kelasku sendiri. Kali ini aku tidak berjalan bersama Hanna karena Hanna pasti jalan bersama Sam ke kelas. Aku melewati kelas Farel dan mengintip kelas itu. Aku tidak menemuka Farel di kelas itu. Bel masuk sekolah sudah bernyunyi dan aku masih memikirkan Farel. Air mata menetes dari mata secara tiba-tiba. Tidak tahu penyebabnya apa dan aku rasa air mata ini akan jatuh dengan deras.
Aku segera izin ke toilet, Aku berharap sekali aku bisa melihat Farel. Keinginanku terwujud. Mimpiku menjadi kenyataan walaupun kejadiannya berbeda. Aku melihat Farel dan aku memberikan senyum terbaikku padanya. Senang rasanya ketika bertemu dengan orang yang selama ini kutunggu-tunggu. Serasa dunia ini memberikan waktu yang lama untuk orang itu muncul. Farel juga memberikan senyumnya untukku, tetapi aku tahu senyum itu bukan senyum terbaiknya karena aku tahu senyum terbaiknya hanya untuk kekasihnya itu.
Aku mendengar berita bahwa ternyata selama ini Farel tidak masuk karena ia sakit. Aku tidak tahu apa penyakitnya, tetapi aku masih khawatir padanya. Apakah penyakitnya keras jadi ia tidak masuk ssekolah selama berbulan-bulan? Rasa malu ini mulai dikalahkan oleh rasa penasaranku. Secara tiba-tiba hati ini memaksa pita suara untuk mengeluarkan suara berupa pertanyaan yang menunjukkan perhatian. Aku mananyakan kabaranya dan aku bertanya mengapa ia tidak masuk sekolah berbulan-bulan. Kali ini aku memberanikan diriku karena aku tahu cinta tidak ada artinya tanpa perbuatan dan tanpa keberanian.
Farel menjawabku dengan penuh perhatian. Aku merasa senang mendengar jawaban Farel. Farel melihat air mata yang menetes dan membasahi wajahku. Farel memintaku untuk tidak usah mengkhawatirkannya. Aku membalasnya dengan senyuman. Aku tahu Farel orang yang baik sehingga ia tidak mau ada orang yang sedih karena memikirkan kesehatannya. Farel hanya memberi tahu bahwa ia sakit keras dan ia masih harus menjalani beberapa pengobatan lagi di luar negeri.
Farel meninggalkanku dan ia segera ke toilet. Aku juga masuk ke toilet karena aku ingin berusaha untuk berhenti memikirkannya dan berusaha menghentikan air mata ini. Hati memang tidak bisa dipaksakan untuk berhenti menyayangi orang yang sudah kita sayangi.
Aku iri melihat Farel bersama kekasihnya, Aku tahu memang sesama manusia tidak boleh iri terhadap orang lain. Tetapi aku berharap aku yang ada di posisi kekasihnya itu, Aku berharap untuk memimpikan Farel putus dengan kekasihnya agar bisa menjadi kenyataan seperti mimpiku semalam yang menjadi kenyataan. Berhari-hari aku memikirkan itu dan aku selalu berdoa agar permintaanku ini bisa terwujud.
Tuhan memang baik. Ia mendengar dan menjawab doaku setiap malam. Setelah beberapa hari aku mendengar berita bahwa Farel putus dengan kekasihnya itu. Aku juga tahu dari kejadian yang ada di sekolah. Farel tidak lagi berjalan dengan kekasihnya dan kesedihan terpancar dari wajahnya. Aku senang sekaligus sedih karena melihat kesedihan Farel. Mungkin kekasihnya itu tidak bisa meneruskan hubungan jarak jauh karena sebentar lagi Farel akan ke luar negeri untuk menjalankan pengobatan untuk kesembuhan penyakitnya.
Berbulan-bulan Farel tidak masuk sekolah dan aku tidak menghiraukan kesedihan itu. Aku yakin Farel pasti akan membawa kesehatan yang baik untuk tubuhnya, Farel pasti akan sembuh. Selama berbulan-bulan hati ini terus bertanya-tanya mengapa banyak teka-teki yang ada untuk mencari satu jawaban dan satu solusi tentang masalah cinta ini. Aku tidak tahu mengapa cinta begitu kuat dan bisa mengubah segalanya.
Cinta bisa mengubah teman menjadi lebih dari teman seperti Hanna dan Sam. Cinta bisa berubah menjadi kecewa ketika tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Cinta juga bisa membuat waktu seolah berjalan lebih cepat. Tak terasa pula akhir semester dua ini sudah terlewati. Aku naik kelas dan aku senang mendengar berita aku bisa naik kelas dengan prestasi yang cukup bagus.
Aku membesarkan mataku ketika melihat papan pengumuman pembagian kelas yang ada di lapangan sekolah. Aku terkejut. Aku tidak mempercayainya. Farel sekelas denganku di 11.3. Farel ternyata tidak naik kelas karena ia tidak masuk sekolah dalam waktu yang lama. Aku senang melihat pengumuman itu, tetapi aku juga sedih karena Farel harus mengulang pelajaran karena ia tidak naik kelas. Hanna dan Sam juga masuk di kelas yang sama sepertiku dan Farel.
Liburan kenaikan kelas juga kuhabiskan untuk mencari penghasilan seperti dulu. Sekarang pekerjaan ayah menjadi lebih santai karena saat ini orang kota tidak memerlukan banyak perabotan yang terbuat dari kayu, Mungkin orang kota banyak yang lebih memilih untuk menggunakan perabotan yang terbuat dari plastik. Walaupun penghasilan ayah berkurang, aku senang karena ayah bisa beristirahat cukup setiap hari.
Aku melakukan kegiatan seperti dulu, dan beberapa hari aku beristirahat dan mencari kesenangan dengan bermain ke rumah Hanna atau Sam. Aku tahu aku mengganggu kebersamaan mereka, tetapi aku tidak bisa untuk tidak menghabiskan waktu liburan tanpa orang-orang terdekatku.
            Liburan yang sangat menyenangkan. Aku membayangkan aku dekat dengan Farel di kelas 11 nanti. Hari pertama masuk sekolah adalah hari yang sangat kutunggu-tunggu. Tak terasa besok hari pertama masuk sekolah di kelas 11. Aku tidur lebih cepat pada malam hari karena kau ingin bangun lebih pagi besok.
            Hari yang cerah untuk memulai kegiatan adalah hari yang kunantikan. Aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Aku memutuskan untuk tidak naik sepeda. Dari kejauhan aku melihat Farel yang terlihat sudah siap berada di kelas barunya. Aku tidak tahu dia bahagia karena apa, yang terpenting aku juga bahagia kalu dia bahagia. Itulah arti cinta sebenarnya menurutku. Rela berkorban adalah sifat yang sulit utuk diungkapkan, tetapi mudah untuk dikatakan.
            Aku segera menuju kelasku di lantai 3. Kali ini aku berusaha untuk menyapa Farel dengan keberanian. Farel menyapaku. Kami berkenalan dan mulai memberi tahu tentang identitas kami masing-masing. Teman-teman sekelas yang lain tidak mau mendekati Farel karena penyakitnya yang membuat orang takut untuk tertular. Kuketahui ia mengidap penyakit Hirschprung, penyakit bawaan sejak lahir. Penyakit ini memang tidak bisa menular melalui sentuhan. Entah mengapa teman-teman sekelas tidak berani mendekatinya. Hanya aku yang mau mendekati Farel. Aku tahu rasanya dijauhi orang walaupun aku tidak pernah merasakannya sebelumnya.
            Penyakit Hirschprung yang diderita Farel membuatnya sangat menderita. Penyakit itu tidak bisa dicegah karena dalam usus tidak terbentuk saraf. Penyakit ini membuat ususnya harus dioperasi karena jika tidak dioperasi akan menyebabkan kerusakan pada usus. Aku tidak menyangka orang sebaik Farel juga bisa terkena penyakit seperti itu.
            Kali ini aku melihat Farel bisa tersenyum ketika ia berasa di sampingku. Aku menghabisakan waktu di sekolah bersamanya dan Farel tergabung dalam pertemananku dengan Hanna dan Sam. Kami saling bercanda bersama. Kami mengingat kenangan satu tahun yang lalu ketika kami masih menjadi kakak dan adik kelas. Aku masih menyimpan tanda tangan Farel dan aku selalu meletakkannya di tas sekolahku.
            Aku semain dekat dengannya dan aku lebih sering menghabiskan waktu dengannya dibanding dengan Hanna atau Sam. Aku senang aku bisa dekat dengannya, tetapi hati terlalu takut untuk disakiti lagi. Aku tidak bisa meninggalkan kenangan begitu saja. Untuk kesekian kalinya hati ini ragu. Hati tidak mau disakiti karena ditinggal. Aku bukan tipe orang yang mudah berpindah hati dan beradaptasi dengan lingkungan baru.
            Aku tahu penyakitnya masih melekat dalam dirinya dan aku juga tahu penyakit itu tidak bisa lepas dari tubuhnya, apa lagi penyakit itu sudah ada sejak lahir. Kutatap matanya sedalam mungkin sampai menembus bagian mataku yang paling dalam. Aku selalu senyum jika aku berada di dekatnya. Aku ingin dia tetap bersamaku dan aku berharap dia bisa menjadi teman hidupku. Aku mulai merasakan kesempurnaan cinta yang ada.
            Kulewati kisah di sekolah bersamanya. Dengan senang aku berteman dengannya dan menganggap hubungan kami hanya sebatas teman, walaupun aku berharap lebih dari teman. Semua kejadian yang ada kulewati dengan tersenyum. Senyum adalah semua jawaban dari masalah yang ada. Menerima keadaan yang ada merupakan hal yang sulit karena terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
            Farel menceritakan keluhannya akhir-akhir ini. Penyakitnya memang tidak bisa disembuhkan. Aku lebih sakit daripada Farel. Hati ini sulit menerima kesakitan orang yang disayangi. Aku tidak mau lagi kehilangan orang yang dekat denganku. Aku mau semua kenangan yang ada tetap terjadi di masa yang akan datang.
            Setelah menjalani beberapa pengobatan, penyakit itu bertambah parah. Parah sampai membuat hati ini juga terluka. Kali ini Farel tidak dirawat di rumah sakit di luar negeri. Farel dirawat di rumah di daerah Jakarta Pusat. Ia sudah lama tidak masuk sekolah. Aku merindukannya dan setiap sore setelah pulang sekolah aku, Hanna, dan Sam berusaha untuk menjenguknya.
            Berada di sampingnya selalu membuatku tenang. Aku tidak tahu kapan aku bisa bersamanya lagi di masa yang akan datang. Aku berharap aku bisa menghabiskan waktu bersamanya berdua. Aku meminta padanya untuk memberikan waktunya satu jam saja untuk bersenang-senang denganku. Aku tahu waktu ini bukan waktu yang tepat untuk Farel untuk bersenang-senang karena besok ia akan menjalani operasi.
            Aku, Farel, Hanna, dan Sam pergi ke sebuah tempat bermain di pusat kota untuk menghabiskan waktu satu jam bersama tanpa ada yang mengganggu. Penyakit Farel kambuh ketika kami dalam perjalanan. Mendadak Farel berhenti bergerak dan ia terbata-bata dalam mengucapkan suatu kalimat. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku bukan seseorang yang tahu tentang pertolongan pertama.
            Farel tiba-tiba tertidur. Aku membiarkannya tertidur mungkin karena dia kelelahan memikirkan penyakitnya yang sulit disembuhkan. Ketika sampai di tempat bermain, aku membangunkanya. Dia juga tidak terbangun. Air mataku menetes. Aku tahu dia sudah tiada. Aku tidak mendengarkan detak jantungnya dan aku tidak merasakan denyut nadinya.
            Aku sekarang bisa merasakan akhir dari segala kebahagiaanku. Kesedihan adalah jawabannya. Aku tidak memaksa diriku untuk bahagia, tetapi aku memaksa untuk merasakan apa itu cinta. Cinta telah mengubah segalanya. Sekarang cinta berubah jadi kesedihan. Kesedihan yang kurasakan sangatlah pedih. Aku tidak tahu apakah aku harus memulainya dari awal lagi atau tidak.
            Banyak orang yang berkata bahwa jodoh pasti bertemu, jodoh pasti ada karena sudah direncanakan Tuhan. Menurutku jodohku adalah Farel. Dia yang hanya sebatas teman sekelasku dan dia yang selalu membuatku tersenyum. Aku memang sudah tidak bisa berharap. Aku sudah terjatuh untuk ketiga kalinya, tetapi aku tidka tahu aku masih bisa bangkit atau tidak. Jatuh bangun dalam hidup itu wajar, tetapi bangkit ketika kita tersakiti itu hal yang luar biasa.
            Tidak ada yang bisa dilanjutkan dan tidak ada yang bisa dipaksakan. Cinta memang tidak bisa disalahkan karena mereka memang tidak salah. Hati yang harus disalahkan karena hati yang memilih. Itu menurutku. Entah apa pendapat orang tentang cinta dan hati. Aku cinta dia dan aku tidak ingin ada yang menggantikannya. Cinta memang tidak harus dimiliki, tetapi cinta itu harus dirasakan.
Begitu banyak kisah yang ada di dalam hidupku ini. Begitu banyak kebahagiaan di dalam hidup ini, tetapi juga ada kesedihan di dalam hidup ini. Begitu banyak pengorbanan yang harus dilakukan di hidup ini. Begitu banyak kenangan yang ada di dalam hidup ini. Apakah hidupku hanya akan menjadi sebatas kenangan juga? 



Dia Mimpi Burukku
Oleh Jerhemy Owen 9A

A
cara perpisahan SMP (Sekolah Menengah Pertama) telah dilewati, banyak yang menangis haru karena berpisah dengan teman yang pindah sekolah. Aku, yang ditinggal teman-teman dekatku mulai merasa kesepian yang amat berat. Aku takut tidak memiliki teman-teman sebaik dan sedekat teman SMP-ku.
***

