Laut Tenerife
Oleh Victoria Beatrice 9A
Perkenalkan,
namaku Bethany Andrea tetapi semua orang memanggilku Drea sejak kecil. Aku
sangat suka nyanyi dengan sambil memainkan gitar hitamku yang kudapatkan saat
ulang tahunku yang kesepuluh. Ulang tahunku bertepatan dengan hari kasih saying
sedunia, sehingga setiap tahun kue ulang tahunku selalu ada tulisan “Happy Valentine’s Day”. Namun, aku
sangat senang karena ulang tahunku bertepatan saat orang-orang merayakan hari
kasih sayang.
Berhubungan dengan kasih sayang,
sejak kecil aku telah mendengarkan begitu banyak kisah romantis seperti Putri
Salju yang diselamatkan oleh seorang pangeran dengan sebuah ciuman, Cinderella
yang bertemu kembali dengan pangerannya walaupun telah dipisahkan oleh ibu
tirinya, dan Putri Ariel yang mengorbankan suaranya agar bisa bersama sang
pangeran. Dari sekian banyak kisah romantis, kisah favoritku adalah Putri Ariel
yang mengorbankan apapun demi cintanya.
Segala cerita romantis telah
kudengarkan, namun aku tetap tidak percaya satu hal. Satu hal tersebut adalah
jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin sebagian besar orang juga tentu
tidak percaya dengan cinta pada pandangan yang pertama. Aku pun juga tidak
mempercayainya sebelumnya, namun setelah merasakannya sekarang aku menjadi
percaya dengan cinta pada pandangan yang pertama.
Kisah
ini berawal saat waktu istirahat di sekolah. Pada saat itu aku masih duduk di
bangku kelas 7 SMP dan sedang menghabiskan waktu istirahat dengan bercanda
dengan teman-temanku. Secara tidak sengaja mataku bertemu dengan mata seorang
laki-laki yang memiliki rambut yang sempurna dan memiliki tatapan yang sangat
indah. Namun, aku tidak menghiraukan tatapan kami sama sekali dan tetap
menikmati waktu istirahat.
Setahun
kemudian ketika aku membuka media sosial milikku, aku menemukan laki-laki itu
kembali melalui sosial media dan akhirnya aku mengetahui namanya. Laki-laki itu
bernama Shawn dan dia hobi bermain gitar, selain itu dia juga mengcover
lagu-lagu di sosial medianya. Dengan dipenuhi rasa penasaran aku mencoba untuk
menonton salah satu video cover miliknya. Menurutku covernya hanya biasa saja
dan aku sama sekali tidak menghiraukannya.
Bulan-bulan
dan tahun pun berganti, sekarang aku duduk di kelas sembilan, hatiku kosong
tidak dipenuhi masa-masa manis dengan kenangan indah bersama pasangan. Sebagian
besar temanku sudah memiliki pasangan namun diriku belum. Yah, mungkin rasa
kesepianku itu seringkali datang karena aku tidak memiliki pasangan.
Lintas
balik pun mulai memenuhi pikiranku mengenai laki-laki tersebut yang pernah
bertatapan denganku. Laki-laki tersebut menjadi sering mengisi pikiranku. Aku
pun menjadi penasaran dan ingin sekali berkenalan dengan Shawn. Namun, apa
dayaku karena diriku hanya seorang adik kelas yang lebih muda setahun dari
laki-laki itu. Perasaanku pun mulai tumbuh untuk Shawn, namun aku tetap tidak
berani untuk berkenalan dengannya.
Hari
itu aku telat untuk datang ke sekolah karena takut mendapat surat telat oleh
guru piket, aku pun berlari sekencang mungkin. Tanpa tersadar aku menabrak
seorang laki-laki dan orang itu adalah Shawn.
“Eh,
sorry ga sengaja.” Kataku.
“Ga
apa-apa kok, hahaha.” Balasnya.
Setelah
itu, kita berdua pun berpisah menuju koridor yang berbeda karena kelas kita
berada di koridor yang berbeda namun satu lantai. Ucapan maaf yang kukatakan
kepada Shawn merupakan kalimat pertama dan satu-satunya yang pernah kuucapkan
kepada Shawn. Aku hanya bisa berharap bahwa aku dapat benar-benar mengenal
dirinya.
Pada
saat istirahat makan siang, guru walikelasku memanggilku. Dia menanyakan apakah
aku ingin mengikuti lomba membuat lagu se-Jakarta. Tanpa berpikir panjang aku
pun menyetujuinya karena menurutku ini merupakan kesempatan yang bagus untuk
menunjukkan bakatku. Sudah sejak lama aku suka membuat lagu dengan menggunakan
gitarku. Gitarku berwarna hitam dengan dinominasi warna merah.
“Oh
iya, nanti kamu lombanya bukan hanya sendiri namun kamu akan berpasangan dengan
seorang laki-laki untuk menciptakan lagu. Dia merupakan kakak kelasmu yang
duduk di kelas sepuluh, ia bernama Shawn.” Ucap guru walikelasku.
Saat
itu juga aku tidak percaya bahwa aku akan menciptakan lagu bersama Shawn.
Keinginanku pun tercapai untuk berkenalan dengan Shawn. Aku sangat senang
karena akhirnya aku dapat mengenalinya. Dengan perasaan yang sangat senang, aku
pun menceritakannya dengan teman-temanku.
“Cie,
bakal kenalan deh sama dia.” Ucap Janice.
“Kesampaian
juga ya! Kirain gak mungkin bakal kenalan, hahaha.” Ucap Melda.
“Jangan
gitu dong, hahaha.” Ucapku.
Saat
pulang sekolah, tepatnya pukul tiga aku datang ke kelas Shawn untuk
memperkenalkan diriku bahwa kita berdua akan bekerja sama untuk menciptakan
lagu. Teman-teman sekelasnya melirikku ketika aku berdiri di depan kelasnya,
namun aku hanya mengabaikan hal tersebut. Aku menunggu sangat lama, sudah
setengah jam aku menunggu sekarang pukul setengah empat hampir saja aku pulang.
Tiba-tiba dia pun datang, wajahnya dibanjiri dengan keringat dan dia
menggunakan baju basket tim sekolah bernomor punggung sebelas.
“Salam
kenal, namaku Drea kak.” Tanyaku kepadanya.
“Iya, kita bakal kerja sama dalam
perlombaan menciptakan lagu kan? Kamu yang nabrak aku juga ya? Hahaha.” Tanyanya
dengan senyum.
“Iya,
haha. Maafin aku waktu itu ya kak, hahaha.” Ucapku dengan malu.
“Ga apa-apa kok. Kalau begitu, besok
kita ketemuan di kafe Glorious pukul
tiga, kamu bisa kan?” Tanyanya.
“Bisa kok, kak. Kalau gitu sampai
jumpa ya.” Ucapku dengan senyum.
Perjalananku saat pulang ke rumah
dipenuhi dengan senyuman. Sesampainya di rumah
aku
langsung mencari inspirasi untuk lagu yang akan kukerjakan bersama Shawn. Aku
pun memutar lagu kesukaanku yaitu Tenerife Sea yang dinyanyikan Ed Sheeran sambil
mencari inspirasi. Akhirnya aku pun menemukan beberapa kata untuk menjadi lirik
di dalam lagu aku dan Shawn.
Keesokan harinya aku pun menemuinya
di kafe Glorious, dia sudah datang
sebelumku. Shawn menggunakan kaus hitam, jins hitam, dan sepatu sneakers Adidas yang berwarna hitam dan
putih. Dia memilih tempat duduk di ujung ruangan bagian kanan dan sedang
memesan makanan. Semua orang tentu setuju bahwa Shawn memiki wajah yang sangat
sempurna. Pelayan di kafe ini sampai menggoda Shawn dengan tingkah centilnya.
Ketika aku datang menghampiri Shawn, pelayan itu pergi dengan raut muka yang
jutek dan kesal padaku.
“Hai, sorry telat hahaha.” Ucapku.
“Gak apa-apa kok aku juga baru
sampai di sini, paling hanya baru dua atau tiga menit. Oh iya, aku tadi juga
udah pesan makanan buat kamu, aku yang traktir ya.” Balasnya dengan senyuman.
“Makasi ya.” Ucapku dengan
senyuman lebar yang muncul seketika.
Kita
menghabiskan waktu bersama untuk menciptakan lagu kurang lebih selama lima jam.
Tanpa tersadar sekarang sudah jam delapan malam. Sebagian besar lagu ciptaanku
dan Shawn sudah selesai. Akhirnya kita menetapkan sebuah judul untuk lagu yang
kita buat yaitu “Unspoken Feelings”. Lagu
ini menceritakan tentang seorang perempuan yang memendam perasaannya untuk
seorang laki-laki yang dia cintai. Kalau boleh jujur, sebagian besar lagu ini
sangat mengambarkan diriku sekarang. Mungkin perasaanku untuknya hanya bisa
diabaikan dengan lagu yang kita ciptakan bersama ini.
Minggu-minggu
pun berlalu dan lagu yang kita ciptakan telah selesai kita buat. Namun, kita
belum merekam lagu yang kita ciptakan. Aku pun berusaha untuk mencari studio
yang bagus untuk merekam lagu “Unspoken
Feelings” milikku dan Shawn. Setelah berjam-jam dan berhari-hari mencari
studio, akhirnya aku pun menemukan sebuah studio yang cukup jauh dari rumahku
dan Shawn.
Hari
ini hari Sabtu dan sekarang sudah jam sembilan, aku dan Shawn harus pergi ke
studio untuk merekam lagu yang kita ciptakan. Usiaku saja baru menginjak empat
belas tahun dan Shawn berusia lima belas tahun. Usia kita masih dibawah umur
tujuh belas tahun sehingga tidak boleh membawa kendaraan pribadi sendiri. Pada
akhirnya, kita pun naik transportasi umum untuk menempuh studio tersebut yang
cukup jauh dari rumah kita karena tidak ada yang bisa mengantar kita. Dalam waktu
kurang lebih tiga puluh lima menit, kita pun sampai di studio tersebut. Tiga
puluh menit termasuk sangat cepat karena biasanya memakan waktu kurang lebih
satu jam. Hari ini hari sabtu sehingga jalanan cukup kosong.
Rekaman
di studio memakan waktu sekitar lima jam dan berjalan dengan sangat lancar.
Hasil dari rekaman tersebut pun sangat bagus. Kita sangat bangga, senang, dan
semangat atas lagu yang telah kita ciptakan. Selain mengumpulkan hasil rekaman,
kita juga harus menampilkannya di atas panggung. Kita harap agar penampilan
kami dapat membanggakan sekolah kami yaitu Sekolah Cahaya Harapan.
Setelah
melakukan rekaman di studio, kita pun memutuskan untuk pergi ke mall yang dekat dengan studio tersebut.
Ya, kita anggap sebagai refreshing
setelah kerja keras menciptakan sebuah lagu. Setelah berjam-jam tidak makan, aku
pun mengusulkan untuk makan terlebih dahulu di restoran favoritku dan Shawn pun
setuju karena dia juga sangat lapar. Pada akhirnya, Shawn membayar semua
makanan yang kita pesan. Aku merasa tidak enak karena setiap kali dia yang
membayar. Namun, dia bilang kepadaku kalau laki-laki sudah sepantasnya yang
membayar.
Dengan
perut yang sudah terisi dan kenyang, kita pun jalan-jalan di dalam mall sebelum pulang. Kita mampir di
sebuah toko boneka yang dipenuhi dengan anak-anak perempuan. Aku menemukan
sebuah boneka kuda unicorn yang lucu
sekali dan secara spontan aku memeluknya. Tiba-tiba seorang anak perempuan
menghampiriku dan Shawn.
“Kakak,
kalian lagi pacaran ya?” Tanyanya dengan polos.
“Engga
kok, kita hanya pergi bersama saja.” Balasku.
“Iya dik. Kamu main disana aja
ya, nanti kalau kamu pergi, ibumu akan susah mencarimu.” Ucap Shawn dengan
senyuman.
“Kakak benar juga ya. Kalau
begitu sampai jumpa.” Ucap anak itu sambil berlarian kembali kepada ibunya.
“Tapi kalau benaran pacaran juga,
gak apa-apa sih.” Ucap Shawn kepadaku.
“Apa, tadi kamu ngomong apa?”
Tanyaku dengan pura-pura tidak mendengar ucapannya.
“Gak apa-apa kok, hahaha.”
Tawanya.
Mukaku
seketika merah saat mendengarnya mengucapkan kalimat tersebut tadi. Aku sangat
terkejut dengan kalimat yang diucapkannya tadi. Apa mungkin aku hanya bermimpi?
Jika ini hanya mimpi, berarti ini mimpi yang sangat indah bagiku, namun ini
merupakan realita yang benar-benar terjadi. Apakah Shawn memiliki rasa yang
sama denganku?
Selain
masuk ke dalam toko boneka, aku dan Shawn juga pergi ke toko baju H&M yang
merupakan toko baju favorit kita berdua. Shawn menemukan sebuah dress berwarna putih yang didominasi
warna emas. Dia bilang dress itu sangat cocok untuk digunakan olehku. Pada
akhirnya, Shawn membelikan dress itu untukku dan dia mau agar aku
menggunakannya saat hari perlombaan.
Setelah
menghabiskan waktu bersama di mall,
kita pun pulang dengan menggunakan transportasi umum kembali. Perjalanan pulang
dipenuhi dengan obrolan dan candaan. Tidak terasa perjalanan pulang cepat
sekali, aku pun sampai di rumah. Shawn mengantarku pulang sampai di depan
rumah. Shawn mengucapkan selamat malam kepadaku dan dia pun pulang ke rumahnya.
Hari
Senin kembali hadir dan tidak terasa weekend
berlangsung dengan sangat cepat. Walikelasku memanggilku dan katanya perlombaan
diundur, tadinya perlombaan akan diadakan pada tanggal tujuh Februari namun
diundur menjadi tanggal empat belas Februari. Perlombaan bertepatan dengan
ulang tahunku dan hari kasih sayang. Aku pun segera memberitahukan Shawn agar
dia juga mengetahuinya. Untungnya, kami berdua tidak berhalangan di hari
perlombaan itu, sehingga kita tetap dapat mengikuti lomba tersebut.
Aku
dan Shawn berusaha sebaik mungkin agar kita dapat memenangkan perlombaan ini.
Sehingga setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat aku dan Shawn akan berlatih lagu
yang kita ciptakan. Semua waktu yang kita miliki, kita prioritaskan untuk
perlombaan ini. Shawn memainkan gitar akustiknya dan aku menyanyi. Sebenarnya
aku juga ingin memainkan gitar, tetapi aku takut kita tidak bisa menyamakan
tempo saat kita memainkan gitar bersamaan. Sehingga pada akhirnya aku yang akan
menyanyi karena Shawn sangat mahir memainkan gitar dibandingkanku.
Hari
ini tanggal empat belas Februari yang merupakan hari kasih sayang, hari ulang
tahunku, dan hari perlombaan. Sebelum menuju tempat di mana perlombaan
diadakan, aku dan keluargaku merayakan ulang tahunku sebentar karena perlombaan
diumlai jam dua belas dan sekarang jam menunjukkan jarum panjang ke delapan. Ibu,
Ayah, dan adik-adikku mengucapkan ulang tahun kepadaku. Ibu dan Ayah berharap
agar aku bisa semakin dewasa dan adik-adikku berharap agar aku tidak pelit
kepada mereka. Selain itu, anggota keluarga besar dari Ayah dan Ibu juga
mengucapkan ulang tahun melalui telefon dan aku mengucapkan terima kasih.
Setelah keluargaku mengucapkan
selamat ulang tahun kepadaku, aku meniup lilin dan memotong kue ulang tahun red velvet yang Ibu belikan. Ibu dan
Ayah bilang bahwa nanti malam keluarga kita akan makan malam bersama. Aku pun
tidak sabar untuk makan malam bersama dengan keluargaku nanti malam. Kita akan
makan di restoran antik di pusat kota Jakarta yang biasanya tamunya adalah
artis-artis terkenal dan orang-orang penting.
Sekarang jarum jam menunjukkan
pukul sepuluh, aku harus berangkat ke tempat di mana perlombaan diadakan yaitu
di Hotel Berlin-Inn. Aku bergegas menuju kamarku untuk mengganti pakaianku
menjadi dress yang dibelikan Shawn
untukku. Dress berwarna putih yang
didominasi warna emas tersebut sangat kelihatan elegan. Oleh karena itu aku
memasangkannya dengan high heels
putih elegan yang cocok dengan dress
itu. Setelah selesai mengganti pakaianku, aku langsung bergegas ke bawah untuk
segera berangkat.
Hari ini, ayahku bisa mengantarku
ke tempat perlombaan tersebut karena jaraknya tidak jauh dari rumahku dan hari
ini hari Sabtu sehingga ayahku tidak pergi ke kantor. Tidak sampai setengah
jam, aku dan ayah sudah sampai di Hotel Berlin-Inn. Aku sudah tidak sabar untuk
menampilkan penampilan yang sangat baik di depan para juri. Ayah mengucapkan good luck kepadaku dan dia sangat
mendukungku.
Aku langsung bergegas menuju aula
hotel tersebut yang tempatnya sangat besar dan mewah. Semua peserta berada di
belakang panggung, aku pun juga pergi ke belakang panggung untuk mencari Shawn.
Tidak perlu mencari dengan waktu yang lama, aku langsung menemukan Shawn yang
sedang berlatih gitar.
“Hai kak! Sorry aku baru datang
jam sekarang.” Ucapku.
“Ga apa-apa kok, aku juga baru
sampai. Aku barusan ngambil gitarku buat latihan dan tiba-tiba kamu datang. Tuh
kan, dressnya cocok sekali dipakai
olehmu.” Balasnya.
“Makasi ya kak dressnya.” Ucapku
dengan menunduk karena malu.
“Sama-sama memang dress ini cocok sekali digunakan
olehmu.” Senyumnya.
Namun, apakah Shawn tidak tahu bahwa
hari ini aku ulang tahun? Aku sangat ingin diucapkan ulang tahun olehnya.
Semoga saja dia mengetahui bahwa hari ini aku berulang tahun. Ingin sekali kuundang
dia untuk makan malam bersama keluargaku di restoran antik. Akhirnya, aku pun
tersadar bahwa aku tidak seharusnya memikir hal seperti itu karena perlombaan
akan segera dimulai.
Aku dan Shawn pun mencoba untuk
berlatihan beberapa kali lagi sebelum menampilkan lagu yang kita ciptakan di
atas panggung. Saat kita melakukan latihan kembali, kita berdua sudah dapat
bernyanyi dan bermain gitar dengan baik. Shawn dan aku yakin bahwa kita bisa
menampilkan yang terbaik di atas panggung nantinya.
Setelah berlatih berulang-ulang
kali, akhirnya kami pun dipanggil untuk menuju ke panggung. Kami berdoa
terlebih dahulu sebelum naik ke panggung, berdoa agar semuanya dapat berjalan
dengan lancar. Setelah berdoa, Shawn dan aku saling berpelukan untuk meyakinkan
bahwa kami pasti bisa. Akhirnya, kami pun menaiki panggung dan menampilkan lagu
yang kami ciptakan. Semua penonton dan para juri menyambut baik saat kami
menaiki panggung.
Penampilan yang kami tampilkan
berjalan sangat lancar dan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Selesai menampilkan lagu yang kita ciptakan dengan baik, aku merasa sangat lega
karena hasil kerja keras kita berdua terbayar. Kami menonton penampilan peserta
lain yang sangat bagus dan membuatku menjadi pesimis untuk menang. Aku hanya
bisa berharap dan berdoa agar kami dapat memenangkan perlombaan dan
membanggakan sekolah.
Pengumuman pemenang lomba pun
akhirnya dimulai. Pembawa acara membacakan para pemenang dimulai dari tingkatan
rendah ke tingkatan tinggi. Nama kami belum disebut semenjak pembawa acara
mulai membacakan nama-nama para pemenang. Aku hanya bisa berharap dan memohon
agar juara satu nya adalah aku dan Shawn.
Akhirnya, pembawa acara akan
membacakan pemenang juara satu.. Dengan suara yang lantang, pembawa acara
mengumumkan bahwa juara satunya adalah aku dan Shawn. Secara spontan aku
langsung memeluk Shawn dan dia juga memelukku. Kami saling mengucapkan selamat
karena ini merupakan hasil kerja keras kami berdua. Para juri dan penonton
mengucapkan selamat kepada kami. Setelah perlombaan selesai aku meminta izin
kepada ayahku untuk menemui Shawn sebentar dan ayah pun mengizinkanku.
“Kak, terima kasih ya!” Ucapku
dengan lantang.
“Ga usah panggil kakak, panggil saja
Shawn. By the way, aku mau menanyakan
sesuatu kepada kamu.” Ucapnya dengan raut muka yang serius.
“Mau nanya apa, Shawn?” Tanyaku
dengan heran.
“Mata mu itu bagaikan laut
tenerife yang begitu indah. Aku selalu memperhatikanmu jauh sebelum kamu
menabrakku pada hari itu. Maukah hatimu menetap di dalam hatiku?” Tanyanya
dengan muka yang merah.
“Maksud kamu?” Tanyaku dengan
muka yang memerah juga.
“Ya kalau mau dipersingkat, mau
ga kamu jadi pacarku?” Tanyanya dengan menunduk.
“Iya.” Ucapku dengan menunduk.
Setelah aku mengucapkan iya,
Shawn langsung memelukku dengan erat dan sangat senang. Mimpi apa aku semalam?
Rasanya seperti dalam mimpi. Akhirnya, apa yang selalu ku mimpikan pun terjadi
kepadaku. Segala hal yang kita inginkan dapat terjadi di saat yang tepat
walaupun terkadang memakan waktu yang lama. Aku sangat tidak percaya bahwa hari
seperti ini akhirnya akan datang di hidupku.
“Selamat ulang tahun juga ya!” Ucap Shawn.
“Makasi!” Ucapku dengan senyum
terlebar yang pernah kutunjukan.
Shawn akhirnya mengaku kepadaku
bahwa sebenarnya dia dan orangtuaku sudah bekerja sama untuk menyiapkan semua
hal ini. Nanti malam Shawn juga akan ikut makan malam dengan keluargaku. Dia
bilang bahwa dia akan berpakaian setampan mungkin agar dapat menaklukkan
hatikku dan aku hanya tersenyum. Tahun ini adalah ulang tahun terbaikku,
sepanjang hidupku.
Malamnya ayah menyetir mobil
untuk pergi makan malam dan Shawn juga ikut dengan kami. Kami makan sangat
banyak dan perut kami sangat terisi. Setelah selesai makan, kami semua
mengobrol dengan penuh canda, semuanya sempurna dan kami sangat menikmati waktu
itu. Saat kami sudah mau pulang, tiba-tiba restoran itu menyetel lagu Tenerife
Sea yang dinyanyikan dan diciptakan oleh Ed Sheeran. Saat mendengar lagu itu,
aku langsung tersenyum karena membawa kembali memori-memori yang ada.
Jadi apa selama ini Shawn tahu
aku menyukai lagu Tenerife Sea yang diciptakan Ed Sheeran? Sampai-sampai dia
menembakku dengan mengucapkan laut Tenerife. Apakah selama ini Shawn mengetahui
semua hal yang aku sukai tapi bagaimana mungkin? Aku hanya bisa tersenyum.
“Lagu ini untukmu.” Ucapnya yang
membuat mukaku merah padam.
Makan malam pada malam itu
membuat kenangan yang sangat banyak untuk diingat. Aku sangat senang karena
ayah dan ibu dapat bekerja sama dengan Shawn untuk menciptakan kejutan untuk
ulang tahunku. Dalam hatiku, aku hanya bisa bersyukur karena dapat merasakan
ulang tahun yang sangat indah tahun ini.
Dari pengalamanku tersebut
akhirnya aku mempercayai jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Mungkin
sebagian besar orang masih menganggapnya sebagai fiksi dan hanya karangan
manusia yang hanya terjadi di cerita-cerita romantis yang tidak masuk akal.
Namun, aku berbeda justru aku sangat mempercayainya. Apakah setelah membaca
ceritaku, kalian juga menjadi percaya dengan cinta pada pandangan yang pertama?
1 Januari
Oleh Felicia
1
Januari hari dimana kita lost contact.
D
|
ulu
kita sangat dekat hampir tiap hari bertatapan muka, melihat wajahmu membuat
hatiku langsung berbunga – bunga. Tetapi semua hal itu sirna seketika. Dua
tahun sebelum itu…
***
Aku yang sedang terbaring di kasur membuka hp ku dan
melihat Steven, teman sebangku SMP ku mengirimkan sebuah pesan kepadaku.
“Hai Ta, mau curhat dong” ketik Steven
“Yauda cerita aja” jawabku
“Bantuin aku deket lagi dong sama Caitlin, kamu kan
sekarang temen baiknya”
“Yauda entar coba aku bantu kamu dhe sama dia”
Seketika obrolan kita berakhir. Aku dan Steven
sekelas waktu SMP 2 dan sekarang kita duduk di bangku SMA 1. Steven adalah
idola semua kaum hawa. Awalnya aku akui kalau aku pernah menyukai Steven ketika
kelas SMP 2 tetapi aku tutup rasa itu.
Setiap sesi pelajaran aku selalu mengungkit tentang
Steven ke Caitlin dan Aku selalu berkata bahwa Steven sepertinya ingin balikan
lagi. Tetapi Cailtlin tetap tidak acuh dan menggangap itu adalah sebuah kebohongan.
Nicholas, pria yang sangat handal bermain alat musik petik itu disukai oleh
Caitlin sekarang.
***
Kring…Pelajaran sekolah berlalu dengan cepat. Aku melihat Steven
pulang secepat kilat, tidak seperti biasanya ngborol dulu bersama temannya.
Lalu aku melihat mobil ku sudah sampai dan aku pulang ke rumah. Sepulang dari
sekolah, aku membuka handphone ku dan
membuka Instagram. Sesudah itu aku
membuka line dan melihat Caitlin
mengirim pesan kepadaku, Aku langsung memuntahkan air ku saat melihat pesan
dari Caitlin.
“Ta tau ga masa tiba –tiba si Steven line aku sih”
“Hah iya?? Tuhkan udah aku bilang kayaknya Steven
mau balikan lagi” ucapku dengan ekspresi kaget
“Ga lah itu perasaan kamu doang kan aku sukanya sama
Nicho”
“Ya kamu bisa bilang gitu sekarang eh entar akhirnya
suka”
“Udah ah jangan ngomongin gituan, btw pr ipa no 3
gimana sih”
Akhirnya, Caitlin mengganti pembicaraan. Beberapa
menit kemudian, Steven mengirim pesan kepadaku bahwa ia dengan tekad dan
keberanian yang besar mengirim pesan ke Caitlin. Aku hanya berkata Aku senang
dan sejak itu mereka dekat lagi karena bantuanku.. Sejak itu mereka dekat lagi
karena bantuanku… Mungkin aku terlihat senang di depan tetapi hatiku seperti
tertusuk – tusuk pisau yang baru diasah. Aku berpikir mungkin sudah seharusnya
aku tidak mengharapkan Steven lagi dan sejak itu aku tidak kelihatan terlalu
antusias membantu Steven. Dalam pikiranku Steven tidak mungkin mengirim pesan
kepada Caitlin dan Caitlin tidak mungkin menyukai Steven tetapi pikiran ku
salah.
Rutinitas ku tiap hari selalu sama Senin – Jumat
pergi ke sekolah. Di sekolah biasanya jika Aku bertemu dengan Steven kami
saling menyapa. Aku takut kalau bertatapan muka dengan dia Aku tidak bisa menutup
perasaan ini jadi tiap kali Aku melihat Steven dari kejauhan aku langsung balik
lawan arah. Steven menyadari itu semua dan pada hari rabu pulang sekolah ia
mengirim pesan kepadaku
“Ta, kok kamu ngehindar dari aku si?” tanya Steven
sambil menunjukkan ekspresi kebingungannya
“Siapa yang ngehindar perasaan kamu aja kali”
“Tiap kali aku ngeliat kamu, kamu selau balik lawan
arah”
“Oh… yang waktu itu aku ketinggalan barang jadi aku
suruh yang lain pada duluan aja” jawabku dengan kebohongan
“Oh btw kamu dah makan belom? Ohh ya aku masih ngechat lho sama Caitlin sampe sekarang”
Hatiku tertusuk oleh pisau lagi untuk sekian kalinya
tetapi Aku sudah berusaha untuk kebal akan situasi ini meskipun aku sempat
luluh karena Steven menanyakan kepadaku kalau aku sudah makan atau belum. Entah
kenapa sekarang aku saling mengirim pesan kepada Steven hampir setiap hari dan
situasi kembali seperti biasa. Ketika kami bertemu kami saling menyapa dan Aku
tidak menghindari Steven lagi. Caitlin mencurigai Aku dan Steven mempunyai
hubungan lebih dari pertemanan dan sewaktu di sesi pelajaran matematika ia
menanyakan ku
“Cieee... sekarang sama Steven ya” ledek Caitlin
“Yaampun siapa yang sama Steven ada juga kamu kali”
ucapku dengan wajah yang memerah
“Itu kalo ketemu saling nyapa”
“Yaelha nyapa doang, tenang aja Lin aku gabakal
rebut dia kok dari kamu”
“Ihhh... ambil aja dia mah kan hati aku buat Nicho”
Aku tidak memberitahu Caitlin bahwa sebenarnya Nicho
menyatakan kepadaku kalau ia menyukai ku kemarin sewaktu pulang sekolah. Aku berkata
bahwa aku tidak bisa menerimanya karena Aku memang tidak ada perasaan kepada
Nicho dan sekalipun jika Aku ada perasaan kepada Nicho aku tetap tidak akan
menerimanya karena itu akan merusak persahabatan ku dan Caitlin. Nicho memang
juga sudah menyadari bahwa Caitlin menyukai dirinya tetapi ia tidak ada sebutir
pun perasaan kepada Caitlin.
Sesampainya di rumah Aku mendapati pesan dari Steven
dan tiba – tiba ia menjadi perhatian kepadaku. Aku merasa jika ia mungkin
menyukaiku tapi setelah aku pikir – pikir mungkin tidak karena memang Caitlin
yang selalu ada di hatinya. Beberapa 3 bulan ini kami semakin dekat dan Steven
tidak pernah mengungkit – ungkit tentang Caitlin lagi. Sedangkan Nicho pun
tidak pernah mengirim pesan kepadaku lagi mungkin karena ia berusaha untuk
menutup perasaannya kepada ku dan Aku menyadari itu. Akhirnya Aku tidak bisa
menahan rasa ini lagi dan memutuskan kalau Aku masih akan menyukai Steven.
***
Sewaktu jam istirahat tiba – tiba aku mendapatkan
sebuah coklat di loker ku yang bertuliskan “Lop yu” Aku terkejut dan langsung
mengambilnya secepat mungkin seperti sedang dikejar hantu karena Aku tidak
ingin orang – orang melihatnya dan menanyakan dari siapa coklat itu. Aku pun
juga tidak tahu siapa pemberi coklat itu dan Aku tidak bakal berpikir kalau
coklat itu pemberian dari Steven….
Jam pelajaran di sekolah berlalu, seperti biasa aku
membuka handphone ku dan melihat pesan yang dikirim Steven tadi pagi karena
setiap pagi Aku jarang sekali membuka handphone.
Suara dari handphone ku muncul yang
menandakan Aku mendapat sebuah pesan baru
“Ta, gimana coklatnya enak ga?” tanya Steven
“Hah kok kamu tau aku dapet coklat?” balasku dengan
kaget
“Iya lha orang aku yang kasih gimana sih, loker kamu
juga ga dikunci sih wkwk”
“Ohhh kirain aku siapa, enak kok coklatnya makasih
ya”
“Yoi sama – sama”
Mendapati pesan itu membuat hati ku merasa gembira
dan jiwa raga ku menjadi segar lagi seperti sedang meminum air dingin di padang
gurun. Aku merasa bahwa indahnya jatuh cinta dan indahnya dicintai saat Steven
menjadi miliku. Setelah Steven mengirim pesan itu kepadaku, kita masih lanjut
saling mengirim pesan tetapi Aku bingung harus menulis apa. Aku membuka chatroom di handphone ku yang menunjukkan nama “Lisa”
“Lis tau ga akhir – akhir ini aku deket weh sama
Steven” tulisku dengan kegembiraan
“Wahhh kok bisa cocok sih kalian”
“Tapi aku takut kalo si Caitlin tau”
“Lah napa karena dulu Caitlin pernah sama Steven?
Keknya kamu harus santai aja kali kan Caitlin sekarang juga suka sama Nicho
ini” balas Lisa
“Iya sih tapi sekarang kamu jaga dlu ya rahasia ini
soalnya aku gamau siapa – siapa tau. Toh kan aku sama Steven juga ga jadian”
“Oke kalo ada apa – apa cerita aja sama aku”
Lisa, teman curhat ku dari aku duduk di bangku kelas
4 SD dan sampai sekarang pun tetap. Ia selalu menjaga rahasia ku dan tidak
pernah membocorkannya. Pertama kali diumumkan awal masuk ajaran kelas SMA 1
jantungku berhenti sejenak karena melihat Lisa menjadi teman sekelasku karena
Aku dan Lisa sudah lama tidak sekelas. Segala hal tentang diriku Lisa
mengetahuinya dan Aku memutuskan tidak akan pernah meninggalkan Lisa karena ia
paling banyak mengetahui tentang hidupku….
***
Pada tanggal 1 September Steven menyatakan
perasaanya kepadaku bukan secara langsung tetapi dengan mengirim pesan
kepadaku. Aku belum membuka pesan itu dan melihatnya dari notification. Aku langsung bergegas membuka chatroom Lisa dan memberi tahu nya bahwa Steven menyatakan kepadaku
kalau ia menyukaiku. Lisa sangat terkejut dan ia mendukung hubunganku dengan
Steven.
“Serius weh si Steven nyatain ke kamu?” ketik Lisa
dengan ekspesi kaget
“Iya jadi aku jawab apa nih” jawabku dengan ekspresi
yang masih terkejut kalau Steven menyatakannya kepadaku
“Udah jawab aja kalo kamu mau, jangan gengsi –
gengsi”
*chatroom
Steven* 4.30 PM
“Agatha, aku suka sama kamu”
“Ini dare ya?” jawabku bingung
“Ga sumpah kamu mau ga jadi cewe aku”
“Hmm…” Aku tidak tahu harus menjawab apa
“Bener mau ga?”
“Iya aku mau” jawabku dengan ekspresi yang masih
terkejut
Tanggal 1 September adalah tanggal terindah yang
kurasakan pada hidupku. Hari – hariku bersama Steven adalah hari terindah yang
pernah kurasakan, berjalan mulus seperti sutera. Setiap hari ku dijemputnya
sepulang sekolah di kelasku karena kita berbeda kelas. Dari antara teman –
teman dekatku di kelas hanya Caitlin yang tidak mengetahui bahwa Aku dan Steven
sudah jadian. Aku memutuskan untuk tidak memberitahu Caitlin karena Aku takut
ia akan marah denganku.
Setiap Aku dan Steven sedang pulang bersama dan kita
melihit Caitlin kami pura – pura saling tidak mengenal satu sama lain. Anak –
anak dari luar kelas hanya mengira Aku jalan dengan Steven sebuah insiden saja
karena jika kami sedang jalan berdua, posisi kami tidak beriringan tetapi depan
belakang. Walapun begitu hatiku masih saja senang dengan melihat keberadaan
Steven didekatku. Hatiku selalu luluh melihat mata Steven yang sangat bersinar
– sinar.
***
Hingga akhirnya pada suatu kali…
Caitlin tiba – tiba berbicara dan memecahkan
keheningan sewaktu jam istirahat. Ia berkata bahwa sepertinya Ia menyukai
Steven lagi, seketika hatiku berdegup kencang seperti ada sesuatu yang menonjok
hatiku dengan keras.
“Wah kok bisa bukannya kamu suka sama Nicho” tanya
Lisa
“Iya tadinya aku suka sama Nicho tapi keknya
sekarang aku suka sama Steve lagi soalnya dia akhir – akhir ini care sama aku”
“Kamu chat an
sama dia tiap hari sampai sekarang?” tanyaku dengan muka memendam amarah
“Iya emang kenapa?” jawab Caitlin
Aku langsung terdiam dan berpikir apakah Steven
hanya mempermainkanku selama ini dan mungkin ia juga mempermainkan Caitlin.
Empat teman ku yang sedang duduk di meja kantin itu tahu bahwa hatiku hancur.
“Oh yaa aku takut nih sama quiz IPA kayaknya susah
dhe soalnya aku ga belajar sama sekali” ucap Naomi untuk mengalihkan
pembicaraan
Dengan serentak semuanya menjawab “Selalu bilang ga
belajar tapi entar dapet 100” kecuali Aku. Aku hanya kembali memakan makananku
dan memilih untuk diam sepanjang sisa waktu istirahat. Saat kita mengembalikan
piring ke stand di mana tempat kami
masing – masing membeli makanan, Caitlin mengungkit lagi tentang Steven.
“Ta kamu deket ya sama Steven” Caitlin bertanya
“Ga kok”
“Tapi Steve bilang katanya kamu chat sama dia”
“Kita chat tuh cuman ngomongin kamu, dia minta
bantuan aku untuk deket lagi sama kamu”
“Hah iya??” tanya Caitlin dengan ekspresi kaget
“Iyaa” jawabku dengan wajah memelas
“Kalo gitu bantuin aku juga dong biar deket sama
Steve” dengan wajah penuh senyuman
“Iya aku bantuin cuman sekarang si Steve ga pernah
ngomong tentang kamu lagi sih”
“Yahh... cari topik dong biar dia omongin aku, terus
kamu kasihtau aku deh”
“Kan kamu chatan sama Steve tiap hari” jawabku
dengan muka sedikit geram
“Chat sih chat cuman ya gitu doang nanya pelajaran”
“Yaudah entar aku coba ya” jawabku dengan muka
kebohongan
***
Kring…Bel berbunyi yang menandakan jam istirahat berakhir.
Tetapi kami ber 6 masih berjalan menuju kelas IPA dan pada akhirnya kita
berlari bersama berharap pintu ruangan kelas IPA belum ditutup. Dari kejauhan
kita melihat bahwa pintu ruangan sudah ditutup dan guru mendapati kita telat
masuk kelas “Ahh… essay lagi” batinku.
Aku dan teman – temanku suka sekali terlambat seperti makanan siangku tiap
hari. Sisa hari ini berjalan seperti biasa…
Seperti biasa Steven menjemputku dikelas sewaktu
pulang sekolah, Aku ingin menghindarinya sejak Aku tahu bahwa ia masih saling
mengirim pesan dengan Caitlin sampai sekarang. Tetapi Aku telat. Saat Aku ingin
menghindarinya ia sudah menepuk punggungku dan berkata
“Caitlin gak ada kan?” tanya Steven sambil
memandangi koridor
“Ahh.. sepertinya benar ia hanya mempermainkanku”
batinku
Setelah Steven memandangi situasi sekitar akhirnya
kita jalan berdua menuju lobby dengan posisi Aku didepan Steven. Sepanjang
perjalanan Aku yang biasanya senang dan selalu menanyakan banyak pertanyaan
kepada Steven sekarang hanya berdiam. Steven menyadari itu dan bertanya apakah
ada yang salah denganku. Aku hanya diam termenung dan menggelengkan kepalaku
begitu saja. Akhirnya itu memecahkan keheningan Steven bertanya kepadaku untuk
memecahkan keheningan
“Gimana hari ini sekolah?” tanya Steven
“Baik” ucapku
“Kamu kenapa sih kok hari ini aneh gitu”
“Ga gapapa kok”
“Udah bilang aja yang sebenernya”
“Aku denger kamu chatan ya sama Caitlin sampai
sekarang”
“Oh yaampun gara – gara itu, dia cuman nanya tentang
sekolah kok ga lebih, lagian kan aku sekarang sukanya sama kamu. Aku bakal
lebih milih kamu kok dari Caitlin soalnya aku emang udah gaada rasa lagi sama
Caitlin. Jangan marah lagi ya” ucap Steven dengan suara beratnya
“Iya iya” jawabku
Akhirnya ia kembali menghiburku dan suasana kembali
seperti biasanya. Aku sebenarnya masih bingung apakah ia benar menyukai ku dan
tidak mempermainanku seperti boneka tetapi rasa curiga ku itu Aku tutup karena
melihat hubungan ku dengan Steven sekarang sudah membuatku bahagia meskipun
Caitlin tidak mengetahuinya.
Tetapi perkataan Caitlin bahwa ia ingin aku membantunya
balikkan dengan Steven terus menghantui benakku. Sebelum Aku tidur, Aku selalu
berpikir apakah sebaiknya Aku merelakan Steven saja. Aku sudah mengikari
janjiku bahwa Aku lebih memilih persahabatan daripada percintaan. Lalu Aku
berpikir jika Aku memutuskan Steven tiba – tiba tanpa suatu kesalahan apa pun
itu sama saja kalau Aku begitu kejam kepadanya padahal ia sudah memberikan yang
terbaik padaku. Sungguh ini membuatku bingung Aku tidak tahu bahwa percintaan
juga penting begitu juga dengan sahabat. Memutuskan Steven atau Melanjutkan
hubungan dengan Steven adalah yang kupikirkan selama beberapa hari ini…
Sahabat atau percintaan pikiranku selalu menuju itu
daritadi selama sesi pelajaran sama saja seperti memilih untuk tidak makan atau
minum selamanya. Mencintai orang yang sama dengan sahabat adalah hal yang
paling repot dan menakutkan sepanjang hidupku karena cinta tak bisa disalahkan…
Lama – kelamaan Caitlin mengetahui bahwa Aku
mempunyai hubungan yang lebih dari pertemanan bersama dengan Steven. Ia sudah
mencurigai bahwa setiap pulang sekolah kita selalu berjalan depan belakang dan
Aku selalu tidak pulang bersama Caitlin dan teman – temanku lainnya. Caitlin
juga sering melihat Steven di depan kelas dan ia sering mengira Steven ingin
melihat dirinya tetapi kenyataannya tidak. Ia meyadari setiap kali Steven ke
kelas Aku, orang yang pertama dihampiri adalah Aku. Mulai dari situ Ia selalu
menanyakan kepadaku terus apakah aku mempunyai hubunga khusus.
***
Di pelajaran seni budaya kami sedang melakukan tugas
melukis pemandangan dan kami ber 6 memutuskan untuk melukis di lantai kelas
agar lebih nyaman dan tiba – tiba…
“Ta kali ini aku mau kamu serius sama aku, kamu
beneran jadian kan sama Steven” ucap Caitlin
Aku yang saat itu sedang melukis lalu mendengar
Caitlin memanggil namaku langsung mengangkat kepalaku dan menunggu ia berbicara
lebih lanjut. Setelah Caitlin selesai berbicara suasana diantara kita ber 6
hening karena Aku tidak tahu ingin mengatakan yang sejujurnya atau tidak karena
Aku merasa bersalah kepada Caitlin telah membohongi dia selama beberapa minggu
ini.
“Iya aku sama Steve udah jadian, maafin aku Lin”
ucapku sambil menundukkan kepala
“Tuh kan bener apa yang aku kira, aku emang udah
curiga terus pas aku nanya sama Naomi dia bilang ga. Ya, akhirnya aku mutusin
kalo aku bakal nanya langsung ke kamu. Kenapa kamu bohongin aku dan ga kasih
tau aku Ta selama ini?”
“Karena aku ga enak sama kamu, aku tau aku salah
udah jadian sama mantan kamu tapi itupun tanpa aku ketahuin kalo kamu juga masi
ada rasa sama Steve” jawabku dengan mata yang berkaca – kaca
“Udah nih ya yang penting kan Agatha udah jujur sama
kamu Lin terus kamu mau gimana sekarang” ucap Nadia sebagai penengah
“Aku terserah si Lin kamu mau benci aku kek ato apa
tapi kalo kamu emang mau aku sama Steve putus yaudah aku bakal ikutin perkataan
kamu deh”
“Ga lha udah santai aja aku udah relain kok lagian
aku dulu juga emang salah udah ninggalin dia dengan alasan mau fokus belajar.
Mungkin dia juga lebih bahagia sama kamu kok” ucap Caitlin dengan senyum yang
dipaksa
Akhirnya, keadaan pun kembali riang dan kita kembali
ketawa dan tersenyum bersama lagi. Aku tidak tahu apa yang Caitlin rasakan
mungkin ia sakit di dalam karena mengetahui bahwa Aku dengan Steven memang
sudah jadian atau memang ia sudah benar – benar merelakan Steven untukku. Untuk
mengetahui apakah Caitlin marah dengan ku Aku menyuruh teman baikku, Ella untuk
memberitahuku. Diantara teman – teman ku memang Ella yang paling dekat dengan
Caitlin dan selalu menjadi tempat curhat Caitlin sama seperti Aku dengan Lisa.
***
Ella sedang duduk di sofa ruang tamunya dan membuka
handphone lalu ia mengklik nama “Caitlin”
ia mulai mengirim pesan kepadanya
“Lin kamu kaget ga apa yang Agatha ngomong waktu di
kelas seni” ketik Ella
“Kaget lha gila aja kali ga kaget” jawab Caitlin
“Trus kamu gimana sekarang menurut aku meningan kamu
balik ke Nicho”
“Iya aku juga bakal relain tapi sekarang rasa gak
seneng aku masih ada sih cuman yaudah lha ya gabisa disalahin juga” ketik
Caitlin
“Yaudah pelan – pelan kamu juga bakal suka sama
Nicho lagi lagian kan ngapain sih berantem cuman karena 1 cowok”
“Iya bener… aku ngalah aja lagian kan Steve juga
bekas aku ini”
Aku yang sedang duduk di meja makan sambil memakan
oreo yang dilumuri susu langsung membuka pesan yang dikirim Ella. Ternyata itu
adalah screenshoot gambar chat Ella dengan Caitlin. Ketika aku
mengklik nya Aku merasa hatiku tenang
dan sejuk karena Caitlin tidak begitu membenci ku meskipun begitu Aku masih
merasa tidak enak dengan Caitlin karena bisa dibilang Aku menikungnya. Mungkin
Aku juga seharusnya menerima kenyataan bahwa Caitlin masih sedikit marah
denganku karena itu adalah sebuah hal yang wajar dan sepantasnya. Dalam
pikiranku Aku pantas untuk dibenci Caitlin, tetapi kenyataanya Caitlin tidak
membenciku. Caitlin adalah orang yang baik, ramah, dan paling bisa memaafkan
orang lain.
***
Hari – hari ku dengan Steven
akhir – akhir ini lebih menyegarkan dibanding sebelumnya karena teman – temanku
semua sudah mengetahuinya dan tidak ada yang perlu ditutupi, seperti biasa ia
selalu menjemputku di kelas dan kita pulang bersama. Entah kenapa pada hari itu
Nicho menghampiriku sewaktu Aku sedang berjalan dengan Steven. Nicho memang
tidak tahu bahwa Aku sudah berpacaran dengan Steven.
“Ta, jajan yuk kedepan?” Nicho
bertanya
“Ga bisa aku ada les langsung habis ini” Aku berbohong
“Ini kan hari senin kamu lesnya hari selasa Ta”
“Ohh iya aku lupa hehe”
Aku merinding saat itu tubuhku
bergetar. Aku tidak berani menoleh ke belakang melihat Steven karena Aku takut
ia akan marah tetapi pikirku Aku sudah berusaha untuk menolaknya. Tiba – tiba
Aku merasa ada yang memegang pergelangan tanganku dan itu ternyata Nicho. Aku
tidak menoleh untuk melihat siapa orang itu hanya melihat tangan yang sedang
memegangku semua orang pasti tahu bahwa itu Nicho. Nicho mempunyai urut nadi
yang timbul di tangan dan memberi kesan maskulin. Sewaktu Aku ingin
melepaskannya ia malah semakin menggengam erat tangan kecilku ini.
Terik panas api menyinari
lapangan basket tempat aku sedang berdiri. Tanpa disadari ada yang memegang
pundak Nicho dan itu adalah Steven. Steven dengan gesitnya ia menonjok Nicho di
pipinya dengan sangat akurat karena Steven sudah belajar boxing selama 7 tahun. Nicho mengusap pipinya dan melihat tangannya
berwarna merah. Suasana memanas dan akhirnya mereka saling memukul satu sama
lain. Jackson, kapten basket itu datang untuk menahan Steven bersama dengan
Mark. Begitupun Axel dan Joshua, mereka menahan Nicholas untuk tidak saling
memukul lagi. Hal itupun belum terlalu ampuh untuk mehentikan mereka, Aku
berpikir bahwa mereka bertengkar karena Aku. Akhirnya Aku yang tadinya hanya
diam di tempat menonton pertunjukkan ini, datang ke antara mereka dan mencoba
untuk mehentikan mereka dari pertengengkaran ini.
Tetesan air jatuh dari mata ku
menuju ke lapangan biru merah hijau itu. Aku membentangkan tangan ku dan terus
berteriak untuk berhenti, tanpa kusadari pipiku tercakar oleh Steven. Saat itu
juga pertengkaran mereka menarik perhatian murid – murid yang sedang berada di
lapangan basket dan mereka akhirnya bisa memisahkan Nicholas dan Steven. Teman
– teman ku datang untuk menghampiriku kecuali Caitlin. Aku melihat ia berdiri
di dekat ring basket sambil menutup
mulutnya dengan tangannya.
“Pasti Aku akan terkena masalah lagi dengan Caitlin” batinku
***
Bibi mengobati lukaku. Aku
berbohong kepada bibi dan orangtua ku bahwa Aku tercakar oleh temanku. Aku
tidak punya keberanian untuk berkata yang sebenarnya. Aku rasa Aku telah
merusak pertemanan Nicho dan Steven yang ia bangun dari dlu. Betapa jahatnya
diriku ini...
Aku yang sedang tersungkur di
ranjang melihat notifikasi handphone ku dan ternyata itu dari Caitlin ia
menyuruhku untuk menceritakan semua kejadiannya.
“Ta, ceritain semuanya insiden
tadi aku mau tau” tulis Caitlin
“Itu ga penting kok cuman
pertengkaran kecil aja” ujar ku
“GAUSAH BOONG!! Kasihtau yang
sebenernya ke aku”
Melihat Caitlin sudah menulis
dengan caps lock aku langsung
merinding, bulu kuduk ku naik. Oleh karena itu, Aku mengirim sebuah voice note yang menceritakan semua insidennya tanpa kekurangan suatu
apapun dan Aku berharap Caitlin tidak marah kepadaku untuk yang kedua kalinya.
“Jadi mereka berantam karena kamu?” tulis Caitlin
“Ya begitulha...”
“Ohhh... harusnya kamu kalo gitu meningan jelasin ke Nicho kalo kamu pacarnya Steven biar mereka berdua ga salah paham kalo
gini kan ribet urusannya”
“Iya bener juga aku harusnya bilang”
“Terus si Steve hari ini chat kamu ga?” tanya Caitlin
“Masih kok kayak gak ada
terjadi apa – apa dan dia minta maaf ke aku
soalnya
udah nyakar aku tanpa sengaja”
“Bagus deh, oh ya Ta aku tau kamu orangnya banyak
pikiran tenang aja kok aku gak marah kalo Nicho suka sama kamu walaupun aku ada rasa sama Nicho”
Dari sini Aku benar – benar
menyadari untuk kesekian kalinya bahwa betapa baiknya Caitlin. Pertemanan ku
dengan Caitlin berjalan seperti biasa kita masih tertawa bersama – sama.
Begitupun dengan Nicho dan Steven ternyata mereka sudah baikan karena Jackson
menyuruhnya. Mereka pun tidak menyimpan dendam satu sama lain lagi. Nicho
sekarang sudah mengetahui hubungan ku dengan Steven dan ia menggap bahwa Steven
memukul dia adalah hal yang wajar lagipula sekarang Nicho dan Aku sudah jarang
chat tetapi jika bertemu kami masih sering menyapa. Sekali lagi hubungan ku
dengan Steven berjalan dengan mulus.
Aku percaya bahwa mungkin Aku
dengan Steven bisa berpacaran sampai lulus SMA ini. Aku tidak pernah terbayang
sesuatu yang buruk yang akan terjadi di hubungan kita karena Aku takut itu akan
terjadi. Akhir – akhir ini pertemanan ku
bersama Lisa, Caitlin, Naomi, Ella, dan Jennie semakin erat seperti lem. Aku
turut senang dengan kehidupan ini dan mensyukuri dengan apa yang ku punya
sekarang.
Suatu kali Aku sedang
membaringkan diri di bangku atap sekolah sambil memandangi langit. Datang Lisa
menghampiriku dengan wajah yang menandakan berita penting. Ia memberitahu bahwa
Caitlin sudah berpacaran dengan Nicho secara resmi 1 menit yang lalu. Aku
langsung beranjak dari kursi dan turut senang mendengarkan berita tersebut.
Cerita dari Caitlin yang kita
ber 5 dengar akhir – akhir ini bahwa ia sedang dekat dengan Nicho dan ia pasti
akan menggaruk tembok jika Nicho menyatakan perasaannya dan meminta Caitlin
untuk menjadi pacarnya. Sekarang Aku pulang
tidak selalu berdua dengan Steven tetapi ditemani oleh Caitlin dan Nicholas.
Sampai – sampai kita pernah double date
dan mungkin untuk sekarang itu merupakan rutinitas tiap sabtu malam.
Untuk merayakan pertemanan kita
sekaligus merayakan liburan natal dan tahun baru Caitlin memesan tiket liburan bersama
di Bali untuk Aku dan 4 teman ku lainnya. Meskipun pada akhirnya kami yang
membayar tiket itu juga. Kami berangkat tanggal 20 Desember dan pulang tanggal
3 Januari.
***
20 Desember, 5:30 AM
Matahari belum menampakkan
dirinya. Aku sudah berkemas dan menyiapkan barang – barangku dari 3 hari yang
lalu. Aku bergegas menuju Bandara Soekarno – Hatta bersama dengan teman –
temanku.Sesampainya di Bali, kami check
in di hotel yang sudah Aku pesan. Aku
mendapati pesan dari Steven
“Safe flight yaa”
“Udah nyampe blom??”
“Ohh belom nyampe ya soalnya kamu blom jawab”
“Sekarang udah sampe?”
Terlihat di hp ku total 50
pesan yang Steven kirim pada ku padahal jarak waktu dari Jakarta ke Bali tidak
terlalu lama. Aku mendapati ini adalah sesuatu yang lucu yang sering ia lakukan
kepadaku. Dari sini Aku bisa melihat kalau Steven benar – benar menyayangi ku
dan selalu memberikan perhatian lebih kepadaku.
Kami memutuskan malam pertama
di Bali kami hanya beristirahat di hotel dan memesan makanan yang disajikan
oleh hotel tersebut. Hari – hari di Bali sangat menyenangkan karena ku habiskan
bersama dengan teman – temanku. Tidak lupa setiap hari Aku juga skype bersama dengan Steven selama hari
– hariku di Bali.
Kami ber 6 mengunjungi banyak
tempat seperti Nusa Dua Beach, Dreamland
Beach, Kuta Beach, Hardrock Cafe, Uluwatu, Jimbaran, Tampak Siring, tidak
lupa Kintamani juga kami jelajahi.
Kami berencana tanggal 31 Desember untuk menghabiskan akhir tahun di Jimbaran
Beach Bali karena suasana tempat makannya yang sejuk dan makanannya yang sangat
memuaskan lidah. Pagi harinya kami memutuskan untuk hanya menggunakan fasilitas
yang tersedia di hotel yaitu dengan berenang. Tidak lupa kami memakan sarapan
gratis yang tersedia di hotel juga.
Terik matahari mulai tidak
terlihat dan digantikan oleh sinar – sinar kecil di langit berwarna biru
kehitaman tersebut. Kami bergegas pergi ke Jimbaran
Beach untuk menghabiskan sisa tahun tersebut. Aku menceritakan sebuah
pengalamanku selama di Bali tiap harinya kepada Steven entah itu lewat chat, skype, ataupun voice note. Masa – masa remaja ini lah
yang harus kukenang dan kuingat selama di
hidupku
batinku.
***
Sesampainya di Jimbaran Beach kami memilih tempat duduk
dan memesan banyak makanan. Tidak sabar rasanya Aku menunggu pergantian tahun
yang kurayakan di Bali bersama teman – temanku dan terlebih lagi Aku tidak
sabar untuk menunggu makanan – makanan yang sudah kami pesan tadi. Akhirnya
makanan – makanan tersebut datang dan dengan kesepakatan bersama kami
memutuskan untuk memakan makanan tersebut ketika pergantian tahun.
Waktu menunjukkan pukul 00:00
di jam tangan ku dan serontak semua orang yang ada di Jimbaran Beach tersebut semuanya berteriak yang menandakan betapa
senangnya mereka dengan pergantian tahun. Tidak lupa aku mengucapkan “Happy New Year” kepada Steven juga
meskipun hanya lewat pesan
“Happy New Year ya” ucapku
“Happy New Year juga” jawab Steven
“Iyaaa” tulisku dengan buru –
buru karena Aku sudah tidak sabar untuk menyantap makanan yang tepat berada di
depan mataku
Aku langsung mematikan
handphoneku karena lowbatt dan
menghabiskan tahun baru dengan makanan yang sedang ku makan dan teman – teman ku
yang tercinta. Aku dan teman – teman ku balik dari Jimbaran Beach sewaktu matahari belum terbit. Sesampainya di hotel
Aku tidak menghidupkan handphone ku
lagi dan hanya mengambil charger dan
mencolokkan ke handphone ku. Tidak
lupa Aku membersihkan badanku dan langsung melompat ke kasur untuk istirahat
karena Aku sangat lelah dengan hari ini.
***
Pagi harinya Aku terbangun dan langsung
bergegas menyalakan handphone ku. Aku merasa ada yang janggal karena biasanya akan
keluar notification yang bertulis Steven
mengirimkan sebuah pesan tetapi hari ini tidak. Lalu Aku membuka chatroom ku dengan Steven dan mendapati
bahwa ia belum membaca pesanku. Aku berpikir bahwa mungkin ia ketiduran malam
itu dan belum bangun sampai sekarang.
Aku menghabiskan sisa – sisa 2
hari liburan tersebut di Ubud Bali
bersama dengan teman – temanku. Tiap tempat yang Aku kunjungi, Aku pasti akan
membuka chat ku dengan Steven apakah
ia sudah mengirim pesan baru atau belum. Tetapi tiap kali Aku memastikannya,
Aku melihat tidak ada pesan baru yang dikirim oleh Steven dan pesan lama ku pun
belum ada tanda baca olehnya. Aku memutuskan untuk mengirim banyak pesan baru
kepadanya,
“Steven?”
“Oi”
“Belom bangun ya? Kebo ih”
“Jangan bilang chat aku
tenggelem”
“Yaampun masih belom di read
juga”
Aku mengirim pesan – pesan
sejenis itu tiap harinya. Sampai liburan ku bersama teman – teman ku di Bali
telah usai Aku masih belum mendapatkan respon dari Steven. Aku memutuskan untuk
menanyakan ke Vernon, teman baiknya. Vernon berkata bahwa ia sedang on di group kelas mereka sekarang. Aku
terkejut dan tidak percaya akan hal ini, tetapi Aku mulai mempercayainya ketika
Vernon mengirim gambar chat group
kelas mereka. Dari sini Aku baru mengetahui kalau Steven memblokir kontak ku
sehingga ia tidak bisa mendapatkan pesan – pesan baru dariku lagi. Aku langsung
menghubungi semua teman – temanku dan menceritakan semua kejadian ini.
Dengan kilat, teman – teman ku
datang ke rumah ku dan menenangkan diriku. Aku yang terus mengeluarkan banyak
air mata bertanya – tanya pada diriku apakah aku melakukan sebuah kesalahan
yang membuat Steven memutuskan untuk memblokir kontaku. Lisa tidak menerima ini
ia bertanya ke Steven kenapa ia melakukan ini melalui sebuah pesan dan ternyata
Lisa juga diblokir oleh Steven begitupun dengan teman – teman ku yang lainnya.
Aku mengetahuinya karena Aku selalu bertanya kepada Vernon apakah Steven sedang
on di group atau tidak setiap saat.
Selama beberapa hari, Aku
selalu mengeluarkan butir – butir air dan Aku tidak mempunyai nafsu untuk makan
dan minum karena Aku terus berpikir apakah Aku berbuat kesalahan yang fatal
sehingga Steven tidak mau lagi berhubungan denganku... Apakah ini akhir dari
hubungan kita..? Apakah yang Aku harapkan selama ini tentang hubungan ku dengan
Steven gagal...?
Mungkin Aku bisa menerima jika
Steven ingin memutuskan ku jika ia mempunyai penjelasan tetapi bagaimana Aku
bisa menerimanya jika ia tidak menjelaskan alasannya kepada ku sepatah kata pun
tidak!! Betapa jahatnya dirimu Steven, selama ini pikiranku tentang kau
semuanya salah. Aku tidak menyangka semuanya akan begini pada akhirnya. Jika
Aku tahu akan begini pada akhirnya seharusnya dari awal Aku tidak menerimamu.
Semua harapan baikku tentang hubungan kita hancur...
Sejenak Aku berpikir lagi bahwa
tahun baru ini adalah tahun baru yang terburuk selama Aku tinggal di dunia ini
meskipun ini adalah tahun baru yang pertama kalinya Aku rayakan bersama dengan
teman – temanku
“Ahh... Benar tahun baru terburuk. 1 Januari dimana ia
meninggalkan ku tanpa alasan. 1 Januari hari dimana kita lost contact. 1
Januari adalah tanggal ketika Aku dan dirimu tidak bersama lagi dan 1 Januari
dimana Aku kehilangan dirimu, Steven” batinku
***
Beberapa bulan ini, Aku merasa
hari – hariku sangat buruk dan suasana di dalam hatiku seperti setiap hari
selalu turun hujan. Berkat teman – teman ku Aku tidak merasakan hari – hari
yang buruk karena teman – teman ku selalu ada di samping ku dan Aku merasa
bahwa Aku tidak perlu memerlukan seorang pacar.
Aku juga mulai biasa dan tidak
memalingkan wajahku ketika bertemu dengan Steven, orang – orang yang mungkin
tidak mengetahui hubungan ku dengan Steven dulu bisa berkata bahwa kita seperti
murid yang tidak kenal satu sama lain dan Aku pun juga tidak menyapanya lagi
seperti dahulu. Dulu awal – awal setelah Aku masuk sekolah, Aku sangat takut
harus berpapasan dengan Steven dan Aku selalu menghindari diri dari dia dan
menjadi salah tingkah tiap kali bertemu dia, tetapi seiring berjalannya waktu
Aku tidak seperti itu lagi.
***
*Dua
tahun berlalu*
Aku masih belum juga
mendapatkan alasan kenapa ia meninggalkan diriku bahkan teman – teman
terdekatnya pun tidak mengetahui itu. Aku juga sudah berusaha untuk melupakan
itu semua tapi kadang – kadang pikiran itu terus muncul di benakku.....
Kringg... bel sekolah berbunyi yang menandakan bel pulang
sekolah. Datanglah sosok laki – laki gagah yang kukenal menuju ke koridor kelas
ku. Aku yang saat itu sedang menaruh buku di loker ku langsung kembali
menghadap loker ku dan menaruh buku lagi. Tiba – tiba laki – laki itu datang
menghampiriku dan ternyata itu adalah Steven. Aku sangat kaget hingga
menjatuhkan buku ku, begitupun juga dengan teman – temanku tetapi mereka lebih
memilih untuk berdiam diri.
“Ta”
“Iya” jawabku sedikit cuek
“Aku mau ngomong
sesuatu sama kamu tolong kamu dengerin baik – baik ya”
“Iya cepetan aku ga punya banyak waktu habis ini ada les” ujarku dengan
ketus
“Maafin aku ya Ta selama dua tahun ini aku ngegantunggin kamu dan aku baru punya nyali
sekarang buat jelasin ke kamu semuanya. Aku minta maaf Ta. Aku ngaku aku salah waktu itu udah ngeblokir kontak kamu, aku gatau aku mikir apa waktu
itu. Wajar kamu marah sama aku, kamu benci aku, aku bakal nerima dengan lapang dada kok”
Hatiku menjadi luluh.
“Iya gapapa udah aku maafin kok, santai aja”
“Jadi kamu mau ga kasih kesempatan ke dua buat aku untuk memperbaiki kesalahan aku yang dulu”
Seketika Aku langsung bingung
tidak tahu ingin berkata apa.
“Plisss Ta aku yakin kali ini aku gabakal kecewain kamu lagi” tambah Steven
“Aku harus pikirin ini
dlu, ini terlalu mendadak buat aku”
“Iya Ta, aku bakal tunggu sampai kapanpun”
***
Brukk... Aku memegang pinggangku yang terbentur lantai. Ini
sudah kesekian kalinya Aku jatuh dari tempat tidur jika Aku bermimpi Steven
ingin mengajakku balikkan. Ya, Aku sering sekali mengkhayal di bawah alam sadar
ku bahwa Steven mengajakku balikkan ternyata tidak. Sampai sekarang, Aku pun
masih belum tahu mengapa ia memblokir kontak ku dan alasan mengapa ia
meninggalkan ku dengan begitu saja....
“Salkir.”
(salah
kirim)
Oleh Irene Devina
Aku
ingin merasakan rasanya jatuh cinta yang berakhir dengan manis. Sebagai seorang
anak kelas 3 SMA, aku termasuk seorang gadis yang lugu, polos, dan tidak mau
terlibat lagi dengan cinta. Tidak seperti teman-temanku yang lain, aku tidak
mempunyai kekasih, apalagi mantan. Mungkin bagi mereka cinta adalah hal yang
indah, tapi hal itu tidak berlaku bagiku.
Orang-orang
banyak berkata bahwa cinta itu buta. Jika engkau mencintai seseorang, maka kau
sudah tidak bisa lagi berfikir dengan sehat. Seolah-olah cinta menutupi segala
keburukan dari seorang itu dan apapun akan kau lakukan untuk menyenangkan
hatinya. Jika ia berbohong, kau akan menerimanya dan memaafkannya walaupun itu
sakit. Jika ia memperlakukan-mu seenaknya, kau juga akan memakluminya karena
kau pasti berfikir untuk melakukan yang terbaik untuknya. Kemudian, dia bisa
saja meninggalkanmu dan membuatmu jatuh lebih dalam ke dalam “perangkap”
cintanya. Kesalahan-kesalahan yang ia lakukan yang menyakitkan hatimu akan kau
terima dengan lapang dada, walaupun kenyataanya memang sangat pahit. Cinta
seakan-akan membuat kita tertipu, membuat kita seakan-akan menjadi manusia
terbodoh di dunia, dan seakan-akan cinta itu membuat kita menyerahkan diri kita
untuk orang yang kita cintai. “Aku
tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa lama pun selama aku
mencintainya.”
Di sisi
lain, cinta tidak selamanya menyakitkan hati. Cinta juga bisa membuat orang
terbang tinggi dan menggapai bintang. Cinta juga bisa memulihkan hati yang dulu
telah hancur. Cinta juga bisa melengkapi hidup seseorang yang merasa hampa.
Tapi itu semua tegantung bagaimana setiap orang yang ingin merasakan cinta itu
melihatnya. Pengalaman setiap orang tentang cinta bisa mengubah hidupnya
menjadi lebih baik, atau justru malah memperburuk hidupnya.
Bagiku, cinta hanyalah
khayalan-khayalan dan omong kosong semata. Tidak seperti banyak orang yang
meyakini indahnya hidup bersama cinta, aku sudah muak dan bagiku cinta bagaikan
musuh yang terus-menerus membayangi, mengikuti dan menakutiku. Masa laluku,
sudah membuatku tidak percaya akan cinta dan kebahagiaannya. Walaupun cinta
awalnya memang manis, tapi lama-lama cinta bisa berbalik menyerang kita dan
menimbulkan kepahitan di hati yang tidak bisa diobati. Bagiku, cinta hanyalah parasit
yang seharusnya pergi dari hidupku.
Apa itu cinta? Jika ada orang
yang menanyakan ku hal semacam itu, sudah dipastikan bahwa aku tidak akan
menjawab. Apa itu cinta? Aku sudah tidak mau memikirkannya. Mendengarnya saja
aku tak mau, apalagi memikirkannya.
Kelas 1 SMA menjadi salah satu
waktu yang bersejarah. Kelas 1 SMA, aku bertemu dengannya. Ketika aku melihat
daftar nama teman sekelasku, mataku langsung tertuju pada nama pertama absen
pertama. Abrian. “sepertinya dia anak baru, dari namanya saja sudah keren.
Pasti tingginya sampai 170 centimeter” Batinku. Sejak hari itu, aku sudah tidak
sabar masuk sekolah dan berkenalan dengannya. Tanggal 18 Juli 2015 adalah hari
pertama masuk sekolah. Terlebih lagi, nama Abrian terus membayangi pikiranku.
Pikiran-pikiran tentang Abrian yang keren membuatku semakin tidak sabar untuk
berkenalan dengannya.
“Selamat pagi anak-anak, hari
ini hari pertama masuk sekolah. Perkenalkan nama bapak, Pak Ahmad Joni. Kalian
bisa memanggil Pak Joni. Selamat datang di awal kelas 10.” ucap Pak Joni saat
awal masuk sekolah. “Sebelum bapak jelaskan mengenai tata tertib sekolah dan
memilih pengurus kelas, bapak mau kalian memperkenalkan diri kalian terlebih
dahulu. Sebutkan nama lengkap, nama panggilan, hobi, cita-cita, dan sekolah asal
kalian bagi murid baru. Silahkan, mulai dari absen nomor 1.” perintah Pak Joni.
“Saya pak?” tanyanya. “Iya iya kamu,” Jawab Pak
Joni. “Berdiri pak?” tanyanya lagi. “Terserah kamu, mau sambil duduk juga
boleh, senyamannya aja.” Jawab Pak Joni lagi. “Sekarang pak?” tanyanya lagi,
sekarang dengan sedikit unsur kesengajaan. “Terserah kamu deh, mau tahun depan
juga gapapa, bapak tungguin.” Canda Pak Joni. “Disini?” kemudian pecahlah tawa
satu kelas. Pertanyaannya membuat suasana kelas yang tadinya dingin menjadi
lebih hangat. “Iya-iya pak, saya bercanda...” “Pagi teman-teman.” Sapanya
dengan hangat. “Saya yakin kalian semua belum pernah melihat saya karena saya
anak baru. Nama saya Abr
ian Bellion. Kalian bisa
panggil saya Ian. Dulu saya bersekolah di Tunas Bangsa. Tinggi badan saya 170
centimeter, berat 65 kilogram” benar
dugaanku, dia pasti tingginya 170 centimeter, batinku. “Hobi saya bermain
basket, cita-cita saya adalah menjadi seorang pengusaha yang sukses dan kaya.”
Jelasnya. Keren, tinggi, ganteng, humoris, batinku. “Lengkap sekali, sudah
seperti mau pemilihan pasangan saja. Baik, terimakasih, Abrian-” “Ian pak,”
potongnya. “Iya, maksudnya Ian.” Pak Joni mendengus kesal. “Sekarang lansung
saja lanjut ke absen berikutnya.”
“Pagi semua, nama saya Adrian ,
hobi saya main game online, cita-cita
saya adalah menjadi pria yang dewasa dan bertanggung jawab” kata Adrian yang mengundang tawa satu kelas.
“tunggu-tunggu, saya rasa menjadi pria yang dewasa dan bertanggung jawab bukan
cita-cita deh Al.” Selak Pak Joni. “Tapi, kita sebagai laki-laki harus menjadi
pria yang baik, dewasa, dan bertangung jawab nantinya. Apalagi kalau mencari
pasangan hidup pak, kitanya harus dewasa dulu, baru deh nanti pada
ngejer-ngejer saya. Saya yakin bapak juga pasti begitu waktu cari istri.” jawab
Adrian asal. “Iya kalau begitu mah
memang sudah menjadi kewajiban semua laki-laki.” Jawab Pak Joni. “Tapi bener
tuh pak yang dibilang sama Al- siapa tadi?” sahut Ian. “Oiya Adrian . Misalnya
kayak saya bercita-cita jadi pengusaha sukses, kalau tidak dewasa dan
bertanggung jawab, bagaimana bisa jadi sukses?” tambahnya. “Tuh Pak, anak baru
aja setuju sama Saya.” ucap Adrian
bangga. “Sudahlah, jika dilanjutkan bisa sampai subuh. Kita lanjutkan
saja ke absen berikutnya.” Perintah Pak Joni. Ketiga adalah giliranku.
“Pagi teman-teman, nama saya
Bianca. Hobi saya bermain musik, cita-cita saya menjadi dokter.” Aku tidak
berani melihat dia. Tapi dari ekor mata, aku bisa mengetahui kalau ada yang
sedang memperhatikanku. Entah itu Ian atau Adrian , tapi yang jelas salah satu
dari mereka sedang menatapku sekarang. Jantungku berdetak lebih cepat, berharap
Ian-lah yang melihatku. Setelah memperkenalkan diri, aku segera duduk. “Wah..
bagus-bagus, bapak nanti mau mendengar kamu main musik ya Chel. Sepertinya kamu
bisa jadi kandidat ketua kelas nih..” goda Pak Joni. Aku hanya tersenyum kecil.
Kemudian, perkenalan kelas lanjut sampai absen terakhir.
“Oke baiklah, perkenalan sudah
selesai. Bapak harap kalian bisa lebih akrab dan kompak lagi di dalam satu kelas.
Sekarang mari kita piih pengurus kelas. Ada yang mau sukarela menjadi ketua
kelas?” tanya Pak Joni. Hening. Seluruh siswa di kelas hening. Selalu saja,
setiap tahun, saat pemilihan ketua kelas, pasti tidak ada yang mau menjadi
sukarela. “Baiklah, saya tahu pasti tidak ada yang berani mencalonkan diri
sebagai ketua kelas. Kalau begitu, saya saja yang pilih kandidatnya, lalu kita
lakukan voting.” Semua siswa hanya
menangguk-angguk menyetujui. “Kandidat pertama.. Abrian, kedua.. Bianca” deg. Kenapa bisa pas begini? Kenapa
harus aku? Beribu-ribu pertanyaan muncul di kepalaku karena aku tidak suka
ketika aku menjadi pusat perhatian dan semua orang bergantung padaku. Tapi apa
boleh buat, aku tidak bisa membantah Pak Joni.
“Saya rasa cukup dua kandidat
saja, mari kita lakukan voting.” usul
Pak Joni. Hampir semua orang memilih Ian menjadi ketua kelas, bukan hanya
karena sifatnya yang bisa dengan mudah berbaur dan humoris, tapi juga pasti
karena penampilannya yang menarik perhatian. Terlebih lagi, sebagian besar
siswa di kelas adalah perempuan. “Baiklah, maka ketua kelasnya adalah Ian dan
Bianca, kamu akan menjadi wakil ketua kelas.” Deg. Untuk yang kedua kalinya, aku dikagetkan dengan ucapan Pak
Joni. Jika aku menjadi wakil ketua kelas, maka aku akan sering berkomunikasi
dengan Ian. Rasa senang, takut, dan malu semua bercampur aduk. Mungkin ini bisa
jadi satu kesempatan yang baik, batinku. “Baik Pak,” jawabku.
Sesudah pemilihan pengurus
kelas dan penjelasan tata tertib dan prosedur sekolah, Pak Joni menyampaikan
beberapa informasi, sesi pelajaran-pun dimulai. “Hai, Bianca” Aku menoleh.
Dengan tatapan kaget dan tidak percaya, aku menjawab. “Ha-hai..” Aku tersenyum kikuk. “Manggilnya Bi, Bianca, Ca, atau
apa nih biar enak?” tanya Ian. “Ca aja” jawabku singkat. “oke. Ca, tadi Pak
Joni bilang besok ada upacara. Dia suruh ketua kelas kasih tau temen-temen.
Boleh kamu aja yang kasih tau ga? Soalnya aku masih belum deket sama mereka.”
ucap Ian. “Oh gitu.. oke deh nanti aku kasih tau temen-temen.” Jawabku.
“Makasih banyak ya Ca..” Ucapnya sambil tersenyum. Manis, batinku. “Iya,
sama-sama.” “Yuk, ke kelas.” ajaknya sambil menatapku. Untuk pertama kalinya,
aku menatap wajahnya. Paras wajahnya bagaikan bagaikan pemandangan indah yang
memanjakan mata. Mata hazelnut yang
ia miliki bagaikan hamparan angin yang menyejukkan hati. Tak sadar, aku telah
diam sejenak. “Ca? Ayo..” ucapnya kedua kali dan menyadarkan lamunanku. “eh..
iya ayo” jawabku langsung.
Setelah melihat dalam matanya,
aku merasakan hal yang berbeda. Sejak saat itu, saat aku bertemu dengannya,
tatapan dan tingkahnya menjadi berbeda. Entah ada pengaruh apa yang membuatku
bertingkah aneh seperti ini. Aneh, hal ini belum pernah kurasakan sebelumnya.
Atau, mungkinkah ini yang dinamakan cinta? Batinku. Kata orang, cinta adalah
perasaan yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Kata orang juga,
cinta bisa membuat kita tidak fokus, mengacaukan pikiran karena kita terus
menerus memikirkan orang yang kita sukai.
Aku tidak mau cinta itu
membuatku tidak bisa berfikir, aku tidak mau cinta membuatku tidak fokus dan
mengacaukan prestasiku di sekolah. Walaupun memang kehadirannya membuat hariku
lebih berarti dan bersemangat, tapi tetap saja aku harus tetap fokus dengan
prestasiku di sekolah. Aku harus bertanggung jawab kepada orangtuaku dengan
nilai-nilai yang aku raih. Apalagi, aku sekarang sudah masuk ke jenjang SMA.
Tugas-tugas, ulangan, dan pelajarannya pasti menjadi lebih susah. Aku sudah
menetapkan target bahwa aku harus meraih peringkat pertama di sekolah karena
aku ingin membuat orangtuaku bangga. Jerih payah mereka untuk membiayai uang
sekolah dan keperluanku harus aku hargai dengan mendapatkan prestasi terbaik di
sekolah. Untuk mendapatkan itu tentu dibutuhkan komitmen dan kerja keras.
Ketika aku sudah berkomitmen, aku akan berjuang sampai aku mencapai target
tersebut. Maka aku tidak akan membiarkan cinta mengacaukan segalanya.
Hari-hariku di sekolah menjadi
semakin bersemangat. Dia menjadi salah satu penyemangatku di tengah
ulangan-ulangan dan tugas-tugas yang menumpuk di kelas 10 ini. “Ca, kamu ngerti
pelajarannya Pak Budi ga?” tanya Ian. “Matematika maksudnya? Ngerti, kenapa?”
tanyaku balik. “Susah banget nih.. bisa bantuin aku ga?” tanyanya. “Bantuin?
Kasih contekan maksudnya?” tanyaku apa adanya. “hehehe.. peka banget sih..
boleh ya caaa.. baik dehh” rengeknya. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya,
ia sudah menyergah, “oke makasi Ca, bukunya ada di meja ya.. aku buru-buru
soalnya udah ditungguin sama yang lain.” Aku hanya bisa membuang nafas panjang.
Entah ini sudah menjadi keberapa kalinya ia memintaku untuk mengerjakan
ini-itu, mengerjakan tugasnya, memberinya contekan, dan masih banyak lagi.
Anehnya, aku mau melakukannya tanpa beban. Seakan-akan dia yang mengendalikanku.
Ian sekarang memang sudah
menjadi salah satu siswa terkenal seangkatan. Ia sekarang mempunyai banyak
teman dan fans, apalagi dengan kemampuan bermain basketnya yang diatas
rata-rata membuat semua orang terkagum-kagum. Sampai-sampai, banyak Ibu guru
yang memuji ketampanan dan keahliannya dalam bermain basket. Termasuk diriku
sendiri. Diam-diam, aku menyukai Ian. Hanya teman-teman dekatku dan Tuhan yang
tahu.
“Tuh Yan, PR nya udah aku
kerjain ya, aku taruh di atas meja kamu.” Ucapku. “Iya Ca makasi” jawabnya
singkat, padat. Setelah itu, ketika aku mau pergi meninggalkan tempat itu,
langkahku terhenti karena aku mendengar namaku disebut. Aku berusaha
mendengarkan apa yang mereka bicarakan. “Yan, suka ya sama Bianca?” tanya
teman-temannya yang duduk bersama dengannya di kantin. Deg. Mungkin jika saat itu ada cermin, sudah dipastikan wajahku
pasti merah saat itu. Aku semakin mempertajam pendengaranku. Aku tersenyum,
berharap bahwa apa yang Ian katakan akan membuat hatiku bahagia. Aku semakin
memperlambat langkah kakiku dan mendengar jawaban darinya. “Suka?” jawabnya.
“Sama Bianca?” tanyanya. “keliatan banget ya?” Sejenak aku merasa bahagia.
Ternyata dia juga menyukaiku, batinku. Tapi, kemudian aku memutuskan untuk
tidak mengambil kesimpulan sendiri dan mendengar percakapan itu lebih lanjut.
Seketika, tawa-pun lepas dari mulutnya. “Ya gak mungkin lah! Kalian ada-ada
aja. Cewe polos, mau disuruh-suruh, pinter sih, tapi bukan tipe yang ideal
untuk seorang Abrian Bellion.” Jawab Ian. “Terus kok keliatannya kamu kayak
lagi deketin Bianca gitu?” tanya teman-temannya. “Deketin? Oh, kayak tadi
maksudnya? Itu mah dia balikin PR matematika yang udah dia kerjain. Sebenernya
lebih ke arah manfaatin kepinterannya dia sih, makanya sengaja dideketin. Jahat
ya?” Jelas Ian.
Seketika, aku berharap waktu
berhenti bergerak. Sakit. Kecewa. Sedih. Saat kata-kata itu masuk ke bagian
dalam telingaku. Kata-kata itu bagaikan pisau tajam yang mengiris hati.
Akhirnya aku tersadar, bahwa selama ini, hal yang dia lakukan kepada ku hanyalah
untuk memanfaatkan dan mempermainkanku. Perasaan yang kurasakan saat itu tidak
bisa diungkapkan dan tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Saat aku
bercerita dengan teman-teman dekatku, mereka hanya berkata “yang sabar ya Ca,
pasti masih ada yang lebih baik dari dia kok..” “iya Ca, berarti itu salah satu
cara Tuhan buat nunjukkin kalau dia gak baik buat kamu..” “udah Ca, jangan
dipikirin terus, anggap saja angin berlalu” dan lain sebagainya.
Perlahan-lahan, butiran-butiran air jatuh dari sumbernya, membasahi yang
dibawahnya. Aku menangis. Memang salahku untuk menyukai dia. Memang salahku
juga untuk tidak berfikir dua kali untuk menyukai laki-laki semacam itu.
Perempuan polos, mau disuruh-suruh seperti ini menyukai dan mengharapkan cinta
dari seorang pria populer satu sekolah. Bodoh bukan? Hancur, mungkin hanya satu
kata itulah yang bisa menjelaskan semuanya.
Malam itu, aku menangis
sejadi-jadinya. Aku membayangkan wajahnya, hal-hal yang kulakukan bersamanya.
Aku meratapi diriku yang sangat bodoh, aku telah melakukan hal yang sangat
memalukan dan selama ini aku tidak menyadarinya. Aku menangis sampai aku
terlarut dalam tidur. Mimpi indah yang sebelumnya hadir sekarang sudah musnah.
Kata-kata yang ia ucapkan sudah menghancurkan segalanya. Keesokan paginya,
mataku sembab dan karena itu, aku tidak masuk sekolah.
Sejak saat itu, aku tidak
pernah mau lagi berbicara dengannya dan menatap mukanya. Aku memutuskan untuk
menjauhi Ian. Sejak saat itu aku berubah, aku bukan lagi seperti aku yang dulu.
Aku sekarang tidak mau lagi dibodoh-bodohi oleh cinta. Kejadian itu mengajarku bahwa cinta memang
menyakitkan, apalagi kau sudah mengetahui kebenaran dibalik permainan yang ia
lakukan. Aku berkomitmen bahwa aku tidak mau lagi menyukainya dan mencoba untuk
melupakan dia. Sekarang, aku harus berfokus pada hal lainnya yang jauh lebih
penting daripada terus menyesali kebodohan yang kulakukan.
Terbukti, jika kau mencoba,
pasti kau akan berhasil. Aku berhasil melupakannya dan aku berhasil mendapatkan
nilai tertinggi di sekolah. Aku berhasil membuat orangtuaku bangga. Aku bahagia
karena aku telah berhasi membuat orangtuaku bahagia. Aku percaya, cinta dari
ayah dan ibu jauh lebih indah dan tulus daripada cinta antara sepasang kekasih
karena mereka tidak mungkin membohongi-mu, memanfaatkan dan memperminkanmu.
Kasih dari orangtua, berhasil membuatku melupakan perasaanku terhadap dia,
Abrian Bellion.
Waktu terus berlalu hingga
akhirnya aku memasuki kelas 3 SMA. Kelas 3 SMA ini, guruku menunjuk aku lagi
untuk menjadi ketua kelas. Bukan hanya karena aku yang dikenal orang sebagai
siswi yang pintar, tapi juga karena sifat ku yang bertanggung jawab dan suka
menolong teman yang kesulitan. Mungkin itu jadi salah-satu alasan mengapa aku
ditunjuk sebagai ketua kelas.
Seperti halnya 2 tahun lalu,
aku tidak bisa membantah ataupun menolak perintah dari guru. Tapi aku berfikir,
jika aku menjadi ketua kelas, maka tugasku akan menjadi lebih banyak dan aku
akan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Pasti akan ada lebih banyak
teman-teman yang menanyakan tugas, pr dan hal semacam itu. Untungnya, aku tidak
sekelas dengan Ian. Tahun ini, aku pasti bisa menjalani sekolah dengan tenang
tanpa terbayang-bayang wajahnya.
Suatu hari, saat aku membuka
media sosial, pesan secara berbondong-bondong datang memenuhi layar kaca handphone-ku.
Chelsea:
Ca, tugas sosial kumpul kapan?
Gita:
Ca, tugas bahasa Indonesia minimal berapa lembar?
Radin:
Ca, tugas bahasa Indonesia harus dijilid ya?
Azka:
Ca, bagi jawaban PR matematika dong, ga ngerti nih..
Gellar:
Besok ulangan apa aja?
Dio:
Biancaaaa ajarin ipaaa dongg...
Bryan:
Ca Ca Ca Ca.. tolong jawab
Deon:
fotoin catetan sosial dong caa..
Ryan:
Caa.. tadi Bu Susi jelasin apa ya di kelas?
Matthew:
Ca besok buat kerja kelompok bawa apa aja?
Kenneth:
Besok pelajaran sosial harus bawa laptop ya ca?
Shavira:
Caa.. tolong bantu print dong.. bisa ga?
Adrian:
Ca..
dan masih banyak lagi...
Kurang
banyak teman-teman.. harus bales siapa dulu ya?batinku. Kasih tau Abel dulu deh tentang rencana
besok, pikirku. Aku mencari-cari
nama Abel di salah satu media sosialku.
Bianca:
Besok jangan lupa ya, pulang sekolah ngerjain tugas di rumahku. Sent
Satu
detik. Dua detik. Tiga detik. “KOK. ASTAGA! SALAH KIRIM!” teriakku. Penyesalan
itu datang kembali setelah aku melihat nama orang yang kukirimi pesan itu,
Abrian Bellion. Aku merasakan seakan-akan darahku membeku ketika mengetahuinya.
Kenapa harus dia, kayak tidak ada orang lain saja, batinku. “Bilang maaf atau
ga usah ya?” tanyaku sendiri. “gak, maaf, gak, maaf, gak, maaf, gak, maaf, gak,
maaf. Yah maaf.” Setelah menimbang-nimbang cukup lama, aku memberanikan diri
untuk meminta maaf.
Bianca:
maaf, salah kirim. Sent.
Singkat,
padat, jelas, pikirku. Rasa menyesal dan rasa malu kembali menghampiri diriku.
Mengapa aku tidak berhati-hati. Setidaknya, jika itu salah kirim, kenapa harus
Ian? Dia lagi, dia lagi. Seakan aku tidak bisa terlepas dari nama itu. Setelah
satu tahun bergumul dan terus mencoba, aku fikir aku telah melupakan dirinya.
Tapi ternyata, mungkin rasa itu masih ada, meskipun hanya sedikit. Sejujurnya,
aku rindu masa-masa kelas satu SMA saat aku dan dirinya ditempatkan dalam satu
kelas. Waktu-waktu yang aku nikmati saat kerja kelompok bersamanya, bercanda
bersamanya, dan hal-hal lainnya yang dulu kupikir sangat menyenangkan. Tentu
saja, sebelum aku mengetahui maksud dari tingkahnya yang sangat manis dan baik
terhadapku. Satu tahun, waktu yang cukup lama bukan untuk melupakan dia? Seharusnya aku sudah melupakan
dia, tapi mengapa belum juga? Diriku sendiripun tidak tau alasannya.
Sesudah itu, pada tidak sampai satu
menit, Ian membalas kiriman pesanku. Tanganku seakan membeku dan tidak sanggup
untuk membuka pesan dari dia. “nanti aja lah, bales temen-temen dulu.”
Pikirku.
Chelsea: Ca, tugas sosial kumpul kapan?
Bianca:
tanggal 10. sent
Gita: Ca, tugas bahasa Indonesia minimal berapa lembar?
Bianca:
minimal 5 lembar, tapi ga boleh lebih dari 10 lembar ya. sent
Radin: Ca, tugas bahasa Indonesia harus dijilid ya?
Bianca:
gak harus sih, tapi kalo dijilid nambah nilai. sent
Azka: Ca, bagi jawaban PR matematika dong, ga ngerti
nih..
Bianca:
coba liat buku aja, ada caranya kok. sent
Gellar: Besok ulangan apa aja?
Bianca:
ulangan biologi doang kok.. sent
Dio: Biancaaaa ajarin ipaaa dongg...
Bianca:
yang bagian apa? sent
Bryan: Ca Ca Ca Ca.. tolong jawab
Bianca:
iyaa.. kenapa? sent
Deon: fotoin catetan sosial dong caa..
Bianca:
oke.. bentar ya. sent
Ryan: Caa.. tadi Bu Susi jelasin apa ya di kelas?
Bianca:
banyak. sent
Matthew: Ca, besok buat kerja kelompok bawa apa aja?
Bianca:
bawa karton aja kok. sent.
Kenneth: Besok pelajaran sosial harus bawa laptop ya ca?
Bianca:
iyaa. sent
Shavira: Caa.. tolong bantu print dong.. bisa ga?
Bianca:
Bisa, kirim ke email aja ya.. sent
Adrian: Ca..
Bianca:
kenapa dri? Sent
Akhirnya
selesai juga, tinggal pesan dari Ian batinku.
Abrian:
haha..
sipsip. Gapapa kok.. mau kerjain tugas apa ca?
Bianca:
tugas sosial. Sent
Saat itu
juga Ian langsung membalas pesanku. Ia mengajakku mengobrol sampai malam. Ia
lagi-lagi membuatku lupa waktu. Aku juga terus menanggapi pesan yang ia kirim.
Awalnya aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak kembali
menyukainya. Tapi sekarang aku jadi tidak yakin bahwa aku bisa menepati janji
itu. Ingatan-ingatan tentangnya berusaha kutepis, tapi sepertinya aku tak
mampu.
Abrian:
udah malem loh ca, ga tidur?
Bianca:
iya nih, belum paling bentar lagi.
Abrian:
tidur aja ca, nanti besok ngantuk loh di sekolah.
Bianca:
kamu ga tidur?
Abrian:
aku masih ngerjain tugas, paling bentar lagi.
Bianca:
oh gitu, oke deh daripada ganggu kamu lagi, aku tidur.
Abrian:
good night ca, mimpi indahJ
Bianca:
bye.
Tak
sadar, pesan tersebut membuat ku tersenyum. Ya Tuhan, kenapa dia jadi berubah
sekarang? Dulu dia tidak pernah semanis itu. Jangan, jangan, jangan Bianca.
Jangan jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali. Tapi namanya perasaan, tidak
bisa dipaksa. Ah sudahlah, aku sudah tidak mengerti dengan diriku sendiri.
Lebih baik aku tidur dan melupakan segalanya.
Keesokan
harinya, aku berlari dengan sangat cepat di koridor sekolah sampai aku tidak
melihat ada orang yang sedang berjalan di depanku. *bruk!* Semua kertas dan
buku yang aku bawa jatuh ke lantai. “Aduh, maaf, buru-buru jadi ga liat ada
orang..” ucapku langsung meminta maaf tanpa melihat siapa yang kutabrak. “iya,
gapapa kok, sini aku bantuin.”jawabnya. Sepertinya
aku mengenal suara ini, jangan bilang- aku segera melihat ke depan. Benar
dugaanku, orang yang kutabrak adalah Abrian. Kenapa diantara ribuan orang di
sekolah ini, yang harus kutabrak adalah Ian. Dia lagi, dia lagi, batinku.
“makasih, maaf sekali lagi” aku segera mengambil buku-buku yang terjatuh dan
segera berlari meninggalkannya tanpa melihat wajahnya lagi. Sepanjang jalan,
aku terus mengutuki diriku sendiri. Kenapa
aku ga hati-hati lagi sih, selalu saja begitu. Dan kenapa harus dengan dia lagi
dan lagi. Aduh, aku sudah muak dengan ini. Tuhan, tolong akuu.
Malamnya,
aku mendapat pesan lagi dari dia.
Abrian:
ca, tadi buru-buru banget ya?
Bianca:
iya, tadi dipanggil sama Bu Susi ke ruangannya.
Abrian:
ohh.. pantesan, lain kali hati-hati ya..
Bianca:
iya, maaf juga tadi bener bener ga sengaja
Abrian:
justru aku yang harusnya minta maaf ca
Bianca:
maaf kenapa?
Abrian:
karena kejadian dua tahun lalu.
Bianca:
dua tahun lalu? Kejadian apa? (pura-pura tidak tahu)
Abrian:
iya, pas kita kelas satu SMA.
Bianca:
memangnya ada kejadian apa?
Abrian:
maaf ca, waktu itu aku ga bermaksud buat nyakitin kamu dengan kata-kataku. Aku
taku kamu denger apa yang aku katakan ke temen-temen pas di kantin waktu itu.
Aku juga yakin kata-kataku waktu itu membuat kamu jadi jauh. Maaf ca.
Astaga! Bagaimana dia bisa
tahu? Pasti ini ulah Adrian, ia pasti memberitahu tentang perasaanku ke Ian
pada waktu itu. Lalu bagaimana ini, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku
sudah tidak bisa berfikir lagi. Jawab saja apa adanya, batinku.
Bianca:
iya, udah dimaafin kok, udah lama juga.
Abrian:
kalau gitu, gimana kalo aku traktir kamu makan di kafe deket sekolah sebagai
tanda permintaan maaf?
Aku berfikir sejenak. Kalau ia
mentraktir, berarti hanya aku dan dia saja berdua? Tidak, tidak, jika seperti
ini bagaimana aku bisa melupakannya? Jika seperti ini aku bisa jatuh cinta
lagi, bahkan aku akan jatuh lebih dalam lagi. Tapi, dalam lubuk hati yang
paling dalam, aku ingin makan bersamanya. Mungkin kali ini aku harus mengikuti
kata hatiku, pikirku.
Bianca:
terserah sih, tapi ga usah repot-repot traktir juga udah dimaafin kok..
Abrian:
oke kalo gitu besok pulang sekolah, kita ke kafe deket sekolah bareng ya..
Bianca:
oke.
Abrian:
sampai jumpa besok Ca, byee J read
Aku
tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan sekarang. Senang, bingung, benci,
takut, malu, semuanya tercampur aduk jadi satu. Setelah membaca kembali pesan
darinya, aku merasa aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Mungkin sekarang aku
benar-benar sudah gila. Ia yang membuatku gila. Mungkinkah ia menyukaiku? Sudahlah ca, jangan berharap terlalu tinggi, batinku.
Keesokan paginya, aku sengaja bangun lebih pagi untuk bersiap
siap. Entah kenapa, aku ingin menjadi Bianca dengan penampilan yang berbeda
hari ini. Rambut yang biasa terikat, hari ini sengaja aku gerai dan aku memberi
sentuhan ikal di ujung rambut agar terlihat berbeda. Liptint berwarna merah muda cerah kupakai di bibir agar terlihat
lebih manis. Ku semprotkan parfum dengan aroma bunga freesia yang hangat dan
manis. "Ca? Tumben digerai.. Makin cantik aja, wangi lagi. Mau ketemu
siapa hayoo di sekolah?" tanya mama saat aku menduduki meja makan.
"Masa sih ma? Biasa aja deh kayaknya, udah yuk bentar lagi telat
nih." aku mengelak. "Iya deh, ayo berangkat" jawab mama.
"Oiya ma, nanti sore, mang Ujang ga usah jemput aku ya, soalnya ada acara
abis pulang sekolah" pintaku. "Acara apa? Pulang jam berapa? Terus
nanti kamu pulang naik apa?" tanya mama bertubi-tubi. Memang beginilah
mama jika aku mengatakan kalau aku akan mengikuti kegiatan. "Tugas sekolah
kok ma, di rumah temen, paling nanti temen aku yang anterin pulang. Ga sampe
malem kok.." jawabku berusaha menenangkan mama. "Ohh.. Okeoke kalo
gitu. Jaga diri baik-baik ya ca." kata mama. "Iya maa.. Aku masuk ke
sekolah ya.. Dahh" aku mengecup kening mama dan pergi menuju kelas.
Jujur, saat pelajaran pikiranku
tidak fokus. Aku tidak mendengarkan penjelasan guru dengan baik, aku tidak bisa
berfikir dengan cermat karena aku tidak
bisa berhenti memikirkan makan bersama Ian nanti sore. Aku merasa seakan-akan
jarum jam bergerak begitu lambat, waktu tidak bertambah, yang ada malah semakin
lambat. Mungkin ini adalah efek ketidak-sabaranku untuk nanti sore. Sungguh,
dia benar benar sudah membuatku gila.
Saat makan siang, aku bertemu
dengan Ian di kantin. "Ca, nanti sore jadi kan?" tanyanya. "Iya
jadi kok, nanti langsung nunggu disana aja atau gimana?" tanyaku balik.
"Aku samperin ke kelas kamu aja ya, biar gampang nanti jalan
kesananya" ucapnya. "oh, yaudah kalo gitu" jawabku singkat. Aku
berusaha untuk tidak menunjukkan perasaanku di depan dia. Aku berusaha menahan
senyum. "Oke ca, see you later."
ucapnya. Setelah itu, aku kembali ke meja makan.
Akhirnya, waktu yang aku
tunggu-tunggupun tiba. Jam menunjukkan pukul 3 sore yang artinya lima belas
menit lagi bel pulang sekolah akan berbunyi. Lima belas menit terakhir ini
serasa berabad-abad bagiku. "Ya, itu saja materi saya pada hari ini, silahkan
kalian beres beres." perintah Pak Doni. Yes, akhirnya selesai juga, batinku. "Beri salam" ucapku
sebagai ketua kelas dengan suara lantang
setelah semuanya berberes.
Aku berjalan ke loker dan
mengambil buku pelajaran yang harus dipelajari untuk besok. "Udah
Ca?" tanya Ian yang tiba tiba berada di belakangku. Aku kaget dan segera menoleh. "Waw, cantik ca" samar-samar
aku melihat mulutnya bergumam. "Eh,
u-udah kok, ayo" ucapku dengan terbata-bata. "A-yo" ajaknya
sambil mengulurkan tangan kanannya. Aku bingung harus berbuat apa. Mengambil
uluran tangannya atau berjalan pura pura tidak tau? Belum sempat aku mengambil
keputusan, dia tiba tiba berbicara. "Eh, refleks ca maaf, ga maksud. Tapi
kalo mau digandeng juga gapapa kok." candanya. Aku memutuskan untuk tidak
menanggapi dan langsung berjalan. Keheningan tercipta diantara aku dan Ian saat
kami berdua berjalan. Aku yakin masing masing sibuk dengan pikiran dan
perasaannya sendiri. Aku sibuk memikirkan apakah dia sudah berubah atau masih
sama seperti dulu. Apakah yang ia lakukan sekarang adalah tulus atau ternyata
ada maksud tersembunyi dibalik tingkahnya ini. Aku tidak tau kebenarannya, tapi
yang jelas aku hanya berharap kejadian dulu tidak terulang lagi atau bahkan
menjadi lebih parah.
Hempasan angin menembus
keheningan yang tercipta antara kami berdua. Kami berjalan santai, menikmati
hembusan angin sore yang menyejukkan hati. "Sejuk ya" ucapnya
memecahkan keheningan. Aku hanya memberikan senyuman kecil. "Yan, boleh
nanya ga?" tanyaku. "Nanya aja, kenapa?" jawabnya. "Pernah
suka sama orang ga?" tanyaku lagi. Entah dari mana pertanyaan itu muncul
dan mendorongku untuk menanyakan hak ini padanya. "Suka sama orang?"
tanyanya lagi. "Iya, pernah ga?" aku memperjelas. "em.. Per-nah
sih.. Dulu, tapi abis itu dia tiba tiba pergi menjauh" ujarnya.
"Kalau kamu?" "aku? Pernah sih dulu juga, tapi abis itu aku tau
aku dimanfaatin sama dia jadi mutusin buat pergi dan menjauh daripada sakit
hati" jelasku. "Kok bisa gitu ya. Disaat aku ditinggalin, kamu malah
meninggalkan"ucapnya sambil tertawa kecil. Dalam hatiku juga ikut tertawa,
yang aku ceritakan tadi adalah dirinya dan ia tidak menyadari hal tersebut.
"Tuh kafenya, hari ini aku yang traktir ya.." ucapnya. "Mau
pesen apa?" "Aku pesen hot
chocolate deh" jawabku. "Mba, hot
chocolatenya dua ya" ucapnya. "Baik kak" jawab pelayan.
Beberapa menit kemudian,
minuman yang kami pesan datang. Kami berbincang-bincang bersama, tertawa
bersama karena lelucon yang ia lontarkan. Aku sudah tidak bisa membohongi diriku
sendiri lagi. Ya, aku mencintainya lagi. Ya, aku jatuh ke dalamnya lagi tapi
kali ini dengan perlahan. Abrian Bellion berhasil meruntuhkan tembok yang sudah
ku bangun dengan kokoh di dalam hati. Sekali lagi, dia berhasil membuatku
melakukan hal bodoh lagi. Tapi kini ku berfikir mungkin dia sudah berubah,
bahkan aku berfikir klau ia menyukaiku.
Tidak sadar, waktu sudah mau
menunjukkan pukul 6 sore. 3 jam yang kulalui bersamanya terasa sangat singkat.
Aku ingin bercanda lebih lama dengannya, tapi aku sudah berjanji kepada mama
untuk tidak pulang terlalu malam dan janji harus ditepati. "Yan, udah mau
jam 6 nih, aku pulang ya? Takut mama cemas di rumah" ucapku.
"Sekarang? Mau aku anterin ca?" tawarnya. "Anterin? Ga usah deh
nanti ngerepotin, aku bisa pulang pake angkutan umum kok" aku menolak.
"Gak kok, ga ngerepotin sama sekali, ga baik loh cewe jalan sendiri pas
magrib. Yuk sini aku anterin aja. Rumah kamu dimana?" tanyanya langsung.
"Emang kamu bawa motor?" tanyaku balik karena seingatku tadi aku dan
dia berjalan kaki menjuju kafe ini. "Bawa dongg.. Udah aku parkirin di
depan kafe tadi, ayo ca" ajaknya. Aku langsung menerima tawaran itu. Saat
dia menaiki motor, ada sebuah kertas yang terjatuh dan aku yakin pasti milik
Ian. Rasa penasaranku muncul sehingga aku memutuskan untuk membacanya di rumah
dan mengembalikan besok di sekolah. "Pegangan yang erat ya ca"
ucapnya. Aiu mulai salah tingkah. Bagaimana cara aku memegangnya? Memeluk?
Memegang pundak? Atau bagaimana? Untuk kesekian kalinya, dia membuat aku bingung
dan salah tingkah. "Pegangan ya, yang penting nanti jangan kaget pas aku
ngebut" ucapnya.
Matahari terbenam melengkapi
pemandangan indah di sore hari ini bersamanya. Perpaduan warna merah, oranye,
kuning di langit sore menambah suasana hangat ditengah ketegangan yang aku
rasakan. Menembus angin di atas sebuah motor hitam mengkilap bersamanya adalah
salah satu hal yang aku impikan dan Ian sudah mewujudkannya.
"Sampe deh ca.."
ucapnya. "Makasih ya yan buat traktirannya dan tumpangannya" ucapku.
"Iya sama sama, udah sana masuk, udah malem nanti dicariin sama mama papa
kamu lagi"ucapnya. "Oke, aku masuk ya, byee" ucapku dengan
lembut. "Byee" dan kemudian dia meninggalkan rumahku. Aku segera lari
ke kamar dan membuka lembaran kertas yang tadi terjatuh.
Hai,
ca
Surat
ini khusus aku tuliskan untukmu. Aku ingin meminta maaf atas
kesalahan-kesalahanku. Memang salahku karena aku memanfaatkanmu. Tapi itu baru
awalnya. Lama kelamaan, aku merasakan sesuatu yang berbeda jika berada di
dekatmu. Aku merasa nyaman dan bahagia. Bukan karena kamu mau membantu aku
mengerjakan tugas saja, tapi aku juga merasa nyaman jika aku bercerita
denganmu. Aku memang laki-laki pengecut yang tak berani mengungkapkan perasaan
sendiri. Waktu itu di kantin, aku tau kamu mendengar apa yang aku ucapkan. Aku
minta maaf karena apa yang kamu dengar tidak semuanya benar. Aku mengatakan
bahwa aku memanfaatkan kepintaranmu, aku berbohong bahwa aku tidak menyukaimu.
Iya, aku berbohong pada saat itu. Aku berbohong karena aku tidak mau orang lain
tau kalau aku menyukaimu. Tapi apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur. Ca, maafkan aku. Aku harap ketika kamu sudah
membaca surat ini, kami bisa kembali menjadi Bianca yang dulu aku kenal.
3
Februari 2014
Tertanda,
Abrian.
Air mata menetes dari mataku.
Selama ini aku salah paham. Ternyata dia memang menyukaiku. Seharusnya dia
memberikan surat ini saat itu. Bodoh! Jika seperti ini, maka untuk apa aku
menangis? Sudahlah, lebih baik aku kembalikan saja surat ini kepada penulisnya
besok.
Keesokan harinya di kantin, aku
menghampiri meja makan Ian dan teman-temannya. "Yan-" ucapanku
terhenti karena lagi lagi aku mendengar namaku disebutkan diantara mereka. Aku
penasaran hal apa lagi yang mereka ingin
bicarakan tentang aku. Aku mempertajam pendegaranku. "Gimana yan? Berhasil
ga bikin Bianca jatuh lagi?" tanya salah satu temannya. "Berhasil
dong... Siapa dulu, Abrian Bellion." ucap Ian. "Nah gitu dong my bro! Nih, karena sudah memenangkan
taruhannya, sesuai kesepakatan, kita
akan jajanin selama 1 bulan penuh, ga kurang." ucap temannya lagi.
"Tapi Bianca marah ga ya dijadiin bahan taruhan? Kan kalian tau dulu dia
pernah suka sampe sekarang bahkan."
tanyanya. "Ya gak lah, dia aja ga tau kalo dia dijadiin bahan
taruhan" jawab teman-temannya. Pada saat itu, Ian berbalik badan dan
menghadap ke arahku. Mata kita bertemu dan aku yakin dia tau aku mendengar
percakapan mereka sejak tadi. Ian diam mematung, matanya yang menatapku seakan
penuh dengan penyesalan dan maaf, tapi ia tidak bisa berkata-kata.
Dadaku sesak. Dua kali. Dua
kali aku dibohongi dan dipermainkan. Kali ini aku dijadikan bahan taruhan.
Sakit. Hancur. Kali ini sakit yang kurasakan berkali-kali lipat lebih
menyakitkan dari yang sebelumnya. Ya, aku jatuh lagi ke dalam lubang yang sama
dua kali. Surat yang kupegang ku jatuhkan ke lantai. Aku menangis dan berlari
sekencang-kencangnya menjauhi tempat itu. Aku menuju balkon paling ujung
sekolah yang jarang dilalui orang. Aku terisak di tempat, aku sudah tidak
sanggup lagi menerima kenyataan ini.
Aku tidak tahu apa yang ia
pikirkan dan rencanakan dalam otak liciknya. Aku tidak tahu apakah surat yang
ia tulis itu adalah isi hatinya atau hanya omong kosong lagi. Aku benar-benar
sudah gila dan merasa bodoh. Aku sekali lagi menyesali perasaanku, pandanganku
tentang dirinya, dan kali ini aku benar-benar harus pergi dan tidak mau kembali
lagi.
Sesampainya di rumah, aku
segera naik ke kamar untuk menenangkan diri. *toktoktok* “Ca, ini ada surat
dari orang, tadi dia suruh bibi kasih ke kamu” ucap bibi di luar kamar. “Iya
bi, masuk aja taruh di mejaku, aku lagi mandi.” Teriakku dari dalam kamar
mandi. “oke, bibi taruh di meja ya” kata bibi. Setelah selesai mandi, aku
segera membuka surat yang ditaruh bibi di meja.
ca,
pergi ke pohon bawah rumah kamu ya, terus temuin kertas warna biru.
“siapa nih? Misterius banget” ucapku pada diriku sendiri.
Aku segera memakai baju dan menuju pohon dan menemukan kertas warna biru.
ca,
ke taman kompleks ya, temui orang berbaju biru.
“taman? Jauh banget.” Tapi karena rasa penasaran yang
terlalu tinggi, aku-pun berjalan menuju taman kompleks. Sesuai yang tertulis,
pria berbaju biru berdiri membelakangi. Angin malam menerpanya, membuat
rambutnya berterbangan dengan indah, tubuhnya tinggi dan besar. Ia memakai baju
kaos biru dan celana selutut. Aku mencoba mendekatinya. Dia berbalik
menghadapku. Aku terperangah kaget. “I-ian?” tanyaku terbata-bata.
"Ca" panggilnya. Aku
tidak menyahut. "Ca, maafin aku" ucapnya lagi. Aku berusaha mengatur
nafas. Dia berjalan mendekatiku. Kini dia berada di sampingku. "Ca, aku
minta maaf." ucapnya lagi. "Udah cukup yan! Udah cukup kamu buat aku
kecewa. Udah cukup kamu buat aku sakit hati. Udah cukup yan, cukup kamu buat
aku jatuh untuk yang kedua kalinya." bentakku, meluapkan semua emosi yang
kumiliki sambil terisak.
"Ca, aku ga peduli harus
berapa kali aku minta maaf karena kesalahan yang aku lakukan emang ga layak
untuk dimaafin. Tapi ca, aku mau kamu tau satu hal bahwa aku, Abrian
Bellion juga mencintaimu sepenuhnya. Apa
yang selama ini kamu lihat, itu bukanlah yang sebenarnya karena yang sebenarnya
selalu aku simpan dalam hati dan aku menunggu waktu yang tepat untuk
mengungkapkannya. Ca, aku-" tiba tiba dia berhenti berbicara.
Jarinya bergerak, menuju
wajahku dan mengusap air mata yang terus menerus mengalir. Pikiranku kacau,
seseorang yang aku benci sekaligus yang aku cintai baru saja mengungkapkan
perasaannya yang sama kepadaku. “Ja-jadi, surat itu-” “iya, itu beneran ca,
surat itu harusnya aku kasih dua tahun lalu, tapi aku menunggu waktu yang
tepat.” potongnya.
Dia mendekat dan dia memelukku. Aku menangis di
pelukannya. "Yan, makasih banyak."
--selesai--
Sebatas Kenangan
Oleh Archangela Janice Noveline
A
|
ku seorang gadis perempuan bernama Mary. Aku berumur
15 tahun. Aku tidak berani dan aku susah berinteraksi dengan lingkungan baru.
Bisa dibilang aku orang yang pemalu. Aku tidak berani berkenalan dengan orang
yang baru kutemui. Aku memiliki banyak kisah dan kenagan yang harus kuceritakan
pada orang terdekatku. Itulah aku. Aku lahir dan tinggal di kota terpencil bersama
ayahku yang bekerja sebagai tukang kayu. Banyak orang yang bertanya tentang
ibuku. Pertanyaan yang sering kali muncul saat orang ingin berkenalan denganku.
Ibuku bernama Maria. Tanggapan orang banyak mengenai
namaku yang sengaja mirip dengan ibuku itu benar. Ibuku adalah orang yang baik,
sabar, penyayang, dan rela berkorban. Ibuku mirip seperti Maria ibu Yesus
bukan? Dia selalu ada di saat aku membutuhkannya. Dia selalu menghiburku ketika
aku menangis. Dia selalu berada di sisiku ketika aku sendirian. Semua kebaikan
ada di dalam diri ibuku. Kebaikan membuatnya dipanggil Tuhan. Menurutku mungkin
karena ibuku terlalu baik untuk lahir di dunia sehingga Tuhan sulit untuk memberi
cobaan pada orang yang baik.
Ibuku memiliki keunikan yang sulit untuk dijelaskan.
Aku hanya menceritakan kejadian ini kepada beberapa orang karena aku takut
dijauhi orang yang baru kukenal. Waktu itu saat aku lahir, aku mengidap
penyakit mata bernama Glaukoma. Penyakit yang menyebabkan tekanan tinggi pada
bola mata yang membuat saraf dan retina mataku rusak. Ayah dan ibu selalu sedih
ketika mereka melihat aku menangis karena mataku yang memerah saat nyeri pada
mata timbul. Dokter menyarankan untuk melakukan pembedahan pada kedua mataku
agar mata menjadi normal. Tetapi ayah dan ibu tidak tega melihat anak mereka
yang harus dibedah matanya karena tidak sempurna secara fisik.
Ibuku memutuskan untuk berkorban dengan memberikan
kedua bola matanya kepadaku. Ayah sudah melarang ibu untuk memberikan matanya
dengan rayuan menggunakan mata orang lain yang masih sehat saja. Ibu tetap
menolak karena menurutnya dengan mata orang lain ibu tidak bisa lega karena
anak semata wayangnya ini secara fisik harus sama atau mirip dengan salah satu
kedua orang tuanya. Pada awalnya aku tidak tahu mengapa ibu rela berkorban
seperti ini. Bahkan aku juga tidak tega karena ibu menjadi tidak bisa melihat.
Karena ibu memberikan matanya kepadaku, aku menjadi menyesal karena setelah
bertahun-tahun ada kejadian yang seharusnya ibu bisa selamat jika masih
memiliki indra penglihatannya itu.
Ketika hari pertama masuk Sekolah Dasar di kota
tempat kelahiranku, ayah dan ibu mengantarku ke kelas. Sekolah di kota
terpencil tidak memiliki kelas yang banyak seperti sekolah di daerah perkotaan.
Hanya ada satu kelas di satu tingkat sekolah. Saat itu, ibu berjalan
menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.
Tiba-tiba telepon genggam ayah berdering. Tetangga
sebelah rumah menelepon untuk memberi tahu ayah bahwa rumahnya kebakaran dan
meminta bantuan ayahku untuk memadamkan apinya. Ibu menyuruh ayah untuk
bergegas pulang membantu tetangga dan ibu berkata bahwa ia bisa pulang sendiri
ke rumah. Ayah mungkin lupa kalau ibu sekarang sudah tidak memiliki indra
penglihat dan menyetujui keinginan ibu untuk pulang sendiri ke rumah. Ibu sosok
yang baik bukan? Ibu rela ditinggal oleh ayah yang bisa menuntunnya untuk jalan
ke rumah dan rela berjalan sendiri tanpa tahu arah jalan pulang demi
kepentingan orang yang butuh bantuan.
Aku masih periang waktu itu sehingga aku
memberanikan diri untuk mengajak teman sekelas berkenalan. Ibuku memang tidak
bisa melihat, tetapi ibu bisa mendengarkan suara tertawaku yang keras dan
membayangkan wajahku yang senang ketika aku memiliki teman baru di hari pertama
sekolah itu. Ibuku hanya tersenyum tanpa menanyakan tentang teman-temanku. Aku
bisa melihat wajah ibu yang senang waktu itu saat aku bisa bermain bersama
teman-teman.
Ketika bel masuk sekolah sudah berbunyi, ibu
menghampiriku dan berjanji siang nanti akan kembali untuk menjemputku bersama
ayah saat pulang sekolah. Ibu meninggalkanku di kelas dan ibu langsung pulang
ke rumah. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ibu tidak terluka sedikitpun. Entah
bagaimana ibu bisa sampai di rumah dengan selamat. Mungkin ibu sudah hafal arah
pergi dari rumah ke sekolah atau arah pulang dari sekolah ke rumah, atau mungkin
ada yang mengantar atau menuntun ibu sehingga ibu bisa sampai di rumah dengan selamat,
atau bahkan Tuhan yang menunjukkan jalan pulang melalui cahaya yang bisa
menembus mata ibu sehingga ibu bisa mengikuti arah cahaya yang diberikan Tuhan
itu.
Saat bertemu ayah di rumah, ibu pamit kepada ayah
untuk pergi ke pasar dan membeli bahan-bahan untuk dimasak. Kali ini ibu ingin
masak karena ibu ingin merayakan hari pertama aku masuk sekolah. Aku bahkan
masih bingung kenapa ayah tidak mengantar ibu pergi ke pasar. Saat hari pertama
masuk sekolah, aku ingat hari itu adalah hari dimana ayah harus bekerja keras
karena banyak pesanan kayu. Mungkin karena ayah sedang sibuk, sehingga ayah
tidak bisa mengantar ibu atau ayah menganggap ibu pasti selamat sampai tujuan seperti
ibu pulang sendirian setelah mengantarku sekolah.
Pada siang hari ayah menjemputku
seorang diri. Aku tidak melihat ibu saat itu. Aku bertanya kepada ayah mengapa ibu
tidak menjemputku. Pertanyaan itu selalu kulontarkan setiap menit, setiap aku teringat
ibu. Ibu tidak pulang bahkan sampai berhari-hari. Ayah bahkan tidak tahu dimana
keberadaan ibu. Beberapa tetangga membantu ayah pergi mencari ibu, tetapi tidak
ada yang bisa menemukan ibu. Ayah berusaha menghubungi polisi untuk mencari
ibu. Polisi bahkan masih dalam proses pencarian ibu. Ibu tidak pulang. Aku
mulai menangis dan ayah selalu menghiburku. Aku menganggap ibu tersesat karena
ia tidak bisa melihat arah jalanan, karena ia memberikan matanya untukku, karena
aku lahir di dunia ini, dan karena ibu orang yang rela berkorban.
Berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun aku selalu teringat
ibu. Aku selalu menyalahkan diriku yang terlahir di dunia ini. Ayah selalu
mencari ibu, mencari orang yang hilang entah kemana ia pergi. Ayah bahkan
menyalahkan dirinya juga saat ia tidak mengantar ibu ke pasar waktu itu. Terlintas
dalam pikiranku untuk mengingat bahwa tidak ada yang bisa disesali. Semua
rencana Tuhan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan atau yang
kita harapkan. Kita hanya bisa berdoa agar keinginan kita bisa terwujud.
Aku
memang bisa bersenang-senang bersama teman-teman di sekolah, tetapi kesenangan
ini tidak bisa mengalahkan kesedihanku. Teman-teman selalu menghiburku dan
mereka selalu ada di saat aku menangis ketika aku teringat ibu. Aku sedih
karena aku kehilangan satu orang yang aku sayangi di dunia ini. Tidak ada lagi
ibu di sisiku, tidak ada lagi seorang Maria di sampingku, dan tidak ada lagi
orang yang membantuku ketika ada masalah. Ayah juga orang yang aku sayangi dan
juga membantuku ketika ada masalah, tetapi aku lebih menyayangi ibu karena ibu
lebih meluangkan waktunya dari pada ayah. Mungkin karena ibu seorang ibu rumah
tangga, jadi ibu lebih punya waktu dan karena ayah seorang wiraswasta, jadi
ayah lebih sibuk daripada ibu.
Bertahun-tahun
sudah berlalu. Sekolah Dasar sudah kulewati dan enam tahun sudah kujalani tanpa
ibu. Sekarang aku sudah tamat Sekolah Dasar. Entah hasil ujianku bagus atau tidak,
yang terpenting aku bisa masuk Sekolah Menengah Pertama. Aku memang bukan tergolong
anak yang pintar di sekolah, tetapi aku bisa masuk sekolah yang cukup pintar
murid-muridnya. Aku mendaftar di SMP yang sama dengan teman-temanku. Walaupun
ayahku menyuruhku untuk sekolah di tempat lain, aku menolak permintaan ayah.
Aku masih ingin bersama teman-teman lama dan aku tidak ingin meninggalkan kenangan
bersama teman-teman yang selalu ada di sampingku.
Kenangan
indah di Sekolah Dasar sudah kulewati. Aku ingat waktu itu aku pernah menjahili
guru wali kelas dengan melemparinya telur. Aku pernah berkerja sama dalam
ulangan matematika. Aku pernah mencoret-coret tembok kelas dengan cat minyak.
Semua itu aku lakukan bersama teman-teman saat akhir kelas enam SD. Aku pernah
melakukan hal yang terlarang dan tertulis dalam peraturan, tetapi hal itu tidak
pernah diketahui guru dan aku tidak pernah dihukum. Di mata wali kelas, aku
adalah anak periang yang selalu mengikuti kegiatan di sekolah dengan baik.
SMP
adalah tingkatan yang cukup sulit bagiku. Sekolah baruku ini memiliki guru-guru
yang berbeda sikapnya dengan yang di Sekolah Dasar. Peraturan-peraturan yang
ada memang lebih banyak. Aku dan teman-teman merasa kesulitan ketika harus menaati
peraturan yang ada dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Ayah selalu
membantuku dalam mengerjakan tugas, tetapi ayah memang lebih sibuk dengan
pekerjaannya. Aku meluangkan waktuku untuk membersihkan rumah dan belajar
memasak agar bisa meringankan pekerjaan ayah.
Aku menjalani masa remaja dengan cukup baik di SMP,
sekolah baruku bersama teman-teman lama. Ayahku selalu melontarkan pertanyaan
yang membuatku kesal. Ayahku selalu bertanya mengapa aku tidak bosan berteman
dengan teman-teman lama? Aku tidak menghiraukan pertanyaan ayah itu, tetapi
semakin lama aku pikirkan, semakin aku ingin tahu alasan yang membuatku tidak
pernah bosan dengan teman-teman lamaku. Aku menyadari bahwa aku adalah orang
yang sulit untuk memulai hal yang baru dan sulit meninggalkan kengangan yang
lama. Itulah alasannya mengapa aku tidak mau berkenalan dengan orang yang baru.
Selama
beberapa tahun ini, aku merasa semua berjalan baik-baik saja tanpa ibu. Mungkin
karena aku sudah terbisa hidup berdua dengan ayah jadi aku bisa terbiasa untuk
hidup mandiri tanpa orang yang dulu biasanya melayaniku dan membantuku. Ayah
juga sosok yang mirip seperti ibu. Kebaikan juga ada dalam diri ayah. Aku mulai
merasakan kebaikan ayah ketika aku kehilangan ibu. Kenangan ibu kini akan
selalu teringat olehku. Walaupun hanya sebatas kenangan, ibu adalah orang yang
paling kukagumi.
Sudah
lama aku dan ibu berpisah, rupanya aku tidak bisa melepaskan ibu begitu saja.
Aku hanya bisa berharap kejadian yang ibu alami tidak terulang pada ayah.
Sampai sekarang aku dan ayah bahkan belum mengetahui keberadaan ibu dan keadaan
ibu. Aku hanya ingin melupakannya karena aku pasti sedih ketika aku
mengingatnya. Akan sakit rasanya jika harus kehilangan dua orang keluarga yang
kita sayangi. Masa remaja adalah masa yang harus dijalani dengan
bersenang-senang menurutku, tetapi aku harus mengkahiri masa remajaku dengan
perpisahan.
Sampai akhirnya ketika usaha kayu ayah di kota terpencil
ini sudah mulai gulung tikar, ayah mengajakku untuk pindah ke kota besar karena
orang-orang perkotaan sering membangun rumah dan pasti membutuhkan
barang-barang yang terbuat dari kayu. Tak terasa aku sudah hampir lulus SMP. Setelah
aku menyelesaikan ujian nasional, ayah mengajakku untuk memulai kehidupan baru
di daerah perkotaan dan mencari pengalaman disana.
Semua kejadian yang terjadi selama aku hidup di
dunia ini membuatku tidak mau dekat dengan orang lain. Sakit rasanya ketika
harus berpisah dengan orang yang kita sayangi, yang selalu membuat kita
tersenyum, yang selalu menghibur kita, dan yang selalu ada ketika kita
kesusahan. Kali ini aku harus berpisah dengan teman-teman lamaku. Aku ingin
terlepas dari hubungan interaksi dengan orang lain termasuk ayahku, tetapi
rasanya sulit ketika kita memaksakan hati untuk jauh dari orang yang kita
sayangi.
Menyutujui ajakkan ayah dengan terpaksa menurutku
adalah keputusan yang baik. Sebenarnya aku belum ingin meninggalkan teman-teman
lama, tetapi demi kesuksesan usaha ayah, aku rela untuk memulai kisah di ibu
kota Jakarta. Dengan kesuksesan, ayah pasti bisa bahagia. Ayah menjual
sisa-sisa kayu yang ada, perabotan rumah yang ada, dan rumah tua untuk
kebutuhan di Jakarta nanti. Ayah memang ingin memulainya dari awal dan
berkomitmen untuk tidak kembali ke kota asal jika tidak berhasil atau tidak sukses.
Aku
berusaha untuk tidak mengingat semua kenangan itu dan mengalihkan pikiran ke
hal positif yang akan terjadi saat aku tinggal di kota metropolitan di
Indonesia. Ini pertama kalinya aku ke kota ramai dan ini kedua kalinyaaku harus
kehilangan orang yang aku sayangi. Memulai kisah yang baru untuk masa depan
nanti. Mary dan ayah siap untuk ke Jakarta. Mary dan ayah siap untuk memulai
kisah hidup yang baru demi masa depan yang lebih baik.
Perjalanan
menuju kota itu sangat melelahkan bagiku dan ayah. Jarak antara stasiun kota
terpencil tempat kami tinggal dulu dan Stasiun Mangga besar cukup jauh sehingga
memakan waktu 4 jam. Aku berharap kota tempat kelahiranku itu hanya sebatas
kenangan yang dulu dan aku berharap untuk tidak mengingatnya lagi karena aku
ingin memulai lembar yang baru bersama ayah. Entah mengapa perjalanan ini
terasa sangat cepat. Mungkin karena aku tidak sabar untuk memulai lembaran
hidup yang baru.
Sesampainya
di Jakarta, aku dan ayah berusaha untuk menemui alamat paman dan bibi yang
sudah lama tinggal di daerah Jakarta Pusat. Selama beberapa hari, kami menginap
di rumah paman dan bibi sambil mencari-cari rumah yang coock dan nyaman untuk
kami tinggali. Pengeluaran di Jakarta jauh lebih besar dari pada di kota terpencil.
Mulai dari makanan, minuman, rumah, perabotan rumah tangga, dan barang-barang
lainnya juga jauh lebih mahal di Jakarta. Pendaftaran sekolah juga membuat aku
dan ayah terkejut, tetapi ayah bisa menangani semuanya dengan baik.
Kami
pindah ke rumah sederhana yang terdiri dari dua lantai yang baru ayah sewa
sementara. Kami merasa tidak keberatan ketika melihat rumah sebelah kami
semuanya besar dan tidak ada yang sesederhana kami. Ayah memutuskan untuk
menggunakan lantai satu sebagai tempat ayah bekerja membuat perabotan rumah
tangga dari kayu dan lantai dua digunakan untuk tempat tinggal kami berdua.
Berhari-hari kiriman kayu ayah dari kota terpencil sampai dengan selamat tanpa
ada yang rusak. Hari semakin hari pesanan perabotan dari kayu semakin banyak
dan pendapatan ayah juga semakin bertambah. Ayah memutuskan untuk
mendaftarkanku di SMA swasta ternama di daerah Jakarta Pusat dekat tempat
tinggalku.
Satu
bulan kemudian aku akan masuk sekolah. Waktu yang cukup lama untuk berdiam diri
di rumah. Hatiku tergerak oleh belas kasihan pada ayah yang harus menanggung
biaya cukup besar untuk kehidupan sehari-hari kami berdua. Aku memutuskan untuk
membuat kerajinan tangan dari sisa pahatan kayu ayah berupa gantungan kunci,
tempelan kulkas, pin, ataupun benda kecil lainnya yang bisa dijual di pasar
dekat kami tinggal. Selama liburan, pada pagi hari aku akan berjualan di pasar
tradisional dan pada malam hari aku akan berjualan di pasar malam, sedangkan
siang dan sore hari aku akan membuat kerajinan tangan.
Ayah
mendukung usahaku itu dengan membelikanku sepeda untuk memudahkanku dalam pergi
ke pasar karena jarak antar rumah dan pasar bisa dibilang cukup jauh. Dua
minggu sudah tak terasa aku berjualan seperti ini. Penghasilan yang aku
dapatkan juga lumayan dan aku bisa membantu ayah untuk membiayai kebutuhan
pangan sehari-hari. Ayah bangga dengan usahaku karena aku memberanikan diri
untuk berjaualan di tempat asing yang belum terlalu kukenali. Aku mulai tidak
memikirkan kenangan di kota terpencil itu, melainkan pikiranku fokus pada
kehidupan yang ada di Jakarta sekarang.
Sekarang
sudah saatnya aku masuk sekolah dan memulai pertemanan yang baru. Aku pergi ke
sekolah sendiri menggunakan sepeda yang ayah berikan. Aku tidak bisa apa-apa
disini. Aku malu untuk berkenalan dengan orang disini. Kebanyakan murid di
sekolah ini diantar orang tuanya menggunakan mobil. Tetapi aku tidak malu untuk
pergi ke sekolah naik sepeda. Aku sadar bahwa Jakarta ini memang terkena dampak
globalisasi yang cukup besar dalam segala hal. Aku juga yakin aku tidak akan
tahan untuk menunggu sampai jam 12 siang nanti ketika bel tanda pulang sekolah
bordering.
Aku memberanikan diri untuk menyapa orang yang
pertama kali kulihat di depan gerbang sekolah dan aku tidak mementingkan kelas
berapa dia. Menurutku yang terpenting aku kenal dengan salah satu orang di
sekolah ini. Dia menyapaku juga. Terlihat dari senyumannya yang membuat orang
bisa menyimpulkan bahwa dia orang yang ramah dan murah senyum. Aku berkenalan
dengannya dan mulai memberi tahu tentang diriku. Kali ini aku tidak memberi
tahu aku tinggal dengan siapa agar dia tidak bertanya tentang ibu, agar aku
tidak perlu menjelaskan panjang lebar, dan agar aku tidak perlu mengingat
kenangan yang dulu.
Senang
ketika mendengar bahwa dia juga pindahan dari kota terpencil yang berbeda. Kota
terpencil memang banyak di Indonesia, tetapi kota yang cukup maju sedikit di
Indonesia. Namanya Hanna, dia anak dari orang tua yang keturunan Inggris. Neneknya
dulu pindah ke kota terpencil karena menghindari pertempuran di kota-kota besar
dan melahirkan ayah Hanna di kota terpencil itu. Ayah Hanna menikah dengan
seorang wanita keturunan asli Indonesia dan melahirkan Hanna. Walaupun
keturunan Inggris, Hanna bisa berbicara Bahasa Indonesia dengan lancar. Secara
fisik, Hanna terlihat seperti orang sakit karena badannya kurus, kulitnya
putih, dan sedikit bungkuk. Kami mulai berkenalan sambal berjalan-jalan
mengelilingi sekolah. Ketika melihat kertas pembagian kelas, kami sangat senang.
Kami sekelas di sekolah ini dan aku senang aku bisa mempunyai teman baru.
Aku
dan Hanna berkeliling sekolah untuk mengetahui seluk beluk sekolah baru kami. Kami
melihat seorang laki-laki yang sedang berjalan sendiri. Kami menyapanya dan
mengajaknya berkenalan. Namanya Sam dan ia memiliki keunikan tersendiri. Aku
dan Hanna sudah yakin betul bahwa Sam juga sekelas dengan kami kaeran kami
hafal betul nama-nama murid yang akan sekelas dengan kami di kelas 10.2. Sam selalu
memakai topi yang bertuliskan namanya. Dia memakai topi itu mungkin agar orang mengenalnya
dengan mengetahui namanya. Dia selalu membuat lelucon yang bisa menghibur orang
termasuk aku dan Hanna.
Kegiatan
awal tahun ajaran di SMA ini cukup unik. Keunikannya yaitu pada tugas dan
tantangan yang diberikan. Entah menurutku tugas ini aneh karena kita harus
berinteraksi dengan kakak kelas dengan meminta tanda tangan mereka
sebanyak-banyaknya. Tugas yang cukup aneh dan tidak ada hubungannya dengan
pelajaran sekolah. Mungkin memang perkembangan globalisasi yang pesat di
Jakarta sehingga tugas yang diberikan juga sesuai tren dari negara lain. Kami
diminta untuk mengumpulkan tanda tangan itu pada waktu istirahat, tepatnya pada
pukul 9.00 sampai 10.00 pagi. Isitirahat satu jam yang membingungkan untuk
mencari kegiatan yang harus diluangkan saat waktu istirahat selain meminta
tanda tangan.
Saat
ini belum waktunya istirahat. Kami, siswa dan siswi SMA baru di sekolah ini
diberi penjelasan lanjut tentang organisasi sekolah, peraturan-peraturan yang
ada, dan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di sekolah ini. Senang
rasanya mendengar banyak kegiatan yang akan dilaksanakan. Aku hanya terbanyang
oleh kegiatan yang ada. Aku tidak memikirkan hal-hal lain seperti peraturan di
sekolah ini dan yang hanya aku dengarkan secara tiba-tiba adalah bel istirahat.
Aku,
Hanna, dan Sam bergegas mencari tanda tangan sebanyak-banyaknya. Kami bertemu
dengan kakak kelas yang memiliki karakteristik yang berbeda. Ada yang baik, ada
yang sombong, ada yang ramah, ada yang usil, ada yang pelit, ada yang eksis,
dan bahkan ada yang kutu buku. Itulah sekolah. Sekolah adalah tempat dimana
berbagai orang yang memiliki karakteristik yang berbeda dikumpulkan untuk
mencari ilmu dan pelajaran yang berguna untuk masa depan.
Kami juga bertemu dengan kakak kelas yang mukanya
terlihat pucat. Ingin aku menanyakan keadaannya, tetapi malu untuk bertanya. Seperti
itulah sifatku sejak dulu, seorang pemalu yang tidak berani berbuat apa-apa.
Kami ingin mengenalnya sebatas kakak dan adik kelas, tetapi kami ragu dan hanya
meminta tanda tangan darinya. Kami menghampirinya meski ketiga dari kami
sama-sama takut untuk berbicara dengannya, apa lagi meminta tanda tangannya.
Sam memberikan lelucon garing yang berhasil membuat kakak kelas itu tersenyum
manis. Aku melanjutkan percakapan dengan meminta tanda tangannya. Ia mulai
menanda-tangani buku kami dan menuliskan kata-kata penyemangat.
Kami
bertiga sudah mengumpulkan banyak tanda tangan. Mungkin sebanyak ribuan daun
yang ada di pohon cemara yang tertanam di taman sekolah dan sebanyak senyumanku
ketika aku teringat kakak kelas yang terlihat pucat itu. Tanda tangan yang ada
di buku ini tidak hanya penuh dengan garis bertinta hitam, tetapi juga penuh
dengan makna tersirat. Aku selalu memandangi tanda tangan orang yang membuatku
tersenyum. Aku senang melihat tanda tangannya walaupun tanda tangannya simpel.
Bel
tanda selesai istirahat berbunyi. Kami berlari menaiki puluhan anak tangga dari
lantai satu ke lantai tiga dan berlari dari ujung ke ujung untuk sampai ke
aula. Untungnya kami tidak terlambat. Selanjutnya ada sesi perkenalan antara
teman-teman sekelas. Kami boleh ke kelas kami masing-masing dan berkenalan satu
sama lain. Kelas ini bisa membuatku nyaman walapun siswa-siswi di kelas ini
tergolong anak yang hiperaktif kecuali aku.
Tak
terasa jam dinding yang terpasang di bagian depan kelas sudah menunjukkan pukul
12 siang. Waktu pasti terasa berjalan begitu cepat ketika kita menghabiskan
waktu bersama orang yang bisa membuat kita tersenyum dan tertawa bahagia. Waktu
seolah berlari. Seandainya waktu hanya bisa berjalan merangkak, aku pasti akan
sangat senang karena aku bisa menghabiskan hari-hari dengan keceriaan bersama
teman-teman di sekolah.
Aku
pulang sekolah dengan sepeda kesayanganku. Aku menyebutnya ini kesayangan
karena ini pertama kalinya aku punya kendaraan berupa sepeda ontel. Aku
mengendarai sepeda seperti orang aneh. Sepanjang perjalanan ke rumah, aku tersenyum
membanyangkan hal yang tidak kuketahui dengan jelas. Pikiranku hanya penuh dengan
kebahagiaan. Mungkin aku tidak akan menyesal untuk pindah ke kota, karena aku
bisa melupakan kengangan dulu bersama orang-orang yang kusayangi.
Ketika
sampai di rumah, ayah heran melihatku bahagia seperti ini. Kata ayah aku tidak
pernah senyum selebar ini. Ayah mulai meletakkan perkakas untuk membuat
perabotan dan mengalihkannya dengan menanyakkan beberapa pertanyaan padaku. Aku
menceritakan kejadian hari ini di sekolah yang tak akan kulupakan. Aku tahu
ayah akan senang jika aku juga senang dan pasti ayah tidak akan melarangku
untuk mencari teman sebanyak-banyaknya.
Siang,
sore, dan malam hari aku lewati dengan membersihkan diri, membuat kerajinan
tangan, membersihkan rumah, memasak, makan, dan berjualan. Aku tidak sabar
untuk berjualan dan bertemu pelanggan. Entah mengapa hari ini aku bersemangat
sekali. Ingin rasanya menghibur anak-anak yang biasanya membeli gantungan kunci
dengan lelucon yang tadi dilontarkan Sam. Tetapi sepertinya aku buka tipe orang
yang suka melawak seperti itu. Setiap aku teringat lelucon Sam dan aku selalu
teringat pada kakak kelas yang bewajah pucat tadi.
Aku
pulang membawa hasil yang membuat ayah senang kali ini. Ayah menyuruhku untuk
menabung hasil yang aku dapatkan untuk membeli barang yang akan aku butuhkan
dan memintaku untuk segera beristirahat malam ini.
Alarm
berbunyi tanda sudah pukul lima pagi. Aku bersiap-siap sebelum sekolah. Aku
mengetuk pintu kamar ayah dan menemukan ayah yang tertidur pulas. Sepertinya
ayah tidur larut malam semalam dan terlihat sangat kelelahan karena harus membuat
pesanan yang banyak. Aku senang usaha ayah belakangan ini maju, tetapi aku
tidak tega melihat ayah yang terlalu lelah dalam bekerja. Aku membiarkan ayah
yang tertidur dengan pulas. Aku pergi ke dapur untuk memasak sarapan untuk
ayah. Setelah memasak, aku menulis surat kecil untuk ayah yang isinya aku pamit
pergi ke sekolah. Kali ini aku tidak mengendarai sepeda ontelku, aku memilih untuk
berjalan kaki.
Sesampainya
di sekolah, aku menghampiri Hanna yang sudah menungguku di depan pintu gerbang
sekolah. Kami menuju kelas kami yang ada di lantai dua. Saat berjalan ke kelas,
aku melihat kakak kelas berwajah pucat itu. Ia memasuki kelas 11.3. Sekarang
aku tahu bahwa kelasku dan kelasnya bersebelahan. Tak terasa aku dan Hanna
sudah sampai di kelas. Kelas kali ini sepertinya membosankan karena sesi
pelajaran sudah berjalan sesuai dengan jadwal hari ini dan hari ini kami pulang
lebih siang.
Setelah
beberapa menit pelajaran pertama dimulai, aku bosan dan aku menguap karena
pelajaran pertama adalah pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah adalah pelajaran
yang tidak kusukai karena banyak yang harus dihafal. Aku memutuskan untuk
mencuci muka di wastafel yang ada di depan toilet. Aku bertemu dengan kakak
kelas yang berwajah pucat itu saat aku sedang berjalan ke arah wastafel.
Mungkin dia juga mau mencuci mukanya, pikirku.
Aku
tahu, namanya Farel. Aku tahu dari orang yang memanggilnya dan menanyakan
keadaannya saat aku sedang berjalan ke arah wastafel yang ada di depan toilet. Aku
memberi sapaan berupa senyuman padanya dan dia tersenyum juga. Aku tidak tahu
apakah ia masih mengenaliku apa tidak. Aku mulai memasuki toilet dan aku bisa
mendengar suara jeritan kesakitannya dari wastafel depan toilet karena toilet
wanita dan laki-laki bersebelahan. Walaupun hanya kakak kelasku, aku takut
terjadi apa-apa di toilet. Aku berpura-pura mencuci tanganku dengan lama. Aku memutuskan
untuk mengikutinya berjalan sampai kelas dengan selamat dan aku berharap ia tidak
lecet sedikitpun.
Selama
pelajaran, aku selalu memikirkannya. Dalam benakku timbul tanya. Mungkinkah dia
sedang sakit ringan? Atau bahkan dia memiliki penyakit yang sulit untuk
disembuhkan? Penjelasan guru sejarah aku lewati. Pertanyaan ragu yang
membingungkan tentang Farel selalu kuingat. Rasa penasaranku semakin mendalam
sehingga aku memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang dia. Aku ingin
peduli tetapi aku malu untuk bertanya tentang penyakitnya. Kupendam dalam-dalam
rasa keingin-tahuanku ini.
Hari-hari
di sekolah berjalan dengan baik. Farel orang yang baik. Kuketahui itu ketika
aku melihat orang yang terjatuh dan Farel membantu orang itu berdiri. Kebaikan
Farel selalu kuingat dan membuatku ingin tahu lebih dalam tentang dia. Farel
selalu membuatku tersenyum dan ia selalu bisa mengalihkan perhatianku.
Berminggu-minggu
aku menjalani sekolah dengan baik, tetapi keraguanku tentang Farel muncul,
Sudah lama aku tidak melihatnya di sekolah. Apakah ia di rawat di rumah sakit?
Aku juga tidak tahu dan aku hanya bisa berharap ada berita heboh muncul tentang
dia. Aku bingung mengapa aku terus memikirkannya. Aku bukan siapa-siapanya dan
aku bukan temannya. Apakah ini yang namanya cinta?
Aku tidak tahu mengapa rasa ini timbul. Berawal dari
tatap, tawa, dan kenangan indah di hari pertama masuk sekolah saat aku meminta
tanda tangannya. Hanya sebatas menganguminya, tetapi bertambah menjadi entah
apa rasa yang sedang kurasakan ini. Entah mengapa rasa ini timbul secara
tiba-tiba yang membuatku ingin memiliki dia, tetapi menurutku hal ini tidak
mungkin terjadi karena dia tidak mungkin bisa dekat denganku. Aku membiarkan
semuanya berjalan walaupun rasa ini bertambah. Dia telah membuatku luluh. Dia
telah membuatku senang. Dia telah menyapu seluruh isi hatiku dan menggantinya
dengan isi hatinya. Senyumnya membuatku terus tersenyum.
Aku
menceritakan isi hatiku pada Hanna. Kata Hanna aku jatuh cinta pada pandangan
pertama, tetapi menurutku aku jatuh cinta pada pandangan kesekian kalinya
karena rasaku padanya selalu bertambah setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan
setiap detik. Semakin diingat, kecepatannya semakin bertambah.
Telah kuketahui bahwa Farel sudah jatuh di hati
orang lain. Aku tahu sebelum Farel sakit, ia mempunyai hubungan dengan teman perempuan
yang sekelas dengannya. Aku mengetahui hubungan itu, tetapi aku tetap
meneruskan perasaan ini. Aku orang yang tidak berpengangalam dalam hal ini
karena aku baru pertama kali merasakan apa itu cinta.
Aku ingin berusaha mundur tetapi hati ini berusaha
untuk maju. Harus senang atau sedih memaksakan hati ini untuk jatuh pada hati
seseorang yang tidak mungkin aku miliki. Aku selalu merindukan dia, dia yang
sudah berbulan-bulan tidak masuk sekolah. Apakah ia sakit? Apakah ia pindah ke
luar kota? Rasa penasaran ini memaksa untuk dijawab, tetapi rasa malu
mengalahkannya. Aku harus mengakuinya aku tak mampu untuk meneruskan rasa ini.
Semakin diingat, semakin sakit rasanya karena aku selalu berpikir dia tidak
mungkin berpisah dengan kekasihnya. Aku juga berpikir bahwa dia tidak akan kembali
ke sekolah ini lagi.
Sedih untuk berpindah hati. Sedih untuk mencari yang
baru. Sedih ketika jatuh untuk kesekian kalinya ketika harus kehilangan orang
yang kita sayangi. Sedih saat harus meninggalkan rasa ini. Pedih ketika rindu
untuk bersama dengannya tidak bisa terungkap. Rasanya aku ingin membuat dia
berpisah dengan kekasihnya, tetapi hal itu tidak mungkin kulakukan untuk
kesenangan diriku saja dan aku ingin dia kembali ke sekolah ini.
Hanna dan Sam mengetahui isi hatiku. Mungkin mereka
bisa melihatnya dari wajahku yang sedih ketika aku merindukan Farel. Ada apa
dengan hati ini. Hati ini terus mempengaruhi wajah untuk bersedih. Seharusnya
bibir ini bisa tersenyum untuk menutupi kesedihan, tetapi mengapa bibir ini
bekerja sama dengan hati. Hanna dan Sam selalu menghiburku dengan lelucon yang
mereka buat. Aku terhibur walaupun hanya sementara. Aku tersenyum walaupun
hanya beberapa menit.
Ayah juga melihat kesedihanku akhir-akhir ini. Aku
tidak bisa menceritakan semua ini pada ayah. Aku kasihan pada ayah yang harus
merasakan kesedihanku juga, padahal penderitaan ayah yang harus menanggung
banyak biaya keperluan sehari-hari. Aku tidak ingin merepotakan ayah dan aku
masih berusaha untuk terlihat senang di depan ayah. Aku tidak ingin orang yang
aku sayangi sedih karena harus merasakan kesedihanku juga.
Semester satu telah berlalu kujalani bersama orang
terdekatku. Aku selalu menghabiskan waktu di sekolah bersama Hanna dan Sam.
Mereka ada di saat aku membutuhkan mereka. Satu untuk semua dan semua untuk satu.
Itulah komitmen kami dalam menjalankan pertemanan. Kami saling mendukung satu
sama lain. Kami saling membantu dan kami selalu melakukan kegiatan bersama-sama
dengan bahagia.
Liburan tengah semester kujalani seperti liburan
kenaikan kelas waktu itu. Selama liburan aku bermain ke rumah Hanna atau ke
rumah Sam. Aku sepertinya mengganggu kebersamaan Hanna dan Sam. Aku tahu Sam
mempunyai perasaan yang lebih dari teman pada Hanna. Aku ingin menjauhi mereka
karena aku takut membuat Sam gagal, tetapi aku tidak bisa jauh dari teman-teman
yang sudah cukup lama kukenal. Aku tidak bisa untuk meninggalkan orang dan
mencari teman yang baru karena aku orang yang pemalu.
1 Januari tanggal Hanna dan Sam jadian. Aku senang
mendengar berita itu. Aku masih dekat dengan mereka, tetapi aku terkadang
merasa aku tidak boleh terlalu dekat dengan salah satu dari mereka karena aku
takut aku membuat mereka berpisah.
Hari pertama masuk sekolah di semester kedua. Aku
terkejut ketika melihat Farel berjalan bersama kekasihnya. Senang bercampur
aduk dengan kesedihan. Aku terharu ketika melihat Farel datang ke sekolah,
tetapi aku juga sedih melihatnya berjalan bersama kekasihnya itu. Aku sedih
harus melihat Farel bahagia dengan kekasihnya.
Badanku sakit sekali. Aku terjatuh dari tempat tidurku.
Aku tiba-tiba terbangun dari tidur nyenyakku. Ternyata semua itu hanyalah
mimpi. Aku bermimpi tentang Farel yang masuk sekolah di semester dua. Aku
melihat ke arah jam dinding dan waktu menunjukkan pukul 06.08 pagi. Aku
terlambat bangun dan langsung bergegas untuk bersiap-siap ke sekolah. Aku pamit
pada ayah dan langsung naik sepeda ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, aku merasakan kebahagiaan
yang tiba-tiba terasa, Aku berjalan ke kelasku sendiri. Kali ini aku tidak
berjalan bersama Hanna karena Hanna pasti jalan bersama Sam ke kelas. Aku
melewati kelas Farel dan mengintip kelas itu. Aku tidak menemuka Farel di kelas
itu. Bel masuk sekolah sudah bernyunyi dan aku masih memikirkan Farel. Air mata
menetes dari mata secara tiba-tiba. Tidak tahu penyebabnya apa dan aku rasa air
mata ini akan jatuh dengan deras.
Aku segera izin ke toilet, Aku berharap sekali aku
bisa melihat Farel. Keinginanku terwujud. Mimpiku menjadi kenyataan walaupun
kejadiannya berbeda. Aku melihat Farel dan aku memberikan senyum terbaikku
padanya. Senang rasanya ketika bertemu dengan orang yang selama ini
kutunggu-tunggu. Serasa dunia ini memberikan waktu yang lama untuk orang itu
muncul. Farel juga memberikan senyumnya untukku, tetapi aku tahu senyum itu bukan
senyum terbaiknya karena aku tahu senyum terbaiknya hanya untuk kekasihnya itu.
Aku mendengar berita bahwa ternyata selama ini Farel
tidak masuk karena ia sakit. Aku tidak tahu apa penyakitnya, tetapi aku masih
khawatir padanya. Apakah penyakitnya keras jadi ia tidak masuk ssekolah selama
berbulan-bulan? Rasa malu ini mulai dikalahkan oleh rasa penasaranku. Secara
tiba-tiba hati ini memaksa pita suara untuk mengeluarkan suara berupa
pertanyaan yang menunjukkan perhatian. Aku mananyakan kabaranya dan aku
bertanya mengapa ia tidak masuk sekolah berbulan-bulan. Kali ini aku
memberanikan diriku karena aku tahu cinta tidak ada artinya tanpa perbuatan dan
tanpa keberanian.
Farel menjawabku dengan penuh perhatian. Aku merasa senang
mendengar jawaban Farel. Farel melihat air mata yang menetes dan membasahi
wajahku. Farel memintaku untuk tidak usah mengkhawatirkannya. Aku membalasnya
dengan senyuman. Aku tahu Farel orang yang baik sehingga ia tidak mau ada orang
yang sedih karena memikirkan kesehatannya. Farel hanya memberi tahu bahwa ia
sakit keras dan ia masih harus menjalani beberapa pengobatan lagi di luar
negeri.
Farel meninggalkanku dan ia segera ke toilet. Aku
juga masuk ke toilet karena aku ingin berusaha untuk berhenti memikirkannya dan
berusaha menghentikan air mata ini. Hati memang tidak bisa dipaksakan untuk
berhenti menyayangi orang yang sudah kita sayangi.
Aku iri melihat Farel bersama kekasihnya, Aku tahu
memang sesama manusia tidak boleh iri terhadap orang lain. Tetapi aku berharap
aku yang ada di posisi kekasihnya itu, Aku berharap untuk memimpikan Farel
putus dengan kekasihnya agar bisa menjadi kenyataan seperti mimpiku semalam
yang menjadi kenyataan. Berhari-hari aku memikirkan itu dan aku selalu berdoa
agar permintaanku ini bisa terwujud.
Tuhan memang baik. Ia mendengar dan menjawab doaku
setiap malam. Setelah beberapa hari aku mendengar berita bahwa Farel putus
dengan kekasihnya itu. Aku juga tahu dari kejadian yang ada di sekolah. Farel
tidak lagi berjalan dengan kekasihnya dan kesedihan terpancar dari wajahnya.
Aku senang sekaligus sedih karena melihat kesedihan Farel. Mungkin kekasihnya
itu tidak bisa meneruskan hubungan jarak jauh karena sebentar lagi Farel akan
ke luar negeri untuk menjalankan pengobatan untuk kesembuhan penyakitnya.
Berbulan-bulan Farel tidak masuk sekolah dan aku
tidak menghiraukan kesedihan itu. Aku yakin Farel pasti akan membawa kesehatan
yang baik untuk tubuhnya, Farel pasti akan sembuh. Selama berbulan-bulan hati
ini terus bertanya-tanya mengapa banyak teka-teki yang ada untuk mencari satu
jawaban dan satu solusi tentang masalah cinta ini. Aku tidak tahu mengapa cinta
begitu kuat dan bisa mengubah segalanya.
Cinta bisa mengubah teman menjadi lebih dari teman
seperti Hanna dan Sam. Cinta bisa berubah menjadi kecewa ketika tidak sesuai
dengan apa yang kita harapkan. Cinta juga bisa membuat waktu seolah berjalan
lebih cepat. Tak terasa pula akhir semester dua ini sudah terlewati. Aku naik
kelas dan aku senang mendengar berita aku bisa naik kelas dengan prestasi yang
cukup bagus.
Aku membesarkan mataku ketika melihat papan
pengumuman pembagian kelas yang ada di lapangan sekolah. Aku terkejut. Aku
tidak mempercayainya. Farel sekelas denganku di 11.3. Farel ternyata tidak naik
kelas karena ia tidak masuk sekolah dalam waktu yang lama. Aku senang melihat
pengumuman itu, tetapi aku juga sedih karena Farel harus mengulang pelajaran
karena ia tidak naik kelas. Hanna dan Sam juga masuk di kelas yang sama
sepertiku dan Farel.
Liburan kenaikan kelas juga kuhabiskan untuk mencari
penghasilan seperti dulu. Sekarang pekerjaan ayah menjadi lebih santai karena
saat ini orang kota tidak memerlukan banyak perabotan yang terbuat dari kayu,
Mungkin orang kota banyak yang lebih memilih untuk menggunakan perabotan yang
terbuat dari plastik. Walaupun penghasilan ayah berkurang, aku senang karena
ayah bisa beristirahat cukup setiap hari.
Aku melakukan kegiatan seperti dulu, dan beberapa
hari aku beristirahat dan mencari kesenangan dengan bermain ke rumah Hanna atau
Sam. Aku tahu aku mengganggu kebersamaan mereka, tetapi aku tidak bisa untuk
tidak menghabiskan waktu liburan tanpa orang-orang terdekatku.
Liburan
yang sangat menyenangkan. Aku membayangkan aku dekat dengan Farel di kelas 11
nanti. Hari pertama masuk sekolah adalah hari yang sangat kutunggu-tunggu. Tak
terasa besok hari pertama masuk sekolah di kelas 11. Aku tidur lebih cepat pada
malam hari karena kau ingin bangun lebih pagi besok.
Hari
yang cerah untuk memulai kegiatan adalah hari yang kunantikan. Aku pergi ke
sekolah dengan berjalan kaki. Aku memutuskan untuk tidak naik sepeda. Dari
kejauhan aku melihat Farel yang terlihat sudah siap berada di kelas barunya.
Aku tidak tahu dia bahagia karena apa, yang terpenting aku juga bahagia kalu
dia bahagia. Itulah arti cinta sebenarnya menurutku. Rela berkorban adalah
sifat yang sulit utuk diungkapkan, tetapi mudah untuk dikatakan.
Aku
segera menuju kelasku di lantai 3. Kali ini aku berusaha untuk menyapa Farel
dengan keberanian. Farel menyapaku. Kami berkenalan dan mulai memberi tahu tentang
identitas kami masing-masing. Teman-teman sekelas yang lain tidak mau mendekati
Farel karena penyakitnya yang membuat orang takut untuk tertular. Kuketahui ia
mengidap penyakit Hirschprung, penyakit bawaan sejak lahir. Penyakit ini memang
tidak bisa menular melalui sentuhan. Entah mengapa teman-teman sekelas tidak
berani mendekatinya. Hanya aku yang mau mendekati Farel. Aku tahu rasanya
dijauhi orang walaupun aku tidak pernah merasakannya sebelumnya.
Penyakit
Hirschprung yang diderita Farel membuatnya sangat menderita. Penyakit itu tidak
bisa dicegah karena dalam usus tidak terbentuk saraf. Penyakit ini membuat
ususnya harus dioperasi karena jika tidak dioperasi akan menyebabkan kerusakan
pada usus. Aku tidak menyangka orang sebaik Farel juga bisa terkena penyakit
seperti itu.
Kali
ini aku melihat Farel bisa tersenyum ketika ia berasa di sampingku. Aku menghabisakan
waktu di sekolah bersamanya dan Farel tergabung dalam pertemananku dengan Hanna
dan Sam. Kami saling bercanda bersama. Kami mengingat kenangan satu tahun yang
lalu ketika kami masih menjadi kakak dan adik kelas. Aku masih menyimpan tanda
tangan Farel dan aku selalu meletakkannya di tas sekolahku.
Aku
semain dekat dengannya dan aku lebih sering menghabiskan waktu dengannya dibanding
dengan Hanna atau Sam. Aku senang aku bisa dekat dengannya, tetapi hati terlalu
takut untuk disakiti lagi. Aku tidak bisa meninggalkan kenangan begitu saja. Untuk
kesekian kalinya hati ini ragu. Hati tidak mau disakiti karena ditinggal. Aku
bukan tipe orang yang mudah berpindah hati dan beradaptasi dengan lingkungan
baru.
Aku
tahu penyakitnya masih melekat dalam dirinya dan aku juga tahu penyakit itu tidak
bisa lepas dari tubuhnya, apa lagi penyakit itu sudah ada sejak lahir. Kutatap
matanya sedalam mungkin sampai menembus bagian mataku yang paling dalam. Aku
selalu senyum jika aku berada di dekatnya. Aku ingin dia tetap bersamaku dan
aku berharap dia bisa menjadi teman hidupku. Aku mulai merasakan kesempurnaan
cinta yang ada.
Kulewati
kisah di sekolah bersamanya. Dengan senang aku berteman dengannya dan
menganggap hubungan kami hanya sebatas teman, walaupun aku berharap lebih dari
teman. Semua kejadian yang ada kulewati dengan tersenyum. Senyum adalah semua
jawaban dari masalah yang ada. Menerima keadaan yang ada merupakan hal yang
sulit karena terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Farel
menceritakan keluhannya akhir-akhir ini. Penyakitnya memang tidak bisa
disembuhkan. Aku lebih sakit daripada Farel. Hati ini sulit menerima kesakitan
orang yang disayangi. Aku tidak mau lagi kehilangan orang yang dekat denganku.
Aku mau semua kenangan yang ada tetap terjadi di masa yang akan datang.
Setelah
menjalani beberapa pengobatan, penyakit itu bertambah parah. Parah sampai
membuat hati ini juga terluka. Kali ini Farel tidak dirawat di rumah sakit di
luar negeri. Farel dirawat di rumah di daerah Jakarta Pusat. Ia sudah lama
tidak masuk sekolah. Aku merindukannya dan setiap sore setelah pulang sekolah
aku, Hanna, dan Sam berusaha untuk menjenguknya.
Berada
di sampingnya selalu membuatku tenang. Aku tidak tahu kapan aku bisa bersamanya
lagi di masa yang akan datang. Aku berharap aku bisa menghabiskan waktu
bersamanya berdua. Aku meminta padanya untuk memberikan waktunya satu jam saja
untuk bersenang-senang denganku. Aku tahu waktu ini bukan waktu yang tepat
untuk Farel untuk bersenang-senang karena besok ia akan menjalani operasi.
Aku,
Farel, Hanna, dan Sam pergi ke sebuah tempat bermain di pusat kota untuk
menghabiskan waktu satu jam bersama tanpa ada yang mengganggu. Penyakit Farel
kambuh ketika kami dalam perjalanan. Mendadak Farel berhenti bergerak dan ia
terbata-bata dalam mengucapkan suatu kalimat. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Aku bukan seseorang yang tahu tentang pertolongan pertama.
Farel
tiba-tiba tertidur. Aku membiarkannya tertidur mungkin karena dia kelelahan
memikirkan penyakitnya yang sulit disembuhkan. Ketika sampai di tempat bermain,
aku membangunkanya. Dia juga tidak terbangun. Air mataku menetes. Aku tahu dia
sudah tiada. Aku tidak mendengarkan detak jantungnya dan aku tidak merasakan
denyut nadinya.
Aku
sekarang bisa merasakan akhir dari segala kebahagiaanku. Kesedihan adalah
jawabannya. Aku tidak memaksa diriku untuk bahagia, tetapi aku memaksa untuk
merasakan apa itu cinta. Cinta telah mengubah segalanya. Sekarang cinta berubah
jadi kesedihan. Kesedihan yang kurasakan sangatlah pedih. Aku tidak tahu apakah
aku harus memulainya dari awal lagi atau tidak.
Banyak
orang yang berkata bahwa jodoh pasti bertemu, jodoh pasti ada karena sudah
direncanakan Tuhan. Menurutku jodohku adalah Farel. Dia yang hanya sebatas
teman sekelasku dan dia yang selalu membuatku tersenyum. Aku memang sudah tidak
bisa berharap. Aku sudah terjatuh untuk ketiga kalinya, tetapi aku tidka tahu
aku masih bisa bangkit atau tidak. Jatuh bangun dalam hidup itu wajar, tetapi
bangkit ketika kita tersakiti itu hal yang luar biasa.
Tidak
ada yang bisa dilanjutkan dan tidak ada yang bisa dipaksakan. Cinta memang
tidak bisa disalahkan karena mereka memang tidak salah. Hati yang harus disalahkan
karena hati yang memilih. Itu menurutku. Entah apa pendapat orang tentang cinta
dan hati. Aku cinta dia dan aku tidak ingin ada yang menggantikannya. Cinta
memang tidak harus dimiliki, tetapi cinta itu harus dirasakan.
Begitu banyak kisah yang ada di dalam hidupku ini.
Begitu banyak kebahagiaan di dalam hidup ini, tetapi juga ada kesedihan di
dalam hidup ini. Begitu banyak pengorbanan yang harus dilakukan di hidup ini.
Begitu banyak kenangan yang ada di dalam hidup ini. Apakah hidupku hanya akan
menjadi sebatas kenangan juga?
Dia
Mimpi Burukku
Oleh
Jerhemy Owen 9A
A
|
cara
perpisahan SMP (Sekolah Menengah Pertama) telah dilewati, banyak yang menangis
haru karena berpisah dengan teman yang pindah sekolah. Aku, yang ditinggal
teman-teman dekatku mulai merasa kesepian yang amat berat. Aku takut tidak
memiliki teman-teman sebaik dan sedekat teman SMP-ku.
***
Liburan kelulusan SMP telah usai,
murid-murid harus melewati MOS (Masa Orientasi Siswa) terlebih dahulu untuk
memulai kelas 10, termasuk diriku. Aku yang dulu periang dan menyenangkan
menjadi berubah di SMA. Mungkin murid-murid lainnya berpikir bahwa Aku adalah
orang yang cupu, pendiam, dan membosankan. Namun, aku tak mempedulikan hal itu.
Sampai akhirnya di MOS kedua, aku dikejutkan oleh teman satu kelasku yang
bernama Julio dan Gibran
“Hai!
Siapa namamu?”
“Hei! Aku Jeni, Jenifer Denila” balasku
padanya.
Aku
sangat kaget sewaktu mereka ingin berkenalan denganku. Ternyata ada juga orang
yang ingin berteman dengan diriku. Walaupun mereka adalah laki-laki, tetapi Aku
senang bahwa Aku telah mempunyai teman di kelas 10 ini. Sejak berkenalan saat
itu, kami menjadi teman yang cukup dekat. Aku kembali bersemangat untuk
menjalani masa-masa kelas 10. Akan tetapi, itu tak berlangsung lama bahkan
hanya seminggu. Mereka tiba-tiba meninggalkanku dan menganggap Aku tidak ada.
Aku tidak tau jelas mengapa mereka
meninggalkanku, mungkin karena Aku bukanlah teman yang baik dan semenarik yang
lain.
Kesepian kembali menemaniku. Aku
kembali menyendiri dan tidak mempunyai teman. Sewaktu jam istirahat, Aku duduk
di meja kantin dan melihat Julio dan Gibran sedang duduk bersama dua teman
barunya yang juga wanita. Hatiku cukup sakit melihat hal itu. Hampir setiap jam
istirahat Aku melihat mereka berkumpul dan makan bersama. Mereka makan sambil mengobrol,
bersenang-senang, dan tertawa. Sementara Aku, hanya duduk sendiri sambil
meratapi nasib, bagai istri yang sakit hati karena baru diceraikan oleh
suaminya. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin mempunyai teman lagi. Aku ingin
bersenang-senang dengan teman-temanku. Namun, tampaknya mereka akan menjauh
dariku.
Tiba-tiba, ada seorang laki-laki mendekat
ke meja tempat aku makan. Aku tau, ia juga tidak memiliki teman dan aku tidak
tahu alasan di balik itu. Aku juga tak mau memikirkan hal itu. Kami pun akhirnya
berkenalan. Namanya Gani, Gani Jonatan Gunawan. Menurutku ia orang yang cukup
baik dan menarik karena ia bisa menghiburku. Setidaknya ia mau menjadi temanku
dan dapat menghiburku supaya tidak bosan seharian di sekolah.
***
Seiring
waktu berjalan, Aku dan Gani menjadi teman yang
begitu dekat dan tidak dapat terpisahkan bagai mentega dengan roti. Aku tidak
mempunyai teman lain sedekat Gani, begitupun dengan Gani. Sepulang sekolah,
Gani mengajakku pergi ke warung depan yang bertuliskan “Warung Tekal”, yang
baru-baru ini kuketahui itu singkatan dari Warung Tepi Kali. Kami mengobrol
bersama mengenai orang-orang populer di sekolah yang mempunyai banyak teman.
Sekali-kali Aku berpikir dan mengatakan pada Gani bahwa Aku ingin berteman
dengan mereka supaya mempunyai banyak teman. Tetapi tiap kali Aku membicarakan
soal ini, Gani selalu saja menjelek-jelekan mereka dan mengatakan bahwa mereka
hanya dapat menguras duit orang tua.
Karena Aku dan Gani sangat lapar,
kami langsung pesan indomie saja di Warung Tekal. Gani mengatakan bahwa ia akan
menraktirku karena Aku mendapatkan nilai yang cukup baik di mata pelajaran
matematika. Gani memang orang yang baik. Entah mengapa, tidak ada orang yang
mau berteman dengannya. Ia selalu dijauhi oleh teman-teman sekolahnya karena
mereka mengatakan bahwa Gani mempunyai sifat yang aneh dan mengerikan. Aku
tidak mengerti apakah keanehan dan sifat apakah yang membuat orang lain
mengecap Gani sebagai orang yang mengerikan. Karena sejauh ini, Aku berteman
dekat dengannya dan merasakan nyaman berada di dekatnya.
***
Saat
liburan tengah semester pertama, Gani mengajakku main ke rumahnya untuk pertama
kalinya. Aku agak khawatir karena ini pertama kali Aku pergi ke rumah teman
laki-laki dan hanya kami berdua. Tetapi karena aku percaya bahwa Gani adalah
teman dekatku, Aku menurut padanya untuk pergi ke rumahnya. Lagipula kita tidak
seharusnya mempunyai pikiran yang negatif pada teman dekat kita bukan?
Rumah Gani berada jauh di luar kota,
di sekitarnya sangatlah sepi seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Tampak depan
rumahnya sangatlah mewah, tetapi sudah cukup tua. Sesampai di dalam rumahnya,
Aku sangat kaget, rumah ini sangat kosong dan terkesan tidak ada yang
mengurusi. Debu yang tebal menutupi perabotan-perabotan rumahnya. Bahkan Aku
tidak melihat orangtua Gani.
Melihat keadaan rumah Gani, rasa
takut mulai membalut hatiku.
“Ayo
masuk ke kamarku Jen! Disini tidak ada apa-apa,” kata Gani padaku.
“Tidak
mau ah Gan, kita main di sini saja,” sahutku.
“Sudahlah
Jen, di kamarku jauh lebih seru”.
Akhirnya
aku menuruti apa kata Gani. Aku mengikutinya ke dalam kamarnya.
Memang di
dalam kamarnya jauh lebih baik, walaupun sama seperti kamar laki-laki lain yang
selalu mempunyai kamar bagai kapal pecah. Pelan-pelan Aku perhatikan kamar Gani
yang memang terlihat ramai, tetapi suasananya sangat sepi. Banyak robekan
kertas berserakan dan cat tembok yang sudah mengelupas. Juga tidak ada hiasan
foto-foto keluarganya di kamar itu. Rumah ini memang menyeramkan!
Tiba-tiba
Gani mengajakku untuk bermain kartu Uno. Ia tau bahwa itu adalah permainan
favoritku. Dengan menghilangkan rasa khawatir, Aku memulai permainan ini. Saat
mau mengacak kartu, salah satu kartu itu terlepas ke kolong laci. Aku langsung
mengambil kartu itu kembali, tetapi yang kudapatkan bukanlah kartu itu. Aku
mendapatkan foto keluarganya yaitu ayah, ibu, Gani, seorang adik perempuan, dan
seorang laki-laki (Aku tidak tau dia kakak atau adik Gani). Semua muka di dalam
foto itu dicoret-coret kecuali muka Gani. Dengan cepat Aku langsung mengambil
kartu Uno dan mengembalikan foto keluarga Gani ke kolong lemari. Aku menutupi
segala kecurigaan dan berusaha menghilangkan beribu pertanyaan yang mengantre
di kepalaku.
Tengah
bermain kartu, Gani dengan ekspresi kesal keluar kamar. Aku mendengarnya sedang
berbicara sambil membentak dan berteriak. Tetapi Aku tidak mengetahui dengan
siapa ia berbicara karena dari tadi Aku tidak melihat orang lain di rumah ini.
Lalu, aku mendengar tamparan yang sangat keras. Aku kaget dan langsung keluar kamar
menghampiri Gani. Tetapi Aku sama sekali tidak melihat lawan bicara Gani. Gani
langsung mengajakku kembali ke kamarnya. Ia mengatakan bahwa tadi adalah
adiknya yang bernama Gracia Gisella. “Adikku sangat menyebalkan, Ia dari
mengintip kamarku, jadi kumarahi dan kutampar saja dia,” kata Gani.
Aku
takut dan tidak tau harus berbuat apa. Aku sangat bingung karena Aku tidak
melihat seorang pun di rumah ini maupun di luar rumah ini selain kami berdua.
Ketakutan dan kecurigaan menghujani diriku. Untung saja, tidak lama kemudian
supirku datang untuk menjemput. Gani sempat menahanku untuk bertahan lebih
lama, tetapi Aku tidak sanggup. Aku langsung pamit dan kembali pulang.
...
Setelah
liburan tengah semester itu, Aku mulai menjaga jarak dengan Gani. Banyak sekali
kelakuan-kelakuan aneh yang diperbuat Gani yang mulai bermunculan. Seperti
waktu itu, ia mengatakan bahwa ia ingin sekali membunuh Lizzie, orang
terpopuler di sekolah, dengan cara membakarnya hidup-hidup. Lalu, Gani juga
sempat melakukan hal-hal aneh yang cukup mengangguku. Seperti menelponku
malam-malam dan curhat mengenai keluarganya yang sangat jahat padanya dan adik
perempuannya yang seringkali membuatnya kesal. Bukan hanya itu! Gani juga
mengatakan bahwa ia sudah mempunyai rencana untuk mencincang ayahnya karena
merasa bahwa ia sudah tidak disayang oleh ayahnya.
Oleh
karena itu, semakin ke sini Aku semakin menjaga jarak. Berusaha untuk pergi
menjauh dan lenyap dari hadapan Gani. Aku takut sifat aneh Gani dapat
membahayakanku. “Kamu kenapa sih Jen! Kok kamu menjauh dariku, aku salah apa
Jen? Aku membuatmu kesal?” kata Gani suatu hari.
“Tidak
ada apa-apa Gan, aku hanya merasa tidak terlalu nyaman berada terlalu dekat
dengan seorang teman laki-laki” balasku sambil pergi meninggalkannya.
“Jen
jangan menjauh dariku Jen!” teriaknya.
***
Hidupku
menjadi tidak nyaman. Aku merasa ada orang yang menguntitku setiap kali Aku
jalan, dan kuketahui itu adalah Gani. Sewaktu Aku makan di kantin, dari
kejauhan Aku melihatnya sedang menatapku dalam-dalam dengan tampang serius.
Jujur, Aku cukup takut kali ini. Bahkan, terkadang ia menguntitku sampai ke
depan rumah! Memang benar-benar aneh orang ini.
Sewaktu
Aku sedang mandi, Aku merasakan ada yang aneh, seperti ada bayangan seseorang
di depan pintu kamar mandiku. Tetapi saat keluar, Aku tidak menemukan siapapun
disana. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Karena sudah cukup malam, Akupun
tertidur dengan lelap. Tengah malam mendekati jam 2 pagi, Aku terbangun dengan
suara hentakan kaki seseorang. Saat melihat sekitar, ternyata pintu kamarku
sudah terbuka dengan bayangan seseorang. Aku melihat sekelilingku dengan teliti,
Aku seperti mengenal bayangan orang ini, orang yang dulu cukup dekat denganku.
Aku hanya diam tidak tau harus berbuat apa. Lalu bayangan orang itu semakin
lama semakin mendekat.
…
Aku
tidak tahan dengan Gani! Ia sudah membuatku kesal. Aku ingin memuaskan segala
kecurigaan-kecurigaan dalam diriku yang sudah membusuk. Aku langsung mencari
tau semua informasi tentang Gani. Mulai dari akun-akun sosial media, yang baru
kusadari itu bukanlah akun Gani yang sebenarnya. Lalu kucari tau lewat bagian
tata usaha sekolah. Aku tanyakan seluruh orang di sekolah tentang Gani.
Aku
sangat kaget dan merinding ketika mengetahui bahwa adiknya, Gracia, sudah
meninggal. Dan menurut informasi, adiknya meninggal karena tenggelam saat
bermain dengan Gani di kolam rumahnya. Lalu ibunya Gani tidak kuat melihat
Gracia meninggal, oleh karena itu ibunya Gani mati menggantung diri di
kamarnya. Sebab itu, Gani sekarang sering melakukan hal-hal aneh karena merasa
sudah tidak disayang oleh ibunya. Lalu pernah sekali ayahnya membawa Gani ke
psikolog, dan psikolog itu mengatakan bahwa Gani mengalami gangguan mental.
Tidak lama kemudian, Gani membunuh ayahnya dengan cara memutilasi tubuh ayahnya
itu. Ternyata memang benar, Gani sering melakukan hal-hal aneh karena gangguan
psikologisnya. Pantas saja rumahnya begitu kosong dan tidak terurus. Pantas
saja ia mencoret-coret wajah anggota keluarganya di foto itu.
Baru
kuingat kejadian di rumah Gani. Ia pernah membentak seseorang yang dia bilang
adalah adiknya. Tetapi sekarang kuketahui bahwa adiknya, Gracia sudah
meninggal. Jadi siapakah yang ia bentak waktu itu? Pantas saja waktu aku keluar
kamarnya, Aku tidak melihat lawan bicara Gani.
Makin
merinding saja diriku mengetahui informasi-informasi ini. Aku juga semakin
takut dengan Gani. Aku harus meghilang dan pergi jauh-jauh darinya! Bisa mati
Aku berada di dekatnya dan selalu dikuntitnya! Aku memutuskan untuk pindah
sekolah supaya tidak berada dekat dengan Gani. Ayah dan ibuku mengizinkannya
karena Aku beralasan bahwa sekolah lamaku itu sangat susah.
Di
sekolah baruku, Aku belajar untuk bersosialisasi dan aku berhasil mendapatkan
cukup banyak teman. Di antaranya adalah Bena Hartono, Kayla Lahfa, dan Jerry
Gunawan. Merekalah sahabatku yang membantuku untuk melupakan Gani. Kali ini Aku
tau bahwa mereka adalah teman-teman yang baik. Sahabatku yang paling spesial
ialah Jerry, kami sangat dekat dan mungkin ia telah menganggapku lebih dari
teman. Tapi dia mempunyai tidak pandai dalam pelajaran. Bahkan, beredar kabar ia
pernah tidak naik kelas sekali atau dua kali.
…
Aku
dan sahabat-sahabatku sedang bermain bersama menikmati liburan kenaikan kelas.
Kami pergi bersama ke luar kota untuk kuliner. Lalu, kami juga bermain ke Dufan
(Dunia Fantasi), di sana kami bermain halilintar, arung jeram, dan banyak
permainan yang seru. Tetapi yang paling ditunggu-tunggu adalah wahana Rumah
Hantu.
Dengan
tumpukan ketegangan dan rasa takut, kami memasuki rumah hantu itu. Aku paling
belakang dan yang memimpin kami adalah Bena. Di dalam rumah itu, kami berjalan
mengikuti arahan melewati beberapa hantu-hantu yang sangat menyeramkan.
Tiba-tiba di dalam rumah hantu itu, Aku melihat seorang laki-laki yang
sepertinya pernah kukenal. Iya! Tidak salah lagi itu adalah Gani si psikopat
gila! Aku melihatnya sedang tersenyum kepadaku dengan tatapan tajam sambil
membawa pisau berbercak darah di tangan kirinya. Memang benar-benar gila dia!
Aku langsung menyuruh teman-temanku untuk lari keluar dari wahana itu. Badanku
langsung lemas melihat Gani di rumah hantu. Aku langsung mengajak teman-temanku
semua pulang tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Sudah beberapa bulan
tidak diganggu olehnya, sekarang ia kembali mengangguku lagi! Mau apa dia
dariku.
…
Hari
pertama di kelas 11 benar-benar tidak menyenangkan. Aku bisa memprediksi
nasibku di sepanjang kelas 11 ini akan sangat buruk. Hari pertama ini saat Aku
dan teman-temanku sedang berkumpul, Aku melihat seorang pembawa mimpi buruk itu
datang memakai seragam sekolah yang sama denganku. Benar! Gani pindah ke
sekolah yang sama denganku. Aku tidak tau apa lagi yang dia rencanakan untuk
menganggu hidupku.
Memang
membingungkan, sudah beberapa minggu Aku dan Gani satu sekolah, tetapi ia tidak
pernah mengangguku lagi. Ia hanya pernah beberapa kali datang padaku dan
menyapaku, lalu dengan senyuman selebar mungkin Aku balas menyapanya. Mungkin
ia sudah tobat. Walaupun Aku sering menangkap basah ia sedang memerhatikan
dengan tatapan yang menyeramkan saat Aku dan teman-temanku bermain.
“Hai
Jen” sapa Gani.
“Hai
Gan, ada apa?” balasku padanya.
“Gapapa
Jen, Aku hanya mau membisikanmu sesuatu yang rahasia”.
“Rahasia
apa Gan?“ tanyaku sambal tertawa. Tiba-tiba ia mendekatkan mulutnya ke
telingaku dan mulai membisikiku.
“Siap-siap
Jen, sesuatu yang besar akan terjadi padamu” bisiknya. Aku langsung bertanya
“Emang ada apa Gan? Sesuatu yang besar apa? Aku tidak mengerti”. Ia membalasku
dengan tatapan kejam dan senyuman sinis, lalu kembali berkata “Sesuatu yang
besar Jen, balasan segala perbuatanmu padaku karena telah meninggalkanku. Kamu
akan mengetahui dan merasakannya nanti” ia langsung pergi meninggalkanku. Aku
hanya bisa diam tercengang tidak tau harus berbuat apa.
Aku
menceritakan apa yang Gani katakan, pada sahabat-sahabatku. Mereka mengatakan
bahwa tidak akan ada apa-apa. “Semua akan bak-baik saja, Gani paling hanya asal
bicara” kata Jerry. “Iya Jen tenang aja, dia kan orang gila, tidak akan bisa
melakukan apa-apa” ujar Kayla. Setelah kupikir-pikir sepertinya dia hanya asal
bicara saja. Tetapi kalau sampai benar, pasti dia akan melakukan hal-hal nekat.
Aku harus berhati-hati sekarang.
Bulan
demi bulan kulewati dan tidak ada yang terjadi padaku. Hidupku masih berjalan
dengan normal. Belum ada keanehan dan kegilaan yang diperbuatnya. Aku
mengatakan ‘belum’ karena Aku tau pasti akan terjadi nanti.
Sudah
setengah tahun masih belum ada kejadian apa-apa. Dengan ini Aku menjadi lebih
yakin bahwa Gani tidak akan menganggu dan melakukan apa-apa lagi padaku. Tetapi
entah kenapa Aku masih sedikit takut. Sahabat-sahabatku selalu meyakinkanku
bahwa tidak akan ada masalah yang diperbuat Gani.
…
Aku
telah melupakan segala yang Gani katakan padaku. Sekarang Aku hanya perlu refreshing lebih banyak dengan
teman-temanku. Aku merencanakan sesuatu yang besar bersama teman-temanku. Aku
berencana untuk mengajak mereka liburan bersama dan menginap di tempat yang
tidak biasa. Tetapi dimanakah kita akan menginap?
Ini
baru yang dinamakan “pucuk dicinta ulam pun tiba”. Baru saja Aku merencanakan
untuk berlibur bersama dengan teman-teman, tiba-tiba Aku mendapat email undangan untuk menginap di sebuah
villa tua di suatu kampung terpencil, kami diundang sebenarnya untuk melakukan
penelitian sosial di daerah itu, tetapi kami bisa memanfaatkan untuk
bersenang-senang. Email ini dikirim
dari kelurahan Kampung Momo. Aku langsung menghubungi teman-temanku dan mereka
langsung setuju dengan rencanaku. Rencananya kami akan menginap selama 2 malam
di kampung terpencil yang bernama Kampung Momo. Sebentar lagi liburan akan
dimulai, Aku yakin liburan kali ini akan sangat seru.
…
Akhirnya,
kami melakukan perjalanan ke Kampung Momo, kampung yang sangat terpencil. Kami
harus menggunakan mobil selama 5 jam dan dilanjutkan dengan kapal selama 1 jam.
“Walah Jen, jauh banget kampungnya ini” keluh Bena. “sudahlah Ben, nanti di sana
pasti akan seru” balas Kayla. Walaupun perjalanannya sangat susah, kami mampu melewatinya
dengan mudah.
Sesampai
di Kampung Momo, kami terkejut bahwa kampung itu sangat sepi, juga kami tidak
mendapatkan sinyal sedikitpun di sini. Ditambah lagi kami harus meanaiki kapal
lagi selama 30 menit untuk sampai ke
villa. Ternyata villa itu ada di tengah perairan, kami hanya bisa kembali ke
Kampung Momo saat dijemput oleh kapal. Jadwal penjemputan kapal itu adalah 3
hari sekali.
Villa
tua itu sangat menyeramkan, hanya kami yang tinggal di sana. Tidak ada siapapun
juga tidak ada pembantu. Kata nahkoda kapal, villa ini adalah peninggalan
Belanda, pantas saja cat-cat dinding sudah terkelupas, lalu meja-meja di dalam
villa itu sudah sangat keropos. Kami semua sangat merinding, tetapi lama-lama
kami semakin terbiasa. “Aduh Jen, seram sekali villa ini” kata Jerry.
Hari
pertama di villa itu kami habiskan dengan istirahat dan mengitari daerah
sekitar villa. Lalu, kami memasak makan malam yang sangat enak versi kami,
yaitu mie instan indomie yang kami bawa dari rumah. Entah, Aku merasa tidak
terlalu nyaman berada di villa ini atau mungkin itu hanya perasaan saja.
Ternyata
ada sangat banyak kamar di villa itu, jadi kami memilih untuk tidur
sendiri-sendiri. Kamar yang paling jauh dari ruang tamu adalah kamar Bena.
“Biarin sajalah, dia kan pria pemberani” kataku pada Kayla. “Tenang saja Kay,
ini baru namanya jantan” sahut Bena pada Kayla. “Ya sudah tidur saja, sekarang
sudah malam” balas Jerry. Kami semua kembali ke kamar kami masing-masing untuk
tidur. Tetapi Jerry mengikuti ke kamarku, ia memelukku dan mengucapkan “goodnight and sweetdream Jen”. Aku
sangat senang malam itu.
Keesokan
paginya Aku dibangunkan oleh Jerry karena sarapan sudah disiapkan oleh Kayla.
Kami semua sarapan bersama-sama dan baru kami sadari Bena belum juga bangun.
Aku menyuruh Kayla untuk pergi membangunkan Bena di kamarnya. Tiba-tiba
terdengar suara jeritan Kayla setelah ia membuka pintu kamar Bena.
Di
kamarnya, Bena ditemukan jatuh di lantai dengan mulut berbusa. Kami sangat
histeris melihat apa yang terjadi. Lalu, Jerry menunjuk ke arah cermin. Cermin
itu menuliskan kata “Tunggu selanjutnya” ditulis dengan darah segar dan bentuk
tulisan yang menyeramkan. Setelah memperhatikan tulisan itu cukup lama, Aku
baru menyadari ada tulisan kode “-G-“ di bawah cermin tersebut. Kami tercengang
dan menangis, takut untuk bergerak dan melakukan hal-hal lain.
“-G-
Apakah artinya itu Gani? Apa ini semua ulah Gani?!” tegas Jerry. “Ini pasti
dia, hanya dia yang berani melakukan hal-hal gila” balasku. “Tetapi dimanakah
dia? Mengapa kita tidak melihatnya kemarin? Bahkan sekarang kita tidak
menemukannya” tambah Kayla. Sejak itu kami semakin berhati-hati dan selalu
berdekatan. Hasrat untuk pulang
menghantui kami, tetapi tidak ada jalan pulang selain menunggu kapal itu datang
menjemput 2 hari lagi. Handphone juga
tidak berguna, tidak ada sinyal sama sekali. Kayla sangat resah dan ketakutan serta
ingin cepat-cepat pulang. Kami mencoba mencari solusi lain, tetapi satu-satunya
solusi adalah bertahan hidup sampai dijemput.
Seharian
itu kami hanya diam merenung, sambil berjaga-jaga melihat sekitar. Jerry
melihat sesuatu tumpukan bangkai kepala binatang seperti kepala sapi di halaman
belakang villa. Kami sangat terkejut, kira-kira ada 2 sampai 3 kepala sapi yang
ada di sana, ada juga beberapa kuburan peninggalan orang Belanda yang sempat
tinggal di sini, sangat menyeramkan! Banyak bercak darah di sana dan baru kami
sadari, ada jejak kaki yang terlihat mengarah ke gudang.
Dengan
berani Jerry mengambil senter dan mulai berjalan ke arah gudang. Aku dan Kayla
mengikutinya dari belakang. Pelan-pelan Jerry membuka pintu gudang yang sangat
rapuh, terdengar suara pergerakan sesorang di dalam sana, tetapi karena sangat
gelap gulita tidak ada yang dapat kami lihat. Lalu, terdengar pergerakan lagi
dari belakang badan Kayla, kami langsung berwaspada dengan sekitar. Karena
tidak melihat apa-apa, kami perlahan keluar dari gudang itu dimulai dari Jerry
lalu Aku. Saat Aku dan Jerry telah keluar, pintu gudang langsung tertutup
rapat. “Tolong! Jen! Jerry! Bantu aku” teriak Kayla. Tiba-tiba terdengar suara
mesin pemotong kayu yang menyala. “Jer! Cepat buka pintu ini kalau tidak Kayla
akan mati dipotong di dalam sana!” ujarku pada Jerry. Ia langsung berusaha
menendang pintu rapuh itu, tetapi tidak berhasil. Lalu, ia mengambil kayu dan
mencoba menghancurkan pintu itu, kali ini ia berhasil. Dengan cepat ia menarik
tangan Kayla keluar dari gudang, mesin pemotong kayu itu langsung mati. Jadi
dimana Gani? Kenapa kami tidak dapat meihat batang hidungnya.
Kami
langsung kembali ke dalam villa untuk istirahat, Aku membuatkan mereka nasi
goreng. Sudah tidak ada tenaga untuk memasak makanan yang ribet-ribet. Aku tau
Jerry apalagi Kayla sudah sangat lelah dan lapar karena matahari pun juga sudah
istirahat.
Lalu
kami memutuskan untuk tidur bersama di dalam satu kamar supaya kami bisa saling
menjaga. Jerry memutuskan tidak tidur untuk menjaga kami semalaman.
Pagi-pagi
Aku bangun dan melihat sebelahku sudah tidak ada orang. Aku juga mendapati
Jerry sudah tertidur pulas. Tetapi kemanakah Kayla?! “Jer bangun! Kayla mana?”
kataku. Jerry langsung bangun terjaga. “Hah? Kemana dia kenapa tidak ada di sini?”
ujar Jerry. Lalu kami bergegas mencari Kayla. Tidak lama kemudian Jerry
memanggilku sambil menangis “Jen, lihat Kayla. Dia udah meninggal Jen” kata
Jerry sambil menangis. Aku melihat Kayla di kamar mandi tergeletak di lantai
yang basah dengan darah segar. Jerry juga menunjuk tulisan di cermin kamar
mandi yang mengatakan “Selanjutnya giliranmu! Akan jauh lebih ekstrim.”
Lagi-lagi ada inisial di bawahya bertuliskan “-G-“. Kami sangat ketakutan, kami
hanya berdiam diri duduk berdua sambil menangis tersedu. Aku sangat depresi,
Aku ingin pulang! Aku dan Jerry harus bisa bertahan sampai esok dijemput oleh
kapal itu.
Liburan
yang kurencanakan sebagai liburan terindahku menjadi hancur lebur gara-gara
Gani. Hatiku teriris seperti sedang ditusuk bertubi-tubi oleh sebuah belati,
saatku mengingat dan melihat mayat Bena dan Kayla yang sudah mulai membusuk. Aku
harus menemukan dan membunuh Gani sekarang!
Saat
Aku dan Jerry sedang mencari Gani, kami memutuskan untuk berpencar. Aku
mengecek dalam villa dan Jerry mengecek bagian luar villa. Aku langsung
bergegas ke bagian dapur, kamar mandi, dan setiap kamar tidur di villa itu.
Tetapi Aku tetap tidak menemukan si psikopat gila itu. Lalu Aku kembali ke
ruang tamu utama, Aku terkejut! Sampai ingin mati Aku melihat kejadian ini.
Aku
menemukan Gani di ruang tamu, tetapi Aku juga menemukan Jerry sedang
bersamanya. Iya bersamanya, tetapi tidak besebelahan. Jerry sedang berlutut
menghadapku, dan Gani sedang berdiri di belakangnya sambil memegang pisau
belati dan mengarahkannya ke leher Jerry. “Hai Jenifer Denila, mantan teman
baikku” salam Gani sambil tertawa sinis dan tatapan kejam. “Maafkan aku Jen,
aku tidak dapat melawannya” ucap Jerry padaku. Tidak biasanya Aku melihat Jerry
seperti ini karena seingatku dia adalah seorang pemberani. Jantungku berdebar
sangat kencang bagai drum yang di pukul terus menerus. Aku tidak tau harus
berbuat apa. Aku sudah jatuh cinta pada Jerry! Aku harus menyelamatkannya.
“Kasihan sekali kau Jen, sekarang kamu tidak bisa berkutik lagi Jen” sergah
Gani padaku. “Aku salah apa Gan!? Kenapa kamu sangat jahat padaku!” balasku. Tiba-tiba
Gani menangis histeris dan berteriak “Kamu yang jahat Jen! Kamu meninggalkan
aku dan mencampakkan aku. Padahal dulu kita sangat dekat! Aku sudah
menganggapmu sebagai pasanganku! Aku sudah merencanakan hubungan kita ke depan!
Tetapi kamu dengan gampangnya meninggalkanku bersenang-senang dengan
teman-teman barumu dan menghancurkan segala harapanku”. Karena sangat emosi, ia
hampir menusukan belati itu pada Jerry, untungnya Jerry dapat menghindar
sedikit. “Aku meninggalkanmu karena kamu sudah gila, Gan! Kamu harus sadar!”
balasku. “Sekarang apa maumu Gan?” tambahku dengan pasrah. “Aku ingin kau
merasakan apa yang aku rasakan. Aku ingin kamu melihat sendiri kematian Jerry”
ucap Gani dengan keras. “Jangan sakiti dia Gan, aku mohon padamu. Ganti saja
Jerry denganku karena Aku yang seharusnya menerima ini” ucapku padanya.
Benar-benar aneh, baru kali ini Aku melihat Jerry hanya diam tidak melawan sama
sekali dalam keadaan seperti ini. Lalu dengan cepat Gani melepaskan Jerry dan
menggantinya denganku. Hidupku sekarang berada di ujung tanduk, belati itu
sudah menempel di leherku. “Maafkan aku Gan! Bebaskanlah kami dari sini” kataku
sambil menangis dan pasrah. Walaupun Aku diam, otakku berpikir dengan cepat
mencari cara untuk menyelamatkan nyawaku dari Gani. Akhirnya, Aku mendapati
bahwa Gani sedang tidak siap dengan belatinya. Langsung saja kudorong dia
sampai jatuh, lalu kutendang badannya berkali-kali. Lagi-lagi Jerry hanya diam
dan tampaknya seperti sedang merenung, jadi kutarik saja tangannya dan
membawanya kabur dari Gani.
“Jer
ayo cepat, kita harus menjauh sebelum Gani sadar dan mencari kita” teriakku
pada Jerry. Kami berlari sangat kencang menjauhi villa itu, tetapi kapal
penjemputan belum juga datang. Jadi Aku dan Jerry hanya berlari memutari villa
berkali-kali. Sampai pada suatu saat, Gani tiba-tiba berada di depan kami. Kami
langsung berhenti berlari, lalu Gani menatap Jerry dan memberikan kode isyarat.
Jerry langsung menarik dan menyeretku ke daerah pepohonan dan mengikatku dengan
ketat. Aku yang sangat terkejut tidak dapat melakukan apa-apa. “Kamu sedang apa
Jer! Apa-apaan ini?! Kita harus kabur dari tempat ini Jer!” hentakku. “Sorry Jen, aku terpaksa melakukan ini
semua. Aku tidak boleh mengkhianati kakakku sendiri” kata Jerry dengan terpaksa
lalu pergi meninggalkanku. Setelah mendengar perkataan Jerry, Aku langsung
menangis pasrah tidak peduli dengan nasibku.
Tetapi
mengapa Jerry memanggil Gani sebagai kakak? Aku baru menyadari setelah ini
semua terjadi. Aku baru menyadari Aku pernah melihat foto keluarga Gani, ada
dua orang anak laki-laki selain dirinya. Dan itu adalah Jerry, Jerry Gunawan
dan Gani, Gani Gunawan. Betapa bodohnya Aku yang telat menyadarinya. Gani
adalah sang ‘Dalang’ dan Jerry adalah sang ‘Wayang’ dua-duanya memiliki peran
yang sangat penting. Setelah Aku meninggalkan Gani, ia sengaja membuatku dekat
dengan adiknya Jerry sampai Aku terlalu percaya dan jatuh cinta pada Jerry.
Lalu menjadikannya sebagai boneka untuk membalaskan dendamnya padaku. Jerry
sebagai adik yang baik hanya menjalankan perintah dari kakaknya. Aku juga baru
sadar bahwa email yang berisikan
undangan ke tempat ini tidak ada kode atau tanda resmi yang menunjukkan
kepemerintahan. Juga inisial ‘G’ bukan mengartikan ‘Gani’. Tetapi ‘G’
mengartikan yang lebih besar yaitu ‘Gunawan’. Betapa bodohnya diriku. Hatiku
seperti sedang ditancapkan tombak rasanya.
Setelah
beberapa menit meninggalkan dan mengikatku sendirian di pohon ini, Gani dengan
2 belati di tangan kanan dan kirinya mendekat. Ia menatapku dengan kejam dan
menertawakanku. “Goodbye Jenifer Denila sampai
ketemu di kerajaan iblis” ujarnya. Lalu ia langsung mengayunkan belatinya ke
perutku dan satunya lagi ke leherku. Aku tidak dapat menyadarkan diri, hanya
dapat merasakan darahku mengalir membuat lautan merah.
Lalu
Aku dibangunkan oleh Jerry karena sarapan sudah disiapkan oleh Kayla. Semalam
Aku tertidur sangat lelap, untung semua ini hanya mimpi buruk. Kami semua
sarapan bersama-sama dan baru kami sadari Bena belum juga bangun tidur. Aku
menyuruh Kayla untuk pergi membangunkan Bena di kamarnya. Tiba-tiba terdengar
suara jeritan Kayla setelah ia membuka pintu kamar Bena.
Sampaikan Sayangku
untuk Dia
Oleh Melda
Namaku Chelsea. Aku lahir di Jakarta pada tanggal 8
Agustus 1998. Kini aku sudah menduduki bangku SMA. Aku adalah anak satu-satunya
karena itu, aku sangat disayang oleh kedua orang tuaku. Aku memiliki satu
sahabat yang bernama Nicholas, nama panggilannya Nicho. Kita sudah bersahabat
sejak kita taman kanak-kanak.. Dari dulu hingga sekarang orang tuaku selalu
memasukkan aku ke sekolah yang sama dengan Nicho, agar kami tetap selalu
bersama, sampai-sampai sekarang rumahku dengan rumah Nicho berseberangan.
Dulu awalnya aku mengira masa SMA itu masa yang paling
indah dan romantis, tapi sekarang sudah tidak lagi karena, bagiku masa SMA itu
masa dimana seseorang yang sudah hidup bahagia, dipisahkan untuk selamanya. Dan
inilah kisahku…..
Kisahku berawal dari sewaktu aku memasuki Masa Orientasi
Siswa, dimana aku menemukan sahabat baru yang bernama Clara. Clara ini murid
baru pindahan dari SMP Bunda Hati Kudus. Saat pertama kali melihat Clara, aku
dan Nicho langsung mengajak ia kenalan. Setiap hari kita makan siang bersama,
ketawa bersama, dan membicarakan mentor kita yang sangat galak itu. Dari situ
lah aku, Nicholas, dan Clara menjadi sahabat yang sangat dekat. Selama 1 tahun
ini kita selalu menghabiskan waktu bersama.
Sampai pada akhirnya semua tidak seindah dulu lagi,
persahabatan kami pun sudah mulai diujung tanduk. Karena aku ingin mengejar
impianku sebagai designer jadi aku memilih untuk masuk jurusan IPS , sedangkan
Clara dan Nicho memilih masuk jurusan IPA. Mereka sekarang terlalu sibuk dengan
jurusannya itu sampai-sampai mereka tidak punya waktu lagi untuk bertemu dan
bermain denganku.
Waktu demi waktu aku lewati, Clara dengan Nicho semakin
dekat sampai-sampai ia lupa dengan persahabatan kita. Padahal dulu kita sudah
berjanji kepada diri kita sendiri untuk tidak meninggalkan satu sama lain.
Tetapi entah mengapa saat aku melihat Clara dan Nicho yang sangat dekat,
perasaanku yang dulu bahagia sekarang malah menjadi kesal. Perasaan apakah
itu…? Ahh sudah lah untuk apa aku
memikirkan hal yang tak jelas, lebih baik aku fokus mengerjakan tugas yang
diberikan Ms Diana, guru paling killer di sekolah ini. “Tapi bagaimana ya tugas
ini kan, tugas kelompok dan aku belum mencari pasangan kelompokku, kira-kira
siapa ya yang belum mendapat pasangan untuk proyek ini?” Pikirku dalam hati.
Tiba-tiba ada seorang
lelaki datang menghampiriku. “hai boleh kenalan?” Sapanya.
“hai, boleh” Jawabku.
“perkenalkan namaku
Juan, aku adalah teman sekelasmu, oh ya, kamu sudah dapat pasangan untuk tugas
yang diberi Ms. Diana belum?” Katanya.
“oh iya, aku sedang mencari pasangan untuk
tugas itu” jawabnya.
“wah kebetulan sekali
aku juga sedang mencari pasangan untuk tugas itu, apakah kamu mau bergabung?
Tanyanya.
“oh tentu saja boleh”
Jawabnya.
“ oh iya
ngomong-ngomong aku belum mengetahui namamu, siapa namamu?” Tanyanya.
“oh maaf aku sampai
lupa, perkenalkan namaku Chelsea.”*Kring!!!* “eh bel masuk sudah berbunyi, ayo
kita masuk ke kelas.” Ujarku, sambil berjalan ke arah kelas.
Sesampainya
aku di kelas, ternyata ada pengumuman dari ketua kelasku, Marcho bahwa hari ini
tidak ada pelajaran geografi karena Ms Juli sedang berhalangan hadir karena
sakit. Satu kelas pun langsung heboh dan senang karena tidak ada pelajaran yang
sangat membosankan itu. Aku pun berjalan menghampiri tempat duduk Juan, untuk
mengajaknya ke perpustakaan untuk membahas tema apa yang kita buat untuk proyek
Bahasa Indonesia.
Aku
dan Juan pun berjalan kecil menuju perpustakaan, sesaat sudah sampai di depan
pintu perpustakaan tak sengaja tiba-tiba pandangan mataku menuju kearah meja
perpustakaan dan aku melihat Nicho dan Clara duduk bersama sambil tertawa
sampai mereka tidak sadar bahwa aku juga ada di perpustakaan itu. Jantungku
berdetak kencang dan aku pun sudah tidak semangat lagi belajar di perpustakaan
itu.
“Juan, bagaimana kalau
kita membahas temanya di kantin saja jangan di perpustakaan karena tiba-tiba
aku lapar lagi nih hehehe….” Ujarku.
“hemm boleh juga si
tapi kenapa tiba-tiba aneh juga perutmu itu hahaha...” kata Juan sambil
meledek.
“terus saja meledekku ayo cepat kita ke
kantin!” jawabku, sambil berjalan dengan rasa kesal yang tidak jelas ini.
*Di kantin sekolah*
“ Bakso ama es teh
manisnya dua ya bu” Kataku sambil duduk.
Dan Juan pun duduk di depanku sambil bertanya
“kamu kenal dengan cowo yang di pepustakaan tadi itu?”
aku pun kaget kenapa tiba-tiba Juan bertanya
tentang Nicho. “kenal memangnya ada apa?”ujarku “pacarmu yaa hahaha..?”
Katanya.
Aku dengan panik
menjawab “bukan, dia itu sahabatku dari kecil”.
Juan pun masih
penasaran “ohh sahabat, tapi kalau hanya sahabat kenapa tadi kamu kelihatan
kesal melihat dia bersama cewe yang disebelahnya itu?”
Tiba-tiba ibu kantin pun mengantarkan bakso
dan es teh manis, aku jadi punya alasan untuk memperalihkan pertanyaan Juan yang tidak penting itu.
“wah baksonya sudah datang ayo kita makan
perutku sudah lapar nihh..” Ujarku.
Dan akhirnya kami pun makan sambil menentukan
tema yang akan kami buat, tapi tetap saja walaupun sambil memakan bakso
kesukaanku, aku tetap tidak bisa fokus untuk memikirkan tema ini karena selalu
saja muncul rasa penasaran tentang hubungan Nicho dengan Clara. “masa iya si
aku cemburu dengan Clara karena ia sangat akrab dengan Nicho, rasanya gak
mungkin karena aku sama Nicho hanya sebatas sahabat tidak lebih, aduhh ayoo
Chelsea fokus dengan tugas-tugasmu ini” pikirku dalam hati.
Setelah
hampir setengah jam Juan pun mendapat ide untuk tema proyek Bahasa Indonesia, dan
kami pun memutuskan untuk mengerjakan proyek ini mulai besok setelah pulang
sekolah karena, hari ini pikiranku lagi tidak konsen sama sekali. Pada saat itu
juga tiba-tiba Clara menghampiriku ke kantin dengan muka yang sangat gembira
“haii Chelsea, lagi
sibuk tidak?, kalau tidak sibuk ikut aku ke halaman sekolah sebentar yuk ada
hal penting yang ingin aku cerita nih karena aku butuh sekali pendapat dan
bantuanmu, mau yaa pleasee.. aku janji hanya sebentar saja bagaimana bisa kan?”
Katanya kepadaku.
Kelihatannya sangat
penting sekali sampai ia memohon padaku. “baiklah, tapi aku bilang kepada Juan
dulu ya” Ujarku.
Dan Juan pun mengijinkan aku karena juga tidak
ada hal yang harus kita bahas lagi sekarang.
“Mau cerita apa sih
Clara, kelihatannya kamu gembira sekali?” ujarku sambil kebingungan.
“Iya nih Chel aku lagi
gembira sekali, tapi kamu jangan beri tahu siapa-siapa yaa termasuk Nicho”
katanya kepadaku.
“iyah tenang saja ayo
cepat cerita, jangan buat aku penasaran” Ujarku.
“Sepertinya aku suka
Nicho deh Chel” kata Clara.
“Apa?! kamu suka sama
Nicho?” jawabku sambil kaget dan kesal sekali.
“Iya Chel aku suka
dengannya, kalau aku bersama Nicho aku selalu merasa nyaman dan bahagia serasa
tidak ada beban lagi di hidupku” Kata Clara kepadaku.
“Bagaimana dengan perasaan Nicho, apa dia juga
suka padamu?” Tanyaku sambil menahan rasa kesal.
“Itu dia Chel aku tidak
tahu bagaimana perasaan dia padaku, makanya aku cerita ini padamu aku ingin
minta bantuan padamu” Kata Clara kepadaku.
“Memangnya apa yang
bisa aku bantu?” Tanyaku.
“Kamu tolong tanyakan
pada dia tentang perasaannya padaku hehehe…” Katanya.
“Aku tidak bisa Clar karena Nicho itu tipe
orang yang sangat tertutup dengan persaannya, walaupun aku itu sahabatnya dia
dari kecil” jawabku.
Tiba-tiba
suasana pun menjadi hening dan Chelsea langsung meninggalkan halaman sekolah
tanpa berpamitan pada Clara. Aku pun berlari di koridor sekolah dan tak sengaja
aku menabrak Nicho yang sedang berjalan di depanku, saat aku melihat wajahnya
entah kenapa air mataku tiba-tiba menetes. Aku langsung berlari karena tidak
mau dia bertanya tentang air mata itu, tetapi dia menarik tanganku menahanku
untuk berlari. Nicho pun memegang pipiku sambil mengapus air mataku yang
menetes, aku tidak kuat dengan sikap Nicho yang perhatian denganku jadi aku
langsung cepat-cepat menghindarinya berlari ke arah toilet “maafkan aku Nicho,
aku tidak bermaksud untuk membuatmu bingung” Kataku dalam hati. Tangan Nicho
yang hangat membuat aku merasa lebih tenang dan air mataku tidak menetes lagi,
hal ini bukan hanya terjadi sekali tetapi sudah berkali-kali. Sejak aku kecil,
tangan Nicho selalu mengusap air mataku, dan tak aku sangka tangan Nicho masih
sehangat tangannya yang dulu.
Saat
aku keluar dari toilet, ternyata Nicho sudah menungguku di depan toilet sambil
memegang dua es krim kesukaanku dari kecil. Memang hanya Nicho yang paling
mengerti perasaanku.
“hey ini ambil ice cream kamu, mau tidak kalau
tidak mau yah aku saja yang habiskan” Kata Nicho kepadaku.
“jelas mau lah sini
cepat berikan” Jawabku sambil tersenyum dalam hati.
“Ada yang kamu ingin ceritakan?” tanya Nicho.
“hmm tidak ada” Kataku
sambil asik memakan es krim.
“ohh baiklah kalau kamu tidak ingin beritahu
tak apa, tapi jangan sedih lagi ya, jelek tau” kata Nicho sambil berlari.
“hey bilang apa kamu
sini kemari jangan kabur” Kataku sambil teriak.
”*Kring!!!* “ bunyi bel
pergantian jam. “ahh sudah bel padahal aku ingin mengejar Nicho” pikirku dalam
hati.
Pada
saat pulang sekolah, Nicho menungguku di gerbang sekolah untuk mengajakku
pulang bersama tetapi tiba-tiba Clara menghampiri kita dan meminta Nicho untuk
mengantarnya pulang dengan alasan
supirnya tidak bisa menjeput, walaupun sebenarnya aku tahu itu hanya cara modus
dia agar bisa pulang bareng dengan Nicho. Akhirnya pun kami pulang bertiga, dan
hal yang mengesalkan Clara langsung nyerebot duduk di depan bersama Nicho dan
aku duduk dibelakang sendirian, sangat menjengkelkan sekali “tau gitu mending
aku pulang sendiri saja” Pikirku dalam hati. Beberapa menit kemudian kita sampai
di depan rumah Clara, Clara pun turun dari mobil dan Nicho pun menyuruhku
pindah duduk di depan. Setelah sudah tidak ada Clara suasana di mobil pun jauh
lebih enak karena aku bisa bebas berbicara dengan Nicho. Di tengah perjalanan
perutku tiba-tiba bunyi karena lapar dan Nicho pun tertawaiku.
“alarm dari perutmu sudah bunyi tuh hahaha…, mau mampir makan siang dulu tidak” katanya
sambil mengejekku.
“ihhh lagi-lagi kamu
mengejekku tak bosan apa, tapi boleh juga si ayo kita makan sudah tak tahan nih
hehehe..” Jawabku.
Kita
pun berhenti makan di salah satu restaurant
dekat rumah Clara. Setelah kita selesai makan, Nicho langsung mengantarku
sampai rumah. Pada saat di mobil, aku tertidur dengan pulas mungkin karena aku
cape dan kekenyangan. Aku tidur dengan sangat nyenyak sampai-sampai itu membuat
Nicho tidak tega untuk membangunkan aku, jadi Nicho menggendongku sampai kamar
tidurku dan menyelimutkanku. Sehabis itu, ia langsung bergerak pulang untuk
beristirahat juga.
Saat aku masih tidur aku bermimpi bahwa pada
akhirnya Nicho dan Clara menikah dan aku tidak di undang di acara pernikahan
mereka. Itu adalah mimpi terburukku. Dan aku pun langsung tebangun dari tidur,dan
aku bingung sendiri kenapa aku sudah bisa ada di kamar dan terselimuti,
bukannya terakhir itu aku tertidur di mobil Nicho? tetapi kenapa sekarang aku
bisa berada di kamarku sendiri? “ahh mungkin itu juga sebagian dalam mimpiku,
kenapa aku bisa mimpi seperti itu ya. Apa aku terlalu takut kehilangan Nicho?
sampai-sampai aku bermimpi seperti itu” Pikirku dalam hati. Jujur saja aku
memang tidak bisa hidup tanpa Nicho, dari kecil aku selalu melewati hari demi
hari bersamanya saat senang maupun sedih. Nicho selalu ada untukku, jadi aku
tidak bisa bayangkan jika aku kehilangan
Nicho. Tidak bersamanya sehari saja, aku sudah merasa seperti kehilangan
setangah dari hariku, apalagi untuk selamanya. Ia memang benar Nicho sudah aku
anggap sebagai kakakku sendiri atau bisa di bilang bagian dari hidupku.
Keesokan
paginya aku terlambat karena alarmku tidak berbunyi sehingga, aku telat bangun,
jadi aku kesiangan ke sekolah dan Nicho juga ikut kesiangan ke sekolah karena
Nicho menungguku. Untungnya pas aku dan
Nicho sampai di sekolah, baru bel masuk pertama yang bunyi jadi, kita
tidak jadi di hukum.
Tetapi
tetep saja aku merasa hari ini adalah hari tersial, aku mendapat hukuman dari
Sir Hendry. Sir Hendry adalah guru ekonomi di sekolahku. Pada hari ini, jam
pertama kelasku adalah pelajaran ekonomi dan ternyata aku baru sadar bahwa tadi
pagi aku lupa memasukkan buku ekonomiku ke dalam tas sekolahku karena mungkin
sangkin terburu-burunya. Jadi mau tidak mau aku harus keluar dari kelas dan
tidak boleh ikut pelajaran Sir Hendry hari ini. Dan beberapa menit kemudian
Juan pun keluar juga dari kelas Sir Hendry .
“loh, kenapa keluar Ju?” Tanyaku.
“yah sama
sepertimu, aku tidak membawa buku ekonomi” Kata Juan.
“padahal tadi pagi
jelas-jelas aku melihat buku ekonomi di atas meja Juan, dan gak biasanya Juan
ceroboh tidak membawa buku seperti ini, yahh berbeda dengan aku kalau aku
memang dasarnya ceroboh dan pelupa” Pikirku dalam hati.
“ayo kita ke
perpustakaan belajar daripada membuang-buang waktu berdiri tidak jelas disini”
Kata Juan sambil menggandeng tanganku.
Pada saat Juan menggandeng tanganku tiba-tiba
tak sengaja Nicho lewat dan melihat tanganku digandeng cowo lain. Setelah Nicho
melihat itu wajah ia pun berubah dan langsung pergi tanpa menyapa padaku. “hemm
Nicho kenapa yaa kok langsung pergi saja”tanyaku dalam hati. Dan akhirnya aku
menghabiskan waktu pelajaran ekonomi bersama Juan di perpustakaan.
.”*Kring!!!*
“ bel istirahat berbunyi. Aku masih merasa tidak enak dengan Nicho, maka dari
itu, aku memutuskan untuk menghampiri Nicho ke kelasnya, walaupun aku tahu
pasti aku melihat pemandangan yang sangat tidak enak di kelas itu. Pada saat
aku berdiri di depan kelas Nicho dan Clara, lagi-lagi yang kuduga itu benar,
mereka sedang berduaan. “ayo Chelsea kamu harus tahan rasa kesalmu demi Nicho”
Kataku dalam hati.
Dan aku masuk
menghampiri mereka dengan wajah tersenyum seolah tidak ada yang terjadi dalam
perasaanku. “siapa cowo tadi pacar kamu?” tanya Nicho dengan nada yang sangat
ketus.
Waktu aku ingin menjawab pertanyaan Nicho,
tiba-tiba Clara langsung memotong pembicaraan “Nicho, ayo cepat katanya ingin
cari buku untuk tugas nanti keburu bel masuk” kata Clara.
“ohh iya, aku sampai lupa ayo” Kata Nicho
sambil berjalan tanpa berpamitan padaku.
“duhh aku belum sempat menjawab pertanyaan
dari Nicho itu, kalau aku ikut mengampirinya ke perpustakaan, pasti kejadiannya
akan sama lagi seperti yang di kelas tadi. Clara akan terus-menerus berbicara
dengan Nicho, jadi jika aku menghampirinya, itu akan terlihat sia-sia.” Pikirku
dalam hati.
“*Kring!!!*”
bel masuk pelajaran selajutnya sudah berbunyi. ‘‘waduh udah bel aku harus
buru-buru kembali ke kelas agar tidak dapat hukuman lagi” Kataku dalam hati.
Sesampainya di kelas, lagi-lagi aku terlambat masuk ke kelas dan lagi-lagi juga
aku dihukum. Aku disuruh berdiri di lapangan menghadap tiang bendera. “memang
benar hari ini adalah hari tersialku, dimulai dari telat bangun, lupa membawa
buku ekonomi lalu, ada kesalahpahaman dengan Nicho, dan juga terlambat masuk ke
kelas, kemudian kejadian apalagi yang akan aku dapat sehabis ini.” Kataku
dengan nada yang kesal. Dan tiba-tiba saja Juan datang menghampiriku dan
bertanya
“ada apa dengan kamu hari ini?” “tidak ada
apa-apa kok, ngomong-ngomong kamu kenapa bisa kesini?” Kataku.
“oh tadi itu aku ijin
ke toilet karena aku mau menemani kamu disini.” Katanya sambil bersenyum.
“buat apa kamu temenin
aku? Mending sekarang kamu balik ke kelas aja nanti kalo kamu ketahuan temenin
aku disini kamu malah ikutan dihukum dan kamu malah ketinggalan pelajaran.”
Kataku sambil memaksa dia balik ke kelas.
“aku mah tidak apa-apa
dihukum, apalagi dihukumnya berdua denganmu.” Katanya. “hah apa? Kamu bilang
apa tadi aku tidak dengar hehehe…” Tanyanya.
“hmm tidak, tidak ada apa-apa.” Katanya.
“hmm baiklah, sudah
kembali sekarang ke kelas.” Kataku kepada Juan.
“baiklah kalau itu
maumu, asalkan kamu senang aku kan melakukannya.” Katanya sambil jalan menuju
ke kelas.
Setelah
selesai jam pelajaran saatnya aku mengerjakan proyek Bahasa Indonesia bersama
Juan. Pada saat aku mau menggendong tas tiba-tiba saja Juan datang menghampiriku.
“eh Chelsea, jadi kerjain sekarang ?”. Tanyanya.
“tentu saja jadi.”
Jawabku.
“enaknya kita kerjain
dimana ya Chel ?” tanya Juan.
“hemm bagaimana di Restaurant kesukaanku saja, tidak jauh kok dari sini” jawabku.
“ohh boleh juga, tapi
kamu berangkat bareng aku saja yaa, soalnya aku tidak tahu jalan ke sana,
bagaimana ?” kata Juan.
“Ide yang bagus, ayo kita jalan tapi bilang
pada Nicho dulu yaa bahwa aku tidak ikut pulang bersamanya hari ini” kataku.
“Nicho? Cowo yang di
perpustakaan itu yaa” tanya Juan.
“iyaa biasa aku soalnya
selalu pulang bareng dia karena rumah kita bersebrangan. Ayo kita ke gerbang
sekolah saja pasti dia sudah menunggu disana” kataku sambil berjalan ke arah
gerbang sekolah.
“Nicho, maaf yaa aku
ada kerja kelompok bersama Juan, jadi aku tidak bisa pulang bersamamu hari ini
?” kataku pada Nicho.
“Dimana kerja
kelompoknya?” tanya Nicho dengan nada ketus.
“Di restaurant
biasa kita makan bersama” jawabku.
“Ya sudah biar aku
antar kamu sampai sana” sambil menarik tangan Chelsea.
Tiba-tiba Juan langsung
memotong pembicaraan “tidak perlu, Chelsea berangkat bersamaku dan nanti aku
yang mengantar Chelsea sampai ke rumahnya dengan selamat” kata Juan sambil
menarik tanganku yang sebelahnya.
Dan Nicho pun langsung melepaskan tanganku
dengan wajah kesal sambil menuju kearah parkiran mobilnya. “Ayo Chelsea cepat
nanti kita kesorean pulangnya” kata Juan
sambil menggandeng tanganku.
Saat juan menggandeng tanganku aku merasa
berbeda, karena aku tidak merasakan tangan yang hangat seperti tangan Nicho
pada saat ia memegangku. “Ahhh kenapa aku jadi membandingkan Nicho dengan Juan”
pikirku dalam hati.
Selama
perjalanan ke restaurant,tidak
sengaja aku melihat ke arah kaca spion mobil Juan ada mobil yang sangat mirip
dengan mobilnya Nicho. “Ahh tapi rasanya tidak mungkin itu mobilnya Nicho,
jelas-jelas tadi Nicho sudah jalan duluan mendahuluhiku.” pikirku dalam hati.
Dan tiba-tiba saja Juan memutarkan lagu “sampaikan sayangku untuk dia” yang biasa aku dan Nicho
dengarkan dan nyanyikan bersama di dalam mobilnya.
“kamu juga suka dengarkan lagu ini Ju
hahaha..?” tanyaku.
“iyaa nih hahaha… alay
yaa, mau aku matikan saja?” kata Juan.
“Ahh tidak aku juga suka mendengarkan lagu
ini, bisa dibilang lagu ini termasuk lagu kesukaanku” kataku.
“ohh ya ternyata selera
kita sama yaa hahaha…, jangan -jangan kita..” kata Juan.
“Yah wajar saja sama
karena lagu ini banyak disukai orang-orang” kataku sambil mengelak dari
perkataan Juan yang sangat aneh.
Sesampainya
aku dan Juan di restaurant tiba –
tiba hujan besar, dan payung di dalam mobil Juan hanya satu. Terpaksa aku harus
menggunakan satu payung itu berdua dengannya. Aku pun baru berjalan beberapa
langkah tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang dan ternyata itu Nicho
“Chelsea ayo kita pulang” kata Nicho sambil
memberikanku sebuah payung.
Saat aku mengambil
payung yang dibawa Nicho, Juan memotong pembicaraan “tidak bisa Chelsea harus
mengerjakan tugas bersamaku hari ini” kata Juan dengan tatapan tidak senang
pada Nicho.
“Kamu tidak lihat baju
Chelsea sudah terkena hujan, ia bisa sakit jika tidak cepat-cepat pulang, tidak
usah memikirkan tugasmu itu. Nanti aku yang akan mengerjakannya bersama Chelsea”
kata Nicho kepada Juan sambil menarik tanganku ke mobilnya.
Akhirnya
pun mereka meninggalkan Juan di restaurant
itu sendirian. Setibanya di mobil, aku bertanya kepada Nicho
“kenapa kamu bisa di restaurant itu, kamu mengikutiku?”
“Iyaa aku mengikutimu,
yah bagaimana aku bisa tenang kamu pergi bersama cowo yang baru saja kamu kenal
itu” jawab Nicho.
“Namanya Juan, dia baik
kok sepertimu” kataku.
“hey, kamu jangan
samakan aku dengannya ya, aku dengan dia itu jauh berbeda” kata Nicho, dengan
kesal.
“iyaa Nicho benar
memang Nicho jauh berbeda dengan Juan” kataku dalam hati.
“ayoo turun sudah sampai, jangan lupa ganti
pakaianmu yang basah itu” kata Nicho sambil membukakan pintu untuku.
“Baiklah terima kasih
sudah mengantarku” kataku.
“jangan lupa nanti malam datang ke rumahku,
kita kerjakan bersama tugasmu itu” kata Nicho.
“Ahh tidak perlu repot-repot aku saja yang
mengerjakannya” kataku.
“Sudah jangan
membantah, ingat pukul 7 malam” kata Nicho sambil berjalan ke arah mobil. Aku
pun masuk ke dalam rumah dengan senyum-senyum tidak jelas sendiri.
Pukul
7 pun sudah tiba, aku sudah siap ke rumah Nicho untuk mengerjakan tugas. “*ting tong*” suara bel berbunyi. Mamanya
Nicho pun keluar untuk membukakan pintu.
“Malam tante” sapaku
kepada mamanya Nicho.
“eh ada Chelsea, sudah
lama tidak main kesini, ayo masuk Nichonya ada dikamar” kata mamanya Nicho
kepadaku.
“ohh iya tante,
makasih” jawabku.
Pada saat aku membuka
pintu kamar Nicho, seperti biasa Nicho sedang asik bermain game di kamarnya
itu.
“ihh Nicho suruh orang
datang tapi kamu malah asik main game, bagaimana si’ kataku sambil duduk diatas
tempat duduk Nicho.
“hehehe… tunggu Chel
lagi tanggung nih, 5 menit saja kok” kata Nicho sambil tertawa.
“okelah aku tungguin tapi
untuk sementara aku kerjakan tugasku sendiri dulu.” Kataku.
*Setelah
5 menit bermain game*
“yok kita kerjakan
tugasmu itu memangnya tugas apa itu?” tanyanya.
“tugas Bahasa Indonesia
Nic.” Jawabku.
“ohh Bahasa Indonesia,
itu mah gampang, merem mata juga jadi hahaha..” katanya sambil tertawa.
“iya tau deh yang jago.” Kataku sambil
melanjutkan tugas Bahasa Indonesia.
Pada
saat aku dan Nicho mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, tiba-tiba saja ada yang
menghubungi handphone Nicho.
“eh Clara
menghubungiku, tumben sekali dia menghubungiku memangnya ada apa ya, sepertinya
penting.” Katanya sambil mengangkat telepon dari Clara.
”Clara lagi.. Clara
lagi.. kenapa dia selalu muncul saat aku sedang berduaan dengan Nicho dan buat
apa juga ia menghubungi Nicho, memangnya apa yang penting?” Kataku dalam hati.
Melihat Clara menelpon Nicho dengan waktu yang
lama itu, perasaanku berubah, hatiku terasa kesal dan panas melihat Nicho
menghubungi Clara. Pada saat Nicho menerima telepon dari Clara, Nicho sangat
heboh dan senang saat membahas topik pembicaraan mereka, sampai-sampai Nicho
lupa akan kehadiranku di rumahnya, dan pada akhitnya aku memilih untuk balik ke
rumahku saja.
“Nicho,
aku pamit dulu ya sudah malam, terima
kasih karena kamu sudah mau membantuku” kataku kepadanya. Tetapi dia tidak
menjawab apa-apa sangkin seriusnya menelpon dengan Clara.
Keesokan
paginya aku berangkat ke sekolah lebih awal dari Nicho, aku sengaja berangkat
lebih awal agar aku dapat menghindari Nicho. Aku pergi ke Sekolah naik ojek
yang terletak dekat dengan rumahku. Sialnya, ojek yang kutumpangi itu mogok
sehingga, aku tidak mungkin menunggunya karena aku takut terlambat masuk
Sekolah sehinga, aku harus mencari tumpangan yang lain. Tiba-tiba saja ada yang
mengklaksonku dari belakang. *Tin..Tin..* suara klakson mobil berbunyi. Dan
ternyata itu adalah mobil Juan, pada saat Juan melihat aku sendirian, ia
langsung segera turun dari mobil menawarkanku untuk berangkat bersama.
“hey Chelsea! cepat naik ikut bersamaku, kalau
tidak kamu bisa terlambat dan dihukum lagi” kata Juan.
“Baiklah, jika tidak
merepotkanmu” jawab Chelsea sambil masuk ke dalam mobil Juan.
Setibanya
kami di sekolah, aku melihat Nicho berdiri tepat di depan pintu kelasku seperti
sedang mencari seseorang. “Apa mungkin orang yang dicari Nicho itu aku?”
pikirku dalam hati. “Ahh lebih baik aku ke toilet dulu baru masuk ke dalam
kelas, aku tidak mau bertemu dengan Nicho apalagi berbicara kepadanya.” Kataku
dalam hati. “*kring*” suara bel masuk berbunyi. “Akhirnya Nicho sudah pergi dan
sudah kembali ke kelasnya” kataku dalam hati sambil berjalan kecil ke arah
kelas.
“Hey, kenapa tadi kamu
masuknya lama sekali ?” tanya Juan.
“Hemm maaf tadi aku tiba-tiba kebelet ingin
buang air kecil jadi aku langsung pergi ke toilet deh hehehe…” jawabku.
“Yakin..? bukan karena
ada Nicholas tadi menunggu di depan kelas kita” kata Juan sambil penasaran
dengan Chelsea.
“Ahh tidak lah, mana
mungkin aku menghindari sahabatku sendiri” kataku agar Juan tidak banyak tanya
lagi kepadaku.
Selama
pelajaran aku jadi tidak bisa fokus karena aku selalu memikirkan Nicho dan
Clara. “Kira-kira apa yaa yang mereka bicarakan di telepon semalam ya?, aku
sangat penasaran sekali. Kelihatannya sangat serius, jangan-jangan Clara sudah
menyatakan perasaannya pada Nicho. Ahh tapi rasanya tidak mungkin, tidak
mungkin Clara seberani itu menyatakan perasaannya duluan, aku sangat mengenal
betul sifat Clara, lagipula Clara kan perempuan, mana mungkin ia berani untuk
menyatakan persaannya kepada Nicho. Ditambah lagi Clara itu tipe orang yang
punya gengsi sangat tinggi” pikirku dalam hati. Tiba-tiba saja aku dipanggil
dengan guru matematikaku untuk mengerjakan soal di papan tulis. “Gawat nih, aku
tidak mengerti, ditambah lagi tadi aku tidak memperhatikan caranya” kataku
dalam hati. Aku pun tetap maju ke depan dengan memegang sebuah spidol yang
berwarna hitam itu. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara menjawab soal
yang ada di papan tulis ini, tetapi tiba-tiba Juan melemparkan sebuah kertas kepadaku
yang berisikan jawaban untuk mengerjakan soal yang ada di papan tulis.
Dan
aku pun menyalinnya di papan tulis, pada saat guru matematikaku sedang tidak
melihatnya. “Sudah selesai pak” kataku sambil menaruh spidol diatas meja. Dan
ternyata jawaban yang diberikan Juan itu benar.
“makasih yaa kalau
tidak ada kamu, aku pasti kena hukuman lagi” kataku kepada Juan.
“iya sama-sama, makanya
lain kali jangan melamun mulu” kata Juan sambil menyindirku.
“iya..iya..” kataku.
“memangnya kamu
melamuni apa sih?” tanya Juan kepadaku.
“hmm tidak..tidak apa-apa.” Jawabku dengan ragu.
Sepulangnya
dari sekolah, aku melihat Nicho dan Clara sedang berduaan di halaman belakang
sekolah sambil membawa sebuah bunga berwarna merah muda yang besar. “ternyata
apa yang kupikirkn kemaren itu benar, Clara sudah menyatakan perasaannya kepada
Nicho, terlihat tidak mungkin bahwa seorang Clara berani menyatakan perasaannya
kepada seorang Nicho, memang benar ternyata di dunia ini tidak ada yang tidak
mungkin. Dan sekarang Nicho dan Clara sudah pacaran aku tidak mungkin menganggu
hubungan mereka jadi lebih baik aku move
on saja. Tak lama kemudian Juan datang menghampiriku
“Hey Chel! Mau pulang
bersama tidak?” tanyanya padaku.
“Nicho pasti akan pulang bersama Clara jadi
lebih baik aku ikut pulang bersama Juan saja.” Pikirku dalam hati.
“Chel? Halo? *sambil melambaikan tangan di
depan mukaku* ditanya kok malah melamun sih.. mau tidak Chel?” tanyanya padaku.
“hmm boleh.. boleh.. kalau tidak merepotkanmu.”
Jawabku.
“kamu itu tidak pernah merepotkanku justru
kalau kamu pulang bersamaku aku sangat senang sekali.” Jawabnya.
Selama
di mobil aku memikirkan seorang laki-laki yang bisa membuatku nyaman dan
orangnya adalah Nicho dan Juan. Tiba-tiba Juan memberhentikan mobilnya di
sebuah taman dan dia menyuruhku untuk turun dari mobil. Setelah aku turun dari
mobil aku melihat ada banyak sekali bunga-bunga berwarna merah muda di taman
dan disana ada tempat duduk yang sangat indah karena banyak bunga-bunga yang
melingkar di kursi itu. Tiba-tiba Juan memberikanku sebuah es krim kesukaanku
yang biasanya aku dan Nicho makan.
Aku duduk berdua di
kursi taman itu. “mengapa banyak sekali bunga-bunga cantik disini?” tanyaku
kepada Juan.
Lalu tiba-tiba Juan berdiri dan mengambil
sebuah bunga “bunga-bunga yang cantik untuk kamu yang cantik.” Katanya sambil
memberikan sebuah bunga itu kepadaku.
“apa sih kamu ini hahaha…” jawabku dengan
bercanda.
“oh iya Chel aku mau ngomong sesuatu
kepadamu.” Katanya.
“yaa ada apa? Kamu mau ngomong apa?” jawabku
dengan penasaran.
“sebenernya..hmm aku suka sama kamu pada saat
aku pertama kali melihatmu.” Katanya kepadakku dengan nada yang pelan.
“bagaimana bisa?”
tanyaku kepadanya.
“aku juga tidak tahu, perasaanku bisa datang
kapan saja, dulu aku tidak percaya akan cinta pada pandangan pertama tapi
setelah aku bertemu denganmu, sekarang aku percaya bahwa cinta pada pandangan
peertama itu sebenarnya ada. Aku juga tidak memaksamu untuk menyukaiku tetapi
setidaknya aku sudah jujur akan perasaanku sendiri” Katanya kepadaku.
Lalu aku terdiam “ah
sudah lah, sudah mau malam aku takut kamu dimarahi orang tuamu, yok kita
pulang.” Katanya kepadaku. Aku pun pulang bersama dia.
Sesampainya
di rumah aku langsung berpamitan dengan Juan dan mengucapkan terima kasih
karena sudah mau mengantarku pulang.
“makasih ya ju sudah
mau mengantarku pulang, Dahh! *sambil melambaikan tangan*”. Kataku kepadanya.
“iya sama-sama, oh ya, tentang yang tadi aku katakan
kepadamu tidak usah dipikirkan ya, aku hanya ingin menyatakannya saja kok.”
Katanya kepadaku.
“baiklah, aku duluan ya..” kataku.
“iya bye Chelsea!”
katanya.
Aku pun segera masuk ke rumahku dan
beristirahat. Malam-malanya aku tidak bisa tidur karena besok adalah hari ulang
tahunku dan perkataan yang dinyatakan Juan tadi masih terpikir di dalam otakku.
“Ahh lebik baik aku tidur saja, daripada besok telat.” Pikirku dalam hati
sambil memejamkan mata.
Keeseokan
harinya tepat pada tanggal 8 agustus aku berulang tahun. Aku harap hari ini aku
tidak melihat kejadian yang aku tidak inginkan. Biasanya dari tahun ke tahun
selalu Nicho orang yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, tapi
sepertinya tidak untuk tahun ini.
Ketika
aku sampai di sekolah, aku melihat ada setangkai bunga dengan tulisan “Happy
Birthday Chelsea I love You” aku tidak tahu siapa yang memberikanku bunga itu
dan tiba-tiba saja Juan datang menghampiriku
“Happy birthday ya Chel semoga panjang umur
dan sehat selalu, ngomong-ngomong ini buat kamu.” Katanya sambil memberikan
sebuah kotak kepadaku.
“wah makasi ya, apa ini?” tanyaku.
“ada deh bukanya nanti saja ya pas tidak ada
aku hehehe..” katanya kepadaku.
“oke baiklah.” Jawabku.
“baik sekali Juan ini
memberikanku setangkai bunga yang indah ini dan sekotak hadiah yang aku belum
tahu apa isinya.” Kataku dalam hati.
Pada
saat jam istirahat aku berjalan ke kantin untuk membeli makanan, di tengah
perjalananku ke kantin, aku melihat Nicho dengan Clara yang juga sedang ingin
berjalan ke kantin maka itu, aku berjalan ke kantin bertiga bersama mereka.
“kok Nicho tidak ngucapin selamat ulang tahun kepadaku ya? Masa iya dia sampai
lupa dengan hari ulang tahunku?” pikirku dalam hati. Aku merasa Nicho berubah
sejak dia berpacaran dengan Clara. Setelah selesai makan di kantin Nicho masih
tetap belum mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku dan dari situ aku sadar
bahwa Nicho memang benar-benar lupa akan hari ulang tahunku.
Setelah
pulang sekolah aku pulang bersama dengan Nicho dan juga Clara. Mereka tetap
lupa akan hari ulang tahunku. Sesampainya di rumah aku berpamitan dengan mereka
dan aku langsung segera masuk ke rumah.
Hari
sudah malam, aku sangat menunggu ucapan ulang tahun dari Nicho karena itu, aku
belum mau tidur sekarang karena aku percaya bahwa Nicho tidak mungkin lupa akan
hari ulang tahunku.
Tiba-tiba pada pukul 23:50 ada yang menekan
bel rumahku sehingga aku segera turun dan membukakannya pintu. Pada saat aku
membuka pintunya aku melihat Nicho, dan Clara sedang membawa bunga besar yang
indah dan sebuah kue yang sudah menyala lilinnya. Mereka menyanyikan lagu
selamat ulang tahun kepadaku dan membawaku ke sebuah taman belakang rumah
Nicho. Disitu ada banyak lilin yang menyala membentuk hati, pohon-pohon hias
dengan bunga yang berwarna merah muda, dan segulung kertas yang bergantung di
sebuah pohon besar dengan dua balon berwarna merah muda. Tiba-tiba Nicho
menundukan diri dan memberikanku sebuah kotak hati yang berisi kalung emas.
“Chel aku bikin ini
semua untuk kamu, aku tahu mungkin ini aneh bagi kamu karena kamu hanya
menganggapku sebagai sahabat yang sudah kamu anggap sebagai kakakmu sendiri,
tetapi perasaan yang aku rasakan sekarang itu beda, aku sayang sekali sama kamu
bukan sebagai sahabat tetapi lebih dari sahabat, hmm Chel.. *sambil menghela
nafas yang panjang* kamu.. mau gak jadi pacar aku?” tanyanya kepadaku sambil
membuka gulungan kertas yang berisikan “kamu mau gak jadi pacar aku?”
“aku pikir selama ini kamu itu sudah
berpacaran dengan Clara maka dari itu, aku mulai menjauh darimu. Sebenarnya aku
juga sayang sama kamu lebih dari sahabat” jawabku.
“jadi… kamu mau tidak
jadi pacar aku?” tanyanya padaku.
“tapi bagaimana dengan
Clara, Clara kan suka denganmu aku tidak mau merusak persahabatan kita.”
jawabku.
“kamu tidak usah
memikirkanku Chel, aku memang suka sama Nicho tapi itu dulu dan sekarang Nicho
ini milikmu.” Kata Clara padaku.
“hmm.. baiklah, aku mau
kok jadi pacar kamu Nic.” Jawabku.
“sekarang sudah pukul
11:59 selamat ulang tahun ya sayang aku sengaja mengucapkan ulang tahun
kepadamu satu menit sebelum hari selanjutnya dan mengucapkan ulang tahun untuk
yang pertama lewat bunga yang ada diatas mejamu itu agar aku dapat menjadi
orang yang pertama dan terakhir di dalam hidupmu.” Katanya sambil memelukku dan
memakaikan kalung pada leherku.
“ohh jadi bunga itu kamu yang kasih aku kira
itu Juan yang kasih, makasih ya kamu memang yang terbaik.” Kataku.
“Wih selamat ya Nic,
Chel, sekali lagi selamat ulang tahun ya Chel” katanya. “sekali lagi makasi ya
Clar, aku sayang kamu.” Jawabku sambil menahan air mata.
“oh ya Chel ngomong-ngomong kamu dan Juan itu
ada hubungan apa?” tanyanya kepadaku.
“hmm.. Juan menyatakan
perasaannya kepadaku tetapi aku tidak suka sama dia, awalnya aku ingin mencoba
untuk menyukainya karena aku kira kamu sudah berpacaran dengan Clara, tetapi
entah kenapa aku belum bisa suka dengan dirinya dan aku masi tetap suka
denganmu.” Jawabku.
“ohh jadi begitu..
lalu, bagaimana jika Juan tahu kalau kita sudah berpacaran hari ini?” tanyanya.
“aku yakin dia pasti mengerti, nanti aku akan
jelaskan semuanya kepada dia.” Jawabku.
“baiklah sekarang sudah
pukul 01:00, waktunya kamu istirahat
sekarang jangan sampai kamu telat bangun besok.” Katanya.
“baiklah, aku duluan ya, Dahh!” kataku.
“Dah! Mimpiin aku ya hehehe..” jawabnya sambil
menuju ke rumah.
Sesampainyaku
di kamar aku bersiap-siap untuk tidur dan tiba-tiba saja pandanganku menghadap ke
arah meja rias yang di atasnya ada
sebuah kotak yang diberi oleh Juan tadi pagi di sekolah. Aku pun bergegas untuk
mengambil kotak itu di meja rias. Pada saat aku membuka kotak itu, isinya hanyalah
sebuah buku dan kertas yang berisi “Happy Birthday ya Chel, God Bless You, Wish You All The
Best. Selamat ya, sudah sama Nicholas, sebenarnya
aku sudah tahu semuanya, aku tau kok kamu pasti lebih merasa senang dan nyaman
bersama dengan Nicho daripada denganku. Aku tidak butuh perasaan kamu ke aku
sekarang, aku merelakanmu untuk bersama dengan Nicho asalkan kamu senang dan
hidup bahagia. Aku akan ikut semua kemauanmu. Dan kamu tidak usah pikirkan
perasaanku kepadamu karena aku akan bahagia bila aku melihatmu bahagia. Dan di
buku ini kamu bisa tulis hal apa saja yang setiap hari kamu lakukan agar jika
nanti kamu sudah besar kamu bisa membaca hari-hari masa kecilmu. Jangan
melupakanku ya! Kita kan masih menjadi sahabat hehehe..” Aku masih merasa
senang walaupun Juan tidak memberikan barang yang mahal. Aku sangat bahagia
karena ia memberikan buku yang bisa menjadi sebuah kenangan pada saat aku besar
nanti. Dan sekarang udah malam lebih baik aku tidur daripada nanti aku
terlambat masuk sekolah.
Keesokan
harinya aku berangkat ke sekolah dengan Nicho, sesampainya kita di sekolah, bel
masuk berbunyi sehingga, aku dan Nicho langsung segera masuk ke kelas kita
masing-masing. Pada saat aku memasuki kelas aku bertemu dengan Juan dan aku
datang menghampiri dia.
“hmm Ju makasih ya kadonya dari hari ini aku
akan mulai menulisnya, aku sangat suka sekali dan untuk kertas itu, aku sangat
menghargaimu dan sekarang sampai selamanya kita akan selalu menjadi sahabatku.”
Kataku kepadanya.
“iya Chel.. sama-sama jangan lupain aku ya..” jawabnya.
“iya Ju, aku tidak
mungkin melupakan sahabat sebaikmu.” Jawabku.
Beberapa
bulan kemudian, aku berangkat ke Paris
untuk mengikuti tes pendaftaran beasiswa di
Universitas Designer ternama di Paris. Lalu aku balik lagi ke Jakarta
untuk melanjutkan sekolahku. Beberapa minggu kemudian, aku mendapat surat yang menyatakan
bahwa aku mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Elicy –Universitas
ternama di Paris. Aku merasa senang tetapi ada juga perasaan sedih. Aku senang
karena aku bisa mengembangkan cita-citaku yaitu menjadi seorang designer. Aku
jugamerasa sedih karena harus meninggalkan orang tuaku, pacarku, dan juga sahbata-sahabatku.
Hari
demi hari kulewati, aku semakin dekat dengan Nicho. Aku selalu pergi dan pulang
bersama dia setiap hari. Sampai pada akhirnya, inilah saatnya akhir dari SMA,
aku akan menghabiskan waktu bersamanya sebelum aku berangkat ke Paris. Aku
harap sewaktu aku sudah bersekolah di Paris nanti, hubunganku dengan Nicho masih
seindah seperti sekarang karena, aku sering melihat pasangan lainnya putus
karena LDR, aku tidak ingin bila nantinya hubunganku berakhir seperti itu juga.
Ini
dia hari yang kutunggu-tunggu untuk mewujudkan cita-citaku sejak aku masih kecil.
Nicho yang mengantarkan ku pergi ke bandara Soekarno Hatta pagi-pagi sekali.
Sangat berat untuk meninggalkan Nicho di Jakarta tetapi aku tidak boleh egois,
aku tidak mungkin menyuruh Nicho ikut bersamaku ke Paris karena, bagaimanapun
Nicho juga harus mewujudkan cita-citanya sendiri. Dan untuk terakhir kalinya
sebelum aku berangkat ke Paris, aku berpelukan dengan Nicho.
”Jika ada waktu
senggang aku akan berangkat ke Paris untuk menemuimu.” Kata Nicho kepadaku.
“aku duluan ya, Dahh!”
kataku sambil menahan air mata.
“Dahh sayang! Hati-hati ya, jangan lupa untuk
menghubungiku jika kamu sudah sampai di Paris.” katanya padaku.
“Dah! Sampai jumpa lagi..” kataku sambil
menarik koperku dan berjalan masuk ke dalam bandara.
Beberapa
bulan telah kulewati, aku dan Nicho menjadi sangat jauh tetapi hubungan kita
masih berjalan dengan baik walaupun tidak seindah dulu lagi. Karena perbedaan
jam, jadi kami agak sulit untuk berkomunikasi.
Pada
saat liburan natal, Nicho menyempatkan dirinya untuk berangkat ke Paris. Nicho
menyusul aku ke Paris untuk bisa menghabiskan waktu bersama denganku. Mendengar
kabar itu, aku sangat gembira sekali karena aku sudah sangat rindu dengannya.
Keesokan harinya, hari itu adalah hari dimana Nicho berangkat ke Paris dan aku
sudah tidak sabar menunggu kehadirannya. Jarak dari Jakarta ke Paris
membutuhkan waktu yang agak lama sehingga, Nicho sampai disini keesokan
harinya.
Keesokan
harinya, di pagi hari aku belum mendapat kabar apa-apa dari Nicho. Aku mulai
panik dan perasaanku sudah mulai tidak enak, berulang-ulang kali aku mencoba
untuk menelfonnya tetapi tidak diangkat-angkat aku berpikir bahwa mungkin
karena pesawatnya belum sampai di Paris.
Hari
sudah menjadi siang, aku harus mengerjakan tugas kuliahku di rumah temanku.
Pada saat aku sampai di rumah temanku itu, aku langsung mengerjakan tugasnya
tanpa memegang handphone sama sekali.
Saat aku ingin menggunting kertas, tiba-tiba saja tanganku tergunting dan
tanganku berdarah. Dari situ aku mulai merasa ada yang aneh, tiba-tiba mamanya
Nicho menghubungiku lewat via SMS. Ia menyuruhku untuk segera pulang, tetapi
hari sudah malam maka, aku memutuskan untuk balik ke Jakarta pada besok pagi.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, perasaanku mulai kacau. Hal yang aku lakukan
hanyalah berdoa dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa. Aku pun segera membeli
tiket pesawat untuk balik ke Jakarta untuk besok pagi.
Keesokan
harinya pada pagi hari, aku segera langsung pergi menuju ke bandara untuk balik
ke Jakarta. Belasan jam telah kulewati, sesampainyaku di Jakarta aku segera
memesan taksi dan langsung menuju rumah Nicho. Pada saat aku sampai di rumah
Nicho, aku melihat banyak sekali bendera kuning di rumahnya. “mengapa banyak
sekali bendera kuning disini, memangnya ada apa ya? Apa jangan-jangan…. Ah
tidak, tidak mungkin.” Pikirku dalam hati. “permisi..” kataku sambil menekan
bel rumah Nicho. Mamanya Nicho pun langsung membukakan pintu untukku dan
menyuruhku untuk duduk di ruang tamu. Dan pada saat itulah ia menceritakan
semuanya.
“jadi Chel, Nicho…
kecelakaan pesawat pada saat ia menuju ke Paris untuk menemuimu.” Katanya
padaku sambil menahan tangis.
“Apa?! Itu tidak
mungkin, tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin.” Jawabku sambil menahan
tangis.
“memang susah bagi kamu untuk menerima
kenyataan itu, sama seperti tante, tante sangat sayang kepada Nicho tetapi
tante harus menerimanya bahwa sekarang Nicho sudah tidak ada lagi, ketahuilah
Nicho sangat sayang padamu.” Katanya sambil menangis.
“Ah tidakk! Semua ini
salahku, kalau Nicho tidak pergi untuk menemuiku pasti sekarang ia masih ada.”
Kataku sambil menangis.
“tidak.. tidak.., tidak
ada yang salah, Tuhan berhak mengambil Nicho kapan saja, sudah..sudahh.. kamu
tidak usah menyesal karena menurut tante, itu bukan salahmu.” Katanya sambil
mengelus kepalaku.
Mamanya
Nicho berjalan menuju ke kamar Nicho dan keluar dari kamarnya sambil membawa
satu kotak berukuran sedang.
“oh iya, saat tante
membereskan kamar Nicho, tante melihat kotak ini di bawah kasurnya, mungkin
kotak ini untukmu.” Katanya kepadaku sambil memberikanku kotak itu.
“hmm oke makasi ya tan sekarang aku mau balik
ke rumah dulu untuk bertemu dengan orang tuaku.” Kataku sambil memegang kotak
itu.
“iya.. jangan sedih
lagi ya, kamu harus bisa kuat seperti
tante.” Katanya.
“iya tante, tante juga
ya, aku duluan ya tan! Dah tante!” kataku sambil menuju pintu keluar.
Aku
kembali ke rumah dalam keadaan masih menangis, aku masih tidak percaya bahwa
kini Nicho sudah tiada. Aku menyesal karena kemarin aku tidak segera buru-buru
kembali ke Jakarta untuk melihat kondisi terakhir Nicho. Malam ini merupakan
malam terburuk di seumur hidupku, aku kehilangan pacar yang sangat kusayangi.
Hari sudah mulai malam sebelum aku tidur, aku memutuskan untuk membuka kotak
yang diberi oleh mamanya Nicho tadi siang, saat aku membukanya, tertulis sebuah
kata ‘untuk Chelsea tersayang” Jadi memang benar, kotak ni sebenarnya untukku.
Di kotak itu juga ada sebuah CD yang aku tidak tahu isinya dengan keterangan
“kalau kamu ada waktu diputar ya CD ini” aku pun segera memutar CD itu dan
menontonnya di TV. Kulihat Nicho sedang duduk di sebuah kursi dan memegang
bunga yang besar sedang menyanyikan lagu ‘Sampaikan Sayangku untuk Dia” dengan
memainkan gitar. Aku sudah mulai tidak bisa menahan air mataku saat aku
mendengarkan suaranya yang merdu itu. Setelah ia selesai menyanyi, ada sebuah
kata-kata yang ia ingin ucapkan kepadaku. “jadi lagu ini aku persembahkan untuk
pacarku, Chelsea. Selama kamu di Paris aku selalu rindu denganmu, aku harap
perasaan rinduku ini juga terjadi padamu. Aku hanya mau bilang bahwa aku sangat
sayang padamu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu sampai kapanpun kecuali
kalau memang itu sudah waktuku untuk meninggalkan dirimu. Aku berharap kamu
mengerti perasaan sayangku ini kepadamu. Dari dulu aku tahu kalau kamu sangat
suka sekali dengan bunga yang berwarna merah muda, maka dari itu aku akan
memberikan bunga ini pada saat aku berangkat ke Paris besok. Aku sangat
menyanyangimu Chelsea” vidio yang ada pada CD itu pun mati dan aku tidak bisa
menahan air mataku. Air mataku jatuh dengan sendirinya, aku tidak bisa
menahannya. “aku juga sangat menyayangimu, Nicho.” Kataku dalam hati sambil
mengeluarkan air mata.
Hari
sudah malam, tetapi aku masih belum bisa tidur, aku masih ingin menulis cerita
di buku harian yang di beri oleh Juan pada saat aku ulang tahun dulu. Aku menulis
banyak sekali cerita, cerita itu dimulai pada saat aku ulang tahun hingga
sekarang aku kehilangan Nicho. Aku pun segera menuliskan cerita tentang kisah
cintaku itu di halaman terakhir bukuku. Dan
kisah cintaku berakhir disini, dimana aku menulis cerita tentang pengalaman
kisah cintaku untuk yang terakhir kalinya.
Cinta Dibalik
Jeruji Besi
Oleh Michelle
Kudengar suara tembakan diletuskan di udara. Kulihat darah
berceceran di sekujur tubuhku. Apakah aku tertembak? Namun, kemudian kulihat
tubuh ayah yang sudah tidak bernyawa tergeletak di lantai. Mata yang dulu
sering menatapku dengan kebencian kini seakan menatapku dengan tatapan hampa.
Sekilas terlintas di pikiranku, hari ini aku telah menjadi seorang pembunuh.
Aku berjalan menuju ruang bawah tanah penjara, tempat bagi
orang-orang yang bisa dibilang telah melakukan hal yang tidak dapat diampuni.
Hanya remang-remang cahaya dari lampu tua yang menerangiku sepanjang jalan.
Tempat ini sangat gelap, tidak ada sedikit pun cahaya langit yang dapat
menembus tembok-tembok yang tebal ini. Rasanya mereka seperti ingin memisahkan
kami dari dunia luar. Kami terkesan seperti sebuah ancaman bagi kehidupan semua
orang.
Sembari berjalan, aku merasa para narapidana yang berada di
sini sedang menatapku. Beberapa dari mereka mencibirku dengan kata-kata kasar
sambil tertawa. Aku tidak merasa kesal atau marah sedikitpun. Menurutku memang
wajar bagi mereka untuk melakukannya karena anak se-usiaku tidak seharusnya
berada di sini. Rata-rata narapidana yang berada di sini hanyalah orang-orang
yang sudah tidak memiliki harapan hidup lagi. Tetapi beda halnya dengan ku. Aku
baru berumur 19 tahun. Kehidupanku di dunia ini masih sangat panjang.
Seharusnya aku bisa menggunakan waktuku itu untuk mencapai impian-impianku.
Akan tetapi, aku harus terjebak di sini dan menghabiskan sisa hidupku di sini .
Tiba-tiba petugas yang berada di sebelahku menyuruhku untuk
berhenti. Aku yang tadinya menundukkan kepalaku langsung mengangkatnya
seketika. Di depanku kulihat sel penjara yang terbuka lebar pintunya bersama
dengan dua orang petugas lainnya. Di atas sel tersebut terdapat tulisan ‘No.
47’ yang dicat dengan warna merah.
Petugas tersebut membuka borgol yang berada di tanganku dan
menuntunku untuk masuk ke dalam sel. Ia menutup kembali pintu selnya dan
menguncinya. Kemudian mereka bertiga pergi dan meninggalkanku sendirian di
dalam sini.
Sel ini kecil dan sangat tertutup. Hanya terdapat sebuah
ranjang, wastafel, dan kloset. Cahaya yang ada di dalam hanya berasal dari
sebuah lampu kecil di langit-langit. Di pintu sel terdapat dua buah lubang
kecil berbentuk kotak; yang satu untuk melihat ke arah lorong dan yang satunya
untuk memasukkan piring makanan ke dalam.
Setelah melihat sekeliling, aku memutuskan untuk tidur
sejenak. Ketika aku tertidur, aku bermimpi diriku menjadi seorang anak
laki-laki. Di mimpiku, aku melihat ayah yang sedang menyeretku keluar rumah
sambil memarahiku. Ia membanting pintu rumah dan meninggalkanku sendirian di
luar. Tiba-tiba kulihat ada seorang gadis kecil berambut pirang yang berdiri di
sampingku.
“Apa yang terjadi padamu? Apakah kau baik-baik saja?” tanya
gadis tersebut kepadaku.
“Aku membuatkan roti dengan selai kacang ini untuk ayahku.
Aku tidak tahu kalau ia tidak menyukainya. Ia pun memarahiku dan mengurungku di
luar rumah”
“Ya ampun, kasihan sekali kamu... Boleh aku coba?” tanya nya
dengan wajah berseri-seri.
“Ya, tentu saja!” kataku dengan senang sambil memberinya roti
yang aku buat tadi.
Ia mencicipinya lalu berkata, “Wahhh... Ini enak sekali!”
“Benarkah?” tanyaku dan ia mengangguk sambil tersenyum.
Tok, tok, tok.
Suara ketukan di pintu sel membangunkanku dari mimpiku.
Pikiranku masih terngiang-ngiang dengan mimpiku barusan. Sering sekali aku
bermimpi tentang gadis kecil itu. Anehnya, aku seperti pernah mengalami semua
kejadian yang ada di mimpiku itu.
“Hei, nak! Mengapa melamun saja sejak tadi? Itu makan siangmu
sudah ada di dalam,” suara seorang petugas dari arah pintu sel mengembalikanku
dari lamunan.
Aku berdiri dan melihat sudah ada nampan berisi makanan di
bawah lantai. Aku mengambil nampan tersebut dan membawanya ke ranjang. Nampan
tersebut hanya berisi nasi, ayam goreng, sayur, dan segelas air putih. Paling
tidak makanan di penjara lebih enak dari makanan di rumah. Biasanya ayah hanya
memberiku makanan yang sudah dingin atau bahkan terkadang makanan yang sudah
basi. Ayah... Lagi-lagi kuteringat dengannya. Aku harus melupakannya.
Setelah menyantap makan siang ku, aku menaruhnya di lantai
dan mendorongnya ke luar lewat lubang kecil yang sudah disediakan dibawah pintu
sel. Setelah itu aku pun memutuskan untuk tidur kembali. Hanya dengan cara ini
sajalah aku dapat melupakan ayah dan semua kenangan buruk di masa lalu ku.
Ayah mendorongku sampai aku terjatuh di lantai kamar mandi.
Air mataku terus menetes seperti air terjun sambil mendengar ayah yang tak
kunjung berhenti memaki ku.
“Dasar anak nakal! Lain kali jangan main-main di kamar mandi!
Ayah hampir terpeleset gara-gara kamu,” teriak ayah sambil menatapku dengan
amarah.
Ia melepaskan tali pinggangnya dan mengangkatnya tinggi di
udara. Mengetahui apa yang ia akan lakukan kepadaku, aku langsung meringkuk dan
menghadang wajahku dengan tangan. Ia mengayunkan tali pinggangnya ke arahku
dengan sekuat tenaga. Aku menarik napas dan menggigit bibirku agar aku tidak
berteriak ketika rasa sakit yang menyengat menghantam punggungku dan...
Aku terbangun dan menarik napas lega. Ternyata ini cuma
mimpi... Lagi-lagi aku memimpikan tentangnya. Terkadang aku heran mengapa
banyak orang yang berkata bahwa di dalam mimpi semuanya akan terasa indah. Aku
sendiri justru ingin kabur dari mimpiku karena bayangan tentang ayah seringkali
muncul dan menghantui mimpiku. Setiap kali dirinya terlintas di pikiranku, yang
aku rasakan hanyalah kemarahan dan..... rasa takut. Aku sudah berkali-kali
mencoba untuk menghilangkan rasa takut tersebut, tetapi rasa takut itu seperti
sudah tertanam di dalam lubuk hatiku yang terdalam. Untuk itulah aku tidak tahu
apa yang harus aku rasakan ketika ia sudah tiada. Haruskah aku merasa sedih
seperti yang biasa orang rasakan ketika kehilangan ayahnya, atau haruskah aku
merasa senang karena ketakutan terbesarku sudah pergi meninggalkanku? Entahlah,
aku tidak ingin memikirkan tentang dirinya lagi.
Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan menuju pintu. Ketika
berjalan, aku tidak sengaja menendang nampan berisi makanan yang ada di lantai.
Oh, ternyata sudah waktunya untuk makan malam. Aku duduk di lantai dan mulai
menyantap makanan tersebut. Namun, semua makanannya sudah dingin. Aku pun
kehilangan selera makanku dan memutuskan untuk tidak makan malam. Aku mendorong
kembali nampan tersebut keluar dan duduk di samping ranjang. Aku tidak ingin
tidur karena aku takut bayangan ayah akan datang dan menghantui mimpiku lagi.
Aku menundukkan kepalaku kebawah dan melihat sebuah batu
kecil. Aku pun mendapat sebuah ide untuk mengatasi kejenuhanku. Aku mengambil
batu kecil tersebut dan berjalan menuju tembok yang ada di seberangku. Aku
mulai mengukir beberapa angka di tembok tersebut dimulai dari angka satu sampai
dengan enam puluh dua. Setelah selesai, aku pun mencoret angka satu dengan satu
garis coretan. Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk membuat semua ini.
Namun, yang aku tahu adalah aku mulai merasa lelah dan ngantuk. Akhirnya aku
pun memutuskan untuk tidur.
Aku
menjalani hari-hari ku berikutnya seperti biasa. Kerjaanku hanya makan, tidur,
dan... menanti hari. Awalnya aku merasa senang karena di sini jauh lebih baik
dari rumah. Di sini aku dapat merasa lebih tenang. Aku tidak akan lagi
mendengar makian-makian dari ayah. Aku juga tidak perlu lagi melihat
wanita-wanita yang sering ayah bawa pulang ke rumah. Entah darimana ia mengenal
semua wanita itu. Namun rasa senang itu perlahan-lahan memudar, digantikan
dengan rasa jenuh. Di sini aku hanya seorang diri, tidak ada siapa pun yang
dapat menemaniku. Tidak ada orang yang dapat ku ajak berbicara di sini. Mungkin
jika cerita tentang keseharianku di penjara dijadikan buku, tidak akan ada yang
ingin membacanya karena memang sungguh membosankan.
Tidak
terasa, sudah seminggu sejak aku pertama kali masuk ke sini. Pagi itu, ada
seorang petugas yang datang menghampiri sel penjaraku untuk membangunkanku. Ia
membuka pintu sel penjaraku dan berkata, “Keluarlah dan ikut aku ke atas. Ada
yang ingin bertemu denganmu di ruang interogasi.”
Aku terkejut. Siapa yang ingin menemuiku di saat seperti ini?
Apakah salah satu dari saudaraku? Tidak, tidak. Tidak mungkin. Aku tidak pernah
sekalipun bertemu dengan saudara-saudaraku. Atau mungkinkah temanku dari
sekolah? Tetapi itupun juga tidak mungkin. Tak ada satu pun temanku yang
mengetahui tentang keberadaanku sekarang ini.
Aku keluar dari sel penjaraku dan mengikuti petugas tersebut.
Rasa takutku bercampur dengan rasa gugup dan penasaran. Sembari berjalan, ku
masukkan kedua tanganku ke dalam saku celana agar dapat menghilangkan rasa
gugup. Ketika aku sampai di depan pintu ruang interogasi tersebut, pintunya
sudah terbuka sedikit sehingga aku dapat melihat siapa yang ada di dalam.
Diam-diam aku mengintip ke dalam ruangan dan dapat melihat seorang gadis
perempuan yang sedang duduk sambil memegang secangkir minuman. Dari wajahnya dapat
ditebak bahwa umurnya kira-kira sama denganku. Di sampingnya berdiri seorang
pria bertubuh gemuk yang memakai seragam polisi. Siapakah mereka? Rasanya aku
pernah melihat pria tersebut sebelumnya. Oh iya... Aku baru ingat! Pria
tersebut bekerja sebagai petugas LP di sini. Tetapi... siapakah gadis tersebut?
“Hei, nak! Apa yang sedang kau lakukan? Duduk di sana dan
tunggulah sebentar,” kata seorang petugas sambil menepuk bahu kiri ku.
Aku pun berjalan menuju kursi yang berjejer di seberang ruang
interogasi tersebut. Sewaktu aku berbalik badan dan melangkah secara perlahan,
kudengar suara si petugas LP. Aku berhenti, ingin tahu apa yang dikatakannya
kepada gadis tersebut. Aku tidak dapat mendengar semua yang ia katakan dengan
jelas. Yang kutangkap hanyalah kata hati-hati. Apakah mereka sedang
membicarakan aku?
Selang beberapa detik setelah aku duduk di kursi, petugas LP
tersebut keluar dari ruangan. Ia memanggil seorang petugas dan membisikkan
sesuatu kepadanya. Setelah mendengar apa yang ia katakan, petugas tersebut
langsung berjalan ke arahku dan menuntunku untuk masuk ke dalam ruang
interogasi.
Saat aku masuk ke dalam ruangan, aku dapat menghirup aroma
kopi yang bercampur dengan aroma parfum yang digunakan gadis tersebut. Aku
menarik kursi yang berseberangan dengan gadis tersebut dan duduk. Rasa
penasaranku terhadap dirinya semakin lama semakin bertambah. Petugas yang tadi
menuntunku untuk masuk ke dalam sekarang berdiri di samping gadis tersebut dan
membisikkan sesuatu kepadanya. Kenapa semua orang harus berbisik-bisik? Apakah
mereka sedang menyimpan sesuatu dariku?
“Tidak. Tidak usah. Aku dapat menanganinya. Tenanglah, aku
pasti akan baik-baik saja,” suara lembut gadis tersebut mengisi seluruh ruangan
yang tadinya sunyi senyap.
Petugas tersebut mengangguk dan berjalan keluar. Ia menutup
pintu ruangan dan meninggalkan kami berdua. Kesunyian yang datang menghampiri
membuat suasana di antara kami berdua semakin canggung. Rasanya beberapa jam
telah berlalu sampai akhirnya kudengar gadis tersebut menghela napasnya.
“Baiklah, kita tidak bisa terus diam seperti ini,” kata gadis
tersebut tiba-tiba.
Aku terdiam, tidak berkata suatu kata pun. Aku terus
menatapnya dan memperhatikannya. Semakin lama kumelihatnya, semakin kumerasa
bahwa aku pernah mengenalnya sebelumnya. Gadis ini memiliki rupa yang begitu
cantik. Rambut pirangnya yang panjang dan matanya yang berwarna hitam
kecoklatan berpadu manis dengan kulit sewarna kulit langsat.
“Namaku Clarice, orang biasa memanggilku Clary. Aku berumur
18 tahun. Kau pasti sudah tahu Pak Jefferson, bukan? Dia adalah petugas LP di
sini. Dan ya, ia adalah ayahku. Jadi, hmmm... Siapa namamu?” suara lembut Clary
memecahkan keheningan dalam seketika.
Clary, Clary, Clary. Aku harus mengingat namanya. Namanya
tidak terdengar asing bagiku. Aku berulang-ulang mengucapkan namanya di dalam
hatiku sambil terus mengingat siapa gerangan gadis ini.
“Mengapa kau hanya menatapku saja? Siapa namamu?” kata Clary
sambil menatapku dengan heran.
Aku masih tetap terdiam. Entah mengapa sebagian dari diriku
memutuskan untuk tidak berbicara kepadanya. Padahal sebenarnya aku ingin sekali
berbicara dengannya dan mengenalnya lebih lagi. Mungkin karena sebagian dari
diriku tidak ingin mempunyai teman lagi karena tidak ingin merasakan rasanya
kehilangan ketika hari itu tiba nanti.
“Hei! Apa kau melamun? Aku tadi bertanya siapa namamu.
Mengapa kau diam saja daritadi?” tanya Clary sekali lagi.
“Damian Franco,” jawabku singkat. Ahh... Seharusnya aku
menjawabnya dengan lebih ramah dan lembut lagi.
“Nama yang bagus,” kata Clary sambil tersenyum tanpa
mempermasalahkan jawabanku yang datar tadi.
“Apa nama panggilanmu?” ia bertanya dengan ramah.
“Panggil saja Damie,” jawabku dengan suara yang sangat serak.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku berbicara dengan seseorang sehingga
mulut dan tenggorokkanku semua terasa kering.
“Damie,” ia mengulang nama panggilanku dengan suara pelan.
Setelah beberapa saat, lagi-lagi ruangan ini diisi dengan
kesunyian. Aku menunggu sampai Clary memulai percakapan baru karena aku sungguh
tidak mengetahui cara memulai suatu percakapan dengan baik. Setelah beberapa
menit, aku pun memutuskan untuk memulai percakapan yang baru.
“Untuk apa kau ada di sini?” tanyaku kepadanya.
“Entahlah. Sebenarnya aku datang ke sini untuk mengerjakan
tugas kuliahku agar aku mendapat nilai tambahan. Kebetulan sekali ayahku
berkerja sebagai petugas LP di sini sehingga aku tinggal memintanya untuk
memanggil salah satu dari narapidana yang ada di sini untuk di konseling
olehku.”
“Tetapi dari semua narapidana yang ada di sini, kenapa ayahmu
harus memilih aku?” tanyaku heran.
“Ia bilang karna hanya kau yang seumuran denganku. Lagi pula,
ayah bilang kalau kau tidak memiliki teman bicara di sini. Ia menyuruhku untuk
menjadi teman bicaramu agar kau tidak menjadi stress atau gila. Lalu,
bagaimana denganmu? Mengapa kau bisa berada di sini?” tanya Clary sambil
meneguk kopi yang ada di cangkir miliknya.
“Rahasia. Aku tidak akan memberitahumu mengapa aku bisa
berada di sini sampai kita sudah mengenal satu sama lain lebih jauh lagi.
Tetapi aku berjanji bahwa apapun kesalahan yang telah kuperbuat, aku tidak akan
pernah menyakitimu,” jawabku tenang. Aku tidak ingin ia mengetahui bahwa aku
telah membunuh orang. Aku takut bahwa ia akan menjadi menjauhiku dan tidak akan
menemuiku lagi.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan seorang petugas berkata,
“Nona Clary, waktu mu sudah habis.”
“Ya sudah, baiklah. Aku harus pergi sekarang. Sampai bertemu
besok, Damie!” ujar Clary sambil berjalan keluar ruangan.
Ketika
petugas tersebut membukakan pintu, aku sudah dapat melihat Clary yang sedang
duduk di dalam dengan santai. Ketika ia melihatku, ia langsung tersenyum dan
mengisyaratkanku untuk duduk.
“Jadi, aku berpikir bahwa bagaimana jika kita memiliki
percakapan yang normal saja? Maksudku agar dapat mencairkan suasana supaya
tidak secanggung kemarin,” ujarnya.
Aku mengangguk dan berkata, “Baiklah. Sebelum itu, sebenarnya
ada yang ingin kutanyakan kepadamu. Mengapa kau tidak takut denganku?”
“Untuk apa aku takut?” jawabnya dengan santai.
“Benarkah? Kau tidak takut denganku?” Aku mencondongkan
badanku kedepan dan melingkarkan tanganku di sekitar leher Clary. Ia tidak
berteriak atau apapun. Ia hanya diam dan masih terlihat tenang.
Beberapa saat kemudian kudengar speaker yang berada di
sudut atas ruangan berdegum, “Lepaskan tanganmu darinya, Tuan Damian.”
Aku menyeringai dan mengejeknya, “Aku takjub kau tidak
berteriak sedikitpun.”
Clary tersenyum dan berkata, “Tentu saja. Aku mempercayaimu.
Kau sudah berjanji kemarin bahwa kau tidak akan pernah menyakitiku.”
“Kau.... Kau mempercayaiku?” tanyaku dengan sangat terkejut.
“Ya. Memangnya kenapa?”
“Tidak... Hanya saja belum pernah ada orang yang
mempercayaiku selain ibuku.”
“Benarkah? Tidak apa, jangan khawatir. Tidak semua orang
dapat mempercayai kita. Ingat saja bahwa sekarang ini ada dua orang yang
mempercayaimu,” ujar Clary dengan cenyuman manis di wajahnya.
Aku menatap matanya dan aku tidak dapat melihat sedikitpun
kebohongan yang tersimpan dibalik tatapannya. Lalu, ia memegang tangan kiriku
dan mengelus tanganku menggunakan jempolnya. Ia seperti ingin memastikan bahwa
semuanya akan baik-baik saja.
“Kau tidak tahu apa yang sudah kulakukan, Clary,” bisikku
pelan.
“Memangnya apa yang sudah kau lakukan?” tanya Clary dengan
nada penasaran.
“Waktu kalian sudah habis,” kata seseorang dibalik speaker.
“Baiklah, sampai jumpa besok,” ujar Clary dan aku tersenyum.
Kami berdua berdiri dan bersama-sama berjalan menuju pintu
dimana sudah ada dua petugas yang sedang menunggu. Seorang dari petugas
tersebut menuntunku untuk kembali ke sel milikku. Setelah jalan beberapa
langkah, aku menghentikan langkahku.
Aku membalikkan badanku dan berkata kepada Clary, “Aku takut
bahwa apabila aku memberitahumu, kau akan pergi meninggalkanku dan aku tidak
akan dapat melihatmu lagi.”
Suara
siulan dan suara berisik akibat para narapidana yang saling bersahut-sahutan
membangunkanku dari tidur. Apa yang terjadi? Mengapa pagi-pagi begini mereka
sudah sangat berisik?
Tiba-tiba pintu sel penjaraku terbuka. Aku berusaha melihat
ke arah pintu sel tetapi penglihatanku terhalang oleh lampu senter yang
menyorot tepat ke arah mataku.
“Hei...,” sapa seorang gadis.
Clary?
“Clary? Apa yang sedang kau lakukan pagi-pagi begini? Dan
mengapa kau harus sampai turun ke bawah untuk menemuiku? Seharusnya kau
menunggu di ruang interogasi saja. Di sini berbahaya...,” ujarku cemas.
“Tidak apa-apa, banyak petugas yang menemaniku ke sini tadi.
Lagi pula, aku sudah meminta ijin dari ayah,” kata Clary dengan tenang.
“Oh, syukurlah. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku
sampai kau membela-belakan dirimu untuk datang ke sini?”
“Sebenarnya tidak ada hal yang penting yang ingin kubicarakan
denganmu. Aku hanya ingin menemuimu karena aku senang berbicara denganmu,” ujar
Clary dengan senyuman manisnya.
Entah mengapa hatiku berdegup sangat kencang ketika ia
mengatakannya. Untuk pertama kalinya sejak aku datang ke sini, baru kali ini
aku benar-benar merasakan rasanya kebahagiaan.
“Selama dua hari ini, apa yang kau lakukan setelah melakukan
konseling denganku?” tanya Clary tiba-tiba.
“Tidak ada apa-apa yang menarik. Biasanya aku hanya menunggu
jam makan siangku dan istirahat untuk beberapa saat sampai makan malamku tiba,”
terkadang aku juga memikirkanmu, ujarku dalam hati.
Setelah itu kami berbincang-bincang. Ia memberi tahu aku
sedikit tentang keluarganya. Ia juga memberi tahu ku makanan favoritnya, yaitu
roti dengan selai kacang. Aku terkejut ketika mengetahuinya karena itu juga
merupakan makanan favoritku.
Lalu ia melirik ke arah tembok yang berisi tulisan-tulisan angka
yang telah ku ukir. Ia bertanya kepadaku, “Apa ini?”
Jantungku seperti berhenti berdetak seketika dan aku
menjawabnya dengan cepat, “Tidak, tidak. Bukan apa-apa.”
“Mungkin ini sebagai kalender agar kau dapat menanti sampai
waktunya dimana kau akan dibebaskan ya? Baiklah, aku harus naik ke atas untuk
membantu ayahku yang sedang berada di kantornya,” ujar Clary sambil tersenyum
manis.
“Ya... Sampai bertemu besok, Clary.”
“Atau mungkin lebih tepatnya nanti sore ketika aku merasa
bosan berada di kantor ayahku,” ujar Clary sambil mengedipkan matanya kepadaku.
Sebelum ia keluar, ia menyelipkan sebuah permen karet di saku celanaku dan
berbisik kepadaku, “Ini untukmu agar kapan-kapan kau tidak merasa bosan lagi.”
Sudah
dua minggu sejak pertama kali aku bertemu dengan Clary. Kita sudah sering
berbincang-bincang bersama. Walaupun begitu, aku belum pernah sekalipun
menceritakan tentang ayahku ataupun tentang mengapa aku bisa berada di sini. Ia
juga sering membawakan makanan untukku, terutama roti dengan selai kacang
karena ia tahu aku menyukainya. Aku suka bagaimana Clary memperlakukanku
sebagai manusia biasa, bukan seperti seorang narapidana yang berbahaya.
Clary sering menunjukkan sifatnya yang lemah lembut dan penuh
dengan kasih sayang. Oleh sebab itu, terkadang aku merasa takut. Takut karena
aku menyadari bahwa aku mulai jatuh hati kepadanya sedikit demi sedikit. Yang
membuatku jatuh hati kepadanya bukanlah hanya karena parasnya yang cantik
tetapi bagaimana ia berperilaku di depanku. Seperti bagaimana matanya menatapku
ketika ia sedang berbicara denganku. Entah mengapa setiap kali aku menatap
matanya, aku merasa aman dan tenang. Aku suka ketika aku menangkapnya sedang
menatapku. Aku suka senyumnya yang ia pancarkan setiap kali ia berbicara
denganku. Aku suka bagaimana ia memanggilku Damie. Aku suka cara dia peduli
padaku. Aku suka bagaimana dia bisa membuat aku merasa aman tinggal di dunia
yang katanya penuh dengan bahaya ini. Terkadang aku merasa ia telah
memberikanku kesenangan dan kasih sayang yang telah aku tunggu-tunggu sejak
lama. Berkatnya, aku dapat melupakan segala mimpi buruk hidupku tentang ayah.
Aku seringkali berharap agar sesi konselingku dengannya dapat
berlangsung seharian supaya aku dapat mendengar suara lembutnya selama satu
hari penuh. Terkadang ketika mengingat bahwa ia sebenarnya berada di satu
gedung denganku setiap hari membuatku ingin berteriak. Ingin sekali rasanya ku
tembus seluruh dinding-dinding penjara yang membatasi diriku untuk bertemu
dengan dirinya.
Aku memang sudah mulai jatuh hati kepadanya. Tetapi aku belum
berani mengembangkan perasaan yang kurasakan untuknya. Aku belum berani untuk
merasakan satu kata dengan lima huruf yang mengandung banyak makna itu. Dan aku
rasa aku tidak akan pernah berani. Aku takut jika perasaanku kepadanya sudah
semakin dalam, aku akan kehilangannya. Aku tidak akan sanggup merasakan rasa
kehilangan lagi. Aku melirik ke tembok yang sudah aku ukir dengan angka-angka
waktu itu. Ku ambil batu yang kugunakan waktu itu untuk mencoret angka 41.
Tinggal empat puluh hari lagi, kataku dalam hati.
“Hei...
Mengapa kau menangis?” tanya gadis kecil tersebut.
“Tadi aku sedang bermain dan dengan tidak sengaja pesawat
terbangku masuk ke dalam kamar ayahku. Ia keluar dari kamarnya sambil
marah-marah dan berkata bahwa aku telah mengganggu tidur siangnya,” kataku
sambil menangis.
“Lalu, apa yang ia lakukan?”
“Ia keluar rumah dan membanting pesawat terbangku ini sampai
rusak. Ini merupakan satu-satunya mainan yang aku miliki. Dulu, ibuku
membelikan ini untukku sebagai hadiah ulang tahunku,” tangisku sekarang semakin
menjadi-jadi.
“Sudah, sudah. Tidak apa-apa. Ayo sini ikut denganku!” ujar
si gadis kecil.
“Kemana kau akan membawaku?”
“Ayo, ikut saja denganku!” kata si gadis kecil dengan
bersemangat.
Ternyata, ia membawaku ke sebuah toko mainan. Di sana, ia
membelikanku sebuah pesawat terbang yang mirip dengan punyaku yang sudah rusak.
“Ini, untukmu. Tadi ibuku baru saja memberikanku uang jajan.
Aku tidak tahu akan menggunakannya untuk apa jadi aku gunakan saja uangku itu
untuk membelikan hadiah untukmu. Lagi pula, nanti siang aku akan pindah rumah
ke luar kota. Jadi, anggap saja itu kenang-kenangan dariku untukmu ya...,” ujar
gadis tersebut dengan lembut.
“Wah, kau baik sekali. Terima kasih ya...,”
“Ya, sama-sama. Tetapi, bolehkan aku meminta pesawat
terbangmu yang lama?”
“Boleh-boleh saja. Namun, untuk apa? Itu kan sudah rusak,”
tanyaku bingung.
“Tak apa, itu akan menjadi kenang-kenangan bagiku,”
“Baiklah, ini,” jawabku sambil memberikannya mainan tersebut.
Aku terbangun. Lagi-lagi gadis kecil itu muncul di dalam
mimpiku. Namun, mengapa aku memiliki perasaan bahwa aku pernah melihatnya
sebelumnya di dalam kehidupanku?
Aku
berjalan menuju kantin dengan seorang petugas yang berjaga-jaga di belakangku.
Setiap hari Sabtu dan Minggu, kami para narapidana akan makan siang di kantin
yang telah disediakan di gedung ini. Kantin ini sangat besar sehingga cukup
untuk menampung semua narapidana yang ada di sini. Setelah mengambil makanan,
aku memutuskan untuk mengambil tempat duduk di meja yang masih kosong.
Tiba-tiba, ada seorang pria berbadan besar yang mengambil tempat di sebelahku.
Aku mengenalnya. Ya, namanya Aaron Conte. Aku mengingatnya karena minggu lalu
ia juga duduk di sebelahku.
Di saat aku sedang asyik makan, Aaron bertanya kepadaku,
“Sebenarnya, apa hubunganmu dengan gadis cantik itu?” dan seketika itu juga aku
berhenti makan karena aku tahu yang ia maksud adalah Clary.
“Kami hanya teman,” jawabku singkat. Padahal dalam hati aku
tahu bahwa hubungan kita berdua lebih dari itu.
“Benarkah hanya teman? Untunglah, aku kira ia pacarmu. Aku
ingin menjadikannya sebagai pacarku. Aku ingin memanfaatkannya agar ia juga
sering membawakan makanan untukku. Lumayan kan? Biasa, untuk bahan
bersenang-senang,” katanya sambil senyum-senyum.
Seketika itu juga aku merasa darahku sudah mengalir sampai ke
atas kepalaku. Beraninya ia berkata seperti itu! Ia ingin memanfaatkan Clary
untuk kebaikannya sendiri? Liat saja ini. Dalam sekejap, aku mencekiknya dan
melandaskan berbagai tonjokkan ke seluruh tubuhnya. Ia berusaha melawan dengan
menendang tubuhku dan menonjok wajahku berkali-kali. Aku tidak memikirkan
tentang keselamatan kita berdua lagi. Yang kurasakan sekarang hanyalah amarah.
Seluruh narapidana yang berada di kantin sekarang menjadi rusuh. Para petugas
yang tadinya berjaga di depan penjara sekarang sudah berlari ke arah kami untuk
menghentikan kami. Beberapa menit kemudian, Aaron terjatuh dan terlepas dari
genggamanku.
Aku melihatnya tergeletak di lantai dengan keadaan sudah
tidak bernyawa. Terkadang aku merasa takut dengan diriku. Dari kejauhan,
kumelihat Clary yang sedang lari ke arahku sambil berteriak namaku. Ia berhenti
tepat di depanku dan menatapku dengan tatapan penuh rasa takut. Aku seperti
seekor monster yang sedang mengamuk. Clary tidak akan melihatku seperti dulu
lagi, aku yakin dengan itu.
Aku
terbangun di tempat tidur klinik dan melihat Clary yang sedang duduk di samping
tempat tidurku. Saat ku menggerakkan tubuhku untuk memegang tangannya,
tiba-tiba kurasakan rasa sakit di seluruh bagian tubuhku. Saat itu juga aku
langsung teringat apa yang sudah kulakukan tadi. Aku adalah seorang penjahat.
Aku berbahaya. Aku tidak pantas untuk dapat dekat dengan seseorang yang sangat
berharga seperti Clary. Aku harus menjauhinya.
“Pergilah!” ujarku kepada Clary.
“Apa maksudmu?”
“Pergilah! Menjauhlah dariku! Aku berbahaya!” teriakku kepada
Clary
“Tidak! Aku akan tetap di sini,”
“Mengapa kau tidak bisa mengerti juga? Aku tidak ingin
menyakitimu!” ujarku dengan frustasi.
“Mengapa kau sangat takut untuk menyakitiku?!”
“Karena kau berarti bagiku! Aku menyangimu!” teriakku kepada
Clary.
Dalam sekejap, seluruh ruangan menjadi sunyi. Clary terdiam,
ia seperti sedang mencoba untuk mengerti apa yang sudah aku katakan kepadanya.
Tiba-tiba, Clary berjalan keluar ruangan tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
Ketika ia berjalan keluar, ia tidak sengaja meninggalkan dompetnya di meja yang
ada di samping tempat tidurku.
Seharusnya aku tidak melakukan ini, tetapi karena rasa
penasaranku, aku memutuskan untuk melihat apa yang ada di dalam dompetnya.
Ketika aku membukanya, aku melihat sebuah foto anak perempuan bersama dengan
seorang anak laki-laki. Aku kaget ketika aku menyadari bahwa anak laki-laki
tersebut merupakan diriku ketika aku masih kecil. Namun, gadis kecil tersebut...
Apakah itu Clary?
Aku terus berusaha untuk mengingat siapa gadis tersebut. Jika
itu memang Clary, berarti dulu aku pernah mengenalnya. Tiba-tiba kuteringat
dengan gadis kecil yang sering ada di mimpiku. Ya, gadis kecil itu merupakan
gadis yang sama dengan gadis yang ada di foto ini.
Seluruh ingatan-ingatan tentang masa kecilku menghantam
otakku seketika. Gadis tersebut bukanlah hanya sekedar gadis yang ada di dalam
mimpiku. Ia benar-benar nyata. Mimpiku selama ini tentangnya juga nyata. Ia adalah
orang yang telah membuat masa kecilku menjadi semakin bermakna. Ia telah
mengisi sebagian dari masa kecilku dengan kebahagiaan. Ia telah mengajarkanku
apa arti dari sebuah persahabatan. Rambut pirangnya dan senyuman manis yang ia
pancarkan di foto ini... Benar-benar tidak salah lagi. Clary adalah gadis kecil
itu.
Akhirnya setelah sekian lama berpisah, takdir memutuskan
untuk mempertemukan kita berdua...
Aku
terbangun pada tengah malam ketika mendengar suara langkah kaki yang berada di
lorong. Tiba-tiba, seseorang datang dan membuka pintu sel milikku. Clary. Ia
menutup pintu kembali pintu selnya dan menatapku untuk beberapa detik. Lalu, ia
berlari ke arahku dan memelukku. Ia menangis sejadi-jadinya di bahuku. Apa yang
terjadi padanya?
Setelah tangisnya sudah mulai mereda, aku bertanya kepadanya
apa yang terjadi. Seketika itu juga ia langsung memukul-mukul tubuhku sekuat
tenaganya dan berteriak, “Kau jahat, jahat, jahat!”
“Clary, tenanglah! Kau dapat membangunkan semua orang yang
ada di sini! Apa yang sebenarnya terjadi?” ujarku sambil memeluknya erat-erat.
“Kau jahat! Kau berbohong kepadaku! Kenapa kau menyembunyikan
hal seperti ini daripadaku?!” ujar Clary sambil terus menangis.
Setelah aku mendengar apa yang ia ucapkan, jantungku seakan
berhenti berdetak untuk sesaat. Seluruh tubuhku terasa lemas. Tanpa kusadari,
secara perlahan-lahan aku melepaskan pelukanku. Apakah... Apakah ia sudah
mengetahuinya?
“Apa maksudmu?” tanyaku sambil memegang bahunya dan
menatapnya.
“Jangan pura-pura bodoh! Aku sudah mengetahuinya Damian, aku
sudah tahu. Kau... Kau akan dihukum mati minggu depan,” bisik Clary dengan mata
yang sudah berkaca-kaca.
“Dari mana kau dapat mengetahui tentang hal ini?” bisikku
kaget.
“Ayahku yang memberitahuku tadi malam. Apabila aku tidak
bertanya kepadanya, sampai sekarang aku pasti belum mengetahui tentang hal ini.
Memangnya apa yang telah kau lakukan, Damian?” tanya Clary dengan nada kecewa.
“Sebelum aku menceritakannya kepadamu, berjanjilah bahwa kau
tidak akan menjauh dariku setelah ini.”
“Tentu saja, aku berjanji,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Aku menghela napasku dan mulai menceritakan kisahku
kepadanya, “Waktu itu sehabis pulang sekolah, ada seorang teman yang tiba-tiba
mendatangiku disaat aku sedang berjalan pulang. Ia mengejekku tentang ibu dan
ayahku. Aku marah dan langsung terlibat dalam perkelahian dengannya. Setibanya
aku di rumah, aku melihat ayahku yang sedang bersama dengan seorang wanita yang
tidak ku kenal.”
Clary tersentak dan bertanya, “Lalu, apa yang terjadi?”
“Aku marah. Aku tidak menyangka bahwa ayahku akan bertemu
dengan wanita lain lagi setelah kematian ibuku. Akibat terbawa emosi, aku
langsung mengambil pistol yang ada di dalam laci meja ruang tamu dan
menodongkannya kepada wanita tersebut. Aku tidak berniat untuk menembaknya. Aku
hanya ingin mengancamnya agar ia pergi dari rumahku karena aku sudah sangat
muak melihatnya. Tetapi, ayahku tiba-tiba datang ke arahku dan ingin merebut
pistol tersebut daripadaku. Kami berdua berusaha untuk mendapatkan pistol
tersebut dan sesuatu yang tidak ku inginkan terjadi. Aku tidak sengaja
menembaknya. Beberapa detik kemudian baru kusadari bahwa pistol tersebut
menembus melalui tubuh ayahku dan mengenai wanita yang sedang berdiri tepat di
belakangnya. Keduanya meninggal pada saat itu juga. Entah siapa yang memanggil
polisi tetapi seingatku, beberapa menit setelah kematian mereka, polisi datang
untuk menjemputku. Di pengadilan, para hakim menjatuhiku hukuman mati. Itulah
sebabnya aku tidak pernah ingin memberitahumu tentang hal ini Clary. Aku takut
kau akan menjadi takut denganku. Aku adalah seorang pembunuh Clary. Aku tidak
pantas untuk mengenalmu.”
“Tidak, Damian. Yang terpenting bagiku adalah sekarang kau
telah berubah. Di mataku, kau bukanlah seorang penjahat,” ujar Clary sambil
mengelus pipiku.
Lalu ia melihat ke tembok dan berkata, “Aku merasa sangat
bodoh sekarang. Mengapa aku tidak menyadarinya sejak awal. Sekarang aku baru
menyadari bahwa tujuanmu membuat ukiran di tembok ini bukanlah untuk menghitung
hari sampai kau dibebaskan. Akan tetapi, kau mengukir angka-angka ini untuk
menghitung hari sampai kau akan dihukum mati.”
Aku menunduk dan menganggukkan kepalaku. Kemudian aku
berkata, “Pada awalnya ketika para hakim menjatuhkanku hukuman mati, aku merasa
senang. Sebab pada saat itu, aku seperti sudah tidak memiliki tujuan hidup
lagi. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa. Namun, setelah aku mengenalmu, aku
langsung mengubah pikiranku. Sekarang, aku sudah memiliki tujuan untuk hidup
lagi. Kau. Kau adalah tujuan hidupku. Tetapi sayang, sekarang semuanya sudah
terlambat.”
Clary memegang tanganku dan berkata, “Sudahlah, mari kita
lupakan tentang semua ini. Aku tidak ingin bersedih-sedih dan menunggu sampai
kematianmu datang. Sebaliknya, aku ingin bersenang-senang denganmu untuk
seminggu ini. Setuju?”
Aku menganggukkan kepalaku dan berkata, “Setuju!”
Aku
berhasil menghabiskan satu minggu ini bersama Clary dengan penuh canda tawa.
Sekarang, semua itu akan berakhir karena hari ini adalah harinya. Aku mengambil
batu kecil yang tergeletak di bawah lantai dan mencoret angka 1 yang ada di
tembok. Hukuman matiku akan dilaksanakan nanti pada jam 3 sore.
Clary datang ke dalam sel penjaraku dan duduk di sebelahku.
Kemudian ia bertanya dengan nada sedih, “Sudah siap?”
“Siap untuk apa? Meninggalkanmu? Tentu saja belum. Aku lebih
takut untuk meninggalkanmu daripada menjalani hukuman mati ini,” jawabku.
Clary menatapku dan tersenyum. Untuk sesaat, kami terdiam,
tidak tahu ingin mengatakan apa.
Tiba-tiba, Clary berkata dengan nada pelan, “Aku bingung.
Mengapa kita harus ditakdirkan untuk bertemu bila nantinya kita akan berpisah?
Tidakkah takdir tahu bahwa perpisahan itu menyakitkan?”
“Mungkin agar kita dapat belajar betapa setiap kesempatan
sangat berharga dan betapa waktu sangat bermakna. Jika memang kita ditakdirkan
untuk bersama, aku yakin kita pasti akan dipertemukan dan dipersatukan kembali
di kehidupan yang akan datang,” jawabku pelan.
Seorang
petugas datang menghampiri sel penjaraku dan bertanya, “Apa yang ingin kau
makan untuk makan siang? Ini adalah makanan terakhirmu jadi kau boleh makan apa
saja yang kau inginkan.”
Aku berpikir untuk sejenak dan berkata, “Aku ingin makan roti
dengan isi selai kacang. Namun, aku hanya ingin memakannya jika itu buatan
Clary.”
Clary tersenyum dan berkata dengan senang, “Baiklah, aku akan
dengan senang hati membuatkannya untukmu.”
Ketika Clary berjalan pergi untuk membuatkanku roti, aku
meminta kepada petugas tersebut untuk memberikanku sebuah kertas dan pena.
Kemudian aku menulis di kertas tersebut ‘Aku adalah si lelaki kecil yang dulu
pernah ada di kehidupan masa kecilmu’. Aku ingin Clary untuk membacanya setelah
aku dieksekusi nanti. Aku ingin ia tahu bahwa sebelum kita bertemu di sini,
kita juga pernah bertemu di masa lalu dan membuat berbagai kenangan indah.
Beberapa menit kemudian, Clary datang dan membawakan sebuah
piring yang berisi roti dan juga segelas susu. Kemudian setelah aku
menghabiskan semuanya, aku berlutut di hadapan Clary dan mengeluarkan sebuah
cincin yang telah aku buat kemarin malam menggunakan kawat besi yang ada di
bawah ranjang.
“Maukah kau jadi pacarku untuk 3 jam kedepan? Maaf aku tidak
dapat memberikanmu cincin berlian seperti lelaki lain pada umumnya,” kataku
kepada Clary.
Clary langsung menarikku untuk berdiri dan memelukku.
Kemudian ia berkata, “Tentu saja aku mau, Damian. Kau tidak perlu meminta maaf.
Ini saja sudah lebih dari cukup untukku. Aku menyayangimu.”
Tinggal
tersisa satu jam lagi sebelum hukuman matiku akan dilaksanakan. Aku menggenggam
tangan Clary dan berkata, “Jika aku boleh meminta, aku berharap kau tak
menangis terlalu lama dan jangan memikirkanku terlalu larut ketika aku sudah
tiada nanti. Dan... Jangan rindu.”
“Memangnya kenapa? Aku pasti akan merindukanmu, aku tahu
itu,” ujar Clary.
“Jangan, rindu itu berat, kau tak akan kuat. Biar aku saja
yang merindukanmu di atas sana nanti,” jawabku.
“Tetapi aku sangat takut untuk kehilanganmu.”
“Tak apa. Memang tidak akan ada satupun orang yang terbiasa
dengan kehilangan,” ujarku sambil mengelus rambut Clary.
Beberapa detik kemudian, seorang petugas datang untuk
menjemputku. Ia berkata bahwa aku harus bersiap-siap dulu sebelum menjalani
hukuman mati ini. Aku memeluk Clary untuk yang terakhir kalinya dan memberinya
kertas yang sudah berisi tulisan yang kutulis tadi.
“Ini, untukmu. Jangan dibaca sekarang, bacalah nanti setelah
aku menjalani hukuman mati ini,” ujarku kepadanya. Kemudian aku pergi mengikuti
petugas tersebut.
Aku
berdiri di bawah tali yang nanti akan digunakan untuk menggantung diriku. Dari
atas sini aku dapat melihat Clary yang sedang berdiri di ujung ruangan dengan
raut wajah yang cemas. Jujur, aku merasa takut untuk meninggalkan Clary.
Di dalam ruangan hanya ada Clary dan dua orang petugas.
Seorang dari petugas tersebut datang ke arahku untuk mengikat kedua tanganku.
Kemudian seorang dari yang lain berkata, “Apa kata-kata terakhirmu, Tuan
Damian?”
Sambil menatap Clary aku berkata, “Clary, aku tidak akan bisa
berada di sisimu lagi. Jadi, jaga dirimu baik-baik, ya. Jaga diri dan hatimu
untukku. Aku mencintaimu.”
Aku merasa kaget dengan diriku sendiri. Setelah memendam
perasaan itu untuk beberapa waktu, akhirnya aku dapat mengungkapkannya
kepadanya. Aku selalu takut untuk mengungkapkannya karena aku takut ia tidak
merasa hal yang sama denganku. Namun, aku menyadari bahwa jika engkau sedang
jatuh cinta, kau harus menyiapkan ruang di hatimu untuk sakit hati. Aku tidak
tahu apa yang ia rasakan kepadaku sekarang ini, tetapi hal yang pasti adalah ia
menyayangiku.
Setelah aku selesai berbicara, petugas yang berada di
belakangku langsung menutup kepalaku dengan kain hitam agar aku tidak dapat
melihat apa-apa. Ia melilitkan tali yang tadi berada di atas kepalaku di
sekeliling leherku. Sekarang, aku hanya tinggal menanti sampai waktunya tiba.
Bayangan tentang kenangan-kenangan bersama Clary sekejap
muncul di pikiranku. Masa kecilku bersamanya, waktu aku pertama melihatnya di
ruang interogasi, waktu-waktu yang kuhabiskan bersamanya, dan suara dan
tatapannya ketika ia berkata ia menyayangiku.
Beberapa detik sebelum tali tersebut terangkat ke atas untuk
menggantungku, aku mendengar suara Clary yang berteriak, “Aku juga mencintaimu,
Damian.”
Broken
Home
Oleh Elizabeth
S
|
ederhana. Itulah
satu kata yang menggambarkan kehidupanku. Namaku Maudy. Aku seorang remaja yang
hidup di sebuah keluarga yang penuh kesederhanaan. Rumah seadanya, makan
seadanya, semuanya seadanya. Ditambah lagi dengan kondisi keluargaku yang cukup
memperihatinkan. Ayah dan Ibuku selalu bertengkar setiap hari yang membuatku
harus memasang earphone sambil
menutup muka dengan bantal setiap kali mereka bertengkar. Terkadang aku sempat
berpikir mengapa aku tidak teman-temanku yang lain, sampai suatu saat ada
seorang lelaki yang merubah hidupku 180 derajat.
****
Langit di kota Makassar sangat cerah
hari ini. Aku pulang sekolah seperti biasa dijemput oleh motor kuno ayah.
Namun, yang tidak biasa adalah ayahku tiba-tiba mengajakku pergi makan ke
restoran soto makassar yang sangat terkenal di kotaku. Entah darimana ayah
mendapat uang untuk dapat makan di restoran. "Ayo nak, makan yang
lahap", kata ayah yang kelihatannya sangat gembira pada hari ini. Mungkin
ia baru mendapat ekstra gaji karena berlembur setiap hari. Setelah kami makan,
tiba-tiba ayah mengajakku ke suatu toko elektronik. Sontak aku bingung mengapa
ayah begitu aneh hari ini. Sesampainya di toko elektronik, mataku langsung
tertuju pada handphone blackberry
yang terdapat di lemari kaca. Saat aku sedang melihat-lihat handphone, dengan tiba-tiba ayah menghampriku dan
berkata : "Nak, belilah jika kau mau". Aku terdiam sejenak, lalu ayah
berkata lagi : "Nak, selama ini ayah tidak bisa memenuhi apa yang kamu
inginkan, hanya ini yang dapat ayah berikan." Sontak aku hampir meneteskan
air mata, namun kutahan tangis haruku. Lalu ayah langsung menyerahkan uang
berwarna merah kepada penjual di toko tersebut dan akhirnya akupun mendapatkan handphone yang selama ini aku dambakan.
Sesampainya di rumah, aku langsung
menyembunyikan handphoneku di lemari. Aku takut karena handphone itu ayah dan
ibu bertengkar lagi. Ayah juga sudah membelikan ibu soto makassar agar ibu
tidak marah padanya. Namun, tak lama setelah aku menyembunyikannya aku
mendengar teriakkan ibu yang hampir setiap hari kudengar. Pelan-pelan
kudekatkan telinga mungilku ini ke pintu kamar. Ternyata ibu memarahi ayah
karena ayah mengajakku pergi makan ke restoran. "Tagihan listrik belum
dibayar, bahan makanan juga sudah habis, malah ngajak anak pergi makan diluar,
suami macam apa kamu!".Ya, sifat
ibu yang keras dan pemarah memang selalu tak terkontrol. Apapun yang ayah
lakukan selalu salah dimatanya. Ayah yang sabar dan suka mengalah hanya bisa
diam dan pasrah pada ibu. Aku yang menyaksikan mereka bertengkar hanya dapat
menahan air mata dan berdoa agar mereka akur kembali.
Hari demi haripun kujalani. Amarah
ibu selalu mengisi hari-hariku. Tiada hari tanpa omelan dan ocehan ibuku,
terkadang aku pun sempat bertanya pada diriku sendiri mengapa aku harus
dilahirkan dari ibu yang seperti ini.
Hingga suatu hari, pertengkaran
hebat pun terjadi adalah ayah dan ibuku. "Kamu sudah tidak layak menjadi
suami, kamu tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga kita. Kamu tidak bisa
membuatku bahagia! Lebih baik kamu pergi dari sini! Aku bisa menghidupi diriku
dan Maudy tanpa bantuanmu!". Jantungku serasa ingin copot mendengar
perkataan ibu. Hal terburuk yang selama ini aku takutkan akhirnya terjadi,
perpisahan. Aku masih ingin bersama ayah, tapi aku juga ingin bersama ibu. Lalu
tiba-tiba ayah memasukki kamarku dan berkata : "Nak, ayah harus pergi
karena ini adalah jalan terbaik untuk mengakhiri pertengkaran, kamu baik-baik
ya sama ibu. Oh iya, jaga handphone kamu baik-baik ya, karena itu satu-satunya
pemberian ayah yang berharga". Aku langsung menitikkan air mata dan
memeluk ayah seerat-eratnya. Namun, ibu langsung menarik baju ayah dan menyuruh
ayah cepat-cepat pergi. Rasanya aku ingin mencegah ayah pergi, tapi apa dayaku
yang hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi dalam hidupku.
****
Satu tahun pun sudah berlalu sejak
kepergian ayah. Kini aku sudah tamat sekolah, namun ibu tidak mengizinkanku
untuk bekerja. Ia selalu berkata bahwa ia dapat mencukupi kebutuhanku dan juga
kebutuhannya. Jangankan untuk bekerja, untuk keluar rumah saja ibu tidak
mengizinkanku. Entah alasan apa yang membuat ibu melarangku untuk keluar rumah.
Sekarang rutinitasku di rumah hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah dan main
handphone. Semenjak kepergian ayah, ibu harus bekerja siang malam di sebuah
restoran padang untuk dapat memenuhi kebutuhanku. Aku selalu ditingal sendirian
di rumah dan itu cukup membuatku penat, tapi untungnya aku mempunyai handphone pemberian ayah yang selalu
menemaniku. Setelah membersihkan rumah, aku selalu main twitter untuk
menghilangkan penatku. Aku seringkali mencurahkan perasaan hatiku di twitter
untuk dapat sedikit melegakan hatiku. Tidak jarang ada temanku yang me-retweet
tweetku dan memberiku semangat. Ada 2 temanku yang paling sering me-retweet dan
meng-comment tweetku, namanya kak Ayunda dan kak Christy. Karena penasaran,
akupun meng-stalk profile mereka
berdua. Dari hasil stalk, akupun tahu
bahwa mereka berdua adalah mahasiswi kuliah yang mempunyai banyak kesibukkan,
tidak seperti diriku. Aku semakin penasaan dengan mereka, dan akhirnya aku
memutuskan untuk mengajak mereka berkenalan. Beruntung, mereka mau berkenalan
denganku. Kami bertiga pun akhirnya saling mengenal satu sama lain walau hanya
lewat dunia maya. Dari cara mereka berbicara, aku sudah dapat menilai bahwa
mereka adalah orang terdidik yang memiliki sikap baik.
Suatu hari, kak Christy mengajak
kami untuk bertemu langsung di suatu rumah makan di dekat rumahku. Ia ingin
mengenalku dan juga kak Maudy lebih lanjut. Ingin sekali rasanya aku pergi
menemui mereka, namun ibu pasti tidak mengizinkanku. Satu-satunya cara adalah
dengan pergi diam-diam. Aku harus terpaksa membohongi ibu, aku sudah tidak
tahan tinggal di rumah sepanjang hari tanpa berinteraksi dengan dunia luar.
Hari itu ibu mendapat shift sore, ibu bekerja dari jam 3 sampai jam 8 malam.
Aku yakin aku bisa pulang sebelum ibu pulang. Setelah mengerjakan semua
pekerjaan rumah, aku nekat meninggalkan rumah dan pergi ke rumah makan tersebut
dengan membawa uang seadanya.
Sesampainya di rumah makan, aku
melihat seorang wanita berambut panjang yang kuyakin itu adalah kak Christy.
Kak Christy pun langsung melihatku dan langsung mengajakku untuk duduk bersama.
"Hai, kamu Maudy kan? Ayo duduk jangan malu-malu." Akupun langsung
duduk disampingnya dengan rasa malu-malu. Maklum, aku sudah lama tidak
berinteraksi langsung dengan teman-temanku. Tak lama setelah aku duduk, aku
melihat seorang wanita berkulit putih dan berambut pendek memasukki ruangan.
Ya, itu kak Ayunda. Kak Ayunda pun
langsung menghampiri meja kami dan duduk berhadapan denganku. Merek pun mulai
bercerita tentang kehidupan mereka, sungguh aku iri mendengarnya. Kak Christy
berasal dari keluarga yang cukup mampu dan cukup harmonis, sedangkan kak Ayunda
tinggal bersama dengan bibinya yang begitu sayang padanya. Rasanya aku ingin
menampar diriku sendiri ketika mendengar emreka bercerita. "Maudy,
sekarang giliran kamu yang bercerita tentang kehidupanmu, ujar kak
Ayunda." Akupun sempat terdiam sejenak karena aku malu untuk bercerita
tentang hidupku. Namun, ku paksa diriku untuk dapat bercerita, mulai dari
kondisi ekonomi yang kurang, sifat ayah dan ibuku, sampai perpisahan mereka.
Karena tidak tahan, aku akhirnya meneteskan air mata dihadapan mereka berdua.
Merekapun langsung mengambil tissue dan menyeka air mataku. Mereka memberiku
semangat. "Maudy, ayah dan ibumu pasti sayang kok sama kamu. Mungkin hanya
cara mereka saja yang berbeda dari orang tua lain dalam menyayangimu",
ujar kak Christy. "Iya Maudy, aku yakin kamu adalah anak yang baik dan
taat sama orang tua, mereka juga pasti sayang sama kamu, kamu harus kuat
ya", ujar kak Ayunda. Ibuku bahkan tak pernah berkata bahwa ia sayang
padaku. Akupun mencoba untuk berhenti menangis dan tersenyum pada mereka
berdua. Sungguh aku sangat beruntung dapat bertemu dengan mereka dan dapat menyampaikan
segala keluh kesah dalam diriku.
Tak terasa waktu berlalu begitu
cepat. Sudah saatnya aku pulang. Aku takut ibuku pulang lebih cepat daripada
aku. Akupun berpamitan dengan mereka semua sebelum balik ke rumah. "Maudy,
kalo ada apa-apa jangan ragu untuk cerita ke kita ya", ujar kak Christy
sebelum aku pergi. "Iya kak, pasti", ujarku. Akupun akhirnya balik ke
rumahku dengan mata sembab. Semoga ibu tidak curiga padaku.
Untungnya aku sampai rumah sebelum
ibu sampai rumah. Akupun langsung membaringkan tubuhku ke kasur dan mengecek handphone ku. Tak lama setelah aku
membaringkan tubuhku, ibu tiba-tiba masuk ke kamarku. "Maudy, kenapa kamu
pake celana panjang di rumah?". Aku baru ingat bahwa aku lupa mengganti
bajuku setelah pulang dari rumah makan. Aku pun terpaksa berbohong kepada
ibuku. "Enggak ma, semua celana pendekku lagi dicuci, jadi aku pakai
celana panjang saja", kataku sedikit panik. Untunglah ibu tidak terlihat
curiga padaku. "Kalau begitu siapkan makanan ibu, jangan main handphone mulu ya kamu". Akupun
langsung beranjak dari kasur dan menyiapkan makanan untuk ibuku. Ya, aku sudah
bisa dianggap sebagai pembantu oleh ibuku sendiri.
****
Keesokan harinya, aku bangun lebih
pagi dari biasanya. Akupun langsung mandi dan membereskan rumah seperti
biasanya. Setelah aku membereskan rumah, tiba-tiba hujan deras melanda kota
Makassar. Aku baru ingat bahwa ini sudah bulan November, maka tidak heran jika
hujan deras tiba-tiba melanda kota Makassar. Akupun iseng melihat keluar
jendela. Kulihat banyak anak-anak memegang payung sambil tertawa-tawa. Awalnya
aku heran apa yang mereka lakukan diluar. Tiba-tiba satu diantara mereka teriak
kegirangan saat ada orang yang mengambil payungnya. "Oh, mereka ini
bekerja sebagi ojek payung rupaya", kataku dalam benakku. Sontak aku
berpikir untuk menjadi ojek payung seperti mereka. Tidak perlu modal, hanya
perlu membawa diri dan sebuah payung, aku bisa membantu ibu memenuhi
kebutuhanku. Namun aku teringat akan ibu. Ibu pasti tidak memperbolehkanku
untuk bekerja. Tapi ini adalah perbuatan baik, aku berniat baik membantu ibuku
mencari uang. Keinginanku untuk bekerja lebih kuat daripada larangan ibu.
"Ah, coba nanti aku iseng tanya pada ibu saja, siapa tau dia
memperbolehkanku bekerja".
Akhirnya ibu pun pulang kerja. Aku
pun langsung bertanya kepada ibuku : "Bu, aku kan sudah besar, aku ingin
membantu ibu mencari uang, bolehkah aku bekerja?". Dengan muka marah ibu
pun menjawab :"Tidak! Ibu kan sudah bilang ibu bisa bekerja sendiri, emang
tidak cukup ibu memberimu makan? Dasar anak tidak tahu terima kasih. Pekerjaan
rumah saja kamu belum bisa kerjakan dengan baik, masih mau bekerja".
Akupun terdiam dan langsung berlari ke kamarku. "Apa salahnya aku bekerja?
Aku sudah besar, sudah waktunya aku mandiri", kataku dalam hati. Ibuku
memang sangat keras kepala, namun ia tidak pernah menjelaskan mengapa ia
melarangku untuk bekerja. Ibuku memang tertutup dan sulit untuk diajak diskusi,
tidak seperti ayahku yang terbuka. Keinginanku untuk bekerja menjadi ojek
payung sudah sangat bulat, walau ibu tidak mengizinkanku. Lagipula ojek payung
bukanlah pekerjaan yang pasti, hanya saat hujan saja dan saat ibu tidak berada
dirumah, aku baru dapat keluar rumah. Aku berharap semoga besok hujan deras
melanda kotaku seperti hari ini.
****
Ternyata doaku terkabul. Hujan deras
melanda kota Makassar lagi hari ini. Ku kuatkan tekadku untuk membantu ibuku
mencari uang. Ku ambil payung tuaku dan ku bersihkan dari debu. Ku kunci semua
pintu di rumah agar tidak ada orang yang masuk ke rumahku. Akupun beranjak
keluar rumah dan mencari pelanggan ojek payung. Target pertamaku adalah pusat
perbelanjaan yang berjarak kira-kira setengah kilometer dari rumahku. Dengan
semangat akupun berteriak :"Ojek payung ojek payung". Ternyata
menjadi ojek payung memanglah seru, apalagi jika bersama anak-anak lain yang
berusaha mencari uang juga. Setelah perjuangan berteriak-teriak, akupun
akhirnya mendapat 1 pelanggan. Seketika badanku basah kuyup, dengan begin aku
sudah resmi menjadi ojek payung. Aku mengantarnya sampai ke depan mobilnya, dan
mendapat uang berwarna kuning. Ini adalah uang pertama yang kuhasilkan sendiri.
Aku semakin semangat untuk mencari pelanggan lagi. Tak lama kemudian, ada
seorang ibu yang membawa anak kecil yang ingin menggunakan jasa ojek payungku,
dan kali ini aku mendapatkan uang sebesar 7000. Akupun terus mencari pelanggan
di sekitar pusat perbelanjaan ini. Saat aku tengah asyik mencari pelanggan,
tiba-tiba seorang laki-laki tak sengaja menabrakku dan aku pun terjatuh.
Mungkin ia sedang terburu-buru menuju mobilnya karena hujan sangat deras.
"Eh, maaf ya, saya sedang terburu-buru tadi, jadi gak liat-liat
jalan" ujar lelaki itu. Kemudian lelaki itu berjalan menuju mobilnya. Lelaki
itu bertubuh tinggi, berkulit putih, dan berpakaian sangat rapi. Sebagai
remaja, aku sempat berpikir dalam benakku "ganteng juga ya dia, mirip
dengan mantanku dulu" entah mengapa aku teringat akan mantanku 2 tahun
lalu yang sekarang sudah entah kemana. Namun aku langsung membuyarkan pikiranku
dan pergi ke pinggiran jalan karena hujan yang deras perlahan-lahan sudah
mereda. Tak lama kemudian hujan pun reda sudah saatnya aku kembali kerumah dan
membersihkan badanku sebelum ibu pulang.
Sesampainya di rumah, aku langsung
mandi dan menyiapkan makan malam untuk ibuku. Entah mengapa pikiranku tertuju
kepada lelaki yang menabrakku tadi. Namun aku berusaha untuk melupakannya dan
mulai menyiapkan makan malam untuk aku dan juga ibu. Tak lupa akupun menyimpan
uang hasil kerjaku hari ini ke dalam laciku agar ibu tidak melihatnya. Setelah
aku menyiapkan makan malam, akupun langsung mengambil handphone ku dan ternyata kedua kakakku mencariku. Maklum, biasanya
aku selalu memegang handphone setiap
detik tapi hari ini aku meninggalkannya selama 2 jam. Aku bingung, apakah aku
harus bercerita kepada mereka soal pekerjaan baruku ini, atau aku harus
menyimpan rahasia ini sendirian. Aku pun memutuskan untuk tidak memberi tahu
mereka. Akupun memainkan twitter dan membalas kakak-kakakku sambil membaringkan
tubuhku di kasur setelah berlari sana sini mencari pelanggan. Semoga cuaca
besok mendukungku untuk kembali menjadi ojek payung.
****
Aku tengah asyik tertidur di bawah
selimut, namun tiba-tiba suara teriakkan ibu membangunkanku dari tidur.
"Maudy, kamu belum isi air ya?" tanya ibu. Astaga, aku baru ingat
kemarin aku lupa mengisi air karena terlalu lelah setelah bekerja. Akupun
langsung keluar dari kamar dan meminta maaf pada ibu. "Maaf, maaf. Ibu mau
mandi sekarang, kamu seneng ya kalo ibu terlambat kerja terus dimarahin bos?
Dasar anak malas!". Akupun langsung bergegas naik ke loteng dan mengisi
tank air. Ya, tiada hari tanpa ocehan ibu. Aku tak pernah bisa merasakan suara
ibu yang memanggilku dengan lembut semenjak kepergian ayah. Terkadang aku
merindukan saat-saat dimana ibu memelukku, menciumku, dan membelai rambutku.
Mau gimana lagi. aku harus bisa menerima ibuku apa adanya.
Cuaca di kota Makassar tidak
mendukungku untuk bekerja pada hari ini. Akupun memutuskan untuk diam dirumah
dan memainkan handphoneku. Saat aku
tengah bermain handphone, tiba-tiba
aku teringat dengan sosok lelaki yang kemarin menabrakku. Aku sendiri bingung,
mengapa aku bisa memikirkannya. Padahal dia hanyalah sosok yang tak sengaja
kutemui dan bahkan tak kukenal siapa. Senyumannya kemarin membuatku meleleh.
Aku sudah lama tidak melihat lelaki tersenyum padaku semenjak aku putus dengan
mantanku. Aku berusaha untuk membuyarkan pikiranku, namun tak bisa. Tidak
biasanya aku bisa memikirkan orang yang tak kukenal siapa.
Akupun menulis tweet yang
berhubungan dengan apa yang kupikirkan saat ini. Tak lama setelah ku kirim
tweetku, kak Ayunda mengirim pesan pribadi kepadaku. "Maudy, kamu ada di
rumah tidak? Kakak ingin mampir kerumahmu sambil berbincang-bincang", kata
kak Ayunda lewat pesan pribadi. Awalnya aku sempat minder dengan keadaan
rumahku yang sangat sederhana, aku juga takut tiba-tiba ibu pulang dan melihat
ada orang yang masuk ke dalam rumahku. Namun, aku terlalu kesepian sehingga aku
memperbolehkannya untuk pergi ke rumahku. Aku juga berpikir akan menceritakan
tentang pekerjaan baruku kepadanya.
Tak lama kemudian, aku mendegar
suara motor di depan rumahku, ternyata kak Ayunda sudah sampai. Akupun
mempersilahkan kak Ayunda untuk memasukki rumah mungilku ini. Kami
berbincang-bincang sebentar, kemudian kak Ayunda bertanya : "Maudy, kamu
kemarin kemana? Kok chat kakak lama banget dijawabnya?". Mungkin ini
adalah saat yang tepat untuk menceritakan semuanya kepada kak Ayunda. "Aku
bekerja kak" kataku. "Bekerja? Bukankah ibumu tidak memperbolehkan mu
bekerja?". Akupun menceritakan semuanya kepada kak Ayunda. "Maudy,
kamu memang orang yang luar biasa. Tekad kamu baik kok, kamu ingin membantu
ibumu mencari uang, kakak salut sama kamu" ujar kak Ayunda. Akupun kaget
karena pada awalnya kukira kak Ayunda akan tidak setuju akan apa yang aku
lakukan. Kak Ayunda pun mengingatkan ku untuk selalu berhati-hati, jangan
sampai ibuku mengetahuinya. Akupun merasa lega karena kak Ayunda sudah
mengetahuinya. Di sela-sela perbincangan kami, kak Ayunda pun kembali bertanya
: "kamu lagi naksir orang ya Maudy?". Sontak aku kaget, darimana kak
Ayunda mengetahuinya. "Kakak bisa baca pikiranmu dari tweet yang kamu
kirim tadi, itu mencerminkan kalo kamu lagi suka seseorang" kata kak
Ayunda. Akupun berkata : "Gak kak, perasaan kakak aja kali hehe".
Kemudian kami melanjutkan perbincangan kami sampai jarum jam mengarah ke angka
4. Kak Ayunda pun pamit pulang karena ia harus menyelesaikan tugas kuliahnya,
akupun mengantarnya sampai ke depan gerbang rumah.
Akupun langsung masuk kamar dan
memikirkan kembali apa yang kak Ayunda ucapkan. "Naksir? Apakah aku naksir
lelaki itu? Gak mungkin, aku tak mengenalnya. Lagipula siapa diriku ini,
hanyalah seorang tukang ojek payung berpenampilan seadanya, sangat tidak cocok
dengan lelaki setampan dia" kataku dalam hati. Tapi ingin rasanya bertemu
dengannya 1 kali lagi, tapi kutahu hal itu tidak mungkin terjadi.
****
Keesokan harinya, ibu pergi bekerja
lebih pagi dari biasanya. Itu berarti ibu akan pulang lebih cepat juga. Cuaca
hari ini mendung menuju hujan, yang berarti aku bisa kembali untuk bekerja. Aku
harus pergi lebih pagi juga agar aku bisa pulang sebelum ibu pulang. Hujan pun
akhirnya kembali melanda langit Makassar. Akupun langsung bergegas mengambil
payung dan bekerja. Targetku hari ini adalah ruko-ruko tidak jauh dari pusat
perbelanjaan dekat rumahku. Saat aku tiba di situ, aku langsung mendapat
pelanggan pertama. Uang 2000 pun kudapat. Awalnya aku sempat kaget, namun tidak
apa, aku harus berjuang mencari pelanggan lain. Saat aku tengah berjalan
mencari pelanggan, tiba-tiba ada suara lelaki memanggilku. "Dek, ojek
payung ya". Akupun langsung berbalik badan dan aku melihat sosok lelaki
yang menabrakku 2 hari lalu. Jantungku rasanya ingin copot, mengapa aku bisa
bertemu dengannya lagi? Dia pun juga terlihat kaget saat melihatku. "Kamu
yang waktu itu gak sengaja saya tabrak ya?". Akupun hanya menganggukan
kepala karena malu. "Wah, kita bertemu lagi ya" Akupun lagi lagi
hanya menganggukan kepala karena tak tahu harus menjawab apa. Akupun langsung
menyerahkan payungku padanya karena hujan cukup deras. "Ayok sini, berdua
saja. Masa kamu hujan-hujanan" kata lelaki itu. Akupun sangat kaget,
selama 2 hari aku menjadi ojek payung tidak ada pelanggan yang menawarkanku
berteduh bersama di bawah payung. Akupun langsung berteduh di bawah payung
bersama lelaki itu dan kitapun berjalan. "Nama kamu siapa?" tanyanya.
"Maudy" jawabku dengan gugup. Diapun mengajakku ngobrol sambil
berjalan. Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasa nyaman berada di
dekatnya, tapi aku sadar bahwa aku hanyalah seorang ojek payung yang kebetulan
bertemu dengannya lagi. Aku tidak boleh sampai naksir padanya.
Tak terasa kami sudah sampai di
depan mobilnya, ia pun mengucapkan terima kasih dan menyerahkan uang berwarna
biru padaku. Akupun sempat panik karena aku tidak mempunya kembalian yang
cukup. "Maaf kak, aku gak punya kembalian yang cukup nih" kataku.
Lalu dia berkata : "ini buat kamu aja, gak usah ada kembalian". Lalu
dia masuk ke dalam mobilnya dan kemudian pergi. Sungguh dia adalah orang yang
sangat baik. Dia berbeda, tidak seperti pelanggan lainnya. Kebaikannya yang
ditambah dengan senyum manisnya membuatku meleleh ditengah hujan deras ini.
Jantungku juga tiba-tiba berdetak tak karuan. Akupun mulai tak fokus untuk
bekerja, sehingga aku memutuskan untuk kembali ke rumah.
****
Sesampainya di rumah, akupun
langsung mandi dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Tak lama setelah aku
mandi, ibupun datang. "Mana makan malamnya? Kamu mau ibu mati
kelaparan?" kata ibu. Akupun langsung bergegas menuju dapur dan memanaskan
sedikit makanan untukku dan juga ibu. Tetap, aku tidak bisa melupakan sosok
lelaki tadi. Mengapa aku bisa bertemunya lagi? Apakah ini hanyalah suatu
kebetulan tau.. Ah aku terlalu banyak menghayal, lebih baik aku bereskan
pekerjaan rumahku ini sebelum ibu marah kepadaku lagi. Makananpun akhirnya siap
disantap. Aku dan ibu duduk bersebelahan di meja makan mungil ini. Tiba-tiba,
ibu bertanya padaku : "Maudy, kamu tidak keluar rumah kan". Jantungku
seketika berdetak begitu cepat, namun kutenangkan diriku dan aku terpaksa
berbohong lagi. "Enggak kok, ma" kataku. Ibu pun melanjutkan makan
malamnya dan akupun bertanya dalam hati "mengapa ibu bisa bertanya
demikian? Apakah ada sesuatu yang mencurigakan dari tingkah lakuku?"
Setelah makan, akupun langsung masuk
ke kamarku dan membuka handphoneku.
Ketika aku sedang meng-stalk twitter kak Christy, tiba-tiba kulihat ada lelaki
yang kutemui dalam foto kak Christy. Akupun sontak membanting handphoneku karena kaget. Ternyata
lelaki itu adalah teman kampus kak Christy. Aku merasa bahwa semua ini
sangatlah aneh. Semua ini adalah kebetulan yang sangat tidak disengaja. Akupun
memberanikan diri untuk bertanya kepada kak Christy tentang lelaki yang bahkan
tak kukenal namanya. Kak Christy sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri,
sehingga akupun tidak ragu lagi untuk bertanya. Akupun mengiri pesan pribadi ke
kak Christy. Kak Christy pun langsung membacanya dan bertanya "apakah kamu
kenal dengan orang itu? Akupun menceritakan semuanya kepada kak Christy
bagaimana aku bisa bertemu dengannya. Kak Christy pun kaget karena ia baru tahu
bahwa aku memiliki profesi baru sekarang. Ia berniat memperkenalkanku kepada
lelaki itu, tetapi aku menolaknya karena aku tahu aku bukanlah siapa-siapa.
Namun, karena kenekatan kak Christy, ia pun memperkenalkanku dengan lelaki itu
lewat twitter. Ternyata nama lelaki itu adalah Andy. Berkat kak Christy,
kamipun mengenal satu sama lain dan akhirnya mulai bercerita tentang diri kami
masing-masing. Kata kak Christy, Andy adalah sosok laki-laki yang baik, peduli,
rajin, dan tidak sombong. Akupun semakin tertarik kepadanya. Aku seperti merasa
dalam mimpi, aku tak menyangka kini aku sudah mengenalnya.
****
Tak terasa sudah seminggu aku
mengenal lelaki itu, dan tak terasa juga sudah seminggu aku bekerja sebagai
ojek payung. Kini, aku sudah mulai dekat dengannya. Ia pun mengajakku untuk
bertemu secara langsung pada hari ini di pusat perbelanjaan tempatku mengojek
payung. Kak Christy juga akan ikut bersamaku untuk menemaniku. Kak Christy
membuatku lebih merasa percaya diri dengan aku apa adanya. Akupun langsung
bersiap-siap pergi. Sesampainya disitu, aku langsung melihat kak Christy dan
juga Andy. Aku pun akhirnya berjabat tangan dengan Andy, sungguh jantungku
berdebar kencang. Kak Andy berkata bahwa aku adalah gadis yang tangguh, namun aku
berusaha untuk tidak salah tingkah ketika ia memujiku. Kami bertiga pun masuk
ke pusat perbelanjaan itu, dan kamipun mengobrol disana selama kurang lebih 3
jam. Kini sudah saatnya aku pulang. Akupun pulang dan berpamitan dengan mereka.
"Maudy, aku senang sekali bisa mengenalmu" kata Andy sebelum aku
pergi. Akupun memberikan senyum padanya
dan meninggalkan mereka.
Sesampainnya di rumah, aku seperti
kembali ke hidupku yang sebenarnya. Ibuku ternyata sudah sampai di rumah. Ibuku
sudah menungguku di depan gerbang rumah. Aku sangat kaget, dan tak tahu harus
berbuat apa. Ibuku langsung menamparku dengan keras dan menyeretku masuk ke
rumah. "Jadi selama ini kamu keluar tanpa sepengetahuan mama? Apa yang
kamu lakukan diluar sana? Jangan berbohong kepada mama!" kata ibu dengan
nada yang sangat marah. Akupun dengan terpaksa mengatakan yang sebenarnya
kepada ibuku, mulai dari pekerjaan baruku, teman baruku, sampai dengan lelaki
itu. "Dasar anak kurang ajar kamu! Pergi kamu dari sini!" kata ibu.
Ibu mengusirku pergi. Aku tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat, ibu kemudian
menyeretku keluar rumah dan tidak memberiku sepeser pun uang. Akupun menangis
sekencang-kencangnya menyalahi diriku sendiri dan juga ibuku. Apa yang salah
dari mencari uang? Apa yang salah dari mempunyai teman baru? Aku juga ingin
seperti teman-temanku yang lain yang bisa berinteraksi bebas dengan dunia luar.
Mengapa aku harus dilahirkan dari ibu yang seperti ini? Akupun hanya bisa
menangis di luar rumah dan tak tahu harus pergi kemana.
Tiba-tiba, ada nomor asing yang
menelponku. Ketika aku angkat telfonnya, aku seperti mendegar suara ayah.
"Maudy, apakah itu kamu?" tanya orang yang belum kutahu pasti.
"Ayah, apakah ini ayah?" tanyaku. "Maudy, kamu dimana sekarang?
Mengapa suaramu seperti orang menangis?" tanya ayah. Akupun meminta ayah
untuk menjemputku di rumah dan aku akan menceritakan semuanya kepada ayah. Tak
lama kemudian ayahpun sampai di rumah. "Ayah, kemana saja kau satu tahun
ini? Aku sangat merindukanmu" tanyaku dalam tangis. "Ayah tinggal di
rumah saudara jauh ayah di Manado sayang, sekarang ayo kita pergi dari sini.
Ibumu sudah keterlaluan kepada kamu" kata ayah. Akupun masuk ke dalam
mobil baru ayah dan menceritakan semuanya. Akupun meminta agar aku bisa tinggal
bersama ayah. Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikap ibu padaku. Ayah pun
mengizinkanku untuk tinggal bersamanya sementara.
Sesampainya di rumah ayah yang baru,
aku melihat lagi lelaki yang bernama Andy itu. Ternyata memang bukan sebuah
kebetulan aku bertemu dengannya. Ia ternyata adalah tetangga baru ayahku.
Sungguh aku langsung melupakan masalahku dengan ibuku dan langsung gembira tak
karuan. Ayah juga tak menyangka bahwa aku mengenalnya.
Setelah satu minggu aku tinggal di
rumah ayah, akupun menjadi sangat dekat dengan Andy, dan akhrnya kitapun resmi
berpacaran. Sungguh aku tak menyangka aku dapat berpacaran dengannya. Sifatnya
yang tak sombong dan tak memandang derajat membuatnya menerimaku apa adanya.
Kak Christy dan ayah lah yang membuat kami bisa berpacaran. Terkadang aku
memikirkan, bagaimana nasib ibu di rumah? Apakah ia baik-baik saja? Walaupun ia
sudah mengecewakan hatiku, tapi ia tetap ibuku yanng sudah membesarkanku. Andy
menyaraniku untuk pergi ke rumahku yang lama bersama ayah dan mengakhiri ini
dengan baik, yaitu dengan cara bercerai. Aku dan ayahpun menyetujui usul Andy,
walau pada awalnya ini terasa berat. Tapi perceraian adalah satu-satunya cara
terbaik untuk mengakhiri perpisahan ayah dan ibu secara baikbaik. Kami bertiga
pun pergi ke rumah ibu. Saat kami mengetuk pintu, ibu langsung membukakannya
dan iapun langsung menangis di hadapan kami bertiga. "Maudy, ibu selama
ini sudah berbuat hal yang tidak pantas kepadamu. Maafkan sifat ibu yang
terlalu keras dan terlalu kasar kepadamu. Kamu lebih pantas untuk tinggal bersama
ayahmu, ibu tidak layak untuk mengurusmu" kata ibu dengan isak tangis.
Awalnya aku ingin bertanya apakah ia sebelumnya sudah tahu bahwa aku tinggal
bersama ayah, namun kutahan pertanyaan itu dan langsung memeluk ibuku dengan
erat. "Tidak apa bu, aku tidak pernah membenci ibu, bagaimana pun ibu
tetaplah ibuku" kataku kepada ibu. Ayahku pun juga meminta maaf atas
kesalahan yang ia perbuat dulu, dan ibuku juga meminta maaf. Kamipun memutuskan
untuk pergi ke pengadilan dan menyelesaikan semua ini dengan sah.
****
Hak asuh memang jatuh di tangan
ayah, akupun merasa sangat lega karena bebanku semua sudah berakhir. Sebelum
berpisah dengan ibu, aku memberikan semua hasil kerjaku selama ini kepada ibu.
Ibu pun tak dapat menahan tangisnya dan langsung memelukku dengan erat dan
berkata : "Nak, kamu memang anak yang sungguh baik. Kamu jaga dirimu
baik-baik ya sama ayah, jangan lupa tengok ibu sekali-sekali". Akupun
kemudian memeluk ibu dengan erat. Setelah itu, ibupun berkata pada Andy :
"Andy, jaga Maudy baik-baik. Kamu cocok bersama dengan Maudy, ibu
mendukung kalian". Andy pun tersenyum kepada ibu dan berjanji bahwa ia
akan menjagaku dengan baik. Suasana di pengadilan sangatlah tentram. Akhirnya
semua beban hidupku berakhir detik ini. Kini, aku tinggal bersama ayahku di
rumah barunya dan aku mendapat kehidupan yang lebih layak. Akupun juga menjalin
hubungan yang baik dengan Andy, pacarku. Tuhan memang mempunyai rancangan yang
terbaik, yang terkadang manusia tak dapat menebaknya.
Kebahagiaan
Oleh Marcella
Kebahagiaan
itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sebuah keadaan atau perasaan
senang dan tenteram. Untukku, merasa senang dan tenteram itu sangat sulit.
Kedua orangtuaku meninggalkan aku beserta dunia dan isinya. Warisannya sangat
banyak dan karena aku anak satu-satunya, aku menjadi pewaris satu-satunya.
Walau hartaku lebih dari cukup, aku tidak pernah merasa senang ataupun
tenteram. Hidupku tidak pernah bahagia. Apakah itu kebahagiaan? Masih ku cari
sampai sekarang apa arti kebahagiaan disaat semua orang yang kucintai hilang
satu per satu.
Hari
ini gelap. Aku tertunduk di samping jendela, memperhatikan kumpulan awan di
langit yang seakan mengikuti suasana hatiku. Gelap, dingin, tidak beraturan.
Hujan yang deras pun turun. Bukan dari langit melainkan dari kelopak mataku.
Insiden itu terputar kembali di otakku, mengingatkanku akan orang yang aku
cintai, akan dia yang menjadi sumber bahagia sementaraku. Aku pun serasa
terbawa hanyut emosi ke tempat yang sudah sering aku kunjungi, kenangan yang
pahit sampai terasa getir di lidahku.
Aku
berada di tengah-tengah sebuah taman. Terlihat sebuah bangku taman yang
menghadap ke danau yang memantulkan cahaya matahari senja. Aku menghampiri
bangku taman itu dan duduk, memerhatikan lenggak lenggok daun-daun pada pohon
di sekitarku. Mereka tampak seperti sedang menari, seirama dengan angin yang
bertiup dengan lembut di sekitarku. Taman ini selalu sepi, tidak ada yang
pernah datang ke sini. Orang-orang sekarang sudah penat dengan kesibukannya
masing-masing, tidak ada yang memiliki waktu luang untuk berhenti sejenak dan
melepaskan segala kecemasan masing-masing. Namun itulah yang suka aku lakukan
sejak dulu. Duduk di pinggir danau ini setiap sore dan menceritakan hariku
kepada burung-burung yang berkicau membalasku dan membisikan keluhanku kepada
angin yang tidak pernah menjawab namun selalu mendengarkan dengan tenang.
Namun
pada suatu hari, aku yang biasa datang ke taman itu seorang diri melihat orang
lain sudah duduk terlebih dahulu di bangku ‘kepunyaanku’. Aku menghampiri
bangku taman itu dan berdehem, meminta perhatian orang asing ini. Dan seperti
dugaanku, ia pun menoleh. Parasnya elok, batang hidungnya mancung, bibirnya
melengkung tersenyum, matanya menatap hangat dilengkapi bulu mata panjangnya yang
memberi bayangan di bagian bawah matanya. Tampan.
“Eh
maaf,” ujarnya dan segera berdiri. “Mau duduk disini kan? Nih silahkan, duluan
ya.”
Hal
ini terjadi pada esok harinya. Dan juga esoknya. Dan juga esoknya. Lama
kelamaan, aku yang selalu bertemunya dan dia yang selalu pergi setelah aku
datang menjadi sebuah kebiasaan yang kita jalani. Aku tidak pernah tau namanya
dan itu membuatku penasaran. Pada setiap pertemuan yang kami lalui lidahku
selalu terasa gatal untuk menahannya untuk jangan pergi dan menanyakan namanya,
asalnya, sekolahnya, rumahnya. Semuanya. Pada akhirnya, aku pun diberikan
sebuah kesempatan.
Hari
itu dingin dan matahari tidak nampak. Angin yang biasa hanya berbisik
mendengarkan keluhanku hari ini berteriak kencang meniupkan daun-daun yang
telah gugur. Dia melihatku terlebih dahulu dan tersenyum, sedikit bergeser ke
ujung bangku. Aku menghampirinya dan tersenyum balik, melihatnya tidak beranjak
pergi dari bangku seperti yang ia biasa lakukan. Aku heran dan mulai percakapanku
yang pertama dengannya.
“Eh? Tumben
ga pergi duluan? Hari ini mau hujan kok malah ga pulang?”
“Iya,
habis kasihan nanti kalo cewe sendirian malah kehujanan. Boleh kan ditemenin?”
Tanyanya
dengan senyuman. Senyuman yang manis, senyuman yang masih aku rindukan sampai
saat ini
“Ah
gaperlu repot-repot, pulang aja gapapa kok.”
Namun
bisakah ku menolak sebuah tawaran pada seorang tampan seperti dia?
“Tapi ya
kalo emang beneran mau nemenin ya gapapa juga sih.”
Kau
hanya tersenyum manis sekali lagi dan tetap duduk bersamaku di bangku itu.
Tidak lama kemudian petir menyambar dan guntur berbunyi. Hujan pun mulai turun,
rintik demi rintik. Ia pun dengan spontan berdiri dan menawarkan untuk
mengantarku pulang.
“Aduh
hujan nih, pulang aja ya takutnya makin deres. Rumah lu dimana? Gua anter boleh
ya? Cewe malem-malem ujan-ujan jalan sendiri gitu ga baik.”
“Ah iya,
makasih ya aduh, jadi ngerepotin. Rumahnya diarah sana. Beneran gapapa nih?”
“Iya,
gapapa kok gausa ngerasa gaenak gitu. Yaudah yuk buruan keburu sakit nanti.”
Aku
mengangguk dan mulai berjalan ke rumahku. Rumahku memang tidak jauh dari taman,
hanya butuh 15 hingga 20 menit berjalan. Namun 20 menit kali ini terasa sangat
lama dengan adanya dia di sampingku, menemaniku pulang di sore yang hujan ini.
Sesampainya ku di depan rumah aku bersiap-siap untuk mengucapkan salam
perpisahanku. Tapi dengan apa aku harus memanggilnya?
“Umm,
makasih ya.. umm”
“Aldo.”
“Ah, iya,
makasih ya Aldo. Mau masuk dulu? Gua bisa bikinin teh sambil nunggu hujannya
agak reda.”
“Oh?
Gapapa nih? Ga ngerepotin orang rumah?”
“Gaada
orang dirumah kok, gua tinggal sendiri.”
Ya,
seperti yang kukatakan tadi, aku memang tinggal sebatang kara dirumah yang bisa
dibilang besar ini. Kedua orang tuaku yang telah meninggal dunia, menyisakanku
sendiri dengan segala harta warisan yang mereka tinggalkan. Semua keperluanku
masih diatur oleh adik dari Papa, Om Hayes. Ia sibuk dengan pekerjaannya serta
keluarganya sendiri sehingga ia jarang mengunjungiku. Benar-benar tinggal
sendiri tanpa bantuan orang yang benar-benar peduli. Menyedihkan ya?
“Eh,
lu gapapa? Halo?”
Aku
mulai sadar telah terjebak dalam lamunan dan melihat muka Aldo yang bingung,
mencoba memanggilku untuk menyadari keberadaannya. Setelah kutemukan kembali
suaraku, aku mengajaknya masuk.
“Masuk
dulu deh, ceritanya panjang.”
Aldo
kubuatkan teh saat dia menunggu di ruang tamu sembari ia melihat-lihat
sekelilingnya. Setelah menempatkan cangkir berisi teh beserta gula batu di
meja, aku pun duduk di sofa di sebrang Aldo, menatapinya yang memasukkan 3
bongkah gula. Kebiasaanmu meminum teh dengan 3 bongkah gula yang sampai
sekarang tidak pernah berubah. Aku pun memulai percakapan dengan mengulang
perkenalan kami dari awal.
“Eh kita
aja belom saling kenal nama. Nama lu Aldo kan ya tadi? Kenalin nama gua
Florence Estelle, panggil aja Estelle ato Stelle juga gapapa.”
“Ah
Estelle ya? Bagus juga nama lu. Nama gua sebenernya Ronaldo Felix, tapi ya lu
uda tau juga, panggil aja Aldo.
Jadi lu
beneran tinggal sendiri? Di rumah segede satu kota ini? Gila gila.”
“Haha
biasa aja kali, iya gua tinggal sendiri. Ini semua warisan orangtua. Mereka
udah gaada.” Jawabku dengan senyum tipis yang mungkin terlihat dengan jelas olehnya
bahwa itu senyum yang palsu.
“Eh, sorry, turut berduka Stelle. Udah deh
gausa diomongin lagi.” Jawabnya dengan senyum setengah prihatin. “Eh, ujannya
udah reda. Gua balik dulu deh. Eh tapi bole ga minta nomor lu? Siapa tau perlu
hehe.”
“Nomor telepon
gua? Boleh laah, sini hape lu, gua simpen di kontak langsung aja ya.”
“Ah iya
nih hape gua. Thank you, ya stelle.
Sampe ketemu besok di taman kayak biasa.”
Sapaannya
ini hanya kujawab dengan senyum tipis yang kali ini benar-benar tulus.
Pertemuan dan perkenalan kita terasa berabad-abad yang lalu. Apa yang telah terjadi, Do? Aku tidak
mengerti apa rencana yang Tuhan sediakan bagiku. Kembalilah.
Aku
pun terus bertemu dengan Aldo di taman. Namun setelah hari kita bertemu, ia
selalu mengantarku pulang. Selalu dengan rutinitas yang sama, kita berjalan
bersama untuk hampir 2 bulan. Hari demi hari kita semakin dekat, semakin banyak
hari yang kutempuh dengannya dengan senyuman. Kamu membuatku tersenyum, Do. Aku yang dulu susah melupakan semua
kenangan manis bersama orangtuaku kini belajar membuat kenangan manis yang
baru. Hingga suatu hari, Aldo mengajukan pertanyaan yang pastinya terkesan istimewa
oleh perempuan seumuran denganku.
“Eh
Stelle, lu kapan-kapan boleh ga main kerumah gua? Nyokap gua nanyain soalnya
gua suka kemana kalo sore akhir-akhir ini. Gua bilang aja udah punya temen
baru. Eh dia malah penasaran. Boleh ga Stelle? Dia ngajak makan Sabtu sore,
bareng papa sama ade gua juga.”
Bagi
orang biasa, pertanyaan ini dapat membawakan seribu senyuman untuknya, ‘diajak
makan keluarganya si lelaki tampan’. Tapi tidak bagiku. Sepertinya aku belum
bisa menerima fakta bahwa aku hidup sebatang kara tanpa keluarga. Mataku
langsung dibanjiri air mata sedetik setelah ucapannya itu sampai ke telingaku.
Aku takut aku tidak sanggup dan akan menangis di tengah-tengah makan malam
keluarga yang seharusnya menjadi acara kebersamaan. Aku berusaha sekuat tenaga
menahan untuk tidak menjatuhkan air mata dari mataku yang sebenarnya sudah penuh.
Namun mataku mengkhianatiku dan menjatuhkan beberapa bulir air. Aldo yang
melihat air mataku langsung bingung dan bertanya dengan lembut kepadaku,
berupaya mengetahui sebab dari air mataku.
“Eh, aduh
kenapa Estelle? Jangan nangis, gamau ya makan sama keluarga gue? Gua ga maksa
kok jadi kalo gamau ikut gapapa jangan sampe nangis gitu. Aduh udah, udah.”
“Bukan
itu Do, gua cuma..” kangen sama keluarga
sendiri, ngeliat lu bahagia sama keluarga bikin gua makin kangen. Gaada yang
peduli sama gua Do.
Itu yang
ingin aku sampaikan. Namun suaraku tercekat dan air mata mulai mengkaburkan
pengelihatankku.
“Aduh,
jangan gitu udah sini,”
Aldo
akhirnya menarik pergelangan tanganku dan dia memelukku. Aku secara spontan
menarik nafas tajam, merasakan rasa sakit di pergelangan tanganku. Aku tahu ia
menyadari goresan-goresan bekas luka sayatan di tanganku namun ia
membiarkannya. Aku membiarkan diriku menangis, berada di pelukannya, dalam
lingkaran aman tangannya yang terasa hangat. Kehangatan badannya dan tangannya
yang sangat aku rindukan saat ini. Kapan
kau akan memelukku lagi Do?
Waktu
yang hanya terasa selama beberapa menit di dalam pelukannya itu cukup bagiku
untuk mengetahui bahwa aku merasakan sesuatu berbeda dariku kepadanya. Sesuatu
yang sudah lama tidak kurasakan.
Aldo
tidak pernah mengungkit tentang goresan-goresan di tanganku maupun jawabanku
yang bisa dibilang tidak normal saat diajak makan oleh keluarganya. Seakan-akan
Aldo sudah tahu tentang semua cerita, semua skenario buruk yang sudah aku
lewati, dan dengan sabar menunggu waktu yang tepat untuk aku membuka luka agar
bisa ia obati.
Hari
demi hari kita semakin mengenal satu sama lain dan sekarang aku sudah
mengenalnya selama 5 bulan. Sekarang aku tahu makanan kesukaannya yang adalah nasi
gulung ala-ala Jepang itu hingga hobinya yaitu bermain sepakbola. Sering kuajak
dia makan makanan Jepang itu dan dia mengiyakan, menjemputku dari rumah dan
pergi bersama-sama. Aldo juga sering mengajakku makan makanan kesukaanku yang
bisa dibilang sangat berbeda dengan makanannya. Nasi goreng, beda sekali bukan?
Lama
kelamaan, makan bersama ini menjadi suatu kebiasaan bagi kami. Jika ingin
bertemu dan bukan di taman, salah satu dari kami pasti akan mengajak makan. Selain
itu, kebiasaan makan bersama kami ini ditemani dengan obrolan-obrolan saling
mengenal satu sama lain. Lama kelamaan, aku yang dulunya tertutup dan menjaga
jarak akhirnya mempercayainya dan mulai menceritakan semuanya tentang
keluargaku.
Keluargaku
yang meninggal dalam kecelakaan mobil yang sedang dalam perjalanan menjemputku
dari sekolah. Semua kebaikan yang telah orangtuaku lakukan, setiap kado
ulangtahun, setiap liburan yang dihabiskan dengan canda dan tawa. Aldo benar-benar
mendengarkanku dengan tulus. Ia benar-benar peduli denganku dan mendengarkanku
sepenuh hati, bukan karena kasihan. Aku pun semakin banyak bercerita dan
berkeluh kesah kepadanya, menceritakan pertama kali aku menyayat lenganku
hingga berdarah karena aku merasa tidak berguna bagi siapa-siapa, tidak ada
gunanya aku untuk hidup.
Aldo
mengusap pipiku dan aku terkejut, kembali ke kenyataan. Ia tersenyum kepadaku
dengan senyuman favoritku. Begitu manis di wajahnya sampai-sampai aku tidak
malu saat menyadari bahwa aku meneteskan beberapa air mata saat bercerita. Aldo
tidak mengatakan satu patah kata pun, hanya memandangiku dengan tampangnya yang
membuatku tahu bahwa ia adalah seseorang yang tidak akan meningalkanku. Benar kan Do, lu gaakan ninggalin gua?
Aku
yang dulu adalah seorang perempuan tanpa orang tua dan tidak pernah merasakan
apa itu kebahagiaan, sekarang menjadi seseorang yang akhirnya merasakan apa
artinya memiliki orang lain yang selalu ada untukku. Aldo sekarang telah
menjadi seseorang yang bisa aku panggil menjadi keluarga sendiri. Ia selalu
berada di sisiku dan aku merasakan kembali apa itu bahagia bersamanya. Dalam
kurun waktu satu tahun ini semua masa-masa indah ini sudah kita lewati
bersama-sama. Ia telah mengajakku makan malam bersama keluarganya lagi dan aku
mengiyakan karena aku sudah siap setelah semua isi hatiku kukeluarkan
kepadanya.
Aldo
menerima segala keadaanku beserta luka-luka masa laluku dan akhirnya ia
menyatakan perasaannya kepadaku. Aku menerima perasaannya dan kita pun mulai
berpacaran.
Aku
sekarang sering diajak pergi olehnya dan tidak hanya ke taman kita, melainkan
ke tempat umum lain yang banyak orang kunjungi. Hari demi hari, aku semakin
menempel padanya dan semakin menyukainya. Ia telah menjadi seorang yang
mengubah hidupku perlahan-lahan. Aku tidak pernah menyayat diriku lagi ataupun
melakukan hal-hal lain yang khusus dulu kulakukan untuk menghilangkan rasa sedih
secara sementara. Ia sekarang adalah sumber kebahagiaanku dan aku tidak
merasakan setitik kesedihanku saat bersama dengannya.
Saat
itu sedang terjadi hujan yang besar dengan angin yang dapat meniup segala
sesuatu terbang bermeter-meter jauhnya. Aku tahu ia sedang mengendarai mobilnya
bersama mamanya yang sangat ia cintai. Aku pesankan ‘hati hati’ untuknya
melalui telepon genggam dan berdoa agar ia tidak mengalami suatu tragedi
apapun. Namun sepertinya Tuhan tidak mendengarkan kata-kata ku untuk tidak
melukainya.
Aldo
sudah berada di rumah sakit dan tidak sadarkan diri. Mama dari Aldo mengalami
beberapa patah tulang namun baik-baik saja. Aku kembali merasakan kepedihan, menangis
setiap hari melihat dia yang kukasihi hanya dapat tertidur di ranjang dari hari
demi hari.
Aku
berdoa minta pertolongan Tuhan agar mau menyembuhkan Aldo secepat cepatnya
karena aku sangat rindu dengan senyumannya, tawanya, semuanya tentang dia.
Namun Tuhan sepertinya tidak mendengarkan suara doa ku, tidak mengabulkan
kata-kata di dalam doaku dan berbuat persis sebaliknya. Aldo dinyatakan
meninggal pada pukul 2 dini hari. Aku spontan menangis dan menangis, tidak rela
melepaskan satu-satunya orang pertama yang bisa membuatku bahagia setelah
kehilangan kedua orangtuaku. Tapi apa boleh buat, hal yang mustahil bagiku
untuk dapat mengembalikan waktu. Aku hanya bisa meratap dan menangis. Tidak ada
pekerjaan lain yang aku kerjakan. Menolak makanan, minuman, apapun yang
ditawarkan oleh siapapun.
Hari
ini gelap, Aku kembali tertunduk di samping jendela, memperhatikan kumpulan
awan di langit yang seakan mengikuti suasana hatiku. Gelap, dingin, tidak
beraturan, bimbang, cemas, takut. Hujan yang deras pun turun. Dari langit dan
juga dari kelopak mataku. Insiden hal itu terputar kembali di otakku,
mengingatkanku akan segala kesalahanku, akan segala perbuatanku yang tidak
pernah kusadari. Pesan hati-hati yang kukirim itu ia buka saat mengendarai
mobil. Sesaat ia menangkat kepala dari teleponnya, ia terkejut melihat mobilnya
sudah berada jalur yang salah. Tidak bisa dihindari lagi, maut merenggut
nyawanya. Coba saja aku tidak mengirimkan pesan itu, ia tidak akan membacanya
dan tentunya tidak akan terjadi apa-apa juga.
Aku
tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku telah membuat 2 orang terluka dan
menolong diri sendiri saja tidak bisa. Aku bukanlah diriku yang bahagia tanpa
Aldo. Sekarang aku telah kembali menjadi Aku yang lama, dimana aku kehilangan
semua yang kucintai, semua yang kupedulikan. Aku kembali menyayat lenganku dan
tidak ada orang lain yang melihatnya. Namun kali ini setiap sayatan tidak tersa
seperti aku yang dulu, dimana setiap sayatan meringankan dikit demi sedikit
rasa sedih dan benci akan diri sendiri. Sekarang setiap goresan yang dibuat
malah membuatku semakin mengasihani diri sendiri dan merasa tidak perlu aku
untuk hidup lagi.
Setelah
ia dikebumikan, aku selalu bangun pagi dan mengunjungi tempat makamnya. Setiap
hari aku menangis di batu nisan bertuliskan namanya yang tidak asing terdengar
di telingaku. Aku sudah tidak kuat untuk hidup sendiri lagi tanpa adanya sumber
kebahagiaan. Aku mengambil tali, dan bangku. Mengikat satu ujung tali ke kipas
dan ujung lainnya ke leherku serta naik ke kursi. Aku pun kemudian menendang
kursi itu.
Gelap.
Hanya itu yang ku tahu. Tidak ada apa apa disini juga. Semuanya sama saja
dimana saja. Gelap. Aku rindu kamu Aldo,
kamu telah mengubah diriku dari sebuah gadis yang sendiri yang tidak dapat bergabung
dengan siapapun juga, menjadi seseorang yang dengan mudah dapat bersosialisasi
dengan orang lain. Namun untuk apa Do aku sendiri tanpamu? Semua yang kutempuh
ini selalu kutempuh bersamamu dan tidak mungkin aku melewatinya sendiri pula.
Aku sayang kepadamu, Do. Kaulah arti kebahagiaan kucari selama ini. Kaulah
jawaban dari pertanyaanku. Tanpamu aku tidak akan bangkit dari kepedihan
kehilangan yang menenggelamkan. Selamat tinggal semuanya, toh tidak aka
nada yang merindukanku, aku memang tidak berguna di dunia ini. Selamat jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar