Menyimpulkan
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dari Dua Cerpen yang Dibaca
oleh Sharon Erica 9A
1. Laki-laki
Tanpa Celana karya Joko Pinurbo
A. Unsur Intrinsik
A. 1. Tema : Pengalaman Dihantui Membawa
Kesuksesan
A. 2. Latar :
A. 2. 1. Waktu
1.
Tengah malam.
Bukti
Tekstual : Ia sering datang tengah malam
ketika saya sudah lelap di pembaringan.
2.
Pada malam hari.
Bukti Tekstual : Malamnya saya bermesra-mesraan dengan demam setelah seharian banyak
minum hujan.
3.
Pada suatu pagi hari.
Bukti
Tekstual : Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil jalan tunduk
sepanjang lorong itu.
A. 2. 2. Tempat
1.
Di sebuah gang kecil dan lenggang.
Bukti Tekstual : Di sebuah gang kecil dan lenggang saya berpapasan dengan seorang perempuan
muda, wajahnya milik trauma.
2.
Di tempat acara buku “Laki-laki Tanpa Celana”.
Bukti
Tekstual : Ketika tiba di tempat acara,
saya lihat ia sedang dikerubungi anak-anak Twitter.
3.
Di tengah kerumunan demonstran.
Bukti
Tekstual : Saya melihatnya di tengah
kerumunan demonstran sedang mengacung-acungkan tangan sambil meneriakkan
kata-kata yang tidak bisa saya dengar dengan jelas.
A. 2. 3. Suasana
1.
Suasana Sedih
Bukti
Tekstual : Dan, sebagaimana tersabdakan dalan sajak Sapardi, malam itu saya ingin
sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong. Saya ingin malam itu
hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar saya bisa berjalan sendiri
sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
2.
Suasana Kebingungan.
Bukti
Tekstual : Saya hampir tidak percaya melihat Sapardi duduk manis di samping
perempuan itu sambil membolak-balik halaman-halaman buku “Laki-laki Tanpa
Celana”. Sesekali mereka berdua berbincang akrab sambil ketawa-ketawa, padahal
dulu perempuan itu mengaku tidak mengenalnya. Saya tak tahu apakah mereka
diam-diam bersekongkol untuk menghancurkan mental saya.
3.
Suasana Seram
Bukti
Tekstual : Banyak orang heran mengapa saya mau menempati rumah itu. Mereka
bilang, rumah itu angker, ada jinnya. Memang setiap orang yang pernah tinggal
di situ cuma tahan sebentar, lalu pergi mencari rumah kontrakan lain yang lebih
aman. Konon rumah itu ditunggui seorang laki-laki tanpa celana yang suka muncul
malam-malam ketika penghuninya terjaga, dan ia paling suka menghadang orang
yang sedang pergi ke kamar mandi.
A. 3. Sudut Pandang : Sudut Pandang Orang Pertama
Bukti Tekstual : Saya yakin, perempuan yang
berpapasan dengan saya di gang kecil
dan lengang pagi tadi adalah perempuan dalam sajak Sapardi.
A. 4. Penokohan
A. 4. 1. Gadis pengarang
buku “Laki-laki Tanpa Celana” (lembut, bawel, dan keras kepala).
Bukti
Tekstual : Banyak orang heran, bagaimana mungkin perempuan selembut saya
(padahal sebenarnya saya agak bawel dan keras kepala) bisa betah dan
tenang-tenang saja tinggal di rumah terpencil yang menurut mereka sangat
menakutkan.
A. 4. 2. Ayah
(pemberani)
Bukti
Tekstual : Konon ayah saya seorang penyair pemberani meskipun karyanya
biasa-biasa saja.
A. 4. 3. Gadis
pengarang buku “Laki-laki Tanpa Celana” (misterius).
Bukti
Tekstual : Saya memutuskan untuk menemui perempuan misterius itu karena ada hal
penting yang ingin saya tanyakan.
A.
5. Alur : Alur Maju
Alasan :
Dimulai dari gadis yang pergi dari rumah dan mengontrak di rumah yang terkenal
angker dan bertemu dengan laki-laki tanpa celana sampai selesainya novel gadis
tersebut yang berjudul “Laki-laki Tanpa Celana”.
A. 6. Amanat :
(i).
Terkadang, kita harus berani melewati berbagai macam rintangan untuk
mendapatkan hasil yang unik dan memuaskan.
(ii).
Kita tidak boleh mudah takut atau tergoncangkan imannya akan hantu atau arwah
lainnya yang mengganggu kita.
B. Unsur Ekstrinsik
B. 1. Nilai Agama : Jangan membohong.
Bukti
Tekstual : Sesekali mereka berdua
berbincang akrab sambil ketawa-ketawa, padahal dulu perempuan itu mengaku tidak
mengenalnya.
B. 2. Nilai Moral : Selalu ucapkan terima kasih kepada
orang-orang.
Bukti
Tekstual : Maka, setelah mengucapkan
“Terima kasih, Nona”, ia akan segera menghilang.
2. S A I A karya
Djenar Maesa Ayu
A. Unsur Intrinsik
A. 1. Tema : Hidup Penuh Rintangan.
A. 2. Latar :
A. 2. 1. Waktu
1.
Pada malam hari.
Bukti
Tekstual : Gulita menyergap kamar. Satu-satunya penerangan di dalam kegelapan
itu hanya berasal dari mata saya yang berbinar-binar.
2.
Pada saat pulang sekolah.
Bukti
Tekstual : Celakanya, ketika saya berada di sebuah tempat dan bersama orang
yang salah. Ketika membuka pintu,
pemandangan yang pertama kali saya lihat adalah Ibu dan Ayah sedang saling
melempar sumpah serapah.
3.
Pada saat bermain petak umpet.
Bukti
Tekstual : Saat itu terjadi, Ia sudah keburu mengajak saya bermain petak-umpet.
Saya terlampau asyik bermain hingga suara teriakan Ayah dan Ibu terdengar tak
lebih dari suara klakson kendaraan di jalan raya yang sedang macet. Tak terasa
juga tubuh saya yang diseret, lalu digeletakkan di atas karpet.
A. 2. 2. Tempat
1.
Di sekolah.
Bukti
Tekstual : Di sekolah, saya lebih
sering menghabiskan waktu di dalam kelas mengerjakan pekerjaan rumah ketimbang
bermain bola bekel, kelereng, atau ngobrol di kantin sekolah yang mungil.
2.
Di ruang pengadilan.
Bukti
Tekstual : Ia duduk dengan tenang di
atas kursi pesakitan ruang pengadilan saat Jaksa Penuntut Umum
memperlihatkan barang bukti sebuah tongkat pemukul bisbol, seragam sekolah, dan
sepasang sepatu yang berlumuran darah.
3.
Di rumah.
Bukti
Tekstual : Celakanya, saya berada di sebuah tempat dan bersama orang yang salah. Ketika membuka
pintu, pemandangan yang pertama kali saya lihat adalah Ibu dan Ayah sedang
saling melempar sumpah serapah.
A. 2. 3. Suasana
1. Suasana Malas
Bukti
Tekstual : Saya menjadi malas sekali
ke sekolah. Tapi saya lebih malas lagi di rumah. Saya malas ketemu Ibu dan
Ayah. Setiap bersama, selalu saja mereka saling melempar amarah. Dan kalau
pertengkaran mereka tak selesai, selalu saja ada tindakan saya yang dianggap
salah.
2.
Suasana Menderita
Bukti
Tekstual : Tubuh saya beku. Entah siapa yang menempeleng wajah saya terlebih
dulu. Entah siapa yang menjambak rambut hingga saya terjungkal setelah itu.
3.
Suasana Ketegangan.
Bukti
Tekstual : “Kenapa sepatu kamu masih ada di depan pintu?!” Saya membisu. “Kamu
lupa taruh lagi di rak sepatu?!” Bibir saya kelu. “Kalau ditanya, jawab!” Mulut
saya gagu.
A. 3. Sudut Pandang : Orang Pertama
Bukti
Tekstual : Saya melihat kelebat tubuh Ia berlari sambil memeluk ingatan dan
mencari tempat sembunyi.
A. 4. Penokohan
A. 4. 1. Saya;
tokoh utama (orang yang pintar)
Bukti
Tekstual : Lagi-lagi, saya mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran Seni,
Bahasa, dan Sejarah.
A. 4. 2. Ibu (gesit)
Bukti
Tekstual : Tapi di dalam pertengkaran separah itu saja, mata Ibu yang lebih
gesit dari pesilat tetap bisa melihat kesalahan saya dengan mudah.
A. 4. 3. Ayah (keras
kepala; suka marah)
Bukti
Tekstual : Saya malas ketemu Ibu dan Ayah. Setiap bersama, selalu saja mereka
melempar amarah. Dan kalau pertengkaran mereka tak selesai, selalu saja ada
tindakan saya yang dianggap salah.
A. 5. Alur : Alur Maju
Alasan : Dimulai dari seorang laki-laki
yang sedang mencari temannya dan akhirnya menemukannya di televisi, sedang
duduk di kursi pesakitan di ruang pengadilan.
A. 6. Amanat :
(i).
Sebagai orang tua yang baik, kita harus selalu kompak bukan untuk memarahi anak
secara fisik, tetapi kita harus selalu kompak untuk menyelesaikan masalahnya
dengan baik, bukan secara fisik yang hanya akan membuat anak kita tersakiti
secara fisik dan hati.
(ii).
Sebagai anak, kita harus selalu patuh pada perintah orang tua dan kita tidak
boleh melanggar perintah orang tua, apabila itu secara tidak sengaja sekalipun.
B. Unsur Ekstrinsik
B. 1. Nilai Agama : Jangan membunuh.
Bukti
Tekstual : Seorang anak perempuan
dituntut hukuman mati karena terbukti secara terencana membunuh kedua
orangtuanya saat sedang tidur di depan televisi.
B. 2. Nilai Moral : Jangan menyiksa anaknya terlalu
keras.
Bukti
Tekstual : Mereka pun menghukum saya
tanpa belas kasihan. Bergantian melemparkan caci makian. Bersamaan melayangkan
tamparan demi tamparan. Juga tonjokan.