            Liburan kelulusan SMP telah usai, murid-murid harus melewati MOS (Masa Orientasi Siswa) terlebih dahulu untuk memulai kelas 10, termasuk diriku. Aku yang dulu periang dan menyenangkan menjadi berubah di SMA. Mungkin murid-murid lainnya berpikir bahwa Aku adalah orang yang cupu, pendiam, dan membosankan. Namun, aku tak mempedulikan hal itu. Sampai akhirnya di MOS kedua, aku dikejutkan oleh teman satu kelasku yang bernama Julio dan Gibran  
“Hai! Siapa namamu?”
 “Hei! Aku Jeni, Jenifer Denila” balasku padanya.
Aku sangat kaget sewaktu mereka ingin berkenalan denganku. Ternyata ada juga orang yang ingin berteman dengan diriku. Walaupun mereka adalah laki-laki, tetapi Aku senang bahwa Aku telah mempunyai teman di kelas 10 ini. Sejak berkenalan saat itu, kami menjadi teman yang cukup dekat. Aku kembali bersemangat untuk menjalani masa-masa kelas 10. Akan tetapi, itu tak berlangsung lama bahkan hanya seminggu. Mereka tiba-tiba meninggalkanku dan menganggap Aku tidak ada. Aku  tidak tau jelas mengapa mereka meninggalkanku, mungkin karena Aku bukanlah teman yang baik dan semenarik yang lain.
            Kesepian kembali menemaniku. Aku kembali menyendiri dan tidak mempunyai teman. Sewaktu jam istirahat, Aku duduk di meja kantin dan melihat Julio dan Gibran sedang duduk bersama dua teman barunya yang juga wanita. Hatiku cukup sakit melihat hal itu. Hampir setiap jam istirahat Aku melihat mereka berkumpul dan makan bersama. Mereka makan sambil mengobrol, bersenang-senang, dan tertawa. Sementara Aku, hanya duduk sendiri sambil meratapi nasib, bagai istri yang sakit hati karena baru diceraikan oleh suaminya. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin mempunyai teman lagi. Aku ingin bersenang-senang dengan teman-temanku. Namun, tampaknya mereka akan menjauh dariku.
            Tiba-tiba, ada seorang laki-laki mendekat ke meja tempat aku makan. Aku tau, ia juga tidak memiliki teman dan aku tidak tahu alasan di balik itu. Aku juga tak mau memikirkan hal itu. Kami pun akhirnya berkenalan. Namanya Gani, Gani Jonatan Gunawan. Menurutku ia orang yang cukup baik dan menarik karena ia bisa menghiburku. Setidaknya ia mau menjadi temanku dan dapat menghiburku supaya tidak bosan seharian di sekolah.
***
Seiring waktu berjalan, Aku dan Gani menjadi teman yang begitu dekat dan tidak dapat terpisahkan bagai mentega dengan roti. Aku tidak mempunyai teman lain sedekat Gani, begitupun dengan Gani. Sepulang sekolah, Gani mengajakku pergi ke warung depan yang bertuliskan “Warung Tekal”, yang baru-baru ini kuketahui itu singkatan dari Warung Tepi Kali. Kami mengobrol bersama mengenai orang-orang populer di sekolah yang mempunyai banyak teman. Sekali-kali Aku berpikir dan mengatakan pada Gani bahwa Aku ingin berteman dengan mereka supaya mempunyai banyak teman. Tetapi tiap kali Aku membicarakan soal ini, Gani selalu saja menjelek-jelekan mereka dan mengatakan bahwa mereka hanya dapat menguras duit orang tua.
            Karena Aku dan Gani sangat lapar, kami langsung pesan indomie saja di Warung Tekal. Gani mengatakan bahwa ia akan menraktirku karena Aku mendapatkan nilai yang cukup baik di mata pelajaran matematika. Gani memang orang yang baik. Entah mengapa, tidak ada orang yang mau berteman dengannya. Ia selalu dijauhi oleh teman-teman sekolahnya karena mereka mengatakan bahwa Gani mempunyai sifat yang aneh dan mengerikan. Aku tidak mengerti apakah keanehan dan sifat apakah yang membuat orang lain mengecap Gani sebagai orang yang mengerikan. Karena sejauh ini, Aku berteman dekat dengannya dan merasakan nyaman berada di dekatnya.
***
Saat liburan tengah semester pertama, Gani mengajakku main ke rumahnya untuk pertama kalinya. Aku agak khawatir karena ini pertama kali Aku pergi ke rumah teman laki-laki dan hanya kami berdua. Tetapi karena aku percaya bahwa Gani adalah teman dekatku, Aku menurut padanya untuk pergi ke rumahnya. Lagipula kita tidak seharusnya mempunyai pikiran yang negatif pada teman dekat kita bukan?
            Rumah Gani berada jauh di luar kota, di sekitarnya sangatlah sepi seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Tampak depan rumahnya sangatlah mewah, tetapi sudah cukup tua. Sesampai di dalam rumahnya, Aku sangat kaget, rumah ini sangat kosong dan terkesan tidak ada yang mengurusi. Debu yang tebal menutupi perabotan-perabotan rumahnya. Bahkan Aku tidak melihat orangtua Gani.
            Melihat keadaan rumah Gani, rasa takut mulai membalut hatiku.
“Ayo masuk ke kamarku Jen! Disini tidak ada apa-apa,” kata Gani padaku.
“Tidak mau ah Gan, kita main di sini saja,” sahutku.
“Sudahlah Jen, di kamarku jauh lebih seru”.
Akhirnya aku menuruti apa kata Gani. Aku mengikutinya ke dalam kamarnya.
Memang di dalam kamarnya jauh lebih baik, walaupun sama seperti kamar laki-laki lain yang selalu mempunyai kamar bagai kapal pecah. Pelan-pelan Aku perhatikan kamar Gani yang memang terlihat ramai, tetapi suasananya sangat sepi. Banyak robekan kertas berserakan dan cat tembok yang sudah mengelupas. Juga tidak ada hiasan foto-foto keluarganya di kamar itu. Rumah ini memang menyeramkan!
Tiba-tiba Gani mengajakku untuk bermain kartu Uno. Ia tau bahwa itu adalah permainan favoritku. Dengan menghilangkan rasa khawatir, Aku memulai permainan ini. Saat mau mengacak kartu, salah satu kartu itu terlepas ke kolong laci. Aku langsung mengambil kartu itu kembali, tetapi yang kudapatkan bukanlah kartu itu. Aku mendapatkan foto keluarganya yaitu ayah, ibu, Gani, seorang adik perempuan, dan seorang laki-laki (Aku tidak tau dia kakak atau adik Gani). Semua muka di dalam foto itu dicoret-coret kecuali muka Gani. Dengan cepat Aku langsung mengambil kartu Uno dan mengembalikan foto keluarga Gani ke kolong lemari. Aku menutupi segala kecurigaan dan berusaha menghilangkan beribu pertanyaan yang mengantre di kepalaku.
Tengah bermain kartu, Gani dengan ekspresi kesal keluar kamar. Aku mendengarnya sedang berbicara sambil membentak dan berteriak. Tetapi Aku tidak mengetahui dengan siapa ia berbicara karena dari tadi Aku tidak melihat orang lain di rumah ini. Lalu, aku mendengar tamparan yang sangat keras. Aku kaget dan langsung keluar kamar menghampiri Gani. Tetapi Aku sama sekali tidak melihat lawan bicara Gani. Gani langsung mengajakku kembali ke kamarnya. Ia mengatakan bahwa tadi adalah adiknya yang bernama Gracia Gisella. “Adikku sangat menyebalkan, Ia dari mengintip kamarku, jadi kumarahi dan kutampar saja dia,” kata Gani.
Aku takut dan tidak tau harus berbuat apa. Aku sangat bingung karena Aku tidak melihat seorang pun di rumah ini maupun di luar rumah ini selain kami berdua. Ketakutan dan kecurigaan menghujani diriku. Untung saja, tidak lama kemudian supirku datang untuk menjemput. Gani sempat menahanku untuk bertahan lebih lama, tetapi Aku tidak sanggup. Aku langsung pamit dan kembali pulang.
...
Setelah liburan tengah semester itu, Aku mulai menjaga jarak dengan Gani. Banyak sekali kelakuan-kelakuan aneh yang diperbuat Gani yang mulai bermunculan. Seperti waktu itu, ia mengatakan bahwa ia ingin sekali membunuh Lizzie, orang terpopuler di sekolah, dengan cara membakarnya hidup-hidup. Lalu, Gani juga sempat melakukan hal-hal aneh yang cukup mengangguku. Seperti menelponku malam-malam dan curhat mengenai keluarganya yang sangat jahat padanya dan adik perempuannya yang seringkali membuatnya kesal. Bukan hanya itu! Gani juga mengatakan bahwa ia sudah mempunyai rencana untuk mencincang ayahnya karena merasa bahwa ia sudah tidak disayang oleh ayahnya.
Oleh karena itu, semakin ke sini Aku semakin menjaga jarak. Berusaha untuk pergi menjauh dan lenyap dari hadapan Gani. Aku takut sifat aneh Gani dapat membahayakanku. “Kamu kenapa sih Jen! Kok kamu menjauh dariku, aku salah apa Jen? Aku membuatmu kesal?” kata Gani suatu hari.
“Tidak ada apa-apa Gan, aku hanya merasa tidak terlalu nyaman berada terlalu dekat dengan seorang teman laki-laki” balasku sambil pergi meninggalkannya.
“Jen jangan menjauh dariku Jen!” teriaknya.
***
Hidupku menjadi tidak nyaman. Aku merasa ada orang yang menguntitku setiap kali Aku jalan, dan kuketahui itu adalah Gani. Sewaktu Aku makan di kantin, dari kejauhan Aku melihatnya sedang menatapku dalam-dalam dengan tampang serius. Jujur, Aku cukup takut kali ini. Bahkan, terkadang ia menguntitku sampai ke depan rumah! Memang benar-benar aneh orang ini.
Sewaktu Aku sedang mandi, Aku merasakan ada yang aneh, seperti ada bayangan seseorang di depan pintu kamar mandiku. Tetapi saat keluar, Aku tidak menemukan siapapun disana. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Karena sudah cukup malam, Akupun tertidur dengan lelap. Tengah malam mendekati jam 2 pagi, Aku terbangun dengan suara hentakan kaki seseorang. Saat melihat sekitar, ternyata pintu kamarku sudah terbuka dengan bayangan seseorang. Aku melihat sekelilingku dengan teliti, Aku seperti mengenal bayangan orang ini, orang yang dulu cukup dekat denganku. Aku hanya diam tidak tau harus berbuat apa. Lalu bayangan orang itu semakin lama semakin mendekat.
Aku tidak tahan dengan Gani! Ia sudah membuatku kesal. Aku ingin memuaskan segala kecurigaan-kecurigaan dalam diriku yang sudah membusuk. Aku langsung mencari tau semua informasi tentang Gani. Mulai dari akun-akun sosial media, yang baru kusadari itu bukanlah akun Gani yang sebenarnya. Lalu kucari tau lewat bagian tata usaha sekolah. Aku tanyakan seluruh orang di sekolah tentang Gani.
Aku sangat kaget dan merinding ketika mengetahui bahwa adiknya, Gracia, sudah meninggal. Dan menurut informasi, adiknya meninggal karena tenggelam saat bermain dengan Gani di kolam rumahnya. Lalu ibunya Gani tidak kuat melihat Gracia meninggal, oleh karena itu ibunya Gani mati menggantung diri di kamarnya. Sebab itu, Gani sekarang sering melakukan hal-hal aneh karena merasa sudah tidak disayang oleh ibunya. Lalu pernah sekali ayahnya membawa Gani ke psikolog, dan psikolog itu mengatakan bahwa Gani mengalami gangguan mental. Tidak lama kemudian, Gani membunuh ayahnya dengan cara memutilasi tubuh ayahnya itu. Ternyata memang benar, Gani sering melakukan hal-hal aneh karena gangguan psikologisnya. Pantas saja rumahnya begitu kosong dan tidak terurus. Pantas saja ia mencoret-coret wajah anggota keluarganya di foto itu.
Baru kuingat kejadian di rumah Gani. Ia pernah membentak seseorang yang dia bilang adalah adiknya. Tetapi sekarang kuketahui bahwa adiknya, Gracia sudah meninggal. Jadi siapakah yang ia bentak waktu itu? Pantas saja waktu aku keluar kamarnya, Aku tidak melihat lawan bicara Gani.
Makin merinding saja diriku mengetahui informasi-informasi ini. Aku juga semakin takut dengan Gani. Aku harus meghilang dan pergi jauh-jauh darinya! Bisa mati Aku berada di dekatnya dan selalu dikuntitnya! Aku memutuskan untuk pindah sekolah supaya tidak berada dekat dengan Gani. Ayah dan ibuku mengizinkannya karena Aku beralasan bahwa sekolah lamaku itu sangat susah.
Di sekolah baruku, Aku belajar untuk bersosialisasi dan aku berhasil mendapatkan cukup banyak teman. Di antaranya adalah Bena Hartono, Kayla Lahfa, dan Jerry Gunawan. Merekalah sahabatku yang membantuku untuk melupakan Gani. Kali ini Aku tau bahwa mereka adalah teman-teman yang baik. Sahabatku yang paling spesial ialah Jerry, kami sangat dekat dan mungkin ia telah menganggapku lebih dari teman. Tapi dia mempunyai tidak pandai dalam pelajaran. Bahkan, beredar kabar ia pernah tidak naik kelas sekali atau dua kali.
Aku dan sahabat-sahabatku sedang bermain bersama menikmati liburan kenaikan kelas. Kami pergi bersama ke luar kota untuk kuliner. Lalu, kami juga bermain ke Dufan (Dunia Fantasi), di sana kami bermain halilintar, arung jeram, dan banyak permainan yang seru. Tetapi yang paling ditunggu-tunggu adalah wahana Rumah Hantu.
Dengan tumpukan ketegangan dan rasa takut, kami memasuki rumah hantu itu. Aku paling belakang dan yang memimpin kami adalah Bena. Di dalam rumah itu, kami berjalan mengikuti arahan melewati beberapa hantu-hantu yang sangat menyeramkan. Tiba-tiba di dalam rumah hantu itu, Aku melihat seorang laki-laki yang sepertinya pernah kukenal. Iya! Tidak salah lagi itu adalah Gani si psikopat gila! Aku melihatnya sedang tersenyum kepadaku dengan tatapan tajam sambil membawa pisau berbercak darah di tangan kirinya. Memang benar-benar gila dia! Aku langsung menyuruh teman-temanku untuk lari keluar dari wahana itu. Badanku langsung lemas melihat Gani di rumah hantu. Aku langsung mengajak teman-temanku semua pulang tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Sudah beberapa bulan tidak diganggu olehnya, sekarang ia kembali mengangguku lagi! Mau apa dia dariku.
Hari pertama di kelas 11 benar-benar tidak menyenangkan. Aku bisa memprediksi nasibku di sepanjang kelas 11 ini akan sangat buruk. Hari pertama ini saat Aku dan teman-temanku sedang berkumpul, Aku melihat seorang pembawa mimpi buruk itu datang memakai seragam sekolah yang sama denganku. Benar! Gani pindah ke sekolah yang sama denganku. Aku tidak tau apa lagi yang dia rencanakan untuk menganggu hidupku.
Memang membingungkan, sudah beberapa minggu Aku dan Gani satu sekolah, tetapi ia tidak pernah mengangguku lagi. Ia hanya pernah beberapa kali datang padaku dan menyapaku, lalu dengan senyuman selebar mungkin Aku balas menyapanya. Mungkin ia sudah tobat. Walaupun Aku sering menangkap basah ia sedang memerhatikan dengan tatapan yang menyeramkan saat Aku dan teman-temanku bermain.
“Hai Jen” sapa Gani.
“Hai Gan, ada apa?” balasku padanya.
“Gapapa Jen, Aku hanya mau membisikanmu sesuatu yang rahasia”.
“Rahasia apa Gan?“ tanyaku sambal tertawa. Tiba-tiba ia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan mulai membisikiku.
“Siap-siap Jen, sesuatu yang besar akan terjadi padamu” bisiknya. Aku langsung bertanya “Emang ada apa Gan? Sesuatu yang besar apa? Aku tidak mengerti”. Ia membalasku dengan tatapan kejam dan senyuman sinis, lalu kembali berkata “Sesuatu yang besar Jen, balasan segala perbuatanmu padaku karena telah meninggalkanku. Kamu akan mengetahui dan merasakannya nanti” ia langsung pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa diam tercengang tidak tau harus berbuat apa.
Aku menceritakan apa yang Gani katakan, pada sahabat-sahabatku. Mereka mengatakan bahwa tidak akan ada apa-apa. “Semua akan bak-baik saja, Gani paling hanya asal bicara” kata Jerry. “Iya Jen tenang aja, dia kan orang gila, tidak akan bisa melakukan apa-apa” ujar Kayla. Setelah kupikir-pikir sepertinya dia hanya asal bicara saja. Tetapi kalau sampai benar, pasti dia akan melakukan hal-hal nekat. Aku harus berhati-hati sekarang.
Bulan demi bulan kulewati dan tidak ada yang terjadi padaku. Hidupku masih berjalan dengan normal. Belum ada keanehan dan kegilaan yang diperbuatnya. Aku mengatakan ‘belum’ karena Aku tau pasti akan terjadi nanti.
Sudah setengah tahun masih belum ada kejadian apa-apa. Dengan ini Aku menjadi lebih yakin bahwa Gani tidak akan menganggu dan melakukan apa-apa lagi padaku. Tetapi entah kenapa Aku masih sedikit takut. Sahabat-sahabatku selalu meyakinkanku bahwa tidak akan ada masalah yang diperbuat Gani.
Aku telah melupakan segala yang Gani katakan padaku. Sekarang Aku hanya perlu refreshing lebih banyak dengan teman-temanku. Aku merencanakan sesuatu yang besar bersama teman-temanku. Aku berencana untuk mengajak mereka liburan bersama dan menginap di tempat yang tidak biasa. Tetapi dimanakah kita akan menginap?
Ini baru yang dinamakan “pucuk dicinta ulam pun tiba”. Baru saja Aku merencanakan untuk berlibur bersama dengan teman-teman, tiba-tiba Aku mendapat email undangan untuk menginap di sebuah villa tua di suatu kampung terpencil, kami diundang sebenarnya untuk melakukan penelitian sosial di daerah itu, tetapi kami bisa memanfaatkan untuk bersenang-senang. Email ini dikirim dari kelurahan Kampung Momo. Aku langsung menghubungi teman-temanku dan mereka langsung setuju dengan rencanaku. Rencananya kami akan menginap selama 2 malam di kampung terpencil yang bernama Kampung Momo. Sebentar lagi liburan akan dimulai, Aku yakin liburan kali ini akan sangat seru. 
Akhirnya, kami melakukan perjalanan ke Kampung Momo, kampung yang sangat terpencil. Kami harus menggunakan mobil selama 5 jam dan dilanjutkan dengan kapal selama 1 jam. “Walah Jen, jauh banget kampungnya ini” keluh Bena. “sudahlah Ben, nanti di sana pasti akan seru” balas Kayla. Walaupun perjalanannya sangat susah, kami mampu melewatinya dengan mudah.
Sesampai di Kampung Momo, kami terkejut bahwa kampung itu sangat sepi, juga kami tidak mendapatkan sinyal sedikitpun di sini. Ditambah lagi kami harus meanaiki kapal lagi  selama 30 menit untuk sampai ke villa. Ternyata villa itu ada di tengah perairan, kami hanya bisa kembali ke Kampung Momo saat dijemput oleh kapal. Jadwal penjemputan kapal itu adalah 3 hari sekali.
Villa tua itu sangat menyeramkan, hanya kami yang tinggal di sana. Tidak ada siapapun juga tidak ada pembantu. Kata nahkoda kapal, villa ini adalah peninggalan Belanda, pantas saja cat-cat dinding sudah terkelupas, lalu meja-meja di dalam villa itu sudah sangat keropos. Kami semua sangat merinding, tetapi lama-lama kami semakin terbiasa. “Aduh Jen, seram sekali villa ini” kata Jerry.
Hari pertama di villa itu kami habiskan dengan istirahat dan mengitari daerah sekitar villa. Lalu, kami memasak makan malam yang sangat enak versi kami, yaitu mie instan indomie yang kami bawa dari rumah. Entah, Aku merasa tidak terlalu nyaman berada di villa ini atau mungkin itu hanya perasaan saja.
Ternyata ada sangat banyak kamar di villa itu, jadi kami memilih untuk tidur sendiri-sendiri. Kamar yang paling jauh dari ruang tamu adalah kamar Bena. “Biarin sajalah, dia kan pria pemberani” kataku pada Kayla. “Tenang saja Kay, ini baru namanya jantan” sahut Bena pada Kayla. “Ya sudah tidur saja, sekarang sudah malam” balas Jerry. Kami semua kembali ke kamar kami masing-masing untuk tidur. Tetapi Jerry mengikuti ke kamarku, ia memelukku dan mengucapkan “goodnight and sweetdream Jen”. Aku sangat senang malam itu.
Keesokan paginya Aku dibangunkan oleh Jerry karena sarapan sudah disiapkan oleh Kayla. Kami semua sarapan bersama-sama dan baru kami sadari Bena belum juga bangun. Aku menyuruh Kayla untuk pergi membangunkan Bena di kamarnya. Tiba-tiba terdengar suara jeritan Kayla setelah ia membuka pintu kamar Bena.
Di kamarnya, Bena ditemukan jatuh di lantai dengan mulut berbusa. Kami sangat histeris melihat apa yang terjadi. Lalu, Jerry menunjuk ke arah cermin. Cermin itu menuliskan kata “Tunggu selanjutnya” ditulis dengan darah segar dan bentuk tulisan yang menyeramkan. Setelah memperhatikan tulisan itu cukup lama, Aku baru menyadari ada tulisan kode “-G-“ di bawah cermin tersebut. Kami tercengang dan menangis, takut untuk bergerak dan melakukan hal-hal lain.
“-G- Apakah artinya itu Gani? Apa ini semua ulah Gani?!” tegas Jerry. “Ini pasti dia, hanya dia yang berani melakukan hal-hal gila” balasku. “Tetapi dimanakah dia? Mengapa kita tidak melihatnya kemarin? Bahkan sekarang kita tidak menemukannya” tambah Kayla. Sejak itu kami semakin berhati-hati dan selalu berdekatan. Hasrat untuk  pulang menghantui kami, tetapi tidak ada jalan pulang selain menunggu kapal itu datang menjemput 2 hari lagi. Handphone juga tidak berguna, tidak ada sinyal sama sekali. Kayla sangat resah dan ketakutan serta ingin cepat-cepat pulang. Kami mencoba mencari solusi lain, tetapi satu-satunya solusi adalah bertahan hidup sampai dijemput.
Seharian itu kami hanya diam merenung, sambil berjaga-jaga melihat sekitar. Jerry melihat sesuatu tumpukan bangkai kepala binatang seperti kepala sapi di halaman belakang villa. Kami sangat terkejut, kira-kira ada 2 sampai 3 kepala sapi yang ada di sana, ada juga beberapa kuburan peninggalan orang Belanda yang sempat tinggal di sini, sangat menyeramkan! Banyak bercak darah di sana dan baru kami sadari, ada jejak kaki yang terlihat mengarah ke gudang.
Dengan berani Jerry mengambil senter dan mulai berjalan ke arah gudang. Aku dan Kayla mengikutinya dari belakang. Pelan-pelan Jerry membuka pintu gudang yang sangat rapuh, terdengar suara pergerakan sesorang di dalam sana, tetapi karena sangat gelap gulita tidak ada yang dapat kami lihat. Lalu, terdengar pergerakan lagi dari belakang badan Kayla, kami langsung berwaspada dengan sekitar. Karena tidak melihat apa-apa, kami perlahan keluar dari gudang itu dimulai dari Jerry lalu Aku. Saat Aku dan Jerry telah keluar, pintu gudang langsung tertutup rapat. “Tolong! Jen! Jerry! Bantu aku” teriak Kayla. Tiba-tiba terdengar suara mesin pemotong kayu yang menyala. “Jer! Cepat buka pintu ini kalau tidak Kayla akan mati dipotong di dalam sana!” ujarku pada Jerry. Ia langsung berusaha menendang pintu rapuh itu, tetapi tidak berhasil. Lalu, ia mengambil kayu dan mencoba menghancurkan pintu itu, kali ini ia berhasil. Dengan cepat ia menarik tangan Kayla keluar dari gudang, mesin pemotong kayu itu langsung mati. Jadi dimana Gani? Kenapa kami tidak dapat meihat batang hidungnya.
Kami langsung kembali ke dalam villa untuk istirahat, Aku membuatkan mereka nasi goreng. Sudah tidak ada tenaga untuk memasak makanan yang ribet-ribet. Aku tau Jerry apalagi Kayla sudah sangat lelah dan lapar karena matahari pun juga sudah istirahat.
Lalu kami memutuskan untuk tidur bersama di dalam satu kamar supaya kami bisa saling menjaga. Jerry memutuskan tidak tidur untuk menjaga kami semalaman.
Pagi-pagi Aku bangun dan melihat sebelahku sudah tidak ada orang. Aku juga mendapati Jerry sudah tertidur pulas. Tetapi kemanakah Kayla?! “Jer bangun! Kayla mana?” kataku. Jerry langsung bangun terjaga. “Hah? Kemana dia kenapa tidak ada di sini?” ujar Jerry. Lalu kami bergegas mencari Kayla. Tidak lama kemudian Jerry memanggilku sambil menangis “Jen, lihat Kayla. Dia udah meninggal Jen” kata Jerry sambil menangis. Aku melihat Kayla di kamar mandi tergeletak di lantai yang basah dengan darah segar. Jerry juga menunjuk tulisan di cermin kamar mandi yang mengatakan “Selanjutnya giliranmu! Akan jauh lebih ekstrim.” Lagi-lagi ada inisial di bawahya bertuliskan “-G-“. Kami sangat ketakutan, kami hanya berdiam diri duduk berdua sambil menangis tersedu. Aku sangat depresi, Aku ingin pulang! Aku dan Jerry harus bisa bertahan sampai esok dijemput oleh kapal itu.
Liburan yang kurencanakan sebagai liburan terindahku menjadi hancur lebur gara-gara Gani. Hatiku teriris seperti sedang ditusuk bertubi-tubi oleh sebuah belati, saatku mengingat dan melihat mayat Bena dan Kayla yang sudah mulai membusuk. Aku harus menemukan dan membunuh Gani sekarang!
Saat Aku dan Jerry sedang mencari Gani, kami memutuskan untuk berpencar. Aku mengecek dalam villa dan Jerry mengecek bagian luar villa. Aku langsung bergegas ke bagian dapur, kamar mandi, dan setiap kamar tidur di villa itu. Tetapi Aku tetap tidak menemukan si psikopat gila itu. Lalu Aku kembali ke ruang tamu utama, Aku terkejut! Sampai ingin mati Aku melihat kejadian ini.
Aku menemukan Gani di ruang tamu, tetapi Aku juga menemukan Jerry sedang bersamanya. Iya bersamanya, tetapi tidak besebelahan. Jerry sedang berlutut menghadapku, dan Gani sedang berdiri di belakangnya sambil memegang pisau belati dan mengarahkannya ke leher Jerry. “Hai Jenifer Denila, mantan teman baikku” salam Gani sambil tertawa sinis dan tatapan kejam. “Maafkan aku Jen, aku tidak dapat melawannya” ucap Jerry padaku. Tidak biasanya Aku melihat Jerry seperti ini karena seingatku dia adalah seorang pemberani. Jantungku berdebar sangat kencang bagai drum yang di pukul terus menerus. Aku tidak tau harus berbuat apa. Aku sudah jatuh cinta pada Jerry! Aku harus menyelamatkannya. “Kasihan sekali kau Jen, sekarang kamu tidak bisa berkutik lagi Jen” sergah Gani padaku. “Aku salah apa Gan!? Kenapa kamu sangat jahat padaku!” balasku. Tiba-tiba Gani menangis histeris dan berteriak “Kamu yang jahat Jen! Kamu meninggalkan aku dan mencampakkan aku. Padahal dulu kita sangat dekat! Aku sudah menganggapmu sebagai pasanganku! Aku sudah merencanakan hubungan kita ke depan! Tetapi kamu dengan gampangnya meninggalkanku bersenang-senang dengan teman-teman barumu dan menghancurkan segala harapanku”. Karena sangat emosi, ia hampir menusukan belati itu pada Jerry, untungnya Jerry dapat menghindar sedikit. “Aku meninggalkanmu karena kamu sudah gila, Gan! Kamu harus sadar!” balasku. “Sekarang apa maumu Gan?” tambahku dengan pasrah. “Aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan. Aku ingin kamu melihat sendiri kematian Jerry” ucap Gani dengan keras. “Jangan sakiti dia Gan, aku mohon padamu. Ganti saja Jerry denganku karena Aku yang seharusnya menerima ini” ucapku padanya. Benar-benar aneh, baru kali ini Aku melihat Jerry hanya diam tidak melawan sama sekali dalam keadaan seperti ini. Lalu dengan cepat Gani melepaskan Jerry dan menggantinya denganku. Hidupku sekarang berada di ujung tanduk, belati itu sudah menempel di leherku. “Maafkan aku Gan! Bebaskanlah kami dari sini” kataku sambil menangis dan pasrah. Walaupun Aku diam, otakku berpikir dengan cepat mencari cara untuk menyelamatkan nyawaku dari Gani. Akhirnya, Aku mendapati bahwa Gani sedang tidak siap dengan belatinya. Langsung saja kudorong dia sampai jatuh, lalu kutendang badannya berkali-kali. Lagi-lagi Jerry hanya diam dan tampaknya seperti sedang merenung, jadi kutarik saja tangannya dan membawanya kabur dari Gani.
“Jer ayo cepat, kita harus menjauh sebelum Gani sadar dan mencari kita” teriakku pada Jerry. Kami berlari sangat kencang menjauhi villa itu, tetapi kapal penjemputan belum juga datang. Jadi Aku dan Jerry hanya berlari memutari villa berkali-kali. Sampai pada suatu saat, Gani tiba-tiba berada di depan kami. Kami langsung berhenti berlari, lalu Gani menatap Jerry dan memberikan kode isyarat. Jerry langsung menarik dan menyeretku ke daerah pepohonan dan mengikatku dengan ketat. Aku yang sangat terkejut tidak dapat melakukan apa-apa. “Kamu sedang apa Jer! Apa-apaan ini?! Kita harus kabur dari tempat ini Jer!” hentakku. “Sorry Jen, aku terpaksa melakukan ini semua. Aku tidak boleh mengkhianati kakakku sendiri” kata Jerry dengan terpaksa lalu pergi meninggalkanku. Setelah mendengar perkataan Jerry, Aku langsung menangis pasrah tidak peduli dengan nasibku.
Tetapi mengapa Jerry memanggil Gani sebagai kakak? Aku baru menyadari setelah ini semua terjadi. Aku baru menyadari Aku pernah melihat foto keluarga Gani, ada dua orang anak laki-laki selain dirinya. Dan itu adalah Jerry, Jerry Gunawan dan Gani, Gani Gunawan. Betapa bodohnya Aku yang telat menyadarinya. Gani adalah sang ‘Dalang’ dan Jerry adalah sang ‘Wayang’ dua-duanya memiliki peran yang sangat penting. Setelah Aku meninggalkan Gani, ia sengaja membuatku dekat dengan adiknya Jerry sampai Aku terlalu percaya dan jatuh cinta pada Jerry. Lalu menjadikannya sebagai boneka untuk membalaskan dendamnya padaku. Jerry sebagai adik yang baik hanya menjalankan perintah dari kakaknya. Aku juga baru sadar bahwa email yang berisikan undangan ke tempat ini tidak ada kode atau tanda resmi yang menunjukkan kepemerintahan. Juga inisial ‘G’ bukan mengartikan ‘Gani’. Tetapi ‘G’ mengartikan yang lebih besar yaitu ‘Gunawan’. Betapa bodohnya diriku. Hatiku seperti sedang ditancapkan tombak rasanya.
Setelah beberapa menit meninggalkan dan mengikatku sendirian di pohon ini, Gani dengan 2 belati di tangan kanan dan kirinya mendekat. Ia menatapku dengan kejam dan menertawakanku. “Goodbye Jenifer Denila sampai ketemu di kerajaan iblis” ujarnya. Lalu ia langsung mengayunkan belatinya ke perutku dan satunya lagi ke leherku. Aku tidak dapat menyadarkan diri, hanya dapat merasakan darahku mengalir membuat lautan merah.
Lalu Aku dibangunkan oleh Jerry karena sarapan sudah disiapkan oleh Kayla. Semalam Aku tertidur sangat lelap, untung semua ini hanya mimpi buruk. Kami semua sarapan bersama-sama dan baru kami sadari Bena belum juga bangun tidur. Aku menyuruh Kayla untuk pergi membangunkan Bena di kamarnya. Tiba-tiba terdengar suara jeritan Kayla setelah ia membuka pintu kamar Bena.


Sampaikan Sayangku untuk Dia
Oleh Melda
            Namaku Chelsea. Aku lahir di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1998. Kini aku sudah menduduki bangku SMA. Aku adalah anak satu-satunya karena itu, aku sangat disayang oleh kedua orang tuaku. Aku memiliki satu sahabat yang bernama Nicholas, nama panggilannya Nicho. Kita sudah bersahabat sejak kita taman kanak-kanak.. Dari dulu hingga sekarang orang tuaku selalu memasukkan aku ke sekolah yang sama dengan Nicho, agar kami tetap selalu bersama, sampai-sampai sekarang rumahku dengan rumah Nicho berseberangan.
            Dulu awalnya aku mengira masa SMA itu masa yang paling indah dan romantis, tapi sekarang sudah tidak lagi karena, bagiku masa SMA itu masa dimana seseorang yang sudah hidup bahagia, dipisahkan untuk selamanya. Dan inilah kisahku…..
            Kisahku berawal dari sewaktu aku memasuki Masa Orientasi Siswa, dimana aku menemukan sahabat baru yang bernama Clara. Clara ini murid baru pindahan dari SMP Bunda Hati Kudus. Saat pertama kali melihat Clara, aku dan Nicho langsung mengajak ia kenalan. Setiap hari kita makan siang bersama, ketawa bersama, dan membicarakan mentor kita yang sangat galak itu. Dari situ lah aku, Nicholas, dan Clara menjadi sahabat yang sangat dekat. Selama 1 tahun ini kita selalu menghabiskan waktu bersama.
            Sampai pada akhirnya semua tidak seindah dulu lagi, persahabatan kami pun sudah mulai diujung tanduk. Karena aku ingin mengejar impianku sebagai designer jadi aku memilih untuk masuk jurusan IPS , sedangkan Clara dan Nicho memilih masuk jurusan IPA. Mereka sekarang terlalu sibuk dengan jurusannya itu sampai-sampai mereka tidak punya waktu lagi untuk bertemu dan bermain denganku.
            Waktu demi waktu aku lewati, Clara dengan Nicho semakin dekat sampai-sampai ia lupa dengan persahabatan kita. Padahal dulu kita sudah berjanji kepada diri kita sendiri untuk tidak meninggalkan satu sama lain. Tetapi entah mengapa saat aku melihat Clara dan Nicho yang sangat dekat, perasaanku yang dulu bahagia sekarang malah menjadi kesal. Perasaan apakah itu…?  Ahh sudah lah untuk apa aku memikirkan hal yang tak jelas, lebih baik aku fokus mengerjakan tugas yang diberikan Ms Diana, guru paling killer di sekolah ini. “Tapi bagaimana ya tugas ini kan, tugas kelompok dan aku belum mencari pasangan kelompokku, kira-kira siapa ya yang belum mendapat pasangan untuk proyek ini?” Pikirku dalam hati.
Tiba-tiba ada seorang lelaki datang menghampiriku. “hai boleh kenalan?” Sapanya.
“hai, boleh” Jawabku.
“perkenalkan namaku Juan, aku adalah teman sekelasmu, oh ya, kamu sudah dapat pasangan untuk tugas yang diberi Ms. Diana belum?” Katanya.
 “oh iya, aku sedang mencari pasangan untuk tugas itu” jawabnya.
“wah kebetulan sekali aku juga sedang mencari pasangan untuk tugas itu, apakah kamu mau bergabung? Tanyanya.
“oh tentu saja boleh” Jawabnya.
“ oh iya ngomong-ngomong aku belum mengetahui namamu, siapa namamu?” Tanyanya.
“oh maaf aku sampai lupa, perkenalkan namaku Chelsea.”*Kring!!!* “eh bel masuk sudah berbunyi, ayo kita masuk ke kelas.” Ujarku, sambil berjalan ke arah kelas.
Sesampainya aku di kelas, ternyata ada pengumuman dari ketua kelasku, Marcho bahwa hari ini tidak ada pelajaran geografi karena Ms Juli sedang berhalangan hadir karena sakit. Satu kelas pun langsung heboh dan senang karena tidak ada pelajaran yang sangat membosankan itu. Aku pun berjalan menghampiri tempat duduk Juan, untuk mengajaknya ke perpustakaan untuk membahas tema apa yang kita buat untuk proyek Bahasa Indonesia.
Aku dan Juan pun berjalan kecil menuju perpustakaan, sesaat sudah sampai di depan pintu perpustakaan tak sengaja tiba-tiba pandangan mataku menuju kearah meja perpustakaan dan aku melihat Nicho dan Clara duduk bersama sambil tertawa sampai mereka tidak sadar bahwa aku juga ada di perpustakaan itu. Jantungku berdetak kencang dan aku pun sudah tidak semangat lagi belajar di perpustakaan itu.
“Juan, bagaimana kalau kita membahas temanya di kantin saja jangan di perpustakaan karena tiba-tiba aku lapar lagi nih hehehe….” Ujarku.
“hemm boleh juga si tapi kenapa tiba-tiba aneh juga perutmu itu hahaha...” kata Juan sambil meledek.
 “terus saja meledekku ayo cepat kita ke kantin!” jawabku, sambil berjalan dengan rasa kesal yang tidak jelas ini.
*Di kantin sekolah*
“ Bakso ama es teh manisnya dua ya bu” Kataku sambil duduk.
 Dan Juan pun duduk di depanku sambil bertanya “kamu kenal dengan cowo yang di pepustakaan tadi itu?”
 aku pun kaget kenapa tiba-tiba Juan bertanya tentang Nicho. “kenal memangnya ada apa?”ujarku “pacarmu yaa hahaha..?” Katanya.
Aku dengan panik menjawab “bukan, dia itu sahabatku dari kecil”.
Juan pun masih penasaran “ohh sahabat, tapi kalau hanya sahabat kenapa tadi kamu kelihatan kesal melihat dia bersama cewe yang disebelahnya itu?”
 Tiba-tiba ibu kantin pun mengantarkan bakso dan es teh manis, aku jadi punya alasan untuk memperalihkan  pertanyaan Juan yang tidak penting itu.
 “wah baksonya sudah datang ayo kita makan perutku sudah lapar  nihh..” Ujarku.
 Dan akhirnya kami pun makan sambil menentukan tema yang akan kami buat, tapi tetap saja walaupun sambil memakan bakso kesukaanku, aku tetap tidak bisa fokus untuk memikirkan tema ini karena selalu saja muncul rasa penasaran tentang hubungan Nicho dengan Clara. “masa iya si aku cemburu dengan Clara karena ia sangat akrab dengan Nicho, rasanya gak mungkin karena aku sama Nicho hanya sebatas sahabat tidak lebih, aduhh ayoo Chelsea fokus dengan tugas-tugasmu ini” pikirku dalam hati.
Setelah hampir setengah jam Juan pun mendapat ide untuk tema proyek Bahasa Indonesia, dan kami pun memutuskan untuk mengerjakan proyek ini mulai besok setelah pulang sekolah karena, hari ini pikiranku lagi tidak konsen sama sekali. Pada saat itu juga tiba-tiba Clara menghampiriku ke kantin dengan muka yang sangat gembira
“haii Chelsea, lagi sibuk tidak?, kalau tidak sibuk ikut aku ke halaman sekolah sebentar yuk ada hal penting yang ingin aku cerita nih karena aku butuh sekali pendapat dan bantuanmu, mau yaa pleasee.. aku janji hanya sebentar saja bagaimana bisa kan?” Katanya kepadaku.
Kelihatannya sangat penting sekali sampai ia memohon padaku. “baiklah, tapi aku bilang kepada Juan dulu ya” Ujarku.
 Dan Juan pun mengijinkan aku karena juga tidak ada hal yang harus kita bahas lagi sekarang.
“Mau cerita apa sih Clara, kelihatannya kamu gembira sekali?” ujarku sambil kebingungan.
“Iya nih Chel aku lagi gembira sekali, tapi kamu jangan beri tahu siapa-siapa yaa termasuk Nicho” katanya kepadaku.
“iyah tenang saja ayo cepat cerita, jangan buat aku penasaran” Ujarku.
“Sepertinya aku suka Nicho deh Chel” kata Clara.
“Apa?! kamu suka sama Nicho?” jawabku sambil kaget dan kesal sekali.
“Iya Chel aku suka dengannya, kalau aku bersama Nicho aku selalu merasa nyaman dan bahagia serasa tidak ada beban lagi di hidupku” Kata Clara kepadaku.
 “Bagaimana dengan perasaan Nicho, apa dia juga suka padamu?” Tanyaku sambil menahan rasa kesal.
“Itu dia Chel aku tidak tahu bagaimana perasaan dia padaku, makanya aku cerita ini padamu aku ingin minta bantuan padamu” Kata Clara kepadaku.
“Memangnya apa yang bisa aku bantu?” Tanyaku.
“Kamu tolong tanyakan pada dia tentang perasaannya padaku hehehe…” Katanya.
 “Aku tidak bisa Clar karena Nicho itu tipe orang yang sangat tertutup dengan persaannya, walaupun aku itu sahabatnya dia dari kecil” jawabku.
Tiba-tiba suasana pun menjadi hening dan Chelsea langsung meninggalkan halaman sekolah tanpa berpamitan pada Clara. Aku pun berlari di koridor sekolah dan tak sengaja aku menabrak Nicho yang sedang berjalan di depanku, saat aku melihat wajahnya entah kenapa air mataku tiba-tiba menetes. Aku langsung berlari karena tidak mau dia bertanya tentang air mata itu, tetapi dia menarik tanganku menahanku untuk berlari. Nicho pun memegang pipiku sambil mengapus air mataku yang menetes, aku tidak kuat dengan sikap Nicho yang perhatian denganku jadi aku langsung cepat-cepat menghindarinya berlari ke arah toilet “maafkan aku Nicho, aku tidak bermaksud untuk membuatmu bingung” Kataku dalam hati. Tangan Nicho yang hangat membuat aku merasa lebih tenang dan air mataku tidak menetes lagi, hal ini bukan hanya terjadi sekali tetapi sudah berkali-kali. Sejak aku kecil, tangan Nicho selalu mengusap air mataku, dan tak aku sangka tangan Nicho masih sehangat tangannya yang dulu.
Saat aku keluar dari toilet, ternyata Nicho sudah menungguku di depan toilet sambil memegang dua es krim kesukaanku dari kecil. Memang hanya Nicho yang paling mengerti perasaanku.
 “hey ini ambil ice cream kamu, mau tidak kalau tidak mau yah aku saja yang habiskan” Kata Nicho kepadaku.
“jelas mau lah sini cepat berikan” Jawabku sambil tersenyum dalam hati.
 “Ada yang kamu ingin ceritakan?” tanya Nicho.
“hmm tidak ada” Kataku sambil asik memakan es krim.
 “ohh baiklah kalau kamu tidak ingin beritahu tak apa, tapi jangan sedih lagi ya, jelek tau” kata Nicho sambil berlari.
“hey bilang apa kamu sini kemari jangan kabur” Kataku sambil teriak.
”*Kring!!!* “ bunyi bel pergantian jam. “ahh sudah bel padahal aku ingin mengejar Nicho” pikirku dalam hati.
Pada saat pulang sekolah, Nicho menungguku di gerbang sekolah untuk mengajakku pulang bersama tetapi tiba-tiba Clara menghampiri kita dan meminta Nicho untuk mengantarnya pulang dengan  alasan supirnya tidak bisa menjeput, walaupun sebenarnya aku tahu itu hanya cara modus dia agar bisa pulang bareng dengan Nicho. Akhirnya pun kami pulang bertiga, dan hal yang mengesalkan Clara langsung nyerebot duduk di depan bersama Nicho dan aku duduk dibelakang sendirian, sangat menjengkelkan sekali “tau gitu mending aku pulang sendiri saja” Pikirku dalam hati. Beberapa menit kemudian kita sampai di depan rumah Clara, Clara pun turun dari mobil dan Nicho pun menyuruhku pindah duduk di depan. Setelah sudah tidak ada Clara suasana di mobil pun jauh lebih enak karena aku bisa bebas berbicara dengan Nicho. Di tengah perjalanan perutku tiba-tiba bunyi karena lapar dan Nicho pun tertawaiku.
 “alarm dari perutmu sudah  bunyi tuh hahaha…,  mau mampir makan siang dulu tidak” katanya sambil mengejekku.
“ihhh lagi-lagi kamu mengejekku tak bosan apa, tapi boleh juga si ayo kita makan sudah tak tahan nih hehehe..” Jawabku.
Kita pun berhenti makan di salah satu restaurant dekat rumah Clara. Setelah kita selesai makan, Nicho langsung mengantarku sampai rumah. Pada saat di mobil, aku tertidur dengan pulas mungkin karena aku cape dan kekenyangan. Aku tidur dengan sangat nyenyak sampai-sampai itu membuat Nicho tidak tega untuk membangunkan aku, jadi Nicho menggendongku sampai kamar tidurku dan menyelimutkanku. Sehabis itu, ia langsung bergerak pulang untuk beristirahat juga.
 Saat aku masih tidur aku bermimpi bahwa pada akhirnya Nicho dan Clara menikah dan aku tidak di undang di acara pernikahan mereka. Itu adalah mimpi terburukku. Dan aku pun langsung tebangun dari tidur,dan aku bingung sendiri kenapa aku sudah bisa ada di kamar dan terselimuti, bukannya terakhir itu aku tertidur di mobil Nicho? tetapi kenapa sekarang aku bisa berada di kamarku sendiri? “ahh mungkin itu juga sebagian dalam mimpiku, kenapa aku bisa mimpi seperti itu ya. Apa aku terlalu takut kehilangan Nicho? sampai-sampai aku bermimpi seperti itu” Pikirku dalam hati. Jujur saja aku memang tidak bisa hidup tanpa Nicho, dari kecil aku selalu melewati hari demi hari bersamanya saat senang maupun sedih. Nicho selalu ada untukku, jadi aku tidak bisa bayangkan jika aku  kehilangan Nicho. Tidak bersamanya sehari saja, aku sudah merasa seperti kehilangan setangah dari hariku, apalagi untuk selamanya. Ia memang benar Nicho sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri atau bisa di bilang bagian dari hidupku.
Keesokan paginya aku terlambat karena alarmku tidak berbunyi sehingga, aku telat bangun, jadi aku kesiangan ke sekolah dan Nicho juga ikut kesiangan ke sekolah karena Nicho menungguku. Untungnya pas aku dan  Nicho sampai di sekolah, baru bel masuk pertama yang bunyi jadi, kita tidak jadi di hukum.
Tetapi tetep saja aku merasa hari ini adalah hari tersial, aku mendapat hukuman dari Sir Hendry. Sir Hendry adalah guru ekonomi di sekolahku. Pada hari ini, jam pertama kelasku adalah pelajaran ekonomi dan ternyata aku baru sadar bahwa tadi pagi aku lupa memasukkan buku ekonomiku ke dalam tas sekolahku karena mungkin sangkin terburu-burunya. Jadi mau tidak mau aku harus keluar dari kelas dan tidak boleh ikut pelajaran Sir Hendry hari ini. Dan beberapa menit kemudian Juan pun keluar juga dari kelas Sir Hendry .
“loh, kenapa  keluar Ju?” Tanyaku.
“yah sama sepertimu,  aku tidak membawa  buku ekonomi” Kata Juan. 
“padahal tadi pagi jelas-jelas aku melihat buku ekonomi di atas meja Juan, dan gak biasanya Juan ceroboh tidak membawa buku seperti ini, yahh berbeda dengan aku kalau aku memang dasarnya ceroboh dan pelupa” Pikirku dalam hati.
“ayo kita ke perpustakaan belajar daripada membuang-buang waktu berdiri tidak jelas disini” Kata Juan sambil menggandeng tanganku.
 Pada saat Juan menggandeng tanganku tiba-tiba tak sengaja Nicho lewat dan melihat tanganku digandeng cowo lain. Setelah Nicho melihat itu wajah ia pun berubah dan langsung pergi tanpa menyapa padaku. “hemm Nicho kenapa yaa kok langsung pergi saja”tanyaku dalam hati. Dan akhirnya aku menghabiskan waktu pelajaran ekonomi bersama Juan di perpustakaan.
.”*Kring!!!* “ bel istirahat berbunyi. Aku masih merasa tidak enak dengan Nicho, maka dari itu, aku memutuskan untuk menghampiri Nicho ke kelasnya, walaupun aku tahu pasti aku melihat pemandangan yang sangat tidak enak di kelas itu. Pada saat aku berdiri di depan kelas Nicho dan Clara, lagi-lagi yang kuduga itu benar, mereka sedang berduaan. “ayo Chelsea kamu harus tahan rasa kesalmu demi Nicho” Kataku dalam hati.
Dan aku masuk menghampiri mereka dengan wajah tersenyum seolah tidak ada yang terjadi dalam perasaanku. “siapa cowo tadi pacar kamu?” tanya Nicho dengan nada yang sangat ketus.
 Waktu aku ingin menjawab pertanyaan Nicho, tiba-tiba Clara langsung memotong pembicaraan “Nicho, ayo cepat katanya ingin cari buku untuk tugas nanti keburu bel masuk” kata Clara.
 “ohh iya, aku sampai lupa ayo” Kata Nicho sambil berjalan tanpa berpamitan padaku.
 “duhh aku belum sempat menjawab pertanyaan dari Nicho itu, kalau aku ikut mengampirinya ke perpustakaan, pasti kejadiannya akan sama lagi seperti yang di kelas tadi. Clara akan terus-menerus berbicara dengan Nicho, jadi jika aku menghampirinya, itu akan terlihat sia-sia.” Pikirku dalam hati.
“*Kring!!!*” bel masuk pelajaran selajutnya sudah berbunyi. ‘‘waduh udah bel aku harus buru-buru kembali ke kelas agar tidak dapat hukuman lagi” Kataku dalam hati. Sesampainya di kelas, lagi-lagi aku terlambat masuk ke kelas dan lagi-lagi juga aku dihukum. Aku disuruh berdiri di lapangan menghadap tiang bendera. “memang benar hari ini adalah hari tersialku, dimulai dari telat bangun, lupa membawa buku ekonomi lalu, ada kesalahpahaman dengan Nicho, dan juga terlambat masuk ke kelas, kemudian kejadian apalagi yang akan aku dapat sehabis ini.” Kataku dengan nada yang kesal. Dan tiba-tiba saja Juan datang menghampiriku dan bertanya
 “ada apa dengan kamu hari ini?” “tidak ada apa-apa kok, ngomong-ngomong kamu kenapa bisa kesini?” Kataku.
“oh tadi itu aku ijin ke toilet karena aku mau menemani kamu disini.” Katanya sambil bersenyum.
“buat apa kamu temenin aku? Mending sekarang kamu balik ke kelas aja nanti kalo kamu ketahuan temenin aku disini kamu malah ikutan dihukum dan kamu malah ketinggalan pelajaran.” Kataku sambil memaksa dia balik ke kelas.
“aku mah tidak apa-apa dihukum, apalagi dihukumnya berdua denganmu.” Katanya. “hah apa? Kamu bilang apa tadi aku tidak dengar hehehe…” Tanyanya.
 “hmm tidak, tidak ada apa-apa.” Katanya.
“hmm baiklah, sudah kembali sekarang ke kelas.” Kataku kepada Juan.
“baiklah kalau itu maumu, asalkan kamu senang aku kan melakukannya.” Katanya sambil jalan menuju ke kelas.
Setelah selesai jam pelajaran saatnya aku mengerjakan proyek Bahasa Indonesia bersama Juan. Pada saat aku mau menggendong tas tiba-tiba saja Juan datang menghampiriku.
 “eh Chelsea, jadi kerjain sekarang ?”. Tanyanya.
“tentu saja jadi.” Jawabku.
“enaknya kita kerjain dimana ya Chel ?” tanya Juan.
 “hemm bagaimana di Restaurant kesukaanku saja, tidak jauh kok dari sini” jawabku.
“ohh boleh juga, tapi kamu berangkat bareng aku saja yaa, soalnya aku tidak tahu jalan ke sana, bagaimana ?” kata Juan.
 “Ide yang bagus, ayo kita jalan tapi bilang pada Nicho dulu yaa bahwa aku tidak ikut pulang bersamanya hari ini” kataku.
“Nicho? Cowo yang di perpustakaan itu yaa” tanya Juan.
“iyaa biasa aku soalnya selalu pulang bareng dia karena rumah kita bersebrangan. Ayo kita ke gerbang sekolah saja pasti dia sudah menunggu disana” kataku sambil berjalan ke arah gerbang sekolah.
“Nicho, maaf yaa aku ada kerja kelompok bersama Juan, jadi aku tidak bisa pulang bersamamu hari ini ?” kataku pada Nicho.
“Dimana kerja kelompoknya?” tanya Nicho dengan nada ketus.
 “Di restaurant biasa kita makan bersama” jawabku.
“Ya sudah biar aku antar kamu sampai sana” sambil menarik tangan Chelsea.
Tiba-tiba Juan langsung memotong pembicaraan “tidak perlu, Chelsea berangkat bersamaku dan nanti aku yang mengantar Chelsea sampai ke rumahnya dengan selamat” kata Juan sambil menarik tanganku yang sebelahnya.
 Dan Nicho pun langsung melepaskan tanganku dengan wajah kesal sambil menuju kearah parkiran mobilnya. “Ayo Chelsea cepat nanti  kita kesorean pulangnya” kata Juan sambil menggandeng tanganku.
 Saat juan menggandeng tanganku aku merasa berbeda, karena aku tidak merasakan tangan yang hangat seperti tangan Nicho pada saat ia memegangku. “Ahhh kenapa aku jadi membandingkan Nicho dengan Juan” pikirku dalam hati.
Selama perjalanan ke restaurant,tidak sengaja aku melihat ke arah kaca spion mobil Juan ada mobil yang sangat mirip dengan mobilnya Nicho. “Ahh tapi rasanya tidak mungkin itu mobilnya Nicho, jelas-jelas tadi Nicho sudah jalan duluan mendahuluhiku.” pikirku dalam hati. Dan tiba-tiba saja Juan memutarkan lagu “sampaikan  sayangku untuk dia” yang biasa aku dan Nicho dengarkan dan nyanyikan bersama di dalam mobilnya.
 “kamu juga suka dengarkan lagu ini Ju hahaha..?” tanyaku.
“iyaa nih hahaha… alay yaa, mau aku matikan saja?” kata Juan.
 “Ahh tidak aku juga suka mendengarkan lagu ini, bisa dibilang lagu ini termasuk lagu kesukaanku” kataku.
“ohh ya ternyata selera kita sama yaa hahaha…, jangan -jangan kita..” kata Juan.
“Yah wajar saja sama karena lagu ini banyak disukai orang-orang” kataku sambil mengelak dari perkataan Juan yang sangat aneh.
Sesampainya aku dan Juan di restaurant tiba – tiba hujan besar, dan payung di dalam mobil Juan hanya satu. Terpaksa aku harus menggunakan satu payung itu berdua dengannya. Aku pun baru berjalan beberapa langkah tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang dan ternyata itu Nicho
 “Chelsea ayo kita pulang” kata Nicho sambil memberikanku sebuah payung.
Saat aku mengambil payung yang dibawa Nicho, Juan memotong pembicaraan “tidak bisa Chelsea harus mengerjakan tugas bersamaku hari ini” kata Juan dengan tatapan tidak senang pada Nicho.
“Kamu tidak lihat baju Chelsea sudah terkena hujan, ia bisa sakit jika tidak cepat-cepat pulang, tidak usah memikirkan tugasmu itu. Nanti aku yang akan mengerjakannya bersama Chelsea” kata Nicho kepada Juan sambil menarik tanganku ke mobilnya.
Akhirnya pun mereka meninggalkan Juan di restaurant itu sendirian. Setibanya di mobil, aku bertanya kepada Nicho
 “kenapa kamu bisa di restaurant itu, kamu mengikutiku?”
“Iyaa aku mengikutimu, yah bagaimana aku bisa tenang kamu pergi bersama cowo yang baru saja kamu kenal itu” jawab Nicho.
“Namanya Juan, dia baik kok sepertimu” kataku.
“hey, kamu jangan samakan aku dengannya ya, aku dengan dia itu jauh berbeda” kata Nicho, dengan kesal.
“iyaa Nicho benar memang Nicho jauh berbeda dengan Juan” kataku dalam hati.
 “ayoo turun sudah sampai, jangan lupa ganti pakaianmu yang basah itu” kata Nicho sambil membukakan pintu untuku.
“Baiklah terima kasih sudah mengantarku” kataku.
 “jangan lupa nanti malam datang ke rumahku, kita kerjakan bersama tugasmu itu” kata Nicho.
 “Ahh tidak perlu repot-repot aku saja yang mengerjakannya” kataku.
“Sudah jangan membantah, ingat pukul 7 malam” kata Nicho sambil berjalan ke arah mobil. Aku pun masuk ke dalam rumah dengan senyum-senyum tidak jelas sendiri.
Pukul 7 pun sudah tiba, aku sudah siap ke rumah Nicho untuk mengerjakan tugas. “*ting tong*” suara bel berbunyi. Mamanya Nicho pun keluar untuk membukakan pintu.
“Malam tante” sapaku kepada mamanya Nicho.
“eh ada Chelsea, sudah lama tidak main kesini, ayo masuk Nichonya ada dikamar” kata mamanya Nicho kepadaku.
“ohh iya tante, makasih” jawabku.
Pada saat aku membuka pintu kamar Nicho, seperti biasa Nicho sedang asik bermain game di kamarnya itu.
“ihh Nicho suruh orang datang tapi kamu malah asik main game, bagaimana si’ kataku sambil duduk diatas tempat duduk Nicho.
“hehehe… tunggu Chel lagi tanggung nih, 5 menit saja kok” kata Nicho sambil tertawa.  
“okelah aku tungguin tapi untuk sementara aku kerjakan tugasku sendiri dulu.” Kataku.
*Setelah 5 menit bermain game*
“yok kita kerjakan tugasmu itu memangnya tugas apa itu?” tanyanya.
“tugas Bahasa Indonesia Nic.” Jawabku.
“ohh Bahasa Indonesia, itu mah gampang, merem mata juga jadi hahaha..” katanya sambil tertawa.
 “iya tau deh yang jago.” Kataku sambil melanjutkan tugas Bahasa Indonesia.
Pada saat aku dan Nicho mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, tiba-tiba saja ada yang menghubungi handphone Nicho.
“eh Clara menghubungiku, tumben sekali dia menghubungiku memangnya ada apa ya, sepertinya penting.” Katanya sambil mengangkat telepon dari Clara.
”Clara lagi.. Clara lagi.. kenapa dia selalu muncul saat aku sedang berduaan dengan Nicho dan buat apa juga ia menghubungi Nicho, memangnya apa yang penting?” Kataku dalam hati.
 Melihat Clara menelpon Nicho dengan waktu yang lama itu, perasaanku berubah, hatiku terasa kesal dan panas melihat Nicho menghubungi Clara. Pada saat Nicho menerima telepon dari Clara, Nicho sangat heboh dan senang saat membahas topik pembicaraan mereka, sampai-sampai Nicho lupa akan kehadiranku di rumahnya, dan pada akhitnya aku memilih untuk balik ke rumahku saja.
“Nicho, aku  pamit dulu ya sudah malam, terima kasih karena kamu sudah mau membantuku” kataku kepadanya. Tetapi dia tidak menjawab apa-apa sangkin seriusnya menelpon dengan Clara.
Keesokan paginya aku berangkat ke sekolah lebih awal dari Nicho, aku sengaja berangkat lebih awal agar aku dapat menghindari Nicho. Aku pergi ke Sekolah naik ojek yang terletak dekat dengan rumahku. Sialnya, ojek yang kutumpangi itu mogok sehingga, aku tidak mungkin menunggunya karena aku takut terlambat masuk Sekolah sehinga, aku harus mencari tumpangan yang lain. Tiba-tiba saja ada yang mengklaksonku dari belakang. *Tin..Tin..* suara klakson mobil berbunyi. Dan ternyata itu adalah mobil Juan, pada saat Juan melihat aku sendirian, ia langsung segera turun dari mobil menawarkanku untuk berangkat bersama.
 “hey Chelsea! cepat naik ikut bersamaku, kalau tidak kamu bisa terlambat dan dihukum lagi” kata Juan.
“Baiklah, jika tidak merepotkanmu” jawab Chelsea sambil masuk ke dalam mobil Juan.
Setibanya kami di sekolah, aku melihat Nicho berdiri tepat di depan pintu kelasku seperti sedang mencari seseorang. “Apa mungkin orang yang dicari Nicho itu aku?” pikirku dalam hati. “Ahh lebih baik aku ke toilet dulu baru masuk ke dalam kelas, aku tidak mau bertemu dengan Nicho apalagi berbicara kepadanya.” Kataku dalam hati. “*kring*” suara bel masuk berbunyi. “Akhirnya Nicho sudah pergi dan sudah kembali ke kelasnya” kataku dalam hati sambil berjalan kecil ke arah kelas.
“Hey, kenapa tadi kamu masuknya lama sekali ?” tanya Juan.
 “Hemm maaf tadi aku tiba-tiba kebelet ingin buang air kecil jadi aku langsung pergi ke toilet deh hehehe…” jawabku.
“Yakin..? bukan karena ada Nicholas tadi menunggu di depan kelas kita” kata Juan sambil penasaran dengan Chelsea.
“Ahh tidak lah, mana mungkin aku menghindari sahabatku sendiri” kataku agar Juan tidak banyak tanya lagi kepadaku.
Selama pelajaran aku jadi tidak bisa fokus karena aku selalu memikirkan Nicho dan Clara. “Kira-kira apa yaa yang mereka bicarakan di telepon semalam ya?, aku sangat penasaran sekali. Kelihatannya sangat serius, jangan-jangan Clara sudah menyatakan perasaannya pada Nicho. Ahh tapi rasanya tidak mungkin, tidak mungkin Clara seberani itu menyatakan perasaannya duluan, aku sangat mengenal betul sifat Clara, lagipula Clara kan perempuan, mana mungkin ia berani untuk menyatakan persaannya kepada Nicho. Ditambah lagi Clara itu tipe orang yang punya gengsi sangat tinggi” pikirku dalam hati. Tiba-tiba saja aku dipanggil dengan guru matematikaku untuk mengerjakan soal di papan tulis. “Gawat nih, aku tidak mengerti, ditambah lagi tadi aku tidak memperhatikan caranya” kataku dalam hati. Aku pun tetap maju ke depan dengan memegang sebuah spidol yang berwarna hitam itu. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara menjawab soal yang ada di papan tulis ini, tetapi tiba-tiba Juan melemparkan sebuah kertas kepadaku yang berisikan jawaban untuk mengerjakan soal yang ada di papan tulis.
Dan aku pun menyalinnya di papan tulis, pada saat guru matematikaku sedang tidak melihatnya. “Sudah selesai pak” kataku sambil menaruh spidol diatas meja. Dan ternyata jawaban yang diberikan Juan itu benar.
“makasih yaa kalau tidak ada kamu, aku pasti kena hukuman lagi” kataku kepada Juan.
“iya sama-sama, makanya lain kali jangan melamun mulu” kata Juan sambil menyindirku.
“iya..iya..” kataku.
“memangnya kamu melamuni apa sih?” tanya Juan kepadaku.
“hmm tidak..tidak  apa-apa.” Jawabku dengan ragu.
Sepulangnya dari sekolah, aku melihat Nicho dan Clara sedang berduaan di halaman belakang sekolah sambil membawa sebuah bunga berwarna merah muda yang besar. “ternyata apa yang kupikirkn kemaren itu benar, Clara sudah menyatakan perasaannya kepada Nicho, terlihat tidak mungkin bahwa seorang Clara berani menyatakan perasaannya kepada seorang Nicho, memang benar ternyata di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Dan sekarang Nicho dan Clara sudah pacaran aku tidak mungkin menganggu hubungan mereka jadi lebih baik aku move on saja. Tak lama kemudian Juan datang menghampiriku
“Hey Chel! Mau pulang bersama tidak?” tanyanya padaku.
 “Nicho pasti akan pulang bersama Clara jadi lebih baik aku ikut pulang bersama Juan saja.” Pikirku dalam hati.
 “Chel? Halo? *sambil melambaikan tangan di depan mukaku* ditanya kok malah melamun sih.. mau tidak Chel?” tanyanya padaku.
 “hmm boleh.. boleh.. kalau tidak merepotkanmu.” Jawabku.
 “kamu itu tidak pernah merepotkanku justru kalau kamu pulang bersamaku aku sangat senang sekali.” Jawabnya.
Selama di mobil aku memikirkan seorang laki-laki yang bisa membuatku nyaman dan orangnya adalah Nicho dan Juan. Tiba-tiba Juan memberhentikan mobilnya di sebuah taman dan dia menyuruhku untuk turun dari mobil. Setelah aku turun dari mobil aku melihat ada banyak sekali bunga-bunga berwarna merah muda di taman dan disana ada tempat duduk yang sangat indah karena banyak bunga-bunga yang melingkar di kursi itu. Tiba-tiba Juan memberikanku sebuah es krim kesukaanku yang biasanya aku dan Nicho makan.
Aku duduk berdua di kursi taman itu. “mengapa banyak sekali bunga-bunga cantik disini?” tanyaku kepada Juan.
 Lalu tiba-tiba Juan berdiri dan mengambil sebuah bunga “bunga-bunga yang cantik untuk kamu yang cantik.” Katanya sambil memberikan sebuah bunga itu kepadaku.
 “apa sih kamu ini hahaha…” jawabku dengan bercanda.
 “oh iya Chel aku mau ngomong sesuatu kepadamu.” Katanya.
 “yaa ada apa? Kamu mau ngomong apa?” jawabku dengan penasaran.
 “sebenernya..hmm aku suka sama kamu pada saat aku pertama kali melihatmu.” Katanya kepadakku dengan nada yang pelan.
“bagaimana bisa?” tanyaku kepadanya.
 “aku juga tidak tahu, perasaanku bisa datang kapan saja, dulu aku tidak percaya akan cinta pada pandangan pertama tapi setelah aku bertemu denganmu, sekarang aku percaya bahwa cinta pada pandangan peertama itu sebenarnya ada. Aku juga tidak memaksamu untuk menyukaiku tetapi setidaknya aku sudah jujur akan perasaanku sendiri” Katanya kepadaku.
Lalu aku terdiam “ah sudah lah, sudah mau malam aku takut kamu dimarahi orang tuamu, yok kita pulang.” Katanya kepadaku. Aku pun pulang bersama dia.
Sesampainya di rumah aku langsung berpamitan dengan Juan dan mengucapkan terima kasih karena sudah mau mengantarku pulang.
“makasih ya ju sudah mau mengantarku pulang, Dahh! *sambil melambaikan tangan*”. Kataku kepadanya.
 “iya sama-sama, oh ya, tentang yang tadi aku katakan kepadamu tidak usah dipikirkan ya, aku hanya ingin menyatakannya saja kok.” Katanya kepadaku.
 “baiklah, aku duluan ya..” kataku.
“iya bye Chelsea!” katanya.
 Aku pun segera masuk ke rumahku dan beristirahat. Malam-malanya aku tidak bisa tidur karena besok adalah hari ulang tahunku dan perkataan yang dinyatakan Juan tadi masih terpikir di dalam otakku. “Ahh lebik baik aku tidur saja, daripada besok telat.” Pikirku dalam hati sambil memejamkan mata.
Keeseokan harinya tepat pada tanggal 8 agustus aku berulang tahun. Aku harap hari ini aku tidak melihat kejadian yang aku tidak inginkan. Biasanya dari tahun ke tahun selalu Nicho orang yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, tapi sepertinya tidak untuk tahun ini.
Ketika aku sampai di sekolah, aku melihat ada setangkai bunga dengan tulisan “Happy Birthday Chelsea I love You” aku tidak tahu siapa yang memberikanku bunga itu dan tiba-tiba saja Juan datang menghampiriku
 “Happy birthday ya Chel semoga panjang umur dan sehat selalu, ngomong-ngomong ini buat kamu.” Katanya sambil memberikan sebuah kotak kepadaku.
 “wah makasi ya, apa ini?” tanyaku.
 “ada deh bukanya nanti saja ya pas tidak ada aku hehehe..” katanya kepadaku.
 “oke baiklah.” Jawabku.
“baik sekali Juan ini memberikanku setangkai bunga yang indah ini dan sekotak hadiah yang aku belum tahu apa isinya.” Kataku dalam hati.
Pada saat jam istirahat aku berjalan ke kantin untuk membeli makanan, di tengah perjalananku ke kantin, aku melihat Nicho dengan Clara yang juga sedang ingin berjalan ke kantin maka itu, aku berjalan ke kantin bertiga bersama mereka. “kok Nicho tidak ngucapin selamat ulang tahun kepadaku ya? Masa iya dia sampai lupa dengan hari ulang tahunku?” pikirku dalam hati. Aku merasa Nicho berubah sejak dia berpacaran dengan Clara. Setelah selesai makan di kantin Nicho masih tetap belum mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku dan dari situ aku sadar bahwa Nicho memang benar-benar lupa akan hari ulang tahunku.
Setelah pulang sekolah aku pulang bersama dengan Nicho dan juga Clara. Mereka tetap lupa akan hari ulang tahunku. Sesampainya di rumah aku berpamitan dengan mereka dan aku langsung segera masuk ke rumah.
Hari sudah malam, aku sangat menunggu ucapan ulang tahun dari Nicho karena itu, aku belum mau tidur sekarang karena aku percaya bahwa Nicho tidak mungkin lupa akan hari  ulang tahunku.
 Tiba-tiba pada pukul 23:50 ada yang menekan bel rumahku sehingga aku segera turun dan membukakannya pintu. Pada saat aku membuka pintunya aku melihat Nicho, dan Clara sedang membawa bunga besar yang indah dan sebuah kue yang sudah menyala lilinnya. Mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun kepadaku dan membawaku ke sebuah taman belakang rumah Nicho. Disitu ada banyak lilin yang menyala membentuk hati, pohon-pohon hias dengan bunga yang berwarna merah muda, dan segulung kertas yang bergantung di sebuah pohon besar dengan dua balon berwarna merah muda. Tiba-tiba Nicho menundukan diri dan memberikanku sebuah kotak hati yang berisi kalung emas.
“Chel aku bikin ini semua untuk kamu, aku tahu mungkin ini aneh bagi kamu karena kamu hanya menganggapku sebagai sahabat yang sudah kamu anggap sebagai kakakmu sendiri, tetapi perasaan yang aku rasakan sekarang itu beda, aku sayang sekali sama kamu bukan sebagai sahabat tetapi lebih dari sahabat, hmm Chel.. *sambil menghela nafas yang panjang* kamu.. mau gak jadi pacar aku?” tanyanya kepadaku sambil membuka gulungan kertas yang berisikan “kamu mau gak jadi pacar aku?”
 “aku pikir selama ini kamu itu sudah berpacaran dengan Clara maka dari itu, aku mulai menjauh darimu. Sebenarnya aku juga sayang sama kamu lebih dari sahabat” jawabku.
“jadi… kamu mau tidak jadi pacar aku?” tanyanya padaku.
“tapi bagaimana dengan Clara, Clara kan suka denganmu aku tidak mau merusak persahabatan kita.” jawabku.
“kamu tidak usah memikirkanku Chel, aku memang suka sama Nicho tapi itu dulu dan sekarang Nicho ini milikmu.” Kata Clara padaku.
“hmm.. baiklah, aku mau kok jadi pacar kamu Nic.” Jawabku.
“sekarang sudah pukul 11:59 selamat ulang tahun ya sayang aku sengaja mengucapkan ulang tahun kepadamu satu menit sebelum hari selanjutnya dan mengucapkan ulang tahun untuk yang pertama lewat bunga yang ada diatas mejamu itu agar aku dapat menjadi orang yang pertama dan terakhir di dalam hidupmu.” Katanya sambil memelukku dan memakaikan kalung pada leherku.
 “ohh jadi bunga itu kamu yang kasih aku kira itu Juan yang kasih, makasih ya kamu memang yang terbaik.” Kataku.
“Wih selamat ya Nic, Chel, sekali lagi selamat ulang tahun ya Chel” katanya. “sekali lagi makasi ya Clar, aku sayang kamu.” Jawabku sambil menahan air mata.
 “oh ya Chel ngomong-ngomong kamu dan Juan itu ada hubungan apa?” tanyanya kepadaku.
“hmm.. Juan menyatakan perasaannya kepadaku tetapi aku tidak suka sama dia, awalnya aku ingin mencoba untuk menyukainya karena aku kira kamu sudah berpacaran dengan Clara, tetapi entah kenapa aku belum bisa suka dengan dirinya dan aku masi tetap suka denganmu.” Jawabku.
“ohh jadi begitu.. lalu, bagaimana jika Juan tahu kalau kita sudah berpacaran hari ini?” tanyanya.
 “aku yakin dia pasti mengerti, nanti aku akan jelaskan semuanya kepada dia.” Jawabku.
“baiklah sekarang sudah pukul 01:00, waktunya kamu  istirahat sekarang jangan sampai kamu telat bangun besok.” Katanya.
 “baiklah, aku duluan ya, Dahh!” kataku.
 “Dah! Mimpiin aku ya hehehe..” jawabnya sambil menuju ke rumah.
Sesampainyaku di kamar aku bersiap-siap untuk tidur dan tiba-tiba saja pandanganku menghadap ke arah meja rias yang  di atasnya ada sebuah kotak yang diberi oleh Juan tadi pagi di sekolah. Aku pun bergegas untuk mengambil kotak itu di meja rias. Pada saat aku membuka kotak itu, isinya hanyalah sebuah buku dan kertas yang berisi “Happy Birthday  ya Chel, God Bless You, Wish You All The Best. Selamat ya, sudah  sama Nicholas, sebenarnya aku sudah tahu semuanya, aku tau kok kamu pasti lebih merasa senang dan nyaman bersama dengan Nicho daripada denganku. Aku tidak butuh perasaan kamu ke aku sekarang, aku merelakanmu untuk bersama dengan Nicho asalkan kamu senang dan hidup bahagia. Aku akan ikut semua kemauanmu. Dan kamu tidak usah pikirkan perasaanku kepadamu karena aku akan bahagia bila aku melihatmu bahagia. Dan di buku ini kamu bisa tulis hal apa saja yang setiap hari kamu lakukan agar jika nanti kamu sudah besar kamu bisa membaca hari-hari masa kecilmu. Jangan melupakanku ya! Kita kan masih menjadi sahabat hehehe..” Aku masih merasa senang walaupun Juan tidak memberikan barang yang mahal. Aku sangat bahagia karena ia memberikan buku yang bisa menjadi sebuah kenangan pada saat aku besar nanti. Dan sekarang udah malam lebih baik aku tidur daripada nanti aku terlambat masuk sekolah.
Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah dengan Nicho, sesampainya kita di sekolah, bel masuk berbunyi sehingga, aku dan Nicho langsung segera masuk ke kelas kita masing-masing. Pada saat aku memasuki kelas aku bertemu dengan Juan dan aku datang menghampiri dia.
 “hmm Ju makasih ya kadonya dari hari ini aku akan mulai menulisnya, aku sangat suka sekali dan untuk kertas itu, aku sangat menghargaimu dan sekarang sampai selamanya kita akan selalu menjadi sahabatku.” Kataku kepadanya.
 “iya Chel.. sama-sama jangan lupain aku ya..” jawabnya.
“iya Ju, aku tidak mungkin melupakan sahabat sebaikmu.” Jawabku.
Beberapa bulan kemudian, aku  berangkat ke Paris untuk mengikuti tes pendaftaran beasiswa di  Universitas Designer ternama di Paris. Lalu aku balik lagi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahku. Beberapa minggu kemudian, aku mendapat surat yang menyatakan bahwa aku mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Elicy –Universitas ternama di Paris. Aku merasa senang tetapi ada juga perasaan sedih. Aku senang karena aku bisa mengembangkan cita-citaku yaitu menjadi seorang designer. Aku jugamerasa sedih karena harus meninggalkan orang tuaku, pacarku, dan juga sahbata-sahabatku.
Hari demi hari kulewati, aku semakin dekat dengan Nicho. Aku selalu pergi dan pulang bersama dia setiap hari. Sampai pada akhirnya, inilah saatnya akhir dari SMA, aku akan menghabiskan waktu bersamanya sebelum aku berangkat ke Paris. Aku harap sewaktu aku sudah bersekolah di Paris nanti, hubunganku dengan Nicho masih seindah seperti sekarang karena, aku sering melihat pasangan lainnya putus karena LDR, aku tidak ingin bila nantinya hubunganku berakhir seperti itu juga.
Ini dia hari yang kutunggu-tunggu untuk mewujudkan cita-citaku sejak aku masih kecil. Nicho yang mengantarkan ku pergi ke bandara Soekarno Hatta pagi-pagi sekali. Sangat berat untuk meninggalkan Nicho di Jakarta tetapi aku tidak boleh egois, aku tidak mungkin menyuruh Nicho ikut bersamaku ke Paris karena, bagaimanapun Nicho juga harus mewujudkan cita-citanya sendiri. Dan untuk terakhir kalinya sebelum aku berangkat ke Paris, aku berpelukan dengan Nicho.
”Jika ada waktu senggang aku akan berangkat ke Paris untuk menemuimu.” Kata Nicho kepadaku.
“aku duluan ya, Dahh!” kataku sambil menahan air mata.
 “Dahh sayang! Hati-hati ya, jangan lupa untuk menghubungiku jika kamu sudah sampai di Paris.” katanya padaku.
 “Dah! Sampai jumpa lagi..” kataku sambil menarik koperku dan berjalan masuk ke dalam bandara.
Beberapa bulan telah kulewati, aku dan Nicho menjadi sangat jauh tetapi hubungan kita masih berjalan dengan baik walaupun tidak seindah dulu lagi. Karena perbedaan jam, jadi kami agak sulit untuk berkomunikasi.
Pada saat liburan natal, Nicho menyempatkan dirinya untuk berangkat ke Paris. Nicho menyusul aku ke Paris untuk bisa menghabiskan waktu bersama denganku. Mendengar kabar itu, aku sangat gembira sekali karena aku sudah sangat rindu dengannya. Keesokan harinya, hari itu adalah hari dimana Nicho berangkat ke Paris dan aku sudah tidak sabar menunggu kehadirannya. Jarak dari Jakarta ke Paris membutuhkan waktu yang agak lama sehingga, Nicho sampai disini keesokan harinya.
Keesokan harinya, di pagi hari aku belum mendapat kabar apa-apa dari Nicho. Aku mulai panik dan perasaanku sudah mulai tidak enak, berulang-ulang kali aku mencoba untuk menelfonnya tetapi tidak diangkat-angkat aku berpikir bahwa mungkin karena pesawatnya belum sampai di Paris.
Hari sudah menjadi siang, aku harus mengerjakan tugas kuliahku di rumah temanku. Pada saat aku sampai di rumah temanku itu, aku langsung mengerjakan tugasnya tanpa memegang handphone sama sekali. Saat aku ingin menggunting kertas, tiba-tiba saja tanganku tergunting dan tanganku berdarah. Dari situ aku mulai merasa ada yang aneh, tiba-tiba mamanya Nicho menghubungiku lewat via SMS. Ia menyuruhku untuk segera pulang, tetapi hari sudah malam maka, aku memutuskan untuk balik ke Jakarta pada besok pagi. Aku tidak tahu apa yang terjadi, perasaanku mulai kacau. Hal yang aku lakukan hanyalah berdoa dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa. Aku pun segera membeli tiket pesawat untuk balik ke Jakarta untuk besok pagi.
Keesokan harinya pada pagi hari, aku segera langsung pergi menuju ke bandara untuk balik ke Jakarta. Belasan jam telah kulewati, sesampainyaku di Jakarta aku segera memesan taksi dan langsung menuju rumah Nicho. Pada saat aku sampai di rumah Nicho, aku melihat banyak sekali bendera kuning di rumahnya. “mengapa banyak sekali bendera kuning disini, memangnya ada apa ya? Apa jangan-jangan…. Ah tidak, tidak mungkin.” Pikirku dalam hati. “permisi..” kataku sambil menekan bel rumah Nicho. Mamanya Nicho pun langsung membukakan pintu untukku dan menyuruhku untuk duduk di ruang tamu. Dan pada saat itulah ia menceritakan semuanya.
“jadi Chel, Nicho… kecelakaan pesawat pada saat ia menuju ke Paris untuk menemuimu.” Katanya padaku sambil menahan tangis.
“Apa?! Itu tidak mungkin, tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin.” Jawabku sambil menahan tangis.
 “memang susah bagi kamu untuk menerima kenyataan itu, sama seperti tante, tante sangat sayang kepada Nicho tetapi tante harus menerimanya bahwa sekarang Nicho sudah tidak ada lagi, ketahuilah Nicho sangat sayang padamu.” Katanya sambil menangis.
“Ah tidakk! Semua ini salahku, kalau Nicho tidak pergi untuk menemuiku pasti sekarang ia masih ada.” Kataku sambil menangis.
“tidak.. tidak.., tidak ada yang salah, Tuhan berhak mengambil Nicho kapan saja, sudah..sudahh.. kamu tidak usah menyesal karena menurut tante, itu bukan salahmu.” Katanya sambil mengelus kepalaku.
Mamanya Nicho berjalan menuju ke kamar Nicho dan keluar dari kamarnya sambil membawa satu kotak berukuran sedang.
“oh iya, saat tante membereskan kamar Nicho, tante melihat kotak ini di bawah kasurnya, mungkin kotak ini untukmu.” Katanya kepadaku sambil memberikanku kotak itu.
 “hmm oke makasi ya tan sekarang aku mau balik ke rumah dulu untuk bertemu dengan orang tuaku.” Kataku sambil memegang kotak itu.
“iya.. jangan sedih lagi ya, kamu harus bisa kuat  seperti tante.” Katanya.
“iya tante, tante juga ya, aku duluan ya tan! Dah tante!” kataku sambil menuju pintu keluar.
Aku kembali ke rumah dalam keadaan masih menangis, aku masih tidak percaya bahwa kini Nicho sudah tiada. Aku menyesal karena kemarin aku tidak segera buru-buru kembali ke Jakarta untuk melihat kondisi terakhir Nicho. Malam ini merupakan malam terburuk di seumur hidupku, aku kehilangan pacar yang sangat kusayangi. Hari sudah mulai malam sebelum aku tidur, aku memutuskan untuk membuka kotak yang diberi oleh mamanya Nicho tadi siang, saat aku membukanya, tertulis sebuah kata ‘untuk Chelsea tersayang” Jadi memang benar, kotak ni sebenarnya untukku. Di kotak itu juga ada sebuah CD yang aku tidak tahu isinya dengan keterangan “kalau kamu ada waktu diputar ya CD ini” aku pun segera memutar CD itu dan menontonnya di TV. Kulihat Nicho sedang duduk di sebuah kursi dan memegang bunga yang besar sedang menyanyikan lagu ‘Sampaikan Sayangku untuk Dia” dengan memainkan gitar. Aku sudah mulai tidak bisa menahan air mataku saat aku mendengarkan suaranya yang merdu itu. Setelah ia selesai menyanyi, ada sebuah kata-kata yang ia ingin ucapkan kepadaku. “jadi lagu ini aku persembahkan untuk pacarku, Chelsea. Selama kamu di Paris aku selalu rindu denganmu, aku harap perasaan rinduku ini juga terjadi padamu. Aku hanya mau bilang bahwa aku sangat sayang padamu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu sampai kapanpun kecuali kalau memang itu sudah waktuku untuk meninggalkan dirimu. Aku berharap kamu mengerti perasaan sayangku ini kepadamu. Dari dulu aku tahu kalau kamu sangat suka sekali dengan bunga yang berwarna merah muda, maka dari itu aku akan memberikan bunga ini pada saat aku berangkat ke Paris besok. Aku sangat menyanyangimu Chelsea” vidio yang ada pada CD itu pun mati dan aku tidak bisa menahan air mataku. Air mataku jatuh dengan sendirinya, aku tidak bisa menahannya. “aku juga sangat menyayangimu, Nicho.” Kataku dalam hati sambil mengeluarkan air mata.
Hari sudah malam, tetapi aku masih belum bisa tidur, aku masih ingin menulis cerita di buku harian yang di beri oleh Juan pada saat aku ulang tahun dulu. Aku menulis banyak sekali cerita, cerita itu dimulai pada saat aku ulang tahun hingga sekarang aku kehilangan Nicho. Aku pun segera menuliskan cerita tentang kisah cintaku itu di halaman terakhir bukuku.  Dan kisah cintaku berakhir disini, dimana aku menulis cerita tentang pengalaman kisah cintaku untuk yang terakhir kalinya.
           
 




Cinta Dibalik Jeruji Besi
Oleh Michelle

Kudengar suara tembakan diletuskan di udara. Kulihat darah berceceran di sekujur tubuhku. Apakah aku tertembak? Namun, kemudian kulihat tubuh ayah yang sudah tidak bernyawa tergeletak di lantai. Mata yang dulu sering menatapku dengan kebencian kini seakan menatapku dengan tatapan hampa. Sekilas terlintas di pikiranku, hari ini aku telah menjadi seorang pembunuh.

Aku berjalan menuju ruang bawah tanah penjara, tempat bagi orang-orang yang bisa dibilang telah melakukan hal yang tidak dapat diampuni. Hanya remang-remang cahaya dari lampu tua yang menerangiku sepanjang jalan. Tempat ini sangat gelap, tidak ada sedikit pun cahaya langit yang dapat menembus tembok-tembok yang tebal ini. Rasanya mereka seperti ingin memisahkan kami dari dunia luar. Kami terkesan seperti sebuah ancaman bagi kehidupan semua orang.
Sembari berjalan, aku merasa para narapidana yang berada di sini sedang menatapku. Beberapa dari mereka mencibirku dengan kata-kata kasar sambil tertawa. Aku tidak merasa kesal atau marah sedikitpun. Menurutku memang wajar bagi mereka untuk melakukannya karena anak se-usiaku tidak seharusnya berada di sini. Rata-rata narapidana yang berada di sini hanyalah orang-orang yang sudah tidak memiliki harapan hidup lagi. Tetapi beda halnya dengan ku. Aku baru berumur 19 tahun. Kehidupanku di dunia ini masih sangat panjang. Seharusnya aku bisa menggunakan waktuku itu untuk mencapai impian-impianku. Akan tetapi, aku harus terjebak di sini dan menghabiskan sisa hidupku di sini .
Tiba-tiba petugas yang berada di sebelahku menyuruhku untuk berhenti. Aku yang tadinya menundukkan kepalaku langsung mengangkatnya seketika. Di depanku kulihat sel penjara yang terbuka lebar pintunya bersama dengan dua orang petugas lainnya. Di atas sel tersebut terdapat tulisan ‘No. 47’ yang dicat dengan warna merah.
Petugas tersebut membuka borgol yang berada di tanganku dan menuntunku untuk masuk ke dalam sel. Ia menutup kembali pintu selnya dan menguncinya. Kemudian mereka bertiga pergi dan meninggalkanku sendirian di dalam sini.
Sel ini kecil dan sangat tertutup. Hanya terdapat sebuah ranjang, wastafel, dan kloset. Cahaya yang ada di dalam hanya berasal dari sebuah lampu kecil di langit-langit. Di pintu sel terdapat dua buah lubang kecil berbentuk kotak; yang satu untuk melihat ke arah lorong dan yang satunya untuk memasukkan piring makanan ke dalam.
Setelah melihat sekeliling, aku memutuskan untuk tidur sejenak. Ketika aku tertidur, aku bermimpi diriku menjadi seorang anak laki-laki. Di mimpiku, aku melihat ayah yang sedang menyeretku keluar rumah sambil memarahiku. Ia membanting pintu rumah dan meninggalkanku sendirian di luar. Tiba-tiba kulihat ada seorang gadis kecil berambut pirang yang berdiri di sampingku.
“Apa yang terjadi padamu? Apakah kau baik-baik saja?” tanya gadis tersebut kepadaku.
“Aku membuatkan roti dengan selai kacang ini untuk ayahku. Aku tidak tahu kalau ia tidak menyukainya. Ia pun memarahiku dan mengurungku di luar rumah”
“Ya ampun, kasihan sekali kamu... Boleh aku coba?” tanya nya dengan wajah berseri-seri.
“Ya, tentu saja!” kataku dengan senang sambil memberinya roti yang aku buat tadi.
Ia mencicipinya lalu berkata, “Wahhh... Ini enak sekali!”
“Benarkah?” tanyaku dan ia mengangguk sambil tersenyum.
Tok, tok, tok.
Suara ketukan di pintu sel membangunkanku dari mimpiku. Pikiranku masih terngiang-ngiang dengan mimpiku barusan. Sering sekali aku bermimpi tentang gadis kecil itu. Anehnya, aku seperti pernah mengalami semua kejadian yang ada di mimpiku itu.
“Hei, nak! Mengapa melamun saja sejak tadi? Itu makan siangmu sudah ada di dalam,” suara seorang petugas dari arah pintu sel mengembalikanku dari lamunan.
Aku berdiri dan melihat sudah ada nampan berisi makanan di bawah lantai. Aku mengambil nampan tersebut dan membawanya ke ranjang. Nampan tersebut hanya berisi nasi, ayam goreng, sayur, dan segelas air putih. Paling tidak makanan di penjara lebih enak dari makanan di rumah. Biasanya ayah hanya memberiku makanan yang sudah dingin atau bahkan terkadang makanan yang sudah basi. Ayah... Lagi-lagi kuteringat dengannya. Aku harus melupakannya.
Setelah menyantap makan siang ku, aku menaruhnya di lantai dan mendorongnya ke luar lewat lubang kecil yang sudah disediakan dibawah pintu sel. Setelah itu aku pun memutuskan untuk tidur kembali. Hanya dengan cara ini sajalah aku dapat melupakan ayah dan semua kenangan buruk di masa lalu ku.
Ayah mendorongku sampai aku terjatuh di lantai kamar mandi. Air mataku terus menetes seperti air terjun sambil mendengar ayah yang tak kunjung berhenti memaki ku.
“Dasar anak nakal! Lain kali jangan main-main di kamar mandi! Ayah hampir terpeleset gara-gara kamu,” teriak ayah sambil menatapku dengan amarah.
Ia melepaskan tali pinggangnya dan mengangkatnya tinggi di udara. Mengetahui apa yang ia akan lakukan kepadaku, aku langsung meringkuk dan menghadang wajahku dengan tangan. Ia mengayunkan tali pinggangnya ke arahku dengan sekuat tenaga. Aku menarik napas dan menggigit bibirku agar aku tidak berteriak ketika rasa sakit yang menyengat menghantam punggungku dan...
Aku terbangun dan menarik napas lega. Ternyata ini cuma mimpi... Lagi-lagi aku memimpikan tentangnya. Terkadang aku heran mengapa banyak orang yang berkata bahwa di dalam mimpi semuanya akan terasa indah. Aku sendiri justru ingin kabur dari mimpiku karena bayangan tentang ayah seringkali muncul dan menghantui mimpiku. Setiap kali dirinya terlintas di pikiranku, yang aku rasakan hanyalah kemarahan dan..... rasa takut. Aku sudah berkali-kali mencoba untuk menghilangkan rasa takut tersebut, tetapi rasa takut itu seperti sudah tertanam di dalam lubuk hatiku yang terdalam. Untuk itulah aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan ketika ia sudah tiada. Haruskah aku merasa sedih seperti yang biasa orang rasakan ketika kehilangan ayahnya, atau haruskah aku merasa senang karena ketakutan terbesarku sudah pergi meninggalkanku? Entahlah, aku tidak ingin memikirkan tentang dirinya lagi.
Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan menuju pintu. Ketika berjalan, aku tidak sengaja menendang nampan berisi makanan yang ada di lantai. Oh, ternyata sudah waktunya untuk makan malam. Aku duduk di lantai dan mulai menyantap makanan tersebut. Namun, semua makanannya sudah dingin. Aku pun kehilangan selera makanku dan memutuskan untuk tidak makan malam. Aku mendorong kembali nampan tersebut keluar dan duduk di samping ranjang. Aku tidak ingin tidur karena aku takut bayangan ayah akan datang dan menghantui mimpiku lagi.
Aku menundukkan kepalaku kebawah dan melihat sebuah batu kecil. Aku pun mendapat sebuah ide untuk mengatasi kejenuhanku. Aku mengambil batu kecil tersebut dan berjalan menuju tembok yang ada di seberangku. Aku mulai mengukir beberapa angka di tembok tersebut dimulai dari angka satu sampai dengan enam puluh dua. Setelah selesai, aku pun mencoret angka satu dengan satu garis coretan. Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk membuat semua ini. Namun, yang aku tahu adalah aku mulai merasa lelah dan ngantuk. Akhirnya aku pun memutuskan untuk tidur.

Aku menjalani hari-hari ku berikutnya seperti biasa. Kerjaanku hanya makan, tidur, dan... menanti hari. Awalnya aku merasa senang karena di sini jauh lebih baik dari rumah. Di sini aku dapat merasa lebih tenang. Aku tidak akan lagi mendengar makian-makian dari ayah. Aku juga tidak perlu lagi melihat wanita-wanita yang sering ayah bawa pulang ke rumah. Entah darimana ia mengenal semua wanita itu. Namun rasa senang itu perlahan-lahan memudar, digantikan dengan rasa jenuh. Di sini aku hanya seorang diri, tidak ada siapa pun yang dapat menemaniku. Tidak ada orang yang dapat ku ajak berbicara di sini. Mungkin jika cerita tentang keseharianku di penjara dijadikan buku, tidak akan ada yang ingin membacanya karena memang sungguh membosankan.

Tidak terasa, sudah seminggu sejak aku pertama kali masuk ke sini. Pagi itu, ada seorang petugas yang datang menghampiri sel penjaraku untuk membangunkanku. Ia membuka pintu sel penjaraku dan berkata, “Keluarlah dan ikut aku ke atas. Ada yang ingin bertemu denganmu di ruang interogasi.”
Aku terkejut. Siapa yang ingin menemuiku di saat seperti ini? Apakah salah satu dari saudaraku? Tidak, tidak. Tidak mungkin. Aku tidak pernah sekalipun bertemu dengan saudara-saudaraku. Atau mungkinkah temanku dari sekolah? Tetapi itupun juga tidak mungkin. Tak ada satu pun temanku yang mengetahui tentang keberadaanku sekarang ini.
Aku keluar dari sel penjaraku dan mengikuti petugas tersebut. Rasa takutku bercampur dengan rasa gugup dan penasaran. Sembari berjalan, ku masukkan kedua tanganku ke dalam saku celana agar dapat menghilangkan rasa gugup. Ketika aku sampai di depan pintu ruang interogasi tersebut, pintunya sudah terbuka sedikit sehingga aku dapat melihat siapa yang ada di dalam. Diam-diam aku mengintip ke dalam ruangan dan dapat melihat seorang gadis perempuan yang sedang duduk sambil memegang secangkir minuman. Dari wajahnya dapat ditebak bahwa umurnya kira-kira sama denganku. Di sampingnya berdiri seorang pria bertubuh gemuk yang memakai seragam polisi. Siapakah mereka? Rasanya aku pernah melihat pria tersebut sebelumnya. Oh iya... Aku baru ingat! Pria tersebut bekerja sebagai petugas LP di sini. Tetapi... siapakah gadis tersebut?
“Hei, nak! Apa yang sedang kau lakukan? Duduk di sana dan tunggulah sebentar,” kata seorang petugas sambil menepuk bahu kiri ku.
Aku pun berjalan menuju kursi yang berjejer di seberang ruang interogasi tersebut. Sewaktu aku berbalik badan dan melangkah secara perlahan, kudengar suara si petugas LP. Aku berhenti, ingin tahu apa yang dikatakannya kepada gadis tersebut. Aku tidak dapat mendengar semua yang ia katakan dengan jelas. Yang kutangkap hanyalah kata hati-hati. Apakah mereka sedang membicarakan aku?
Selang beberapa detik setelah aku duduk di kursi, petugas LP tersebut keluar dari ruangan. Ia memanggil seorang petugas dan membisikkan sesuatu kepadanya. Setelah mendengar apa yang ia katakan, petugas tersebut langsung berjalan ke arahku dan menuntunku untuk masuk ke dalam ruang interogasi.
Saat aku masuk ke dalam ruangan, aku dapat menghirup aroma kopi yang bercampur dengan aroma parfum yang digunakan gadis tersebut. Aku menarik kursi yang berseberangan dengan gadis tersebut dan duduk. Rasa penasaranku terhadap dirinya semakin lama semakin bertambah. Petugas yang tadi menuntunku untuk masuk ke dalam sekarang berdiri di samping gadis tersebut dan membisikkan sesuatu kepadanya. Kenapa semua orang harus berbisik-bisik? Apakah mereka sedang menyimpan sesuatu dariku?
“Tidak. Tidak usah. Aku dapat menanganinya. Tenanglah, aku pasti akan baik-baik saja,” suara lembut gadis tersebut mengisi seluruh ruangan yang tadinya sunyi senyap.
Petugas tersebut mengangguk dan berjalan keluar. Ia menutup pintu ruangan dan meninggalkan kami berdua. Kesunyian yang datang menghampiri membuat suasana di antara kami berdua semakin canggung. Rasanya beberapa jam telah berlalu sampai akhirnya kudengar gadis tersebut menghela napasnya.
“Baiklah, kita tidak bisa terus diam seperti ini,” kata gadis tersebut tiba-tiba.
Aku terdiam, tidak berkata suatu kata pun. Aku terus menatapnya dan memperhatikannya. Semakin lama kumelihatnya, semakin kumerasa bahwa aku pernah mengenalnya sebelumnya. Gadis ini memiliki rupa yang begitu cantik. Rambut pirangnya yang panjang dan matanya yang berwarna hitam kecoklatan berpadu manis dengan kulit sewarna kulit langsat.
“Namaku Clarice, orang biasa memanggilku Clary. Aku berumur 18 tahun. Kau pasti sudah tahu Pak Jefferson, bukan? Dia adalah petugas LP di sini. Dan ya, ia adalah ayahku. Jadi, hmmm... Siapa namamu?” suara lembut Clary memecahkan keheningan dalam seketika.
Clary, Clary, Clary. Aku harus mengingat namanya. Namanya tidak terdengar asing bagiku. Aku berulang-ulang mengucapkan namanya di dalam hatiku sambil terus mengingat siapa gerangan gadis ini.
“Mengapa kau hanya menatapku saja? Siapa namamu?” kata Clary sambil menatapku dengan heran.
Aku masih tetap terdiam. Entah mengapa sebagian dari diriku memutuskan untuk tidak berbicara kepadanya. Padahal sebenarnya aku ingin sekali berbicara dengannya dan mengenalnya lebih lagi. Mungkin karena sebagian dari diriku tidak ingin mempunyai teman lagi karena tidak ingin merasakan rasanya kehilangan ketika hari itu tiba nanti.
“Hei! Apa kau melamun? Aku tadi bertanya siapa namamu. Mengapa kau diam saja daritadi?” tanya Clary sekali lagi.
“Damian Franco,” jawabku singkat. Ahh... Seharusnya aku menjawabnya dengan lebih ramah dan lembut lagi.
“Nama yang bagus,” kata Clary sambil tersenyum tanpa mempermasalahkan jawabanku yang datar tadi.
“Apa nama panggilanmu?” ia bertanya dengan ramah.
“Panggil saja Damie,” jawabku dengan suara yang sangat serak. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku berbicara dengan seseorang sehingga mulut dan tenggorokkanku semua terasa kering.
“Damie,” ia mengulang nama panggilanku dengan suara pelan.
Setelah beberapa saat, lagi-lagi ruangan ini diisi dengan kesunyian. Aku menunggu sampai Clary memulai percakapan baru karena aku sungguh tidak mengetahui cara memulai suatu percakapan dengan baik. Setelah beberapa menit, aku pun memutuskan untuk memulai percakapan yang baru.
“Untuk apa kau ada di sini?” tanyaku kepadanya.
“Entahlah. Sebenarnya aku datang ke sini untuk mengerjakan tugas kuliahku agar aku mendapat nilai tambahan. Kebetulan sekali ayahku berkerja sebagai petugas LP di sini sehingga aku tinggal memintanya untuk memanggil salah satu dari narapidana yang ada di sini untuk di konseling olehku.”
“Tetapi dari semua narapidana yang ada di sini, kenapa ayahmu harus memilih aku?” tanyaku heran.
“Ia bilang karna hanya kau yang seumuran denganku. Lagi pula, ayah bilang kalau kau tidak memiliki teman bicara di sini. Ia menyuruhku untuk menjadi teman bicaramu agar kau tidak menjadi stress atau gila. Lalu, bagaimana denganmu? Mengapa kau bisa berada di sini?” tanya Clary sambil meneguk kopi yang ada di cangkir miliknya.
“Rahasia. Aku tidak akan memberitahumu mengapa aku bisa berada di sini sampai kita sudah mengenal satu sama lain lebih jauh lagi. Tetapi aku berjanji bahwa apapun kesalahan yang telah kuperbuat, aku tidak akan pernah menyakitimu,” jawabku tenang. Aku tidak ingin ia mengetahui bahwa aku telah membunuh orang. Aku takut bahwa ia akan menjadi menjauhiku dan tidak akan menemuiku lagi.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan seorang petugas berkata, “Nona Clary, waktu mu sudah habis.”
“Ya sudah, baiklah. Aku harus pergi sekarang. Sampai bertemu besok, Damie!” ujar Clary sambil berjalan keluar ruangan.

Ketika petugas tersebut membukakan pintu, aku sudah dapat melihat Clary yang sedang duduk di dalam dengan santai. Ketika ia melihatku, ia langsung tersenyum dan mengisyaratkanku untuk duduk.
“Jadi, aku berpikir bahwa bagaimana jika kita memiliki percakapan yang normal saja? Maksudku agar dapat mencairkan suasana supaya tidak secanggung kemarin,” ujarnya.
Aku mengangguk dan berkata, “Baiklah. Sebelum itu, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan kepadamu. Mengapa kau tidak takut denganku?”
“Untuk apa aku takut?” jawabnya dengan santai.
“Benarkah? Kau tidak takut denganku?” Aku mencondongkan badanku kedepan dan melingkarkan tanganku di sekitar leher Clary. Ia tidak berteriak atau apapun. Ia hanya diam dan masih terlihat tenang.
Beberapa saat kemudian kudengar speaker yang berada di sudut atas ruangan berdegum, “Lepaskan tanganmu darinya, Tuan Damian.”
Aku menyeringai dan mengejeknya, “Aku takjub kau tidak berteriak sedikitpun.”
Clary tersenyum dan berkata, “Tentu saja. Aku mempercayaimu. Kau sudah berjanji kemarin bahwa kau tidak akan pernah menyakitiku.”
“Kau.... Kau mempercayaiku?” tanyaku dengan sangat terkejut.
“Ya. Memangnya kenapa?”
“Tidak... Hanya saja belum pernah ada orang yang mempercayaiku selain ibuku.”
“Benarkah? Tidak apa, jangan khawatir. Tidak semua orang dapat mempercayai kita. Ingat saja bahwa sekarang ini ada dua orang yang mempercayaimu,” ujar Clary dengan cenyuman manis di wajahnya.
Aku menatap matanya dan aku tidak dapat melihat sedikitpun kebohongan yang tersimpan dibalik tatapannya. Lalu, ia memegang tangan kiriku dan mengelus tanganku menggunakan jempolnya. Ia seperti ingin memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Kau tidak tahu apa yang sudah kulakukan, Clary,” bisikku pelan.
“Memangnya apa yang sudah kau lakukan?” tanya Clary dengan nada penasaran.
“Waktu kalian sudah habis,” kata seseorang dibalik speaker.
“Baiklah, sampai jumpa besok,” ujar Clary dan aku tersenyum.
Kami berdua berdiri dan bersama-sama berjalan menuju pintu dimana sudah ada dua petugas yang sedang menunggu. Seorang dari petugas tersebut menuntunku untuk kembali ke sel milikku. Setelah jalan beberapa langkah, aku menghentikan langkahku.
Aku membalikkan badanku dan berkata kepada Clary, “Aku takut bahwa apabila aku memberitahumu, kau akan pergi meninggalkanku dan aku tidak akan dapat melihatmu lagi.”

Suara siulan dan suara berisik akibat para narapidana yang saling bersahut-sahutan membangunkanku dari tidur. Apa yang terjadi? Mengapa pagi-pagi begini mereka sudah sangat berisik?
Tiba-tiba pintu sel penjaraku terbuka. Aku berusaha melihat ke arah pintu sel tetapi penglihatanku terhalang oleh lampu senter yang menyorot tepat ke arah mataku.
“Hei...,” sapa seorang gadis.
Clary?
“Clary? Apa yang sedang kau lakukan pagi-pagi begini? Dan mengapa kau harus sampai turun ke bawah untuk menemuiku? Seharusnya kau menunggu di ruang interogasi saja. Di sini berbahaya...,” ujarku cemas.
“Tidak apa-apa, banyak petugas yang menemaniku ke sini tadi. Lagi pula, aku sudah meminta ijin dari ayah,” kata Clary dengan tenang.
“Oh, syukurlah. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku sampai kau membela-belakan dirimu untuk datang ke sini?”
“Sebenarnya tidak ada hal yang penting yang ingin kubicarakan denganmu. Aku hanya ingin menemuimu karena aku senang berbicara denganmu,” ujar Clary dengan senyuman manisnya.
Entah mengapa hatiku berdegup sangat kencang ketika ia mengatakannya. Untuk pertama kalinya sejak aku datang ke sini, baru kali ini aku benar-benar merasakan rasanya kebahagiaan.
“Selama dua hari ini, apa yang kau lakukan setelah melakukan konseling denganku?” tanya Clary tiba-tiba.
“Tidak ada apa-apa yang menarik. Biasanya aku hanya menunggu jam makan siangku dan istirahat untuk beberapa saat sampai makan malamku tiba,” terkadang aku juga memikirkanmu, ujarku dalam hati.
Setelah itu kami berbincang-bincang. Ia memberi tahu aku sedikit tentang keluarganya. Ia juga memberi tahu ku makanan favoritnya, yaitu roti dengan selai kacang. Aku terkejut ketika mengetahuinya karena itu juga merupakan makanan favoritku.
Lalu ia melirik ke arah tembok yang berisi tulisan-tulisan angka yang telah ku ukir. Ia bertanya kepadaku, “Apa ini?”
Jantungku seperti berhenti berdetak seketika dan aku menjawabnya dengan cepat, “Tidak, tidak. Bukan apa-apa.”
“Mungkin ini sebagai kalender agar kau dapat menanti sampai waktunya dimana kau akan dibebaskan ya? Baiklah, aku harus naik ke atas untuk membantu ayahku yang sedang berada di kantornya,” ujar Clary sambil tersenyum manis.
“Ya... Sampai bertemu besok, Clary.”
“Atau mungkin lebih tepatnya nanti sore ketika aku merasa bosan berada di kantor ayahku,” ujar Clary sambil mengedipkan matanya kepadaku. Sebelum ia keluar, ia menyelipkan sebuah permen karet di saku celanaku dan berbisik kepadaku, “Ini untukmu agar kapan-kapan kau tidak merasa bosan lagi.”

Sudah dua minggu sejak pertama kali aku bertemu dengan Clary. Kita sudah sering berbincang-bincang bersama. Walaupun begitu, aku belum pernah sekalipun menceritakan tentang ayahku ataupun tentang mengapa aku bisa berada di sini. Ia juga sering membawakan makanan untukku, terutama roti dengan selai kacang karena ia tahu aku menyukainya. Aku suka bagaimana Clary memperlakukanku sebagai manusia biasa, bukan seperti seorang narapidana yang berbahaya.
Clary sering menunjukkan sifatnya yang lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang. Oleh sebab itu, terkadang aku merasa takut. Takut karena aku menyadari bahwa aku mulai jatuh hati kepadanya sedikit demi sedikit. Yang membuatku jatuh hati kepadanya bukanlah hanya karena parasnya yang cantik tetapi bagaimana ia berperilaku di depanku. Seperti bagaimana matanya menatapku ketika ia sedang berbicara denganku. Entah mengapa setiap kali aku menatap matanya, aku merasa aman dan tenang. Aku suka ketika aku menangkapnya sedang menatapku. Aku suka senyumnya yang ia pancarkan setiap kali ia berbicara denganku. Aku suka bagaimana ia memanggilku Damie. Aku suka cara dia peduli padaku. Aku suka bagaimana dia bisa membuat aku merasa aman tinggal di dunia yang katanya penuh dengan bahaya ini. Terkadang aku merasa ia telah memberikanku kesenangan dan kasih sayang yang telah aku tunggu-tunggu sejak lama. Berkatnya, aku dapat melupakan segala mimpi buruk hidupku tentang ayah.
Aku seringkali berharap agar sesi konselingku dengannya dapat berlangsung seharian supaya aku dapat mendengar suara lembutnya selama satu hari penuh. Terkadang ketika mengingat bahwa ia sebenarnya berada di satu gedung denganku setiap hari membuatku ingin berteriak. Ingin sekali rasanya ku tembus seluruh dinding-dinding penjara yang membatasi diriku untuk bertemu dengan dirinya.
Aku memang sudah mulai jatuh hati kepadanya. Tetapi aku belum berani mengembangkan perasaan yang kurasakan untuknya. Aku belum berani untuk merasakan satu kata dengan lima huruf yang mengandung banyak makna itu. Dan aku rasa aku tidak akan pernah berani. Aku takut jika perasaanku kepadanya sudah semakin dalam, aku akan kehilangannya. Aku tidak akan sanggup merasakan rasa kehilangan lagi. Aku melirik ke tembok yang sudah aku ukir dengan angka-angka waktu itu. Ku ambil batu yang kugunakan waktu itu untuk mencoret angka 41. Tinggal empat puluh hari lagi, kataku dalam hati.

“Hei... Mengapa kau menangis?” tanya gadis kecil tersebut.
“Tadi aku sedang bermain dan dengan tidak sengaja pesawat terbangku masuk ke dalam kamar ayahku. Ia keluar dari kamarnya sambil marah-marah dan berkata bahwa aku telah mengganggu tidur siangnya,” kataku sambil menangis.
“Lalu, apa yang ia lakukan?”
“Ia keluar rumah dan membanting pesawat terbangku ini sampai rusak. Ini merupakan satu-satunya mainan yang aku miliki. Dulu, ibuku membelikan ini untukku sebagai hadiah ulang tahunku,” tangisku sekarang semakin menjadi-jadi.
“Sudah, sudah. Tidak apa-apa. Ayo sini ikut denganku!” ujar si gadis kecil.
“Kemana kau akan membawaku?”
“Ayo, ikut saja denganku!” kata si gadis kecil dengan bersemangat.
Ternyata, ia membawaku ke sebuah toko mainan. Di sana, ia membelikanku sebuah pesawat terbang yang mirip dengan punyaku yang sudah rusak.
“Ini, untukmu. Tadi ibuku baru saja memberikanku uang jajan. Aku tidak tahu akan menggunakannya untuk apa jadi aku gunakan saja uangku itu untuk membelikan hadiah untukmu. Lagi pula, nanti siang aku akan pindah rumah ke luar kota. Jadi, anggap saja itu kenang-kenangan dariku untukmu ya...,” ujar gadis tersebut dengan lembut.
“Wah, kau baik sekali. Terima kasih ya...,”
“Ya, sama-sama. Tetapi, bolehkan aku meminta pesawat terbangmu yang lama?”
“Boleh-boleh saja. Namun, untuk apa? Itu kan sudah rusak,” tanyaku bingung.
“Tak apa, itu akan menjadi kenang-kenangan bagiku,”
“Baiklah, ini,” jawabku sambil memberikannya mainan tersebut.
Aku terbangun. Lagi-lagi gadis kecil itu muncul di dalam mimpiku. Namun, mengapa aku memiliki perasaan bahwa aku pernah melihatnya sebelumnya di dalam kehidupanku?

Aku berjalan menuju kantin dengan seorang petugas yang berjaga-jaga di belakangku. Setiap hari Sabtu dan Minggu, kami para narapidana akan makan siang di kantin yang telah disediakan di gedung ini. Kantin ini sangat besar sehingga cukup untuk menampung semua narapidana yang ada di sini. Setelah mengambil makanan, aku memutuskan untuk mengambil tempat duduk di meja yang masih kosong. Tiba-tiba, ada seorang pria berbadan besar yang mengambil tempat di sebelahku. Aku mengenalnya. Ya, namanya Aaron Conte. Aku mengingatnya karena minggu lalu ia juga duduk di sebelahku.
Di saat aku sedang asyik makan, Aaron bertanya kepadaku, “Sebenarnya, apa hubunganmu dengan gadis cantik itu?” dan seketika itu juga aku berhenti makan karena aku tahu yang ia maksud adalah Clary.
“Kami hanya teman,” jawabku singkat. Padahal dalam hati aku tahu bahwa hubungan kita berdua lebih dari itu.
“Benarkah hanya teman? Untunglah, aku kira ia pacarmu. Aku ingin menjadikannya sebagai pacarku. Aku ingin memanfaatkannya agar ia juga sering membawakan makanan untukku. Lumayan kan? Biasa, untuk bahan bersenang-senang,” katanya sambil senyum-senyum.
Seketika itu juga aku merasa darahku sudah mengalir sampai ke atas kepalaku. Beraninya ia berkata seperti itu! Ia ingin memanfaatkan Clary untuk kebaikannya sendiri? Liat saja ini. Dalam sekejap, aku mencekiknya dan melandaskan berbagai tonjokkan ke seluruh tubuhnya. Ia berusaha melawan dengan menendang tubuhku dan menonjok wajahku berkali-kali. Aku tidak memikirkan tentang keselamatan kita berdua lagi. Yang kurasakan sekarang hanyalah amarah. Seluruh narapidana yang berada di kantin sekarang menjadi rusuh. Para petugas yang tadinya berjaga di depan penjara sekarang sudah berlari ke arah kami untuk menghentikan kami. Beberapa menit kemudian, Aaron terjatuh dan terlepas dari genggamanku.
Aku melihatnya tergeletak di lantai dengan keadaan sudah tidak bernyawa. Terkadang aku merasa takut dengan diriku. Dari kejauhan, kumelihat Clary yang sedang lari ke arahku sambil berteriak namaku. Ia berhenti tepat di depanku dan menatapku dengan tatapan penuh rasa takut. Aku seperti seekor monster yang sedang mengamuk. Clary tidak akan melihatku seperti dulu lagi, aku yakin dengan itu.

Aku terbangun di tempat tidur klinik dan melihat Clary yang sedang duduk di samping tempat tidurku. Saat ku menggerakkan tubuhku untuk memegang tangannya, tiba-tiba kurasakan rasa sakit di seluruh bagian tubuhku. Saat itu juga aku langsung teringat apa yang sudah kulakukan tadi. Aku adalah seorang penjahat. Aku berbahaya. Aku tidak pantas untuk dapat dekat dengan seseorang yang sangat berharga seperti Clary. Aku harus menjauhinya.
“Pergilah!” ujarku kepada Clary.
“Apa maksudmu?”
“Pergilah! Menjauhlah dariku! Aku berbahaya!” teriakku kepada Clary
“Tidak! Aku akan tetap di sini,”
“Mengapa kau tidak bisa mengerti juga? Aku tidak ingin menyakitimu!” ujarku dengan frustasi.
“Mengapa kau sangat takut untuk menyakitiku?!”
“Karena kau berarti bagiku! Aku menyangimu!” teriakku kepada Clary.
Dalam sekejap, seluruh ruangan menjadi sunyi. Clary terdiam, ia seperti sedang mencoba untuk mengerti apa yang sudah aku katakan kepadanya. Tiba-tiba, Clary berjalan keluar ruangan tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Ketika ia berjalan keluar, ia tidak sengaja meninggalkan dompetnya di meja yang ada di samping tempat tidurku.
Seharusnya aku tidak melakukan ini, tetapi karena rasa penasaranku, aku memutuskan untuk melihat apa yang ada di dalam dompetnya. Ketika aku membukanya, aku melihat sebuah foto anak perempuan bersama dengan seorang anak laki-laki. Aku kaget ketika aku menyadari bahwa anak laki-laki tersebut merupakan diriku ketika aku masih kecil. Namun, gadis kecil tersebut... Apakah itu Clary?
Aku terus berusaha untuk mengingat siapa gadis tersebut. Jika itu memang Clary, berarti dulu aku pernah mengenalnya. Tiba-tiba kuteringat dengan gadis kecil yang sering ada di mimpiku. Ya, gadis kecil itu merupakan gadis yang sama dengan gadis yang ada di foto ini.
Seluruh ingatan-ingatan tentang masa kecilku menghantam otakku seketika. Gadis tersebut bukanlah hanya sekedar gadis yang ada di dalam mimpiku. Ia benar-benar nyata. Mimpiku selama ini tentangnya juga nyata. Ia adalah orang yang telah membuat masa kecilku menjadi semakin bermakna. Ia telah mengisi sebagian dari masa kecilku dengan kebahagiaan. Ia telah mengajarkanku apa arti dari sebuah persahabatan. Rambut pirangnya dan senyuman manis yang ia pancarkan di foto ini... Benar-benar tidak salah lagi. Clary adalah gadis kecil itu.
Akhirnya setelah sekian lama berpisah, takdir memutuskan untuk mempertemukan kita berdua...

Aku terbangun pada tengah malam ketika mendengar suara langkah kaki yang berada di lorong. Tiba-tiba, seseorang datang dan membuka pintu sel milikku. Clary. Ia menutup pintu kembali pintu selnya dan menatapku untuk beberapa detik. Lalu, ia berlari ke arahku dan memelukku. Ia menangis sejadi-jadinya di bahuku. Apa yang terjadi padanya?
Setelah tangisnya sudah mulai mereda, aku bertanya kepadanya apa yang terjadi. Seketika itu juga ia langsung memukul-mukul tubuhku sekuat tenaganya dan berteriak, “Kau jahat, jahat, jahat!”
“Clary, tenanglah! Kau dapat membangunkan semua orang yang ada di sini! Apa yang sebenarnya terjadi?” ujarku sambil memeluknya erat-erat.
“Kau jahat! Kau berbohong kepadaku! Kenapa kau menyembunyikan hal seperti ini daripadaku?!” ujar Clary sambil terus menangis.
Setelah aku mendengar apa yang ia ucapkan, jantungku seakan berhenti berdetak untuk sesaat. Seluruh tubuhku terasa lemas. Tanpa kusadari, secara perlahan-lahan aku melepaskan pelukanku. Apakah... Apakah ia sudah mengetahuinya?
“Apa maksudmu?” tanyaku sambil memegang bahunya dan menatapnya.
“Jangan pura-pura bodoh! Aku sudah mengetahuinya Damian, aku sudah tahu. Kau... Kau akan dihukum mati minggu depan,” bisik Clary dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Dari mana kau dapat mengetahui tentang hal ini?” bisikku kaget.
“Ayahku yang memberitahuku tadi malam. Apabila aku tidak bertanya kepadanya, sampai sekarang aku pasti belum mengetahui tentang hal ini. Memangnya apa yang telah kau lakukan, Damian?” tanya Clary dengan nada kecewa.
“Sebelum aku menceritakannya kepadamu, berjanjilah bahwa kau tidak akan menjauh dariku setelah ini.”
“Tentu saja, aku berjanji,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Aku menghela napasku dan mulai menceritakan kisahku kepadanya, “Waktu itu sehabis pulang sekolah, ada seorang teman yang tiba-tiba mendatangiku disaat aku sedang berjalan pulang. Ia mengejekku tentang ibu dan ayahku. Aku marah dan langsung terlibat dalam perkelahian dengannya. Setibanya aku di rumah, aku melihat ayahku yang sedang bersama dengan seorang wanita yang tidak ku kenal.”
Clary tersentak dan bertanya, “Lalu, apa yang terjadi?”
“Aku marah. Aku tidak menyangka bahwa ayahku akan bertemu dengan wanita lain lagi setelah kematian ibuku. Akibat terbawa emosi, aku langsung mengambil pistol yang ada di dalam laci meja ruang tamu dan menodongkannya kepada wanita tersebut. Aku tidak berniat untuk menembaknya. Aku hanya ingin mengancamnya agar ia pergi dari rumahku karena aku sudah sangat muak melihatnya. Tetapi, ayahku tiba-tiba datang ke arahku dan ingin merebut pistol tersebut daripadaku. Kami berdua berusaha untuk mendapatkan pistol tersebut dan sesuatu yang tidak ku inginkan terjadi. Aku tidak sengaja menembaknya. Beberapa detik kemudian baru kusadari bahwa pistol tersebut menembus melalui tubuh ayahku dan mengenai wanita yang sedang berdiri tepat di belakangnya. Keduanya meninggal pada saat itu juga. Entah siapa yang memanggil polisi tetapi seingatku, beberapa menit setelah kematian mereka, polisi datang untuk menjemputku. Di pengadilan, para hakim menjatuhiku hukuman mati. Itulah sebabnya aku tidak pernah ingin memberitahumu tentang hal ini Clary. Aku takut kau akan menjadi takut denganku. Aku adalah seorang pembunuh Clary. Aku tidak pantas untuk mengenalmu.”
“Tidak, Damian. Yang terpenting bagiku adalah sekarang kau telah berubah. Di mataku, kau bukanlah seorang penjahat,” ujar Clary sambil mengelus pipiku.
Lalu ia melihat ke tembok dan berkata, “Aku merasa sangat bodoh sekarang. Mengapa aku tidak menyadarinya sejak awal. Sekarang aku baru menyadari bahwa tujuanmu membuat ukiran di tembok ini bukanlah untuk menghitung hari sampai kau dibebaskan. Akan tetapi, kau mengukir angka-angka ini untuk menghitung hari sampai kau akan dihukum mati.”
Aku menunduk dan menganggukkan kepalaku. Kemudian aku berkata, “Pada awalnya ketika para hakim menjatuhkanku hukuman mati, aku merasa senang. Sebab pada saat itu, aku seperti sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa. Namun, setelah aku mengenalmu, aku langsung mengubah pikiranku. Sekarang, aku sudah memiliki tujuan untuk hidup lagi. Kau. Kau adalah tujuan hidupku. Tetapi sayang, sekarang semuanya sudah terlambat.”
Clary memegang tanganku dan berkata, “Sudahlah, mari kita lupakan tentang semua ini. Aku tidak ingin bersedih-sedih dan menunggu sampai kematianmu datang. Sebaliknya, aku ingin bersenang-senang denganmu untuk seminggu ini. Setuju?”
Aku menganggukkan kepalaku dan berkata, “Setuju!”

Aku berhasil menghabiskan satu minggu ini bersama Clary dengan penuh canda tawa. Sekarang, semua itu akan berakhir karena hari ini adalah harinya. Aku mengambil batu kecil yang tergeletak di bawah lantai dan mencoret angka 1 yang ada di tembok. Hukuman matiku akan dilaksanakan nanti pada jam 3 sore.
Clary datang ke dalam sel penjaraku dan duduk di sebelahku. Kemudian ia bertanya dengan nada sedih, “Sudah siap?”
“Siap untuk apa? Meninggalkanmu? Tentu saja belum. Aku lebih takut untuk meninggalkanmu daripada menjalani hukuman mati ini,” jawabku.
Clary menatapku dan tersenyum. Untuk sesaat, kami terdiam, tidak tahu ingin mengatakan apa.
Tiba-tiba, Clary berkata dengan nada pelan, “Aku bingung. Mengapa kita harus ditakdirkan untuk bertemu bila nantinya kita akan berpisah? Tidakkah takdir tahu bahwa perpisahan itu menyakitkan?”
“Mungkin agar kita dapat belajar betapa setiap kesempatan sangat berharga dan betapa waktu sangat bermakna. Jika memang kita ditakdirkan untuk bersama, aku yakin kita pasti akan dipertemukan dan dipersatukan kembali di kehidupan yang akan datang,” jawabku pelan.

Seorang petugas datang menghampiri sel penjaraku dan bertanya, “Apa yang ingin kau makan untuk makan siang? Ini adalah makanan terakhirmu jadi kau boleh makan apa saja yang kau inginkan.”
Aku berpikir untuk sejenak dan berkata, “Aku ingin makan roti dengan isi selai kacang. Namun, aku hanya ingin memakannya jika itu buatan Clary.”
Clary tersenyum dan berkata dengan senang, “Baiklah, aku akan dengan senang hati membuatkannya untukmu.”
Ketika Clary berjalan pergi untuk membuatkanku roti, aku meminta kepada petugas tersebut untuk memberikanku sebuah kertas dan pena. Kemudian aku menulis di kertas tersebut ‘Aku adalah si lelaki kecil yang dulu pernah ada di kehidupan masa kecilmu’. Aku ingin Clary untuk membacanya setelah aku dieksekusi nanti. Aku ingin ia tahu bahwa sebelum kita bertemu di sini, kita juga pernah bertemu di masa lalu dan membuat berbagai kenangan indah.
Beberapa menit kemudian, Clary datang dan membawakan sebuah piring yang berisi roti dan juga segelas susu. Kemudian setelah aku menghabiskan semuanya, aku berlutut di hadapan Clary dan mengeluarkan sebuah cincin yang telah aku buat kemarin malam menggunakan kawat besi yang ada di bawah ranjang.
“Maukah kau jadi pacarku untuk 3 jam kedepan? Maaf aku tidak dapat memberikanmu cincin berlian seperti lelaki lain pada umumnya,” kataku kepada Clary.
Clary langsung menarikku untuk berdiri dan memelukku. Kemudian ia berkata, “Tentu saja aku mau, Damian. Kau tidak perlu meminta maaf. Ini saja sudah lebih dari cukup untukku. Aku menyayangimu.”

Tinggal tersisa satu jam lagi sebelum hukuman matiku akan dilaksanakan. Aku menggenggam tangan Clary dan berkata, “Jika aku boleh meminta, aku berharap kau tak menangis terlalu lama dan jangan memikirkanku terlalu larut ketika aku sudah tiada nanti. Dan... Jangan rindu.”
“Memangnya kenapa? Aku pasti akan merindukanmu, aku tahu itu,” ujar Clary.
“Jangan, rindu itu berat, kau tak akan kuat. Biar aku saja yang merindukanmu di atas sana nanti,” jawabku.
“Tetapi aku sangat takut untuk kehilanganmu.”
“Tak apa. Memang tidak akan ada satupun orang yang terbiasa dengan kehilangan,” ujarku sambil mengelus rambut Clary.
Beberapa detik kemudian, seorang petugas datang untuk menjemputku. Ia berkata bahwa aku harus bersiap-siap dulu sebelum menjalani hukuman mati ini. Aku memeluk Clary untuk yang terakhir kalinya dan memberinya kertas yang sudah berisi tulisan yang kutulis tadi.
“Ini, untukmu. Jangan dibaca sekarang, bacalah nanti setelah aku menjalani hukuman mati ini,” ujarku kepadanya. Kemudian aku pergi mengikuti petugas tersebut.

Aku berdiri di bawah tali yang nanti akan digunakan untuk menggantung diriku. Dari atas sini aku dapat melihat Clary yang sedang berdiri di ujung ruangan dengan raut wajah yang cemas. Jujur, aku merasa takut untuk meninggalkan Clary.
Di dalam ruangan hanya ada Clary dan dua orang petugas. Seorang dari petugas tersebut datang ke arahku untuk mengikat kedua tanganku. Kemudian seorang dari yang lain berkata, “Apa kata-kata terakhirmu, Tuan Damian?”
Sambil menatap Clary aku berkata, “Clary, aku tidak akan bisa berada di sisimu lagi. Jadi, jaga dirimu baik-baik, ya. Jaga diri dan hatimu untukku. Aku mencintaimu.”
Aku merasa kaget dengan diriku sendiri. Setelah memendam perasaan itu untuk beberapa waktu, akhirnya aku dapat mengungkapkannya kepadanya. Aku selalu takut untuk mengungkapkannya karena aku takut ia tidak merasa hal yang sama denganku. Namun, aku menyadari bahwa jika engkau sedang jatuh cinta, kau harus menyiapkan ruang di hatimu untuk sakit hati. Aku tidak tahu apa yang ia rasakan kepadaku sekarang ini, tetapi hal yang pasti adalah ia menyayangiku.
Setelah aku selesai berbicara, petugas yang berada di belakangku langsung menutup kepalaku dengan kain hitam agar aku tidak dapat melihat apa-apa. Ia melilitkan tali yang tadi berada di atas kepalaku di sekeliling leherku. Sekarang, aku hanya tinggal menanti sampai waktunya tiba.
Bayangan tentang kenangan-kenangan bersama Clary sekejap muncul di pikiranku. Masa kecilku bersamanya, waktu aku pertama melihatnya di ruang interogasi, waktu-waktu yang kuhabiskan bersamanya, dan suara dan tatapannya ketika ia berkata ia menyayangiku.
Beberapa detik sebelum tali tersebut terangkat ke atas untuk menggantungku, aku mendengar suara Clary yang berteriak, “Aku juga mencintaimu, Damian.”


Broken Home
Oleh Elizabeth
S
ederhana. Itulah satu kata yang menggambarkan kehidupanku. Namaku Maudy. Aku seorang remaja yang hidup di sebuah keluarga yang penuh kesederhanaan. Rumah seadanya, makan seadanya, semuanya seadanya. Ditambah lagi dengan kondisi keluargaku yang cukup memperihatinkan. Ayah dan Ibuku selalu bertengkar setiap hari yang membuatku harus memasang earphone sambil menutup muka dengan bantal setiap kali mereka bertengkar. Terkadang aku sempat berpikir mengapa aku tidak teman-temanku yang lain, sampai suatu saat ada seorang lelaki yang merubah hidupku 180 derajat.
****   
            Langit di kota Makassar sangat cerah hari ini. Aku pulang sekolah seperti biasa dijemput oleh motor kuno ayah. Namun, yang tidak biasa adalah ayahku tiba-tiba mengajakku pergi makan ke restoran soto makassar yang sangat terkenal di kotaku. Entah darimana ayah mendapat uang untuk dapat makan di restoran. "Ayo nak, makan yang lahap", kata ayah yang kelihatannya sangat gembira pada hari ini. Mungkin ia baru mendapat ekstra gaji karena berlembur setiap hari. Setelah kami makan, tiba-tiba ayah mengajakku ke suatu toko elektronik. Sontak aku bingung mengapa ayah begitu aneh hari ini. Sesampainya di toko elektronik, mataku langsung tertuju pada handphone blackberry yang terdapat di lemari kaca. Saat aku sedang melihat-lihat handphone,  dengan tiba-tiba ayah menghampriku dan berkata : "Nak, belilah jika kau mau". Aku terdiam sejenak, lalu ayah berkata lagi : "Nak, selama ini ayah tidak bisa memenuhi apa yang kamu inginkan, hanya ini yang dapat ayah berikan." Sontak aku hampir meneteskan air mata, namun kutahan tangis haruku. Lalu ayah langsung menyerahkan uang berwarna merah kepada penjual di toko tersebut dan akhirnya akupun mendapatkan handphone yang selama ini aku dambakan.
            Sesampainya di rumah, aku langsung menyembunyikan handphoneku di lemari. Aku takut karena handphone itu ayah dan ibu bertengkar lagi. Ayah juga sudah membelikan ibu soto makassar agar ibu tidak marah padanya. Namun, tak lama setelah aku menyembunyikannya aku mendengar teriakkan ibu yang hampir setiap hari kudengar. Pelan-pelan kudekatkan telinga mungilku ini ke pintu kamar. Ternyata ibu memarahi ayah karena ayah mengajakku pergi makan ke restoran. "Tagihan listrik belum dibayar, bahan makanan juga sudah habis, malah ngajak anak pergi makan diluar, suami macam apa kamu!".Ya,  sifat ibu yang keras dan pemarah memang selalu tak terkontrol. Apapun yang ayah lakukan selalu salah dimatanya. Ayah yang sabar dan suka mengalah hanya bisa diam dan pasrah pada ibu. Aku yang menyaksikan mereka bertengkar hanya dapat menahan air mata dan berdoa agar mereka akur kembali.
            Hari demi haripun kujalani. Amarah ibu selalu mengisi hari-hariku. Tiada hari tanpa omelan dan ocehan ibuku, terkadang aku pun sempat bertanya pada diriku sendiri mengapa aku harus dilahirkan dari ibu yang seperti ini.
            Hingga suatu hari, pertengkaran hebat pun terjadi adalah ayah dan ibuku. "Kamu sudah tidak layak menjadi suami, kamu tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga kita. Kamu tidak bisa membuatku bahagia! Lebih baik kamu pergi dari sini! Aku bisa menghidupi diriku dan Maudy tanpa bantuanmu!". Jantungku serasa ingin copot mendengar perkataan ibu. Hal terburuk yang selama ini aku takutkan akhirnya terjadi, perpisahan. Aku masih ingin bersama ayah, tapi aku juga ingin bersama ibu. Lalu tiba-tiba ayah memasukki kamarku dan berkata : "Nak, ayah harus pergi karena ini adalah jalan terbaik untuk mengakhiri pertengkaran, kamu baik-baik ya sama ibu. Oh iya, jaga handphone kamu baik-baik ya, karena itu satu-satunya pemberian ayah yang berharga". Aku langsung menitikkan air mata dan memeluk ayah seerat-eratnya. Namun, ibu langsung menarik baju ayah dan menyuruh ayah cepat-cepat pergi. Rasanya aku ingin mencegah ayah pergi, tapi apa dayaku yang hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi dalam hidupku.
****
            Satu tahun pun sudah berlalu sejak kepergian ayah. Kini aku sudah tamat sekolah, namun ibu tidak mengizinkanku untuk bekerja. Ia selalu berkata bahwa ia dapat mencukupi kebutuhanku dan juga kebutuhannya. Jangankan untuk bekerja, untuk keluar rumah saja ibu tidak mengizinkanku. Entah alasan apa yang membuat ibu melarangku untuk keluar rumah. Sekarang rutinitasku di rumah hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah dan main handphone. Semenjak kepergian ayah, ibu harus bekerja siang malam di sebuah restoran padang untuk dapat memenuhi kebutuhanku. Aku selalu ditingal sendirian di rumah dan itu cukup membuatku penat, tapi untungnya aku mempunyai handphone pemberian ayah yang selalu menemaniku. Setelah membersihkan rumah, aku selalu main twitter untuk menghilangkan penatku. Aku seringkali mencurahkan perasaan hatiku di twitter untuk dapat sedikit melegakan hatiku. Tidak jarang ada temanku yang me-retweet tweetku dan memberiku semangat. Ada 2 temanku yang paling sering me-retweet dan meng-comment tweetku, namanya kak Ayunda dan kak Christy. Karena penasaran, akupun meng-stalk profile mereka berdua. Dari hasil stalk, akupun tahu bahwa mereka berdua adalah mahasiswi kuliah yang mempunyai banyak kesibukkan, tidak seperti diriku. Aku semakin penasaan dengan mereka, dan akhirnya aku memutuskan untuk mengajak mereka berkenalan. Beruntung, mereka mau berkenalan denganku. Kami bertiga pun akhirnya saling mengenal satu sama lain walau hanya lewat dunia maya. Dari cara mereka berbicara, aku sudah dapat menilai bahwa mereka adalah orang terdidik yang memiliki sikap baik.
            Suatu hari, kak Christy mengajak kami untuk bertemu langsung di suatu rumah makan di dekat rumahku. Ia ingin mengenalku dan juga kak Maudy lebih lanjut. Ingin sekali rasanya aku pergi menemui mereka, namun ibu pasti tidak mengizinkanku. Satu-satunya cara adalah dengan pergi diam-diam. Aku harus terpaksa membohongi ibu, aku sudah tidak tahan tinggal di rumah sepanjang hari tanpa berinteraksi dengan dunia luar. Hari itu ibu mendapat shift sore, ibu bekerja dari jam 3 sampai jam 8 malam. Aku yakin aku bisa pulang sebelum ibu pulang. Setelah mengerjakan semua pekerjaan rumah, aku nekat meninggalkan rumah dan pergi ke rumah makan tersebut dengan membawa uang seadanya.
            Sesampainya di rumah makan, aku melihat seorang wanita berambut panjang yang kuyakin itu adalah kak Christy. Kak Christy pun langsung melihatku dan langsung mengajakku untuk duduk bersama. "Hai, kamu Maudy kan? Ayo duduk jangan malu-malu." Akupun langsung duduk disampingnya dengan rasa malu-malu. Maklum, aku sudah lama tidak berinteraksi langsung dengan teman-temanku. Tak lama setelah aku duduk, aku melihat seorang wanita berkulit putih dan berambut pendek memasukki ruangan. Ya, itu kak  Ayunda. Kak Ayunda pun langsung menghampiri meja kami dan duduk berhadapan denganku. Merek pun mulai bercerita tentang kehidupan mereka, sungguh aku iri mendengarnya. Kak Christy berasal dari keluarga yang cukup mampu dan cukup harmonis, sedangkan kak Ayunda tinggal bersama dengan bibinya yang begitu sayang padanya. Rasanya aku ingin menampar diriku sendiri ketika mendengar emreka bercerita. "Maudy, sekarang giliran kamu yang bercerita tentang kehidupanmu, ujar kak Ayunda." Akupun sempat terdiam sejenak karena aku malu untuk bercerita tentang hidupku. Namun, ku paksa diriku untuk dapat bercerita, mulai dari kondisi ekonomi yang kurang, sifat ayah dan ibuku, sampai perpisahan mereka. Karena tidak tahan, aku akhirnya meneteskan air mata dihadapan mereka berdua. Merekapun langsung mengambil tissue dan menyeka air mataku. Mereka memberiku semangat. "Maudy, ayah dan ibumu pasti sayang kok sama kamu. Mungkin hanya cara mereka saja yang berbeda dari orang tua lain dalam menyayangimu", ujar kak Christy. "Iya Maudy, aku yakin kamu adalah anak yang baik dan taat sama orang tua, mereka juga pasti sayang sama kamu, kamu harus kuat ya", ujar kak Ayunda. Ibuku bahkan tak pernah berkata bahwa ia sayang padaku. Akupun mencoba untuk berhenti menangis dan tersenyum pada mereka berdua. Sungguh aku sangat beruntung dapat bertemu dengan mereka dan dapat menyampaikan segala keluh kesah dalam diriku.
            Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah saatnya aku pulang. Aku takut ibuku pulang lebih cepat daripada aku. Akupun berpamitan dengan mereka semua sebelum balik ke rumah. "Maudy, kalo ada apa-apa jangan ragu untuk cerita ke kita ya", ujar kak Christy sebelum aku pergi. "Iya kak, pasti", ujarku. Akupun akhirnya balik ke rumahku dengan mata sembab. Semoga ibu tidak curiga padaku.
            Untungnya aku sampai rumah sebelum ibu sampai rumah. Akupun langsung membaringkan tubuhku ke kasur dan mengecek handphone ku. Tak lama setelah aku membaringkan tubuhku, ibu tiba-tiba masuk ke kamarku. "Maudy, kenapa kamu pake celana panjang di rumah?". Aku baru ingat bahwa aku lupa mengganti bajuku setelah pulang dari rumah makan. Aku pun terpaksa berbohong kepada ibuku. "Enggak ma, semua celana pendekku lagi dicuci, jadi aku pakai celana panjang saja", kataku sedikit panik. Untunglah ibu tidak terlihat curiga padaku. "Kalau begitu siapkan makanan ibu, jangan main handphone mulu ya kamu". Akupun langsung beranjak dari kasur dan menyiapkan makanan untuk ibuku. Ya, aku sudah bisa dianggap sebagai pembantu oleh ibuku sendiri.
                                                                        ****
            Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Akupun langsung mandi dan membereskan rumah seperti biasanya. Setelah aku membereskan rumah, tiba-tiba hujan deras melanda kota Makassar. Aku baru ingat bahwa ini sudah bulan November, maka tidak heran jika hujan deras tiba-tiba melanda kota Makassar. Akupun iseng melihat keluar jendela. Kulihat banyak anak-anak memegang payung sambil tertawa-tawa. Awalnya aku heran apa yang mereka lakukan diluar. Tiba-tiba satu diantara mereka teriak kegirangan saat ada orang yang mengambil payungnya. "Oh, mereka ini bekerja sebagi ojek payung rupaya", kataku dalam benakku. Sontak aku berpikir untuk menjadi ojek payung seperti mereka. Tidak perlu modal, hanya perlu membawa diri dan sebuah payung, aku bisa membantu ibu memenuhi kebutuhanku. Namun aku teringat akan ibu. Ibu pasti tidak memperbolehkanku untuk bekerja. Tapi ini adalah perbuatan baik, aku berniat baik membantu ibuku mencari uang. Keinginanku untuk bekerja lebih kuat daripada larangan ibu. "Ah, coba nanti aku iseng tanya pada ibu saja, siapa tau dia memperbolehkanku bekerja".
            Akhirnya ibu pun pulang kerja. Aku pun langsung bertanya kepada ibuku : "Bu, aku kan sudah besar, aku ingin membantu ibu mencari uang, bolehkah aku bekerja?". Dengan muka marah ibu pun menjawab :"Tidak! Ibu kan sudah bilang ibu bisa bekerja sendiri, emang tidak cukup ibu memberimu makan? Dasar anak tidak tahu terima kasih. Pekerjaan rumah saja kamu belum bisa kerjakan dengan baik, masih mau bekerja". Akupun terdiam dan langsung berlari ke kamarku. "Apa salahnya aku bekerja? Aku sudah besar, sudah waktunya aku mandiri", kataku dalam hati. Ibuku memang sangat keras kepala, namun ia tidak pernah menjelaskan mengapa ia melarangku untuk bekerja. Ibuku memang tertutup dan sulit untuk diajak diskusi, tidak seperti ayahku yang terbuka. Keinginanku untuk bekerja menjadi ojek payung sudah sangat bulat, walau ibu tidak mengizinkanku. Lagipula ojek payung bukanlah pekerjaan yang pasti, hanya saat hujan saja dan saat ibu tidak berada dirumah, aku baru dapat keluar rumah. Aku berharap semoga besok hujan deras melanda kotaku seperti hari ini.
****
            Ternyata doaku terkabul. Hujan deras melanda kota Makassar lagi hari ini. Ku kuatkan tekadku untuk membantu ibuku mencari uang. Ku ambil payung tuaku dan ku bersihkan dari debu. Ku kunci semua pintu di rumah agar tidak ada orang yang masuk ke rumahku. Akupun beranjak keluar rumah dan mencari pelanggan ojek payung. Target pertamaku adalah pusat perbelanjaan yang berjarak kira-kira setengah kilometer dari rumahku. Dengan semangat akupun berteriak :"Ojek payung ojek payung". Ternyata menjadi ojek payung memanglah seru, apalagi jika bersama anak-anak lain yang berusaha mencari uang juga. Setelah perjuangan berteriak-teriak, akupun akhirnya mendapat 1 pelanggan. Seketika badanku basah kuyup, dengan begin aku sudah resmi menjadi ojek payung. Aku mengantarnya sampai ke depan mobilnya, dan mendapat uang berwarna kuning. Ini adalah uang pertama yang kuhasilkan sendiri. Aku semakin semangat untuk mencari pelanggan lagi. Tak lama kemudian, ada seorang ibu yang membawa anak kecil yang ingin menggunakan jasa ojek payungku, dan kali ini aku mendapatkan uang sebesar 7000. Akupun terus mencari pelanggan di sekitar pusat perbelanjaan ini. Saat aku tengah asyik mencari pelanggan, tiba-tiba seorang laki-laki tak sengaja menabrakku dan aku pun terjatuh. Mungkin ia sedang terburu-buru menuju mobilnya karena hujan sangat deras. "Eh, maaf ya, saya sedang terburu-buru tadi, jadi gak liat-liat jalan" ujar lelaki itu. Kemudian lelaki itu berjalan menuju mobilnya. Lelaki itu bertubuh tinggi, berkulit putih, dan berpakaian sangat rapi. Sebagai remaja, aku sempat berpikir dalam benakku "ganteng juga ya dia, mirip dengan mantanku dulu" entah mengapa aku teringat akan mantanku 2 tahun lalu yang sekarang sudah entah kemana. Namun aku langsung membuyarkan pikiranku dan pergi ke pinggiran jalan karena hujan yang deras perlahan-lahan sudah mereda. Tak lama kemudian hujan pun reda sudah saatnya aku kembali kerumah dan membersihkan badanku sebelum ibu pulang.
            Sesampainya di rumah, aku langsung mandi dan menyiapkan makan malam untuk ibuku. Entah mengapa pikiranku tertuju kepada lelaki yang menabrakku tadi. Namun aku berusaha untuk melupakannya dan mulai menyiapkan makan malam untuk aku dan juga ibu. Tak lupa akupun menyimpan uang hasil kerjaku hari ini ke dalam laciku agar ibu tidak melihatnya. Setelah aku menyiapkan makan malam, akupun langsung mengambil handphone ku dan ternyata kedua kakakku mencariku. Maklum, biasanya aku selalu memegang handphone setiap detik tapi hari ini aku meninggalkannya selama 2 jam. Aku bingung, apakah aku harus bercerita kepada mereka soal pekerjaan baruku ini, atau aku harus menyimpan rahasia ini sendirian. Aku pun memutuskan untuk tidak memberi tahu mereka. Akupun memainkan twitter dan membalas kakak-kakakku sambil membaringkan tubuhku di kasur setelah berlari sana sini mencari pelanggan. Semoga cuaca besok mendukungku untuk kembali menjadi ojek payung.
****
            Aku tengah asyik tertidur di bawah selimut, namun tiba-tiba suara teriakkan ibu membangunkanku dari tidur. "Maudy, kamu belum isi air ya?" tanya ibu. Astaga, aku baru ingat kemarin aku lupa mengisi air karena terlalu lelah setelah bekerja. Akupun langsung keluar dari kamar dan meminta maaf pada ibu. "Maaf, maaf. Ibu mau mandi sekarang, kamu seneng ya kalo ibu terlambat kerja terus dimarahin bos? Dasar anak malas!". Akupun langsung bergegas naik ke loteng dan mengisi tank air. Ya, tiada hari tanpa ocehan ibu. Aku tak pernah bisa merasakan suara ibu yang memanggilku dengan lembut semenjak kepergian ayah. Terkadang aku merindukan saat-saat dimana ibu memelukku, menciumku, dan membelai rambutku. Mau gimana lagi. aku harus bisa menerima ibuku apa adanya.
            Cuaca di kota Makassar tidak mendukungku untuk bekerja pada hari ini. Akupun memutuskan untuk diam dirumah dan memainkan handphoneku. Saat aku tengah bermain handphone, tiba-tiba aku teringat dengan sosok lelaki yang kemarin menabrakku. Aku sendiri bingung, mengapa aku bisa memikirkannya. Padahal dia hanyalah sosok yang tak sengaja kutemui dan bahkan tak kukenal siapa. Senyumannya kemarin membuatku meleleh. Aku sudah lama tidak melihat lelaki tersenyum padaku semenjak aku putus dengan mantanku. Aku berusaha untuk membuyarkan pikiranku, namun tak bisa. Tidak biasanya aku bisa memikirkan orang yang tak kukenal siapa.
            Akupun menulis tweet yang berhubungan dengan apa yang kupikirkan saat ini. Tak lama setelah ku kirim tweetku, kak Ayunda mengirim pesan pribadi kepadaku. "Maudy, kamu ada di rumah tidak? Kakak ingin mampir kerumahmu sambil berbincang-bincang", kata kak Ayunda lewat pesan pribadi. Awalnya aku sempat minder dengan keadaan rumahku yang sangat sederhana, aku juga takut tiba-tiba ibu pulang dan melihat ada orang yang masuk ke dalam rumahku. Namun, aku terlalu kesepian sehingga aku memperbolehkannya untuk pergi ke rumahku. Aku juga berpikir akan menceritakan tentang pekerjaan baruku kepadanya.
            Tak lama kemudian, aku mendegar suara motor di depan rumahku, ternyata kak Ayunda sudah sampai. Akupun mempersilahkan kak Ayunda untuk memasukki rumah mungilku ini. Kami berbincang-bincang sebentar, kemudian kak Ayunda bertanya : "Maudy, kamu kemarin kemana? Kok chat kakak lama banget dijawabnya?". Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk menceritakan semuanya kepada kak Ayunda. "Aku bekerja kak" kataku. "Bekerja? Bukankah ibumu tidak memperbolehkan mu bekerja?". Akupun menceritakan semuanya kepada kak Ayunda. "Maudy, kamu memang orang yang luar biasa. Tekad kamu baik kok, kamu ingin membantu ibumu mencari uang, kakak salut sama kamu" ujar kak Ayunda. Akupun kaget karena pada awalnya kukira kak Ayunda akan tidak setuju akan apa yang aku lakukan. Kak Ayunda pun mengingatkan ku untuk selalu berhati-hati, jangan sampai ibuku mengetahuinya. Akupun merasa lega karena kak Ayunda sudah mengetahuinya. Di sela-sela perbincangan kami, kak Ayunda pun kembali bertanya : "kamu lagi naksir orang ya Maudy?". Sontak aku kaget, darimana kak Ayunda mengetahuinya. "Kakak bisa baca pikiranmu dari tweet yang kamu kirim tadi, itu mencerminkan kalo kamu lagi suka seseorang" kata kak Ayunda. Akupun berkata : "Gak kak, perasaan kakak aja kali hehe". Kemudian kami melanjutkan perbincangan kami sampai jarum jam mengarah ke angka 4. Kak Ayunda pun pamit pulang karena ia harus menyelesaikan tugas kuliahnya, akupun mengantarnya sampai ke depan gerbang rumah.
            Akupun langsung masuk kamar dan memikirkan kembali apa yang kak Ayunda ucapkan. "Naksir? Apakah aku naksir lelaki itu? Gak mungkin, aku tak mengenalnya. Lagipula siapa diriku ini, hanyalah seorang tukang ojek payung berpenampilan seadanya, sangat tidak cocok dengan lelaki setampan dia" kataku dalam hati. Tapi ingin rasanya bertemu dengannya 1 kali lagi, tapi kutahu hal itu tidak mungkin terjadi.
****
            Keesokan harinya, ibu pergi bekerja lebih pagi dari biasanya. Itu berarti ibu akan pulang lebih cepat juga. Cuaca hari ini mendung menuju hujan, yang berarti aku bisa kembali untuk bekerja. Aku harus pergi lebih pagi juga agar aku bisa pulang sebelum ibu pulang. Hujan pun akhirnya kembali melanda langit Makassar. Akupun langsung bergegas mengambil payung dan bekerja. Targetku hari ini adalah ruko-ruko tidak jauh dari pusat perbelanjaan dekat rumahku. Saat aku tiba di situ, aku langsung mendapat pelanggan pertama. Uang 2000 pun kudapat. Awalnya aku sempat kaget, namun tidak apa, aku harus berjuang mencari pelanggan lain. Saat aku tengah berjalan mencari pelanggan, tiba-tiba ada suara lelaki memanggilku. "Dek, ojek payung ya". Akupun langsung berbalik badan dan aku melihat sosok lelaki yang menabrakku 2 hari lalu. Jantungku rasanya ingin copot, mengapa aku bisa bertemu dengannya lagi? Dia pun juga terlihat kaget saat melihatku. "Kamu yang waktu itu gak sengaja saya tabrak ya?". Akupun hanya menganggukan kepala karena malu. "Wah, kita bertemu lagi ya" Akupun lagi lagi hanya menganggukan kepala karena tak tahu harus menjawab apa. Akupun langsung menyerahkan payungku padanya karena hujan cukup deras. "Ayok sini, berdua saja. Masa kamu hujan-hujanan" kata lelaki itu. Akupun sangat kaget, selama 2 hari aku menjadi ojek payung tidak ada pelanggan yang menawarkanku berteduh bersama di bawah payung. Akupun langsung berteduh di bawah payung bersama lelaki itu dan kitapun berjalan. "Nama kamu siapa?" tanyanya. "Maudy" jawabku dengan gugup. Diapun mengajakku ngobrol sambil berjalan. Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasa nyaman berada di dekatnya, tapi aku sadar bahwa aku hanyalah seorang ojek payung yang kebetulan bertemu dengannya lagi. Aku tidak boleh sampai naksir padanya.
            Tak terasa kami sudah sampai di depan mobilnya, ia pun mengucapkan terima kasih dan menyerahkan uang berwarna biru padaku. Akupun sempat panik karena aku tidak mempunya kembalian yang cukup. "Maaf kak, aku gak punya kembalian yang cukup nih" kataku. Lalu dia berkata : "ini buat kamu aja, gak usah ada kembalian". Lalu dia masuk ke dalam mobilnya dan kemudian pergi. Sungguh dia adalah orang yang sangat baik. Dia berbeda, tidak seperti pelanggan lainnya. Kebaikannya yang ditambah dengan senyum manisnya membuatku meleleh ditengah hujan deras ini. Jantungku juga tiba-tiba berdetak tak karuan. Akupun mulai tak fokus untuk bekerja, sehingga aku memutuskan untuk kembali ke rumah.
****
            Sesampainya di rumah, akupun langsung mandi dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Tak lama setelah aku mandi, ibupun datang. "Mana makan malamnya? Kamu mau ibu mati kelaparan?" kata ibu. Akupun langsung bergegas menuju dapur dan memanaskan sedikit makanan untukku dan juga ibu. Tetap, aku tidak bisa melupakan sosok lelaki tadi. Mengapa aku bisa bertemunya lagi? Apakah ini hanyalah suatu kebetulan tau.. Ah aku terlalu banyak menghayal, lebih baik aku bereskan pekerjaan rumahku ini sebelum ibu marah kepadaku lagi. Makananpun akhirnya siap disantap. Aku dan ibu duduk bersebelahan di meja makan mungil ini. Tiba-tiba, ibu bertanya padaku : "Maudy, kamu tidak keluar rumah kan". Jantungku seketika berdetak begitu cepat, namun kutenangkan diriku dan aku terpaksa berbohong lagi. "Enggak kok, ma" kataku. Ibu pun melanjutkan makan malamnya dan akupun bertanya dalam hati "mengapa ibu bisa bertanya demikian? Apakah ada sesuatu yang mencurigakan dari tingkah lakuku?"
            Setelah makan, akupun langsung masuk ke kamarku dan membuka handphoneku. Ketika aku sedang meng-stalk twitter kak Christy, tiba-tiba kulihat ada lelaki yang kutemui dalam foto kak Christy. Akupun sontak membanting handphoneku karena kaget. Ternyata lelaki itu adalah teman kampus kak Christy. Aku merasa bahwa semua ini sangatlah aneh. Semua ini adalah kebetulan yang sangat tidak disengaja. Akupun memberanikan diri untuk bertanya kepada kak Christy tentang lelaki yang bahkan tak kukenal namanya. Kak Christy sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri, sehingga akupun tidak ragu lagi untuk bertanya. Akupun mengiri pesan pribadi ke kak Christy. Kak Christy pun langsung membacanya dan bertanya "apakah kamu kenal dengan orang itu? Akupun menceritakan semuanya kepada kak Christy bagaimana aku bisa bertemu dengannya. Kak Christy pun kaget karena ia baru tahu bahwa aku memiliki profesi baru sekarang. Ia berniat memperkenalkanku kepada lelaki itu, tetapi aku menolaknya karena aku tahu aku bukanlah siapa-siapa. Namun, karena kenekatan kak Christy, ia pun memperkenalkanku dengan lelaki itu lewat twitter. Ternyata nama lelaki itu adalah Andy. Berkat kak Christy, kamipun mengenal satu sama lain dan akhirnya mulai bercerita tentang diri kami masing-masing. Kata kak Christy, Andy adalah sosok laki-laki yang baik, peduli, rajin, dan tidak sombong. Akupun semakin tertarik kepadanya. Aku seperti merasa dalam mimpi, aku tak menyangka kini aku sudah mengenalnya.

****
            Tak terasa sudah seminggu aku mengenal lelaki itu, dan tak terasa juga sudah seminggu aku bekerja sebagai ojek payung. Kini, aku sudah mulai dekat dengannya. Ia pun mengajakku untuk bertemu secara langsung pada hari ini di pusat perbelanjaan tempatku mengojek payung. Kak Christy juga akan ikut bersamaku untuk menemaniku. Kak Christy membuatku lebih merasa percaya diri dengan aku apa adanya. Akupun langsung bersiap-siap pergi. Sesampainya disitu, aku langsung melihat kak Christy dan juga Andy. Aku pun akhirnya berjabat tangan dengan Andy, sungguh jantungku berdebar kencang. Kak Andy berkata bahwa aku adalah gadis yang tangguh, namun aku berusaha untuk tidak salah tingkah ketika ia memujiku. Kami bertiga pun masuk ke pusat perbelanjaan itu, dan kamipun mengobrol disana selama kurang lebih 3 jam. Kini sudah saatnya aku pulang. Akupun pulang dan berpamitan dengan mereka. "Maudy, aku senang sekali bisa mengenalmu" kata Andy sebelum aku pergi. Akupun memberikan  senyum padanya dan meninggalkan mereka.
            Sesampainnya di rumah, aku seperti kembali ke hidupku yang sebenarnya. Ibuku ternyata sudah sampai di rumah. Ibuku sudah menungguku di depan gerbang rumah. Aku sangat kaget, dan tak tahu harus berbuat apa. Ibuku langsung menamparku dengan keras dan menyeretku masuk ke rumah. "Jadi selama ini kamu keluar tanpa sepengetahuan mama? Apa yang kamu lakukan diluar sana? Jangan berbohong kepada mama!" kata ibu dengan nada yang sangat marah. Akupun dengan terpaksa mengatakan yang sebenarnya kepada ibuku, mulai dari pekerjaan baruku, teman baruku, sampai dengan lelaki itu. "Dasar anak kurang ajar kamu! Pergi kamu dari sini!" kata ibu. Ibu mengusirku pergi. Aku tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat, ibu kemudian menyeretku keluar rumah dan tidak memberiku sepeser pun uang. Akupun menangis sekencang-kencangnya menyalahi diriku sendiri dan juga ibuku. Apa yang salah dari mencari uang? Apa yang salah dari mempunyai teman baru? Aku juga ingin seperti teman-temanku yang lain yang bisa berinteraksi bebas dengan dunia luar. Mengapa aku harus dilahirkan dari ibu yang seperti ini? Akupun hanya bisa menangis di luar rumah dan tak tahu harus pergi kemana.
            Tiba-tiba, ada nomor asing yang menelponku. Ketika aku angkat telfonnya, aku seperti mendegar suara ayah. "Maudy, apakah itu kamu?" tanya orang yang belum kutahu pasti. "Ayah, apakah ini ayah?" tanyaku. "Maudy, kamu dimana sekarang? Mengapa suaramu seperti orang menangis?" tanya ayah. Akupun meminta ayah untuk menjemputku di rumah dan aku akan menceritakan semuanya kepada ayah. Tak lama kemudian ayahpun sampai di rumah. "Ayah, kemana saja kau satu tahun ini? Aku sangat merindukanmu" tanyaku dalam tangis. "Ayah tinggal di rumah saudara jauh ayah di Manado sayang, sekarang ayo kita pergi dari sini. Ibumu sudah keterlaluan kepada kamu" kata ayah. Akupun masuk ke dalam mobil baru ayah dan menceritakan semuanya. Akupun meminta agar aku bisa tinggal bersama ayah. Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikap ibu padaku. Ayah pun mengizinkanku untuk tinggal bersamanya sementara.
            Sesampainya di rumah ayah yang baru, aku melihat lagi lelaki yang bernama Andy itu. Ternyata memang bukan sebuah kebetulan aku bertemu dengannya. Ia ternyata adalah tetangga baru ayahku. Sungguh aku langsung melupakan masalahku dengan ibuku dan langsung gembira tak karuan. Ayah juga tak menyangka bahwa aku mengenalnya.
            Setelah satu minggu aku tinggal di rumah ayah, akupun menjadi sangat dekat dengan Andy, dan akhrnya kitapun resmi berpacaran. Sungguh aku tak menyangka aku dapat berpacaran dengannya. Sifatnya yang tak sombong dan tak memandang derajat membuatnya menerimaku apa adanya. Kak Christy dan ayah lah yang membuat kami bisa berpacaran. Terkadang aku memikirkan, bagaimana nasib ibu di rumah? Apakah ia baik-baik saja? Walaupun ia sudah mengecewakan hatiku, tapi ia tetap ibuku yanng sudah membesarkanku. Andy menyaraniku untuk pergi ke rumahku yang lama bersama ayah dan mengakhiri ini dengan baik, yaitu dengan cara bercerai. Aku dan ayahpun menyetujui usul Andy, walau pada awalnya ini terasa berat. Tapi perceraian adalah satu-satunya cara terbaik untuk mengakhiri perpisahan ayah dan ibu secara baikbaik. Kami bertiga pun pergi ke rumah ibu. Saat kami mengetuk pintu, ibu langsung membukakannya dan iapun langsung menangis di hadapan kami bertiga. "Maudy, ibu selama ini sudah berbuat hal yang tidak pantas kepadamu. Maafkan sifat ibu yang terlalu keras dan terlalu kasar kepadamu. Kamu lebih pantas untuk tinggal bersama ayahmu, ibu tidak layak untuk mengurusmu" kata ibu dengan isak tangis. Awalnya aku ingin bertanya apakah ia sebelumnya sudah tahu bahwa aku tinggal bersama ayah, namun kutahan pertanyaan itu dan langsung memeluk ibuku dengan erat. "Tidak apa bu, aku tidak pernah membenci ibu, bagaimana pun ibu tetaplah ibuku" kataku kepada ibu. Ayahku pun juga meminta maaf atas kesalahan yang ia perbuat dulu, dan ibuku juga meminta maaf. Kamipun memutuskan untuk pergi ke pengadilan dan menyelesaikan semua ini dengan sah.
                                                                        ****
            Hak asuh memang jatuh di tangan ayah, akupun merasa sangat lega karena bebanku semua sudah berakhir. Sebelum berpisah dengan ibu, aku memberikan semua hasil kerjaku selama ini kepada ibu. Ibu pun tak dapat menahan tangisnya dan langsung memelukku dengan erat dan berkata : "Nak, kamu memang anak yang sungguh baik. Kamu jaga dirimu baik-baik ya sama ayah, jangan lupa tengok ibu sekali-sekali". Akupun kemudian memeluk ibu dengan erat. Setelah itu, ibupun berkata pada Andy : "Andy, jaga Maudy baik-baik. Kamu cocok bersama dengan Maudy, ibu mendukung kalian". Andy pun tersenyum kepada ibu dan berjanji bahwa ia akan menjagaku dengan baik. Suasana di pengadilan sangatlah tentram. Akhirnya semua beban hidupku berakhir detik ini. Kini, aku tinggal bersama ayahku di rumah barunya dan aku mendapat kehidupan yang lebih layak. Akupun juga menjalin hubungan yang baik dengan Andy, pacarku. Tuhan memang mempunyai rancangan yang terbaik, yang terkadang manusia tak dapat menebaknya.
           

Kebahagiaan
Oleh Marcella

Kebahagiaan itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sebuah keadaan atau perasaan senang dan tenteram. Untukku, merasa senang dan tenteram itu sangat sulit. Kedua orangtuaku meninggalkan aku beserta dunia dan isinya. Warisannya sangat banyak dan karena aku anak satu-satunya, aku menjadi pewaris satu-satunya. Walau hartaku lebih dari cukup, aku tidak pernah merasa senang ataupun tenteram. Hidupku tidak pernah bahagia. Apakah itu kebahagiaan? Masih ku cari sampai sekarang apa arti kebahagiaan disaat semua orang yang kucintai hilang satu per satu.


Hari ini gelap. Aku tertunduk di samping jendela, memperhatikan kumpulan awan di langit yang seakan mengikuti suasana hatiku. Gelap, dingin, tidak beraturan. Hujan yang deras pun turun. Bukan dari langit melainkan dari kelopak mataku. Insiden itu terputar kembali di otakku, mengingatkanku akan orang yang aku cintai, akan dia yang menjadi sumber bahagia sementaraku. Aku pun serasa terbawa hanyut emosi ke tempat yang sudah sering aku kunjungi, kenangan yang pahit sampai terasa getir di lidahku.

Aku berada di tengah-tengah sebuah taman. Terlihat sebuah bangku taman yang menghadap ke danau yang memantulkan cahaya matahari senja. Aku menghampiri bangku taman itu dan duduk, memerhatikan lenggak lenggok daun-daun pada pohon di sekitarku. Mereka tampak seperti sedang menari, seirama dengan angin yang bertiup dengan lembut di sekitarku. Taman ini selalu sepi, tidak ada yang pernah datang ke sini. Orang-orang sekarang sudah penat dengan kesibukannya masing-masing, tidak ada yang memiliki waktu luang untuk berhenti sejenak dan melepaskan segala kecemasan masing-masing. Namun itulah yang suka aku lakukan sejak dulu. Duduk di pinggir danau ini setiap sore dan menceritakan hariku kepada burung-burung yang berkicau membalasku dan membisikan keluhanku kepada angin yang tidak pernah menjawab namun selalu mendengarkan dengan tenang.
Namun pada suatu hari, aku yang biasa datang ke taman itu seorang diri melihat orang lain sudah duduk terlebih dahulu di bangku ‘kepunyaanku’. Aku menghampiri bangku taman itu dan berdehem, meminta perhatian orang asing ini. Dan seperti dugaanku, ia pun menoleh. Parasnya elok, batang hidungnya mancung, bibirnya melengkung tersenyum, matanya menatap hangat dilengkapi bulu mata panjangnya yang memberi bayangan di bagian bawah matanya. Tampan.

“Eh maaf,” ujarnya dan segera berdiri. “Mau duduk disini kan? Nih silahkan, duluan ya.”

Hal ini terjadi pada esok harinya. Dan juga esoknya. Dan juga esoknya. Lama kelamaan, aku yang selalu bertemunya dan dia yang selalu pergi setelah aku datang menjadi sebuah kebiasaan yang kita jalani. Aku tidak pernah tau namanya dan itu membuatku penasaran. Pada setiap pertemuan yang kami lalui lidahku selalu terasa gatal untuk menahannya untuk jangan pergi dan menanyakan namanya, asalnya, sekolahnya, rumahnya. Semuanya. Pada akhirnya, aku pun diberikan sebuah kesempatan.


Hari itu dingin dan matahari tidak nampak. Angin yang biasa hanya berbisik mendengarkan keluhanku hari ini berteriak kencang meniupkan daun-daun yang telah gugur. Dia melihatku terlebih dahulu dan tersenyum, sedikit bergeser ke ujung bangku. Aku menghampirinya dan tersenyum balik, melihatnya tidak beranjak pergi dari bangku seperti yang ia biasa lakukan. Aku heran dan mulai percakapanku yang pertama dengannya.

“Eh? Tumben ga pergi duluan? Hari ini mau hujan kok malah ga pulang?”
“Iya, habis kasihan nanti kalo cewe sendirian malah kehujanan. Boleh kan ditemenin?”

Tanyanya dengan senyuman. Senyuman yang manis, senyuman yang masih aku rindukan sampai saat ini

“Ah gaperlu repot-repot, pulang aja gapapa kok.”

Namun bisakah ku menolak sebuah tawaran pada seorang tampan seperti dia?

“Tapi ya kalo emang beneran mau nemenin ya gapapa juga sih.”

Kau hanya tersenyum manis sekali lagi dan tetap duduk bersamaku di bangku itu. Tidak lama kemudian petir menyambar dan guntur berbunyi. Hujan pun mulai turun, rintik demi rintik. Ia pun dengan spontan berdiri dan menawarkan untuk mengantarku pulang.

“Aduh hujan nih, pulang aja ya takutnya makin deres. Rumah lu dimana? Gua anter boleh ya? Cewe malem-malem ujan-ujan jalan sendiri gitu ga baik.”
“Ah iya, makasih ya aduh, jadi ngerepotin. Rumahnya diarah sana. Beneran gapapa nih?”
“Iya, gapapa kok gausa ngerasa gaenak gitu. Yaudah yuk buruan keburu sakit nanti.”

Aku mengangguk dan mulai berjalan ke rumahku. Rumahku memang tidak jauh dari taman, hanya butuh 15 hingga 20 menit berjalan. Namun 20 menit kali ini terasa sangat lama dengan adanya dia di sampingku, menemaniku pulang di sore yang hujan ini. Sesampainya ku di depan rumah aku bersiap-siap untuk mengucapkan salam perpisahanku. Tapi dengan apa aku harus memanggilnya?

“Umm, makasih ya.. umm”
“Aldo.”
“Ah, iya, makasih ya Aldo. Mau masuk dulu? Gua bisa bikinin teh sambil nunggu hujannya agak reda.”
“Oh? Gapapa nih? Ga ngerepotin orang rumah?”
“Gaada orang dirumah kok, gua tinggal sendiri.”

Ya, seperti yang kukatakan tadi, aku memang tinggal sebatang kara dirumah yang bisa dibilang besar ini. Kedua orang tuaku yang telah meninggal dunia, menyisakanku sendiri dengan segala harta warisan yang mereka tinggalkan. Semua keperluanku masih diatur oleh adik dari Papa, Om Hayes. Ia sibuk dengan pekerjaannya serta keluarganya sendiri sehingga ia jarang mengunjungiku. Benar-benar tinggal sendiri tanpa bantuan orang yang benar-benar peduli. Menyedihkan ya?

“Eh, lu gapapa? Halo?”

Aku mulai sadar telah terjebak dalam lamunan dan melihat muka Aldo yang bingung, mencoba memanggilku untuk menyadari keberadaannya. Setelah kutemukan kembali suaraku, aku mengajaknya masuk.

“Masuk dulu deh, ceritanya panjang.”



Aldo kubuatkan teh saat dia menunggu di ruang tamu sembari ia melihat-lihat sekelilingnya. Setelah menempatkan cangkir berisi teh beserta gula batu di meja, aku pun duduk di sofa di sebrang Aldo, menatapinya yang memasukkan 3 bongkah gula. Kebiasaanmu meminum teh dengan 3 bongkah gula yang sampai sekarang tidak pernah berubah. Aku pun memulai percakapan dengan mengulang perkenalan kami dari awal.

“Eh kita aja belom saling kenal nama. Nama lu Aldo kan ya tadi? Kenalin nama gua Florence Estelle, panggil aja Estelle ato Stelle juga gapapa.”
“Ah Estelle ya? Bagus juga nama lu. Nama gua sebenernya Ronaldo Felix, tapi ya lu uda tau juga, panggil aja Aldo.
Jadi lu beneran tinggal sendiri? Di rumah segede satu kota ini? Gila gila.”
“Haha biasa aja kali, iya gua tinggal sendiri. Ini semua warisan orangtua. Mereka udah gaada.” Jawabku dengan senyum tipis yang mungkin terlihat dengan jelas olehnya bahwa itu senyum yang palsu.
“Eh, sorry, turut berduka Stelle. Udah deh gausa diomongin lagi.” Jawabnya dengan senyum setengah prihatin. “Eh, ujannya udah reda. Gua balik dulu deh. Eh tapi bole ga minta nomor lu? Siapa tau perlu hehe.”
“Nomor telepon gua? Boleh laah, sini hape lu, gua simpen di kontak langsung aja ya.”
“Ah iya nih hape gua. Thank you, ya stelle. Sampe ketemu besok di taman kayak biasa.”
Sapaannya ini hanya kujawab dengan senyum tipis yang kali ini benar-benar tulus. Pertemuan dan perkenalan kita terasa berabad-abad yang lalu. Apa yang telah terjadi, Do? Aku tidak mengerti apa rencana yang Tuhan sediakan bagiku. Kembalilah.
Aku pun terus bertemu dengan Aldo di taman. Namun setelah hari kita bertemu, ia selalu mengantarku pulang. Selalu dengan rutinitas yang sama, kita berjalan bersama untuk hampir 2 bulan. Hari demi hari kita semakin dekat, semakin banyak hari yang kutempuh dengannya dengan senyuman. Kamu membuatku tersenyum, Do. Aku yang dulu susah melupakan semua kenangan manis bersama orangtuaku kini belajar membuat kenangan manis yang baru. Hingga suatu hari, Aldo mengajukan pertanyaan yang pastinya terkesan istimewa oleh perempuan seumuran denganku.

“Eh Stelle, lu kapan-kapan boleh ga main kerumah gua? Nyokap gua nanyain soalnya gua suka kemana kalo sore akhir-akhir ini. Gua bilang aja udah punya temen baru. Eh dia malah penasaran. Boleh ga Stelle? Dia ngajak makan Sabtu sore, bareng papa sama ade gua juga.”

Bagi orang biasa, pertanyaan ini dapat membawakan seribu senyuman untuknya, ‘diajak makan keluarganya si lelaki tampan’. Tapi tidak bagiku. Sepertinya aku belum bisa menerima fakta bahwa aku hidup sebatang kara tanpa keluarga. Mataku langsung dibanjiri air mata sedetik setelah ucapannya itu sampai ke telingaku. Aku takut aku tidak sanggup dan akan menangis di tengah-tengah makan malam keluarga yang seharusnya menjadi acara kebersamaan. Aku berusaha sekuat tenaga menahan untuk tidak menjatuhkan air mata dari mataku yang sebenarnya sudah penuh. Namun mataku mengkhianatiku dan menjatuhkan beberapa bulir air. Aldo yang melihat air mataku langsung bingung dan bertanya dengan lembut kepadaku, berupaya mengetahui sebab dari air mataku.

“Eh, aduh kenapa Estelle? Jangan nangis, gamau ya makan sama keluarga gue? Gua ga maksa kok jadi kalo gamau ikut gapapa jangan sampe nangis gitu. Aduh udah, udah.”
“Bukan itu Do, gua cuma..” kangen sama keluarga sendiri, ngeliat lu bahagia sama keluarga bikin gua makin kangen. Gaada yang peduli sama gua Do.
Itu yang ingin aku sampaikan. Namun suaraku tercekat dan air mata mulai mengkaburkan pengelihatankku.
“Aduh, jangan gitu udah sini,”

Aldo akhirnya menarik pergelangan tanganku dan dia memelukku. Aku secara spontan menarik nafas tajam, merasakan rasa sakit di pergelangan tanganku. Aku tahu ia menyadari goresan-goresan bekas luka sayatan di tanganku namun ia membiarkannya. Aku membiarkan diriku menangis, berada di pelukannya, dalam lingkaran aman tangannya yang terasa hangat. Kehangatan badannya dan tangannya yang sangat aku rindukan saat ini. Kapan kau akan memelukku lagi Do?

Waktu yang hanya terasa selama beberapa menit di dalam pelukannya itu cukup bagiku untuk mengetahui bahwa aku merasakan sesuatu berbeda dariku kepadanya. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan.


Aldo tidak pernah mengungkit tentang goresan-goresan di tanganku maupun jawabanku yang bisa dibilang tidak normal saat diajak makan oleh keluarganya. Seakan-akan Aldo sudah tahu tentang semua cerita, semua skenario buruk yang sudah aku lewati, dan dengan sabar menunggu waktu yang tepat untuk aku membuka luka agar bisa ia obati.


Hari demi hari kita semakin mengenal satu sama lain dan sekarang aku sudah mengenalnya selama 5 bulan. Sekarang aku tahu makanan kesukaannya yang adalah nasi gulung ala-ala Jepang itu hingga hobinya yaitu bermain sepakbola. Sering kuajak dia makan makanan Jepang itu dan dia mengiyakan, menjemputku dari rumah dan pergi bersama-sama. Aldo juga sering mengajakku makan makanan kesukaanku yang bisa dibilang sangat berbeda dengan makanannya. Nasi goreng, beda sekali bukan?
Lama kelamaan, makan bersama ini menjadi suatu kebiasaan bagi kami. Jika ingin bertemu dan bukan di taman, salah satu dari kami pasti akan mengajak makan. Selain itu, kebiasaan makan bersama kami ini ditemani dengan obrolan-obrolan saling mengenal satu sama lain. Lama kelamaan, aku yang dulunya tertutup dan menjaga jarak akhirnya mempercayainya dan mulai menceritakan semuanya tentang keluargaku.
Keluargaku yang meninggal dalam kecelakaan mobil yang sedang dalam perjalanan menjemputku dari sekolah. Semua kebaikan yang telah orangtuaku lakukan, setiap kado ulangtahun, setiap liburan yang dihabiskan dengan canda dan tawa. Aldo benar-benar mendengarkanku dengan tulus. Ia benar-benar peduli denganku dan mendengarkanku sepenuh hati, bukan karena kasihan. Aku pun semakin banyak bercerita dan berkeluh kesah kepadanya, menceritakan pertama kali aku menyayat lenganku hingga berdarah karena aku merasa tidak berguna bagi siapa-siapa, tidak ada gunanya aku untuk hidup.
Aldo mengusap pipiku dan aku terkejut, kembali ke kenyataan. Ia tersenyum kepadaku dengan senyuman favoritku. Begitu manis di wajahnya sampai-sampai aku tidak malu saat menyadari bahwa aku meneteskan beberapa air mata saat bercerita. Aldo tidak mengatakan satu patah kata pun, hanya memandangiku dengan tampangnya yang membuatku tahu bahwa ia adalah seseorang yang tidak akan meningalkanku. Benar kan Do, lu gaakan ninggalin gua?


Aku yang dulu adalah seorang perempuan tanpa orang tua dan tidak pernah merasakan apa itu kebahagiaan, sekarang menjadi seseorang yang akhirnya merasakan apa artinya memiliki orang lain yang selalu ada untukku. Aldo sekarang telah menjadi seseorang yang bisa aku panggil menjadi keluarga sendiri. Ia selalu berada di sisiku dan aku merasakan kembali apa itu bahagia bersamanya. Dalam kurun waktu satu tahun ini semua masa-masa indah ini sudah kita lewati bersama-sama. Ia telah mengajakku makan malam bersama keluarganya lagi dan aku mengiyakan karena aku sudah siap setelah semua isi hatiku kukeluarkan kepadanya.
Aldo menerima segala keadaanku beserta luka-luka masa laluku dan akhirnya ia menyatakan perasaannya kepadaku. Aku menerima perasaannya dan kita pun mulai berpacaran.
Aku sekarang sering diajak pergi olehnya dan tidak hanya ke taman kita, melainkan ke tempat umum lain yang banyak orang kunjungi. Hari demi hari, aku semakin menempel padanya dan semakin menyukainya. Ia telah menjadi seorang yang mengubah hidupku perlahan-lahan. Aku tidak pernah menyayat diriku lagi ataupun melakukan hal-hal lain yang khusus dulu kulakukan untuk menghilangkan rasa sedih secara sementara. Ia sekarang adalah sumber kebahagiaanku dan aku tidak merasakan setitik kesedihanku saat bersama dengannya.


Saat itu sedang terjadi hujan yang besar dengan angin yang dapat meniup segala sesuatu terbang bermeter-meter jauhnya. Aku tahu ia sedang mengendarai mobilnya bersama mamanya yang sangat ia cintai. Aku pesankan ‘hati hati’ untuknya melalui telepon genggam dan berdoa agar ia tidak mengalami suatu tragedi apapun. Namun sepertinya Tuhan tidak mendengarkan kata-kata ku untuk tidak melukainya.
Aldo sudah berada di rumah sakit dan tidak sadarkan diri. Mama dari Aldo mengalami beberapa patah tulang namun baik-baik saja. Aku kembali merasakan kepedihan, menangis setiap hari melihat dia yang kukasihi hanya dapat tertidur di ranjang dari hari demi hari.
Aku berdoa minta pertolongan Tuhan agar mau menyembuhkan Aldo secepat cepatnya karena aku sangat rindu dengan senyumannya, tawanya, semuanya tentang dia. Namun Tuhan sepertinya tidak mendengarkan suara doa ku, tidak mengabulkan kata-kata di dalam doaku dan berbuat persis sebaliknya. Aldo dinyatakan meninggal pada pukul 2 dini hari. Aku spontan menangis dan menangis, tidak rela melepaskan satu-satunya orang pertama yang bisa membuatku bahagia setelah kehilangan kedua orangtuaku. Tapi apa boleh buat, hal yang mustahil bagiku untuk dapat mengembalikan waktu. Aku hanya bisa meratap dan menangis. Tidak ada pekerjaan lain yang aku kerjakan. Menolak makanan, minuman, apapun yang ditawarkan oleh siapapun.


Hari ini gelap, Aku kembali tertunduk di samping jendela, memperhatikan kumpulan awan di langit yang seakan mengikuti suasana hatiku. Gelap, dingin, tidak beraturan, bimbang, cemas, takut. Hujan yang deras pun turun. Dari langit dan juga dari kelopak mataku. Insiden hal itu terputar kembali di otakku, mengingatkanku akan segala kesalahanku, akan segala perbuatanku yang tidak pernah kusadari. Pesan hati-hati yang kukirim itu ia buka saat mengendarai mobil. Sesaat ia menangkat kepala dari teleponnya, ia terkejut melihat mobilnya sudah berada jalur yang salah. Tidak bisa dihindari lagi, maut merenggut nyawanya. Coba saja aku tidak mengirimkan pesan itu, ia tidak akan membacanya dan tentunya tidak akan terjadi apa-apa juga.
Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku telah membuat 2 orang terluka dan menolong diri sendiri saja tidak bisa. Aku bukanlah diriku yang bahagia tanpa Aldo. Sekarang aku telah kembali menjadi Aku yang lama, dimana aku kehilangan semua yang kucintai, semua yang kupedulikan. Aku kembali menyayat lenganku dan tidak ada orang lain yang melihatnya. Namun kali ini setiap sayatan tidak tersa seperti aku yang dulu, dimana setiap sayatan meringankan dikit demi sedikit rasa sedih dan benci akan diri sendiri. Sekarang setiap goresan yang dibuat malah membuatku semakin mengasihani diri sendiri dan merasa tidak perlu aku untuk hidup lagi.
Setelah ia dikebumikan, aku selalu bangun pagi dan mengunjungi tempat makamnya. Setiap hari aku menangis di batu nisan bertuliskan namanya yang tidak asing terdengar di telingaku. Aku sudah tidak kuat untuk hidup sendiri lagi tanpa adanya sumber kebahagiaan. Aku mengambil tali, dan bangku. Mengikat satu ujung tali ke kipas dan ujung lainnya ke leherku serta naik ke kursi. Aku pun kemudian menendang kursi itu.
Gelap. Hanya itu yang ku tahu. Tidak ada apa apa disini juga. Semuanya sama saja dimana saja. Gelap. Aku rindu kamu Aldo, kamu telah mengubah diriku dari sebuah gadis yang sendiri yang tidak dapat bergabung dengan siapapun juga, menjadi seseorang yang dengan mudah dapat bersosialisasi dengan orang lain. Namun untuk apa Do aku sendiri tanpamu? Semua yang kutempuh ini selalu kutempuh bersamamu dan tidak mungkin aku melewatinya sendiri pula. Aku sayang kepadamu, Do. Kaulah arti kebahagiaan kucari selama ini. Kaulah jawaban dari pertanyaanku. Tanpamu aku tidak akan bangkit dari kepedihan kehilangan yang menenggelamkan. Selamat tinggal semuanya, toh tidak aka nada yang merindukanku, aku memang tidak berguna di dunia ini. Selamat jalan.




 





























 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar