Senin, 05 Desember 2016

Buku Kumpulan Cerpen Kompas : Laki-laki Tanpa Celana karya Joko Pinurbo dan S A I A karya Djenar Maesa Ayu



Menyimpulkan Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dari Dua Cerpen yang Dibaca 
oleh Sharon Erica 9A

1. Laki-laki Tanpa Celana karya Joko Pinurbo
      A. Unsur Intrinsik
                  A. 1. Tema                  : ­Pengalaman Dihantui Membawa Kesuksesan
                  A. 2. Latar                   :
                              A. 2. 1. Waktu
1. Tengah malam.
Bukti Tekstual : Ia sering datang tengah malam ketika saya sudah lelap di pembaringan.
2. Pada malam hari.
  Bukti Tekstual : Malamnya saya bermesra-mesraan dengan demam setelah seharian banyak minum hujan.
3. Pada suatu pagi hari.
Bukti Tekstual :  Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil jalan tunduk sepanjang lorong itu.
                              A. 2. 2. Tempat
1. Di sebuah gang kecil dan lenggang.
   Bukti Tekstual : Di sebuah gang kecil dan lenggang saya berpapasan dengan seorang perempuan muda, wajahnya milik trauma.
2. Di tempat acara buku “Laki-laki Tanpa Celana”.
Bukti Tekstual : Ketika tiba di tempat acara, saya lihat ia sedang dikerubungi anak-anak Twitter.
3. Di tengah kerumunan demonstran.
Bukti Tekstual : Saya melihatnya di tengah kerumunan demonstran sedang mengacung-acungkan tangan sambil meneriakkan kata-kata yang tidak bisa saya dengar dengan jelas.
                              A. 2. 3. Suasana
1. Suasana Sedih
Bukti Tekstual : Dan, sebagaimana tersabdakan dalan sajak Sapardi, malam itu saya ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong. Saya ingin malam itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar saya bisa berjalan sendiri sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
2. Suasana Kebingungan.
Bukti Tekstual : Saya hampir tidak percaya melihat Sapardi duduk manis di samping perempuan itu sambil membolak-balik halaman-halaman buku “Laki-laki Tanpa Celana”. Sesekali mereka berdua berbincang akrab sambil ketawa-ketawa, padahal dulu perempuan itu mengaku tidak mengenalnya. Saya tak tahu apakah mereka diam-diam bersekongkol untuk menghancurkan mental saya.
3. Suasana Seram
Bukti Tekstual : Banyak orang heran mengapa saya mau menempati rumah itu. Mereka bilang, rumah itu angker, ada jinnya. Memang setiap orang yang pernah tinggal di situ cuma tahan sebentar, lalu pergi mencari rumah kontrakan lain yang lebih aman. Konon rumah itu ditunggui seorang laki-laki tanpa celana yang suka muncul malam-malam ketika penghuninya terjaga, dan ia paling suka menghadang orang yang sedang pergi ke kamar mandi.
                  A. 3. Sudut Pandang  : Sudut Pandang Orang Pertama
  Bukti Tekstual : Saya yakin, perempuan yang berpapasan dengan saya di   gang kecil dan lengang pagi tadi adalah perempuan dalam sajak Sapardi.
                  A. 4. Penokohan
                           A. 4. 1. Gadis pengarang buku “Laki-laki Tanpa Celana” (lembut,                                              bawel, dan keras kepala).
Bukti Tekstual : Banyak orang heran, bagaimana mungkin perempuan selembut saya (padahal sebenarnya saya agak bawel dan keras kepala) bisa betah dan tenang-tenang saja tinggal di rumah terpencil yang menurut mereka sangat menakutkan.
                              A. 4. 2. Ayah (pemberani)
Bukti Tekstual : Konon ayah saya seorang penyair pemberani meskipun karyanya biasa-biasa saja.
                              A. 4. 3. Gadis pengarang buku “Laki-laki Tanpa Celana” (misterius).
Bukti Tekstual : Saya memutuskan untuk menemui perempuan misterius itu karena ada hal penting yang ingin saya tanyakan.
A. 5. Alur                   : Alur Maju                  
  Alasan               : Dimulai dari gadis yang pergi dari rumah dan mengontrak di rumah yang terkenal angker dan bertemu dengan laki-laki tanpa celana sampai selesainya novel gadis tersebut yang berjudul “Laki-laki Tanpa Celana”.
                  A. 6. Amanat              :
(i). Terkadang, kita harus berani melewati berbagai macam rintangan untuk mendapatkan hasil yang unik dan memuaskan.
(ii). Kita tidak boleh mudah takut atau tergoncangkan imannya akan hantu atau arwah lainnya yang mengganggu kita.
      B. Unsur Ekstrinsik
                  B. 1. Nilai Agama       : Jangan membohong.
Bukti Tekstual    : Sesekali mereka berdua berbincang akrab sambil ketawa-ketawa, padahal dulu perempuan itu mengaku tidak mengenalnya.
                 
                  B. 2. Nilai Moral         : Selalu ucapkan terima kasih kepada orang-orang.
Bukti Tekstual    : Maka, setelah mengucapkan “Terima kasih, Nona”, ia akan segera menghilang.
                 
2. S A I A karya Djenar Maesa Ayu
      A. Unsur Intrinsik
                  A. 1. Tema                  : Hidup Penuh Rintangan.
                  A. 2. Latar                   :
                              A. 2. 1. Waktu
1. Pada malam hari.
Bukti Tekstual : Gulita menyergap kamar. Satu-satunya penerangan di dalam kegelapan itu hanya berasal dari mata saya yang berbinar-binar.
2. Pada saat pulang sekolah.
Bukti Tekstual : Celakanya, ketika saya berada di sebuah tempat dan bersama orang yang salah. Ketika membuka pintu, pemandangan yang pertama kali saya lihat adalah Ibu dan Ayah sedang saling melempar sumpah serapah.
3. Pada saat bermain petak umpet.
Bukti Tekstual : Saat itu terjadi, Ia sudah keburu mengajak saya bermain petak-umpet. Saya terlampau asyik bermain hingga suara teriakan Ayah dan Ibu terdengar tak lebih dari suara klakson kendaraan di jalan raya yang sedang macet. Tak terasa juga tubuh saya yang diseret, lalu digeletakkan di atas karpet.
                              A. 2. 2. Tempat
1. Di sekolah.
Bukti Tekstual : Di sekolah, saya lebih sering menghabiskan waktu di dalam kelas mengerjakan pekerjaan rumah ketimbang bermain bola bekel, kelereng, atau ngobrol di kantin sekolah yang mungil.
2. Di ruang pengadilan.
Bukti Tekstual : Ia duduk dengan tenang di atas kursi pesakitan ruang pengadilan saat Jaksa Penuntut Umum memperlihatkan barang bukti sebuah tongkat pemukul bisbol, seragam sekolah, dan sepasang sepatu yang berlumuran darah.
3. Di rumah.
Bukti Tekstual : Celakanya, saya berada di sebuah tempat dan  bersama orang yang salah. Ketika membuka pintu, pemandangan yang pertama kali saya lihat adalah Ibu dan Ayah sedang saling melempar sumpah serapah.
                              A. 2. 3. Suasana
1. Suasana Malas
Bukti Tekstual : Saya menjadi malas sekali ke sekolah. Tapi saya lebih malas lagi di rumah. Saya malas ketemu Ibu dan Ayah. Setiap bersama, selalu saja mereka saling melempar amarah. Dan kalau pertengkaran mereka tak selesai, selalu saja ada tindakan saya yang dianggap salah.
2. Suasana Menderita
Bukti Tekstual : Tubuh saya beku. Entah siapa yang menempeleng wajah saya terlebih dulu. Entah siapa yang menjambak rambut hingga saya terjungkal setelah itu.
3. Suasana Ketegangan.
Bukti Tekstual : “Kenapa sepatu kamu masih ada di depan pintu?!” Saya membisu. “Kamu lupa taruh lagi di rak sepatu?!” Bibir saya kelu. “Kalau ditanya, jawab!” Mulut saya gagu.
                  A. 3. Sudut Pandang   : Orang Pertama
Bukti Tekstual   : Saya melihat kelebat tubuh Ia berlari sambil memeluk ingatan dan mencari tempat sembunyi.
                  A. 4. Penokohan
                              A. 4. 1. Saya; tokoh utama (orang yang pintar)
Bukti Tekstual : Lagi-lagi, saya mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran Seni, Bahasa, dan Sejarah.
                              A. 4. 2. Ibu (gesit)
Bukti Tekstual : Tapi di dalam pertengkaran separah itu saja, mata Ibu yang lebih gesit dari pesilat tetap bisa melihat kesalahan saya dengan mudah.
                              A. 4. 3. Ayah (keras kepala; suka marah)
Bukti Tekstual : Saya malas ketemu Ibu dan Ayah. Setiap bersama, selalu saja mereka melempar amarah. Dan kalau pertengkaran mereka tak selesai, selalu saja ada tindakan saya yang dianggap salah.
                  A. 5. Alur                    : Alur Maju
Alasan                : Dimulai dari seorang laki-laki yang sedang mencari temannya dan akhirnya menemukannya di televisi, sedang duduk di kursi pesakitan di ruang pengadilan.
                  A. 6. Amanat              :
(i). Sebagai orang tua yang baik, kita harus selalu kompak bukan untuk memarahi anak secara fisik, tetapi kita harus selalu kompak untuk menyelesaikan masalahnya dengan baik, bukan secara fisik yang hanya akan membuat anak kita tersakiti secara fisik dan hati.
(ii). Sebagai anak, kita harus selalu patuh pada perintah orang tua dan kita tidak boleh melanggar perintah orang tua, apabila itu secara tidak sengaja sekalipun.
      B. Unsur Ekstrinsik
                  B. 1. Nilai Agama       : Jangan membunuh.
Bukti Tekstual    : Seorang anak perempuan dituntut hukuman mati karena terbukti secara terencana membunuh kedua orangtuanya saat sedang tidur di depan televisi.
                  B. 2. Nilai Moral         : Jangan menyiksa anaknya terlalu keras.
Bukti Tekstual    : Mereka pun menghukum saya tanpa belas kasihan. Bergantian melemparkan caci makian. Bersamaan melayangkan tamparan demi tamparan. Juga tonjokan.
                 

Buku Kumpulan Cerpen Kompas : Savonete oleh Warih Wisatsana dan Upacara Hoe oleh Guntur Alam



Menyimpulkan Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dari Dua Cerpen yang Dibaca
Oleh Irene Devina Putri 9A

1.      Savonete oleh Warih Wisatsana
A.    Unsur Intrinsik
a.1 Tema: savonette pembawa keberuntungan
a.2 Latar:
      a.2.1 Waktu
·         Malam hari: Suara bujukan itu selalu datang berulang justru ketika aku menunggu kereta hendak pulang ke rumah... Tak jauh dari tempatku makan, ada kios kecil, bertuliskan “terima service arloji”. Segera kudatangi, rupanya hampir tutup... Wajah lelaki itu, membayang samar di bawah lampu yang lebih terfokus pada tangannya, tengah menggenggam sebuah jam.
·         Sore hari: Astaga, kupandangi jam dinding besar di koridor stasiun, pukul enam lebih lima belas menit. Kemudian kuperiksa kembali jam saku milikku dan ternyata masih menunjukkan pukul empat.
·         Malam hari: Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan malam ini juga menemui si tua tukang reparasi arloji... Ruang remang, hanya ada lampu kecil yang menyorot tangannya, kosong tanpa sesuatu.  
     
a.2.2 Tempat
·         Kios kecil service arloji : Tak jauh dari tempatku makan, ada kios kecil, bertulis “terima service arloji”. Segera kudatangi, rupanya hampir tutup.
·         Stasiun kereta: -Suara bujukan itu selalu datang berulang justru ketika aku      menunggu kereta hendak pulang. Astaga, kupandangi jam dinding besar di koridor stasiun, pukul enam lebih lima belas menit.
·         Perusahaan: Kawan-kawanku di kantor pun mengaku keheranan. Kata mereka, aku kini lebih riang dan terbuka, bukan lagi seperti tugu batu, penyendiri. Relasiku bertambah dan capaian kerjaku melampaui target.
a.2.3 Suasana
·      Mengembirakan : Sesungguhnya kuyakin kesuksesanku bukan karena keajaiban atau tuah peruntungan dari savonette itu. Prestasiku kian gemilang, hari-hariku riang.
·      Menegangkan : Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan malam ini juga menemui si tua tukang reparasi arloji. Ingin kuluapkan seluruh emosiku.
·      Mengharukan : Selalu berakhir pada peristiwa yang sama, Ayah direnggut sakit, tak ada sanak keluarga yang sudi menjenguk hingga kematiannya tiba. Kata Ibu, umurku waktu itu baru dua tahun. Tidak menangis, hanya berdiam saja sewaktu orang-orang menghantar ayah ke kuburan. Masih kata Ibu, tak ada kakak, adk, atau keluarga dari Ayah atau Ibu yang turut mengiringi. Terdorong rasa haru pada Ibu, kuputuskan memperbaiki savonette itu.
               a.3 Sudut pandang : orang pertama
               Sebagaimana kebanyakan cerita tentang benda antik, tak sengaja aku temukan jam saku tua savonette. Ketika penutupnya kubuka, engselnya hendak lepas.  
                   a.4 Penokohan
                        a.4.1 Tukang perbaikan jam antik (penggambaran tokoh)
                   Juga seorang lelaki renta, mungkin mendekati 80-an tahun. Wajah lelaki itu membayang samar di bawah lampu yang terfokus pada tangannya, tengah menggenggam sebuah jam.
                   (sabar, lembut)
                   Darahku tersirap naik, seketika kurenggut pakwa savonette dari tangannya. Si tua itu seperti mencoba menahan, wajah kami begitu dekat. Aku tertegun, matanya seperti kosong tanpa cahaya. Sempat terlintas di dalam pikiranku, apakah ia buta.. “Sabar nak, coba lihat sekali lagi jarum jamnya” Nadanya kini lebih lembut.
                  
                        a.4.2 Perempuan yang menaksir tokoh Aku (penggambaran tokoh)
                   Matanya yang hening tenang mengingatkan pada tatapan Ibu yang memandangku berulang sebelum tidur. Rambutnya memang berbeda, Ibuku lurus, ia ikal begelombang. Tapi, sama-sama sebahu dan selalu ada scarf  tembus pandang yang membayangi leher jenjangnya.
                        a.4.3 Tokoh Aku (emosional, pemarah)
            Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan malam ini juga menemui si tua tukang reparasi arloji. Ingin kuluapkan seluruh emosiku. ... Darahku tersirap naik, seketika kurenggut paksa savonette dari tangannya.
            (riang, terbuka, pandai berkomunikasi)
            Kawan-kawan di kantor pun mengaku keheranan. Kata mereka, aku kini lebih riang dan terbuka, bukan lagi seperti tugu batu, penyendiri. Relasiku bertambah dan capaian kerjaku melampaui target. 
            Kemana-mana, setiap berjumpa klien, mereka memuji komunikasiku yang optimistis, semangat, serta inspiratif.

                   a.5 Alur : alur maju
                         Alasan: karena peristiwanya terjadi secara runtut, mulai dari tokoh Aku yang menemukan jamnya dan dia menjadi sukses, sampai savonette itu rusak lagi dan menyelamatkan nyawanya dari kecelakaan kereta.  
a.6 Amanat
·         Kesuksesan bukanlah karena keajaiban, tapi kesuksesan adalah buah dari hasil kerja keras dan restu.
·         Benda warisan atau peninggalan dari leluhur haruslah kita jaga dan rawat dengan baik.

B.     Unsur Ekstrinsik
b.1Nilai agama: -
      bukti tekstual: -

b.2 Nilai moral: Kesuksesan diperoleh dari kerja keras dan restu.
bukti tekstual: Sesungguhnya kuyakin kesuksesanku bukan karena keajaiban atau tuah peruntungan dari savonette itu. Itu buah kerja keras, dan tentu restu Ibu.

b.3 Nilai sosial: Janganlah lupa untuk mengucapkan terimakasih kepada orang yang sudah membantu kita.
bukti tekstual: Sungguh aku harus berterima kasih kepada pak tua. Ketiga jarumnya kini seiring sejalan memastikan waktu, tak pernah lambat atau lebih cepat sekalipun.

b.4 Nilai budaya: Adanya pemberian warisan dari leluhur pada keturunannya.
bukti tekstual: Dirundung tanya, pikiranku terbawa ke mana-mana. Bagaimana kisahnya hingga jam itu ada di lemari kami? Seingatku, Ibu tidak sekalipun pernah bercerita tentang jam saku ini. Apakah milik ayah? Warisan dari kakek atau leluhur?










2.      Upacara Hoe oleh Guntur Alam
A.    Unsur Intrinsik
a.1 Tema: Upacara  kematian
a.2 Latar:
      a.2.1 Waktu
·         Malam hari: Papa meninggal kemarin malam, pukul dua belas setelah berjuang melawan kanker usus yang dia derita.
·         Saat kelas tiga SMP: A Feng seakan baru saja mendengar satgu dari sepuluh perintah Tuhan yang diceritakan Joshua saat mereka SMP dulu.
·         Saat upacara kematian Papa: Upacara kematian Papa akan memasuki puncaknya. Meja persembahan sepanjang dua meter sudah dipenuhi hidangan. Di bagian depan meja, kepala babi telah tersedia, pun dengan kepada kambing di meja berikutnya.
      a.2.2 Tempat
·         Kamar mandi: Meningat Joshua membuat A Feng ditarik ke dalam ruang kamar mandi yang gelap, sempit, basah, dan dia yang didera rasa takut serta kedinginan.
·         Ruang tengah: Ruang tengah tempat peti mati Papa diletakkan sudah bersih dari sofa, lemari, dan perabotan rumah tangga lainnya. Asap hio meliuk-liuk mengiringi doa-doa yang dipanjatkan. Isak tangis dan ratapan terus memenuhi ruangan.
·         Kamar: A Feng tergesa pergi, keluar dari pintu kamar, meninggalkan Mei Lan yang nyaris saja jatuh ke lantai kamar. Di depannya, Gina hanya diam dan membuang mua ke arah jendela.
      a.2.3 suasana
·         Asap hio meliuk-liuk, mengiringi doa-doa yang dipanjatkan. Isak tangis dan ratapan terus memenuhi ruangan. Mata A Feng memerah. Dari dulu ia benci dengan ratapan di dekat peti mati, baginya kematian adalah awal sebuah kehidupan baru. (mengharukan)
·         “Anak gila kau! Anak gila!” Papa berteriak seperti kesetanan, lalu lecutan ikat pinggang mendarat ke punggungnya yang putih tanpa baju. Dia tersungkur di lantai. Meringis. Menahan rasa sakit. (menegangkan)
·         Entahlah, Mei Lan masih saja didera cemas dan ketakutan. Dia merasa keputusan yang telah mereka ambil sangatlah buruk. Bayangan karma feng shui buruk menghantui pikiranya. Juga ratapan Papa dari alam akhirat. (cemas dan ketakutan)
               a.3 Sudut pandang : Sudut pandang campuran
     “Aku menunda kepergian ke Belanda bersama Joshua untuk memenuhi keinginan Papa. Kurasa pengorbananku lebih banyak darimu,” A Feng membuang wajah. Dari dulu, antara dia dan Gina memang jarang akur.

a.4 Penokohan
                        a.4.1 Papa (tegas, keras)
                        “Anak gila kau! Anak gila!” Papa berteriak seperti kesetanan, lalu lecutan ikat pinggang mendarat ke punggungnya yang putih tanpa baju. Dia tersungkur di lantai. Meringis. Menahan rasa sakit.
                        a.4.2 A Feng (suka membantah, keras kepala)
                        “Pokoknya, sebagai anak laki-laki Papa, kamu yang akan membawa hoe di depan peti mati.”
                        “Suruh Gino. Dia anak laki-laki Papa.” A Feng tergesa pergi, keluar dari pintu kamar, meninggalkan Mei Lan yang nyaris saja terjatuh ke lantai kamar.                 
                        a.4.3 Gina (cuek, tomboy)
                        “Baguslah,” Gina menyahut cepat. “Cutiku juga sebentar. Aku harus kembali ke Jakarta.” Mei Lan menghela napas mendengar ucapan Gina. Anak bungsu Papa yang tomboy itu seakan tak peduli. “Pekerjaanku sangat banyak,” tambahnya, tanpa dosa.
                        a.4.4 Mama (tegar)
                        Mama berusaha tersenyum. “Hanya saja Mama minta satu hal, sama seperti keinginan Papa yang tak sempat dia utarakan pada kalian,” Mama menelan ludahnya. “Kalian harus saling menjaga dan tetap berkumpul layaknya keluarga Tionghua lainnya di mana pun kalian berada. Keluarga adalah nomor satu.”
                        Gina memegang foto dan hoe. Beberapa kerabat menatap Mama, tetapi Mama seakan tak melihat tatapan mereka.
                   a.5 Alur : Alur campuran
alasan: karena awal cerita mengisahkan kematian Papa di masa sekarang, kemudian mundur (flashback) ke masa SMP dimana A Feng dihajar Papa dan berakhir pada upacara kematian Papa.
                   a.6 Amanat
·         Setiap orang berhak memilih pilihan hidup masing-masing.
·         Kebersamaan dan keutuhan keluarga adalah nomor satu.







B.     Unsur Ekstrinsik

b.1 Nilai agama: Jika manusia dengan sesama jenis kelamin menjalin hubungan khusus/ menikah, maka itu adalah dosa di hadapan Tuhan.
bukti tekstual: Gina sudah punya pacar. Namanya Riska. Teman kantornya. Gina pernah menceritakan semuanya. Dia bahagia. Aku bahagia dengan pilihan hidupku. Hanya itu. Tak ada yang lain. Urusan dosa, karma dan lainnya itu urusan kami dengan Tuhan.


b.2 Nilai moral: Setiap orang berhak memilih pilihan hidupnya masing-masing.  
bukti tekstual: Setiap orang punya pilihan dlaam hidupnya. Mama yakin Papa setuju dengan keputusan kita.

b.3 Nilai sosial: Kerabat datang melayat di upacara kematian keluarganya.
bukti tekstual: Gina memegang foto dan hoe. Beberapa kerabat menatap Mama, tapi Mama seaka tak melihat tatapan mereka.
b.4 Nilai budaya: Budaya Tionghua mengajarkan kita untuk menghormati dan berbakti kepada orangtua agar tidak menimpakan karma buruk di kehidupan kita, maupun di alam akhirat.
Bukti tekstual: Ini bukan ceramah, tetapi ini tentang budaya kita sebagai orang Tionghua. Kita diwajibkan untuk menghormati dan berbakti kepada orangtua. Dan kau tahu apa artinya itu? Artinya kita harus membuat Papa tenang dan senang. Jangan menimpakan karma buruk dalam hidupmu, dalam keluarga kita, dalam perjalanan Papa ke alam akhirat.