Senin, 05 Desember 2016

Buku Kumpulan Cerpen Kompas : Kebohongan Itu Manis, Vardhazh oleh Indra Trianggono dan Savonette oleh Warih Wisatsana



Menyimpulkan Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik dari Dua Cerpen yang Dibaca
Oleh Vanessa.A/9A

1.      Kebohongan Itu Manis, Vardhazh oleh Indra Trianggono
a.       Unsur Intrinsik
a.1 Tema: Kebohongan membuat celaka
a.2 Latar: (kasih bukti tekstual)
   a.2.1: waktu
·         “Kekhawatiran itu tetap ada meskipun aku sudah melenyapkan para professional yang terlibat dalam proyek besar sandiwara kematianku. O ya, aku punya ide. Aku akan operasi wajah. Semua sudah siap. Minggu depan kulaksanakan.” (minggu depan)
·         Setiap hari terjadi demonstrasi. (setiap hari)
·         Namun, rakyat tetap yakin bahwa orang yang memimpin Republik Garpallo saat ini tetaplah Vardhazh yang menggantikan Grag-Gaz yang sudah meninggal enam bulan lalu. (enam bulan lalu)
·         “Selama 25 tahun Presiden Grag berkuasa, negara telah dirugikan sebesar   800 milliar dollar!!” teriak anak muda dengan pita merah terbebat di kepala. (25 tahun)
   a.2.2:tempat(3)
·         Kompleks Taman Makam Pahlawan seluas sepuluh hektar itu disulap menjadi arena yang penuh warna.(compels taman makam pahlawan)
·         Vardhazh disertai para pengawal bersenjata lengkap, melaju dengan mobilnya menuju villa di Bukit Sutra. (Bukti Sutra)
·         “Ah itu mirip tukang jual obat di Golden Park. Dan lagi, hidung saya kan sudah mancung.” (Golden Park)
   a.2.3:suasana (3)
·         “Kematian harus dirayakan karena kematian adalah kemenangan mengatasi waktu menuju keabadian , begitu kata Tuan Grag saat beliau selesai menjalani operasi jantung yang ternyata gagal..” ucap Nyonya Zabanthini terisak. (suasana: sedih)
·         Ratusan ribu massa meluberi Grag-Gaz Square. Bendera-bendera berkibar-kibar. Poster-poster menyala-nyala. Mereka menuntut seluruh harta Tuan Grag disita.”Selama 25 tahun Presiden Grag berkuasa, negara telah dirugikan sebesar 800 milliar dollar!!” teriak anak muda dengan pita merah terbebat di kepala.” (suasana: marah,ricuh)
·         Ketegangan yang sempat dirasakan Vardhazh langsung mengendur. Suasana pun cair. Vardhazh mengusap keringat di keningnya dengan tisu basah. (suasana: santai)
a.3 Sudut Pandang: Sudut pandang orang ketiga (Nama-nama tokoh)
·         Kehadiran Vardhazh memecah sunyi tafakur seorang laki-laki gagah yang bersimpuh di atas karpet. Laki-laki itu memberi isyarat melalui pandangan matanya. Vardhazh pun duduk di kursi agak jauh dari posisi laki-laki gagah itu. Beberapa saat kemudian, laki-laki gagah itu beranjak dan menemui dan memeluk Vardhazh erat-erat.
·         Di beberapa tempat ada kemah-kemah yang dijaga perempuan-perempuan cantik yang siap melayani berbagai permintaan makanan dan minuman. Ada juga kemah besar yang memajang seluruh memorabilia sang presiden, misalnya album sejarah yang menggambarkan perjalanan kariernya, sejak ia mahasiswa, terjun di partai politik, jadi tokoh oposisi, jadi ketua partai, dan jadi presiden.
·         Berbagai medi massa cetak dan elektronik mencatat bahwa upacara kematian Tuan Grag adalah upacara paling besar dan sukses dalam sejarah meninggalnya tokoh-tokoh penting negeri Garpallo. Tempat pemakaman telah berubah jadi arena pesta dan bazar. Tercatat sekitar hampir dua juta orang melayat, 500.007 karangan bunga, omzet pedagang kali lima mencapai 600 ribu dollar, dan omzet parkir kendaraan menjadi 200 ribu dollar.
a.4 Penokohan
    a.4.1 Vardhazh
·         (Rendah hati)
“Tuan Grag jangan mengolok-olok saya. Saya tak lebih dari pembantu Tuan…”
·         (Penurut)
Tuan Grag menggeleng. “Aku ingin jadi dirimu. Aku ingin ikut mengendalikan pemerintahan di negara kita. Kamu keberatan?”
Darah Vardhazh berdesir.” Tentu tidak, Tuan..”
·         (Tegas)
"Saya tidak suka anarki! Kepada adik-adik mahasiswa saya pesan, hentikan semua hujatan dan makian jika kalian tidak ingin bobok manis di sel tahanan," ujar Vardhazh.
·         (Setia)
Vardhazh disertai para pengawal bersenjata lengkap, melaju dengan mobilnya menuju vila di Bukit Sutra. Bukit ini sering disebut orang sebagai bukit pengampunan yang dipilih para penguasa untuk istirahat dan merenung.

Kehadiran Vardhazh memecah sunyi tafakur seorang laki-laki gagah yang bersimpuh di atas karpet. Laki-laki itu memberi isyarat melalui pandangan matanya. Vardhazh pun duduk di kursi agak jauh dari posisi laki-laki gagah itu. Beberapa saat kemudian, laki-laki gagah itu beranjak dan menemui dan memeluk Vardhazh erat-erat. "Riil, kamu ini presiden, boy. Kenapa masih gamang? Aku memang sengaja memilihmu untuk menggantikan aku melalui sidang Majelis Tinggi.Oya, apa yang bisa kamu laporkan Vardhazh

"Rakyat percaya bahwa Tuan telah mati. Ya, mereka sangat yakin bahwa Tuan Grag ada di dalam peti mati yang dimaskkan dalam liang lahat dalam pemakaman itu. Sungguh, ini teater paling sempurna dan ajaib."
    a.4.2  Nyonya Zabanthini
·         (cantik)
Istri keempat Tuan Grag, Nyonya Zabanthini yang berusia sekitar 35 tahun dan cantik itu.
    a.4.3 Tuan Grag
·         (sombong/ bangga terhadap diri sendiri)
"Kamu telah melihat sendiri bagaimana aku mementaskan sandiwara kematianku. Aku susun skenarionya sendiri. Aku jadi sutradaranya sekaligus produsernya. Aku rekrut para profesioal dari direktur rumah sakit, dokter-dokter spesialis, pers, ahli rias, dan busana hingga para jenderal dan event organizer," ujar Tuan Grag sambil menuangkan anggur merah di gelas.
·         (Tampan)
Kompleks Taman Makam Pahlawan seluas sepuluh hektar itu disulap menjadi arena yang penuh warna. Terpampang baliho-baliho besar yang memasang wajah tampan Presiden Grag serta berbagai kegiatan sosialnya, foto empat istrinya, 25 anaknya, 25 menantunya, dan puluhan cucunya. Semua foto itu tidak dicetak tapi dilukis oleh belasan maestro.
a.5 Alur : Alur maju
       Alasan: Alurnya selaras dengan waktu atau tidak menceritakan                       peristiwa/kejadian di masa lalu.
 a.6 Amanat (2)
·         Kejujuran harus kita utamakan karena tidak selamanya kebohongan itu manis dan baik
·         Lebih baik berkata jujur karena berbohong akan mencelakakan diri sendiri
                  b. Unsur Ekstrinsik
                       b.1 Nilai Agama: -
                          b.2 Nilai Moral: Kebohongan tidak selamanya baik dan manis, tetapi membawa celaka.
Bukti Tekstual:
"Begitulah yang kuinginkan. Begitulah yang terjadi.Oo ya, aku sangat terkesan dengan pernyataanmu dalam jumpa pers bahwa setiap hari aku hanya makan kentang, ikan asin, dan kecap. Kamu pintar mengambil hati rakyat...."

"Maafkan saya Tuan... maafkan. Saya telah berbohong...."

"Itu kebohongan yang manis, Vardhazh... Sangat manis... Begitulah seharusnya. Seorang penguasa harus pintar beternak kebohongan. Hanya dengan menanam kebohongan di mulut, orang macam kit abisa bertahan."   
Dengan wajah Vardahzh kini Tuan Grag tampil dalam berbagai acara kenegaraan. Ia pun kembali menguasai parlemen, kejaksaan, kehakiman, sektor pajak, sektor migas, anggaran belanja negara, dan lainnya. Namun, rakyat tetap yakin bahwa orang yang memimpin Republik Garpallo saat ini tetaplah Vardhazh yang menggantikan Grag-Gaz yang sudah meninggal enam bulan lalu. Nasib Vardhazh sendiri tidak jelas. Soal ini, hanya keluarga Vardahzh yang tahu.

Setiap hari terjadi demonstrasi. Rakyat tidak puas pada kepemimpinan "Vardhazh" yang dianggap korup. Rakyat merindukan kembalinya kekuatan politik Grag-Gaz untuk mengendalikan Republik Garpallp. Mereka pun kini semakin yakin bahwa mantan Presiden Grag-Gaz sangat bersih. Maka, skenarion pengganti "Vardhazh" pun telah disiapkan Tuan Grag. Nyonya Zabhatini, istri keempat Tuan Grag, telah dipilih untuk menjadi presiden
        
                          b.3 Nilai Sosial:
·         Kita harus bisa menolak permintaan dari orang lain/ kita harus mempunyai prinsip.
Bukti tekstual:
"Bagaimana jika wajahmu saja yang kupinjam untuk dijadikan model? Wajahmu polos. Tak ada aura kejahatan. Bagaimana?" Vardahzh tersengat. Dadanya sesak. Jantungnya berdetak cepat. "Barangkali Tuan bisa mencari model wajah yang lain...," ujar Vardahzh gugup. Tuan Grag menggeleng. "Aku ingin jadi dirimu. Aku ingin ikut mengendalikan pemerintahan di negara kita. Kamu keberatan?" Darah Vardahzh berdesir. "Tentu tidak, Tuan....".”Bagus. Aku harus menjadi presiden lagi dengan meminjam wajahmu! Oke, boy?"
Dada Vardahzh terasa semakin sesak. Mendadak ia tumbang. Tuan Grag tersenyum.
·      Mengunjungi orang yang meninggal
Berbagai medi massa cetak dan elektronik mencatat bahwa upacara kematian Tuan Grag adalah upacara paling besar dan sukses dalam sejarah meninggalnya tokoh-tokoh penting negeri Garpallo. Tempat pemakaman telah berubah jadi arena pesta dan bazar. Tercatat sekitar hampir dua juta orang melayat, 500.007 karangan bunga, omzet pedagang kali lima mencapai 600 ribu dollar, dan omzet parkir kendaraan menjadi 200 ribu dollar.
                          b.4 Nilai Budaya: Kematian harus dirayakan dengan pemakaman
Bukti tekstual:
Di beberapa tempat ada kemah-kemah yang dijaga perempuan-perempuan cantik yang siap melayani berbagai permintaan makanan dan minuman. Ada juga kemah besar yang memajang seluruh memorabilia sang presiden, misalnya album sejarah yang menggambarkan perjalanan kariernya, sejak ia mahasiswa, terjun di partai politik, jadi tokoh oposisi, jadi ketua partai, dan jadi presiden. Berbagai media massa cetak dan elektronik mencatat  bahwa upacara kematian Tuan Grag adalah upacara paling besar dan sukses dalam sejarah meninggalnya tokoh-tokoh penting negeri Garpallo. Tempat pemakaman telah berubah jadi arena pesta dan bazar. Tercatat sekitar hampir dua  juta orang melayat, 500.007 karangan bunga, omzet pedagang kali lima mencapai 600 ribu dollar, dan omzet parkir kendaraan mencapai 200 ribu dollar.

2.      Savonette oleh Warih Wisatsana
b.      Unsur Intrinsik
a.1 Tema: benda pembawa keberuntungan
a.2 Latar:
   a.2.1: waktu
·      Jam itu kini selalu di sakuku, terbawa kemana-mana, dan kutunjukkan kepada siapa saja. Kecintaanku bertambah, bahkan setiap malam sebelum tidur, aku suka menimang-nimangnya. Melekatkan telinga, mendengar samar bunyi tik-taknya. Sungguh aku harus berterima kasih kepada pak tua itu. Ketiga jarumnya kini seiring sejalan memastikan waktu, tak pernah lambat atau lebih cepat sekalipun.(setiap malam)
·      Demikian juga hari ini, pikiranku nanar, turun di stasiun berikutnya. (setiap hari)
·      "Konon," ujarku meyakinkan, "Jenis jam saku ini diciptakan perajin ulung Jerman, Peter Henlein sekitar tahun 1574. Selain menjadi kebanggaan para bangsawan, belakangan jam saku ini digunakan pula para masinis guna mengatur kecepatan kereta agar sesuai jadwal dan rencana perjalanannya. Coba bayangkan, bila tak ada savonette, kereta-kereta akan saling bertabrakan di banyak stasiun atau bertemu di jembatan secara bersamaan. Ini tragedi." (tahun 1574)
·      Biasanya kami selalu bertemu bersama kawan-kawan. Tapi esok petang, kami sepakat akan berjumpa berdua saja di kafe dekat taman tepi kota, di mana sebuah pohon kamboja besar meneduhi berandanya. Ya, pukul enam sore, ini kali kencanku yang pertama. Sebelum itu, pukul lima sore, aku ada janji dengan calon klien yang sudah deal, sepakat membeli produk perusahaan kami. Sekadar singgah lima belas menit saja, menyerahkan surat kontrak resmi yang sekalian nanti ditandatangani. (petang, 15 menit, pukul enam sore)
   a.2.2:tempat
·      Terdorong rasa haru pada Ibu, kuputuskan memperbaiki savonette itu. Sudah kudatangi banyak tempat reparasi di kota kelahiranku ini. Mulai outlet-outletjam ternama di mal hingga toko dan tukang jam kaki lima, mereka terkesan enggan memperbaiki. Ada saja alasannya, tapi intinya meyakinkanku bahwa sudah tak ada lagi onderdil yang sesuai dengan savonette itu. Jam saku ini boleh jadi dibuat masa kompeni dulu, awal atau akhir abad ke-18. Seorang tukang jam setengah bergurau menyampaikan, "Ini pasti milik Nyai Dasima, atau asisten residen zaman VOC." (tempat reparasi jam)
·      Suara bujukan itu selalu datang berulang justru ketika aku menunggu kereta hendak pulang ke rumah. Suara-suara itu berbaur hiruk-pikuk dan lalu-lalang orang. Berulang datang, berulang membuatku semakin pening. Akibatnya, belakangan ini, seringkali aku tak sadar bahwa stasiun tujuanku sudah terlewat. Apakah aku tertidur? Mungkin saja, atau seluruh perhatianku terhanyut, terbawa simpang pilihan itu. Demikian juga hari ini, pikiranku nanar, turun di stasiun berikutnya. (stasiun/di dalam kereta)
·      Boleh jadi ini memang sebuah kebetulan. Tak jauh dari tempatku makan, ada kios kecil, bertuliskan "terima service arloji". Segera kudatangi, rupanya hampir tutup. Ada lemari kaca antik berisi aneka jam, bermacam-macam jam. Juga seorang lelaki renta, mungkin mendekati 80-an tahun. Wajah lelaki itu membayang samar di bawah lampu yang lebih terfokus pada tangannya, tengah menggenggam sebuah jam. (tempat makan/ tempat service arloji)
   a.2.3:suasana
·         Seluruh hariku kini digenangi kenangan pada Ibu. Di rumah tua tempat lahirku ini, aku tak lagi merasa sendiri. Kawan-kawanku di kantor pun mengaku keheranan. Kata mereka, aku kini lebih riang dan terbuka, bukan lagi seperti tugu batu, penyendiri. Relasiku bertambah dan capaian kerjaku melampaui target. Ya, the best employee of the month, dengan lompatan penjualan yang tak pernah terjadi dalam perusahaan ini sebelumnya. Jabatan marketing manajer melambaiku. (suasan:senang/riang)
·         Suara bujukan itu selalu datang berulang justru ketika aku menunggu kereta hendak pulang ke rumah. Suara-suara itu berbaur hiruk-pikuk dan lalu-lalang orang. Berulang datang, berulang membuatku semakin pening. Akibatnya, belakangan ini, seringkali aku tak sadar bahwa stasiun tujuanku sudah terlewat. Apakah aku tertidur? Mungkin saja, atau seluruh perhatianku terhanyut, terbawa simpang pilihan itu. Demikian juga hari ini, pikiranku nanar, turun di stasiun berikutnya. (suasana: ribut/ramai)
·         Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan malam ini juga menemui si tua tukang reparasi arloji. Ingin kuluapkan seluruh emosiku. (suasana:kesal/marah)
a.3 Sudut Pandang:  Sudut pandang Campuran
·         Sudut pandang orang pertama (aku,saya)
*      Langkahku ringan, seringan batinku. Ketika tiba di stasiun, sempat kulihat kereta baru saja berlalu. Setengah tak percaya dan menduga-duga, aku merasa itulah kereta yang seharusnya kunaiki. Astaga, kupandangi jam dinding besar di koridor stasiun, pukul enam lebih lima belas menit. Kemudian kuperiksa kembali jam saku milikku dan ternyata masih menunjukkan pukul empat. Nanar, aku bertanya kepada orang-orang. Mereka serba tergesa dan menjawab sekenanya, tak acuh pada kebingunganku. Aku bertanya kepada petugas stasiun, dia hanya menunjukkan ke bagian informasi. Di tengah kegalauan itu, dorongan ke kamar kecil memuncak, penjaga di sana sama saja, menjawab sekenanya.
*      Di rumah tua tempat lahirku ini, aku tak lagi merasa sendiri. Kawan-kawanku di kantor pun mengaku keheranan. Kata mereka, aku kini lebih riang dan terbuka, bukan lagi seperti tugu batu, penyendiri. Relasiku bertambah dan capaian kerjaku melampaui target. Ya, the best employee of the month, dengan lompatan penjualan yang tak pernah terjadi dalam perusahaan ini sebelumnya. Jabatan marketing manajer melambaiku.
*      Kata Ibu, umurku waktu itu baru dua tahun. Tidak menangis, hanya berdiam saja sewaktu orang-orang mengantar Ayah ke kuburan.
·         Sudut pandang orang ketiga (kakek tua/si lelaki tua/ibu/perempuan yang disukai)
*      Boleh jadi ini memang sebuah kebetulan. Tak jauh dari tempatku makan, ada kios kecil, bertuliskan "terima service arloji". Segera kudatangi, rupanya hampir tutup. Ada lemari kaca antik berisi aneka jam, bermacam-macam jam. Juga seorang lelaki renta, mungkin mendekati 80-an tahun. Wajah lelaki itu membayang samar di bawah lampu yang lebih terfokus pada tangannya, tengah menggenggam sebuah jam.
*      Aneh, seketika itu aku suka padanya dan perasaan cinta mulai merekah. Matanya yang hening tenang mengingatkan pada tatapan Ibu yang memandangku berulang sebelum tidur. Rambutnya memang berbeda, Ibuku lurus, ia ikal bergelombang. Tapi sama-sama sebahu dan selalu ada scarftembus pandang yang membayangi leher jenjangnya.
a.4 Penokohan
    a.4.1 Aku/saya
·         (Pekerja keras)
Kemana-mana, setiap berjumpa klien, mereka memuji komunikasiku yang optimistis, semangat, serta inspiratif. Padahal bagiku tak ada yang berubah, masih seperti dulu. Hanya memang, sesekali kutunjukkan savonette sekadar menyelingi pembicaraan. Tanggapan mereka antusias, mendorongku mencari referensi lebih sungguh tentang sejarah savonette.
"Konon," ujarku meyakinkan, "Jenis jam saku ini diciptakan perajin ulung Jerman, Peter Henlein sekitar tahun 1574. Selain menjadi kebanggaan para bangsawan, belakangan jam saku ini digunakan pula para masinis guna mengatur kecepatan kereta agar sesuai jadwal dan rencana perjalanannya. Coba bayangkan, bila tak ada savonette, kereta-kereta akan saling bertabrakan di banyak stasiun atau bertemu di jembatan secara bersamaan. Ini tragedi."
·         (Pemarah)
Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan malam ini juga menemui si tua tukang reparasi arloji. Ingin kuluapkan seluruh emosiku. "Permisi, apakah ada orang?" pekikku tertahan. Sejenak hening, "Ya, ada apa anak muda?" jawab seseorang di balik lemari penuh arloji itu. Lelaki tua itu muncul begitu saja. Ruang remang, hanya ada lampu kecil yang menyorot tangannya, kosong tanpa sesuatu.  Menahan jengkel, "Bagaimana ini, Bapak. Jarum jam savonette saya kumat lagi seperti dulu. Apakah sewaktu diperbaiki, kurang kencang menyetelnya?" tukasku ketus. Nadanya masih datar tak berubah, "Ya, mari aku akan lihat dulu," timpal si tua. Setelah jam saku itu kembali dipegang olehnya, ia letakkan dekat dengan telinga. Kemudian ia hanya menyentuh crown jam tersebut, lalu berkata sekenanya, bahwa tidak ada masalah pada jam ini, baik-baik saja.
"Benarkah? Gara-gara jam ini, gara-gara jarum jam yang berkhianat ini, saya kehilangan seorang klien, saya kehilangan seorang calon istri yang baik!" Meluap sudah marahku. Ia tak seketika menjawab, hanya bergumaman, tak jelas, seperti menyebut sesuatu atau sepotong kata tertentu: antara kata buntung atau untung, samar kabur.
Darahku tersirap naik, seketika kurenggut paksa savonette dari tangannya.
·         (menyayangi orang tua)
"Sudahlah Pak, sebaiknya mesinnya diganti saja yang digital. Casing-nya yang antik ini tetap dipertahankan. Tiga hari pasti jadi," tukas tukang arloji lainnya di salah satu pasar yang dulu sering dikunjungi Ibu. Nyaris saja aku mengikuti saran itu. Namun, wajah Ibu membayangi pikiranku, membuatku ragu-ragu mengambil keputusan. Ibu memang gemati, penuh cinta merawat benda-benda lama; dari kendi peninggalan nenek hingga sabuk kulit yang katanya dibeli Ayah sewaktu janji bertemu Ibu kali pertama.

    a.4.2  Lelaki tua/ kakek pemilik toko reparasi jam
·         (tua)
Boleh jadi ini memang sebuah kebetulan. Tak jauh dari tempatku makan, ada kios kecil, bertuliskan "terima service arloji". Segera kudatangi, rupanya hampir tutup. Ada lemari kaca antik berisi aneka jam, bermacam-macam jam. Juga seorang lelaki renta, mungkin mendekati 80-an tahun. Wajah lelaki itu membayang samar di bawah lampu yang lebih terfokus pada tangannya, tengah menggenggam sebuah jam.
(Sabar)
Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan malam ini juga menemui si tua tukang reparasi arloji. Ingin kuluapkan seluruh emosiku. "Permisi, apakah ada orang?" pekikku tertahan. Sejenak hening, "Ya, ada apa anak muda?" jawab seseorang di balik lemari penuh arloji itu. Lelaki tua itu muncul begitu saja. Ruang remang, hanya ada lampu kecil yang menyorot tangannya, kosong tanpa sesuatu. Menahan jengkel, "Bagaimana ini, Bapak. Jarum jam savonette saya kumat lagi seperti dulu. Apakah sewaktu diperbaiki, kurang kencang menyetelnya?" tukasku ketus. Nadanya masih datar tak berubah, "Ya, mari aku akan lihat dulu," timpal si tua.
    a.4.3 Ibu
·         (pecinta barang antik)
 Namun, wajah Ibu membayangi pikiranku, membuatku ragu-ragu mengambil keputusan. Ibu memang gemati, penuh cinta merawat benda-benda lama; dari kendi peninggalan nenek hingga sabuk kulit yang katanya dibeli Ayah sewaktu janji bertemu Ibu kali pertama.
·         (lehernya jenjang, rambutnya lurus, matanya bening)
Matanya yang hening tenang mengingatkan pada tatapan Ibu yang memandangku berulang sebelum tidur. Rambutnya memang berbeda, Ibuku lurus, ia ikal bergelombang. Tapi sama-sama sebahu dan selalu ada scarftembus pandang yang membayangi leher jenjangnya.

 a.5 Alur : Alur maju dan mundur
Alasan: menceritakan tentang peristiwa dulu tentang sang ibu dan keadaan sang ayah. Cerita ini juga menceritakan situasi aku/saya pada saat sekarang.
 a.6 Amanat (2)
·         Jangan mengandalkan sebuah barang keberuntungan dalam kehidupan, karena barang keberuntungan bisa rusak. Lebih baik kita mengandalkan kemampuan diri kita sendiri.
·         Orang tua pasti akan melindungi anaknya sendiri walaupun ia sudah tiada
                  b. Unsur Ekstrinsik
                         b.1 Nilai Agama:-
                          b.2 Nilai Moral:
·         Kita harus selalu menyayangi/peduli dengan orang tua kita
Bukti Tekstual:
"Sudahlah Pak, sebaiknya mesinnya diganti saja yang digital. Casing-nya yang antik ini tetap dipertahankan. Tiga hari pasti jadi," tukas tukang arloji lainnya di salah satu pasar yang dulu sering dikunjungi Ibu. Nyaris saja aku mengikuti saran itu. Namun, wajah Ibu membayangi pikiranku, membuatku ragu-ragu mengambil keputusan. Ibu memang gemati, penuh cinta merawat benda-benda lama; dari kendi peninggalan nenek hingga sabuk kulit yang katanya dibeli Ayah sewaktu janji bertemu Ibu kali pertama.
                          b.3 Nilai Sosial: Kita tidak boleh berprasangka buruk terhadap seseorang.
Bukti Tekstual:
Menahan jengkel, "Bagaimana ini, Bapak. Jarum jam savonette saya kumat lagi seperti dulu. Apakah sewaktu diperbaiki, kurang kencang menyetelnya?" tukasku ketus. Nadanya masih datar tak berubah, "Ya, mari aku akan lihat dulu," timpal si tua.
Setelah jam saku itu kembali dipegang olehnya, ia letakkan dekat dengan telinga. Kemudian ia hanya menyentuh crown jam tersebut, lalu berkata sekenanya, bahwa tidak ada masalah pada jam ini, baik-baik saja.
"Benarkah? Gara-gara jam ini, gara-gara jarum jam yang berkhianat ini, saya kehilangan seorang klien, saya kehilangan seorang calon istri yang baik!" Meluap sudah marahku. Ia tak seketika menjawab, hanya bergumaman, tak jelas, seperti menyebut sesuatu atau sepotong kata tertentu: antara kata buntung atau untung, samar kabur.
Darahku tersirap naik, seketika kurenggut paksa savonette dari tangannya. Si tua itu seperti mencoba menahan, wajah kami begitu dekat. Aku tertegun, matanya seperti kosong tanpa cahaya. Sempat terlintas di dalam pikiranku, apakah ia buta."Sabar Nak, coba lihat sekali lagi jarum jamnya." Nadanya kini lebih lembut, dan jam itu terlepas, seketika berpindah ke tanganku.  Masih terbawa ngungun, kupandangi savonette itu, tak percaya, sungguh aku tak percaya, ketiga jarum jam itu seiring sejalan, tak satu pun bersimpangan.
                          b.4 Nilai Budaya:
·         Orang tua pasti akan selalu melindungi anaknya walaupun sudah meninggal.
Bukti Tekstual:
Masih terbawa ngungun, kupandangi savonette itu, tak percaya, sungguh aku tak percaya, ketiga jarum jam itu seiring sejalan, tak satu pun bersimpangan.
Setibanya di rumah, dengan sepenuh rasa lelah, kunyalakan televisi. Pada setiap channel terdengar breaking news bahwa ada kereta petang tadi terguling setelah bertabrakan dengan kereta lainnya. Mobil-mobil ambulans berlintasan, suara sirinenya ramai berselingan dengan suara reporter yang melaporkan pandangan mata. Sementara wajah-wajah orang panik memenuhi layar kaca bergantian. Masih tak percaya, kubuka Twitter, berduyun tak putus me-retweet tragedi itu. Wajah Ibu, wajah si tua itu, menggenangi seluruh diriku.
·         Orang tua pasti memberikan barang peninggalan saat ia sudah meninggal yang  bertujuan untuk melindungi kita
Bukti Tekstual:
Sebagaimana kebanyakan cerita tentang benda antik, tak sengaja aku temukan jam saku tua savonette, pada selipan baju Ibu di lemari kayu. Warnanya kusam dan muram, sepuhan emasnya pupus terhapus waktu. Ketika penutupnya kubuka, engselnya hendak lepas. Percuma menyipitkan mata berkali, tak tersisa lagi merk atau lambang pembuatnya. Hanya seuntai rantai terjuntai, seakan jam itu sempat direnggut paksa dari pemiliknya.
·         Merawat barang antik/ barang dengan baik
Bukti tekstual:
*      Terdorong rasa haru pada Ibu, kuputuskan memperbaiki savonette itu. Sudah kudatangi banyak tempat reparasi di kota kelahiranku ini. Mulai outlet-outletjam ternama di mal hingga toko dan tukang jam kaki lima, mereka terkesan enggan memperbaiki. Ada saja alasannya, tapi intinya meyakinkanku bahwa sudah tak ada lagi onderdil yang sesuai dengan savonette itu. Jam saku ini boleh jadi dibuat masa kompeni dulu, awal atau akhir abad ke-18. Seorang tukang jam setengah bergurau menyampaikan, "Ini pasti milik Nyai Dasima, atau asisten residen zaman VOC."
*      Nyaris saja aku mengikuti saran itu. Namun, wajah Ibu membayangi pikiranku, membuatku ragu-ragu mengambil keputusan. Ibu memang gemati, penuh cinta merawat benda-benda lama; dari kendi peninggalan nenek hingga sabuk kulit yang katanya dibeli Ayah sewaktu janji bertemu Ibu kali pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar