Menyimpulkan Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik
dari Dua Cerpen yang Dibaca
Oleh Vanessa.A/9A
1.
Kebohongan Itu Manis, Vardhazh oleh
Indra Trianggono
a. Unsur
Intrinsik
a.1 Tema: Kebohongan membuat celaka
a.2 Latar: (kasih bukti tekstual)
a.2.1: waktu
·
“Kekhawatiran itu tetap ada meskipun aku
sudah melenyapkan para professional yang terlibat dalam proyek besar sandiwara
kematianku. O ya, aku punya ide. Aku akan operasi wajah. Semua sudah siap.
Minggu depan kulaksanakan.” (minggu depan)
·
Setiap hari terjadi demonstrasi. (setiap
hari)
·
Namun, rakyat tetap yakin bahwa orang
yang memimpin Republik Garpallo saat ini tetaplah Vardhazh yang menggantikan
Grag-Gaz yang sudah meninggal enam bulan lalu. (enam bulan lalu)
·
“Selama 25 tahun Presiden Grag berkuasa,
negara telah dirugikan sebesar 800
milliar dollar!!” teriak anak muda dengan pita merah terbebat di kepala. (25
tahun)
a.2.2:tempat(3)
·
Kompleks Taman Makam Pahlawan seluas
sepuluh hektar itu disulap menjadi arena yang penuh warna.(compels taman makam
pahlawan)
·
Vardhazh disertai para pengawal
bersenjata lengkap, melaju dengan mobilnya menuju villa di Bukit Sutra. (Bukti
Sutra)
·
“Ah itu mirip tukang jual obat di Golden
Park. Dan lagi, hidung saya kan sudah mancung.” (Golden Park)
a.2.3:suasana (3)
·
“Kematian harus dirayakan karena
kematian adalah kemenangan mengatasi waktu menuju keabadian , begitu kata Tuan
Grag saat beliau selesai menjalani operasi jantung yang ternyata gagal..” ucap
Nyonya Zabanthini terisak. (suasana: sedih)
·
Ratusan ribu massa meluberi Grag-Gaz
Square. Bendera-bendera berkibar-kibar. Poster-poster menyala-nyala. Mereka
menuntut seluruh harta Tuan Grag disita.”Selama 25 tahun Presiden Grag
berkuasa, negara telah dirugikan sebesar 800 milliar dollar!!” teriak anak muda
dengan pita merah terbebat di kepala.” (suasana: marah,ricuh)
·
Ketegangan yang sempat dirasakan
Vardhazh langsung mengendur. Suasana pun cair. Vardhazh mengusap keringat di
keningnya dengan tisu basah. (suasana: santai)
a.3
Sudut Pandang: Sudut pandang orang ketiga (Nama-nama tokoh)
·
Kehadiran Vardhazh memecah sunyi tafakur
seorang laki-laki gagah yang bersimpuh di atas karpet. Laki-laki itu memberi
isyarat melalui pandangan matanya. Vardhazh pun duduk di kursi agak jauh dari
posisi laki-laki gagah itu. Beberapa saat kemudian, laki-laki gagah itu
beranjak dan menemui dan memeluk Vardhazh erat-erat.
·
Di beberapa tempat ada kemah-kemah yang
dijaga perempuan-perempuan cantik yang siap melayani berbagai permintaan
makanan dan minuman. Ada juga kemah besar yang memajang seluruh memorabilia
sang presiden, misalnya album sejarah yang menggambarkan perjalanan kariernya,
sejak ia mahasiswa, terjun di partai politik, jadi tokoh oposisi, jadi ketua
partai, dan jadi presiden.
·
Berbagai medi massa cetak dan elektronik
mencatat bahwa upacara kematian Tuan Grag adalah upacara paling besar dan
sukses dalam sejarah meninggalnya tokoh-tokoh penting negeri Garpallo. Tempat
pemakaman telah berubah jadi arena pesta dan bazar. Tercatat sekitar hampir dua
juta orang melayat, 500.007 karangan bunga, omzet pedagang kali lima mencapai
600 ribu dollar, dan omzet parkir kendaraan menjadi 200 ribu dollar.
a.4 Penokohan
a.4.1 Vardhazh
·
(Rendah hati)
“Tuan Grag jangan mengolok-olok saya.
Saya tak lebih dari pembantu Tuan…”
·
(Penurut)
Tuan Grag menggeleng. “Aku ingin jadi
dirimu. Aku ingin ikut mengendalikan pemerintahan di negara kita. Kamu
keberatan?”
Darah Vardhazh berdesir.” Tentu tidak,
Tuan..”
·
(Tegas)
"Saya
tidak suka anarki! Kepada adik-adik mahasiswa saya pesan, hentikan semua
hujatan dan makian jika kalian tidak ingin bobok manis di sel tahanan,"
ujar Vardhazh.
·
(Setia)
Vardhazh
disertai para pengawal bersenjata lengkap, melaju dengan mobilnya menuju vila
di Bukit Sutra. Bukit ini sering disebut orang sebagai bukit pengampunan yang
dipilih para penguasa untuk istirahat dan merenung.
Kehadiran Vardhazh memecah sunyi tafakur seorang laki-laki gagah yang bersimpuh di atas karpet. Laki-laki itu memberi isyarat melalui pandangan matanya. Vardhazh pun duduk di kursi agak jauh dari posisi laki-laki gagah itu. Beberapa saat kemudian, laki-laki gagah itu beranjak dan menemui dan memeluk Vardhazh erat-erat. "Riil, kamu ini presiden, boy. Kenapa masih gamang? Aku memang sengaja memilihmu untuk menggantikan aku melalui sidang Majelis Tinggi.Oya, apa yang bisa kamu laporkan Vardhazh
"Rakyat percaya bahwa Tuan telah mati. Ya, mereka sangat yakin bahwa Tuan Grag ada di dalam peti mati yang dimaskkan dalam liang lahat dalam pemakaman itu. Sungguh, ini teater paling sempurna dan ajaib."
Kehadiran Vardhazh memecah sunyi tafakur seorang laki-laki gagah yang bersimpuh di atas karpet. Laki-laki itu memberi isyarat melalui pandangan matanya. Vardhazh pun duduk di kursi agak jauh dari posisi laki-laki gagah itu. Beberapa saat kemudian, laki-laki gagah itu beranjak dan menemui dan memeluk Vardhazh erat-erat. "Riil, kamu ini presiden, boy. Kenapa masih gamang? Aku memang sengaja memilihmu untuk menggantikan aku melalui sidang Majelis Tinggi.Oya, apa yang bisa kamu laporkan Vardhazh
"Rakyat percaya bahwa Tuan telah mati. Ya, mereka sangat yakin bahwa Tuan Grag ada di dalam peti mati yang dimaskkan dalam liang lahat dalam pemakaman itu. Sungguh, ini teater paling sempurna dan ajaib."
a.4.2
Nyonya Zabanthini
·
(cantik)
Istri keempat Tuan Grag, Nyonya
Zabanthini yang berusia sekitar 35 tahun dan cantik itu.
a.4.3 Tuan Grag
·
(sombong/ bangga terhadap diri sendiri)
"Kamu telah melihat sendiri
bagaimana aku mementaskan sandiwara kematianku. Aku susun skenarionya sendiri.
Aku jadi sutradaranya sekaligus produsernya. Aku rekrut para profesioal dari
direktur rumah sakit, dokter-dokter spesialis, pers, ahli rias, dan busana
hingga para jenderal dan event organizer," ujar Tuan Grag sambil
menuangkan anggur merah di gelas.
·
(Tampan)
Kompleks
Taman Makam Pahlawan seluas sepuluh hektar itu disulap menjadi arena yang penuh
warna. Terpampang baliho-baliho besar yang memasang wajah tampan Presiden Grag
serta berbagai kegiatan sosialnya, foto empat istrinya, 25 anaknya, 25
menantunya, dan puluhan cucunya. Semua foto itu tidak dicetak tapi dilukis oleh
belasan maestro.
a.5 Alur : Alur maju
Alasan: Alurnya selaras dengan waktu atau tidak menceritakan peristiwa/kejadian di
masa lalu.
a.6 Amanat (2)
·
Kejujuran harus kita utamakan karena
tidak selamanya kebohongan itu manis dan baik
·
Lebih baik berkata jujur karena
berbohong akan mencelakakan diri sendiri
b. Unsur Ekstrinsik
b.1 Nilai Agama: -
b.2 Nilai Moral: Kebohongan
tidak selamanya baik dan manis, tetapi membawa celaka.
Bukti
Tekstual:
"Begitulah
yang kuinginkan. Begitulah yang terjadi.Oo ya, aku sangat terkesan dengan
pernyataanmu dalam jumpa pers bahwa setiap hari aku hanya makan kentang, ikan
asin, dan kecap. Kamu pintar mengambil hati rakyat...."
"Maafkan saya Tuan... maafkan. Saya telah berbohong...."
"Itu kebohongan yang manis, Vardhazh... Sangat manis... Begitulah seharusnya. Seorang penguasa harus pintar beternak kebohongan. Hanya dengan menanam kebohongan di mulut, orang macam kit abisa bertahan."
"Maafkan saya Tuan... maafkan. Saya telah berbohong...."
"Itu kebohongan yang manis, Vardhazh... Sangat manis... Begitulah seharusnya. Seorang penguasa harus pintar beternak kebohongan. Hanya dengan menanam kebohongan di mulut, orang macam kit abisa bertahan."
Dengan wajah Vardahzh kini Tuan Grag tampil dalam berbagai
acara kenegaraan. Ia pun kembali menguasai parlemen, kejaksaan, kehakiman,
sektor pajak, sektor migas, anggaran belanja negara, dan lainnya. Namun, rakyat
tetap yakin bahwa orang yang memimpin Republik Garpallo saat ini tetaplah
Vardhazh yang menggantikan Grag-Gaz yang sudah meninggal enam bulan lalu. Nasib
Vardhazh sendiri tidak jelas. Soal ini, hanya keluarga Vardahzh yang tahu.
Setiap hari terjadi demonstrasi. Rakyat tidak puas pada kepemimpinan "Vardhazh" yang dianggap korup. Rakyat merindukan kembalinya kekuatan politik Grag-Gaz untuk mengendalikan Republik Garpallp. Mereka pun kini semakin yakin bahwa mantan Presiden Grag-Gaz sangat bersih. Maka, skenarion pengganti "Vardhazh" pun telah disiapkan Tuan Grag. Nyonya Zabhatini, istri keempat Tuan Grag, telah dipilih untuk menjadi presiden
b.3 Nilai Sosial:
·
Kita harus bisa menolak permintaan dari
orang lain/ kita harus mempunyai prinsip.
Bukti
tekstual:
"Bagaimana
jika wajahmu saja yang kupinjam untuk dijadikan model? Wajahmu polos. Tak ada
aura kejahatan. Bagaimana?" Vardahzh tersengat. Dadanya sesak. Jantungnya
berdetak cepat. "Barangkali Tuan bisa mencari model wajah yang
lain...," ujar Vardahzh gugup. Tuan Grag menggeleng. "Aku ingin jadi
dirimu. Aku ingin ikut mengendalikan pemerintahan di negara kita. Kamu
keberatan?" Darah Vardahzh berdesir. "Tentu tidak,
Tuan....".”Bagus. Aku harus menjadi presiden lagi dengan meminjam wajahmu!
Oke, boy?"
Dada
Vardahzh terasa semakin sesak. Mendadak ia tumbang. Tuan Grag tersenyum.
·
Mengunjungi orang yang meninggal
Berbagai
medi massa cetak dan elektronik mencatat bahwa upacara kematian Tuan Grag
adalah upacara paling besar dan sukses dalam sejarah meninggalnya tokoh-tokoh
penting negeri Garpallo. Tempat pemakaman telah berubah jadi arena pesta dan
bazar. Tercatat sekitar hampir dua juta orang melayat, 500.007 karangan bunga,
omzet pedagang kali lima mencapai 600 ribu dollar, dan omzet parkir kendaraan
menjadi 200 ribu dollar.
b.4 Nilai Budaya:
Kematian harus dirayakan dengan pemakaman
Bukti tekstual:
Di beberapa tempat ada kemah-kemah yang dijaga
perempuan-perempuan cantik yang siap melayani berbagai permintaan makanan dan
minuman. Ada juga kemah besar yang memajang seluruh memorabilia sang presiden,
misalnya album sejarah yang menggambarkan perjalanan kariernya, sejak ia
mahasiswa, terjun di partai politik, jadi tokoh oposisi, jadi ketua partai, dan
jadi presiden. Berbagai media massa cetak dan elektronik mencatat bahwa
upacara kematian Tuan Grag adalah upacara paling besar dan sukses dalam sejarah
meninggalnya tokoh-tokoh penting negeri Garpallo. Tempat pemakaman telah
berubah jadi arena pesta dan bazar. Tercatat sekitar hampir dua juta
orang melayat, 500.007 karangan bunga, omzet pedagang kali lima mencapai 600
ribu dollar, dan omzet parkir kendaraan mencapai 200 ribu dollar.
2.
Savonette oleh Warih Wisatsana
b. Unsur
Intrinsik
a.1 Tema: benda pembawa keberuntungan
a.2 Latar:
a.2.1: waktu
· Jam
itu kini selalu di sakuku, terbawa kemana-mana, dan kutunjukkan kepada siapa
saja. Kecintaanku bertambah, bahkan setiap malam sebelum tidur, aku suka
menimang-nimangnya. Melekatkan telinga, mendengar samar bunyi tik-taknya.
Sungguh aku harus berterima kasih kepada pak tua itu. Ketiga jarumnya kini
seiring sejalan memastikan waktu, tak pernah lambat atau lebih cepat
sekalipun.(setiap malam)
· Demikian
juga hari ini, pikiranku nanar, turun di stasiun berikutnya. (setiap hari)
· "Konon,"
ujarku meyakinkan, "Jenis jam saku ini diciptakan perajin ulung Jerman,
Peter Henlein sekitar tahun 1574. Selain menjadi kebanggaan para bangsawan,
belakangan jam saku ini digunakan pula para masinis guna mengatur kecepatan
kereta agar sesuai jadwal dan rencana perjalanannya. Coba bayangkan, bila tak
ada savonette, kereta-kereta akan saling bertabrakan di banyak stasiun atau
bertemu di jembatan secara bersamaan. Ini tragedi." (tahun 1574)
· Biasanya
kami selalu bertemu bersama kawan-kawan. Tapi esok petang, kami sepakat akan
berjumpa berdua saja di kafe dekat taman tepi kota, di mana sebuah pohon
kamboja besar meneduhi berandanya. Ya, pukul enam sore, ini kali kencanku yang
pertama. Sebelum itu, pukul lima sore, aku ada janji dengan calon klien yang
sudah deal, sepakat membeli produk perusahaan kami. Sekadar
singgah lima belas menit saja, menyerahkan surat kontrak resmi yang sekalian
nanti ditandatangani. (petang, 15 menit, pukul enam sore)
a.2.2:tempat
· Terdorong
rasa haru pada Ibu, kuputuskan memperbaiki savonette itu. Sudah kudatangi
banyak tempat reparasi di kota kelahiranku ini. Mulai outlet-outletjam
ternama di mal hingga toko dan tukang jam kaki lima, mereka terkesan enggan
memperbaiki. Ada saja alasannya, tapi intinya meyakinkanku bahwa sudah tak ada
lagi onderdil yang sesuai dengan savonette itu. Jam saku ini boleh jadi dibuat
masa kompeni dulu, awal atau akhir abad ke-18. Seorang tukang jam setengah
bergurau menyampaikan, "Ini pasti milik Nyai Dasima, atau asisten residen
zaman VOC." (tempat reparasi jam)
· Suara
bujukan itu selalu datang berulang justru ketika aku menunggu kereta hendak
pulang ke rumah. Suara-suara itu berbaur hiruk-pikuk dan lalu-lalang orang.
Berulang datang, berulang membuatku semakin pening. Akibatnya, belakangan ini,
seringkali aku tak sadar bahwa stasiun tujuanku sudah terlewat. Apakah aku
tertidur? Mungkin saja, atau seluruh perhatianku terhanyut, terbawa simpang
pilihan itu. Demikian juga hari ini, pikiranku nanar, turun di stasiun
berikutnya. (stasiun/di dalam kereta)
· Boleh
jadi ini memang sebuah kebetulan. Tak jauh dari tempatku makan, ada kios kecil,
bertuliskan "terima service arloji". Segera
kudatangi, rupanya hampir tutup. Ada lemari kaca antik berisi aneka jam,
bermacam-macam jam. Juga seorang lelaki renta, mungkin mendekati 80-an tahun.
Wajah lelaki itu membayang samar di bawah lampu yang lebih terfokus pada
tangannya, tengah menggenggam sebuah jam. (tempat makan/ tempat service arloji)
a.2.3:suasana
·
Seluruh hariku kini digenangi kenangan
pada Ibu. Di rumah tua tempat lahirku ini, aku tak lagi merasa sendiri.
Kawan-kawanku di kantor pun mengaku keheranan. Kata mereka, aku kini lebih
riang dan terbuka, bukan lagi seperti tugu batu, penyendiri. Relasiku bertambah
dan capaian kerjaku melampaui target. Ya, the best employee of the
month, dengan lompatan penjualan yang tak pernah terjadi dalam perusahaan
ini sebelumnya. Jabatan marketing manajer melambaiku. (suasan:senang/riang)
·
Suara bujukan itu selalu datang berulang
justru ketika aku menunggu kereta hendak pulang ke rumah. Suara-suara itu
berbaur hiruk-pikuk dan lalu-lalang orang. Berulang datang, berulang membuatku
semakin pening. Akibatnya, belakangan ini, seringkali aku tak sadar bahwa
stasiun tujuanku sudah terlewat. Apakah aku tertidur? Mungkin saja, atau
seluruh perhatianku terhanyut, terbawa simpang pilihan itu. Demikian juga hari
ini, pikiranku nanar, turun di stasiun berikutnya. (suasana: ribut/ramai)
·
Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan
malam ini juga menemui si tua tukang reparasi arloji. Ingin kuluapkan seluruh
emosiku. (suasana:kesal/marah)
a.3
Sudut Pandang: Sudut pandang Campuran
·
Sudut pandang orang pertama (aku,saya)
Langkahku ringan, seringan batinku. Ketika tiba
di stasiun, sempat kulihat kereta baru saja berlalu. Setengah tak percaya dan
menduga-duga, aku merasa itulah kereta yang seharusnya kunaiki. Astaga,
kupandangi jam dinding besar di koridor stasiun, pukul enam lebih lima belas
menit. Kemudian kuperiksa kembali jam saku milikku dan ternyata masih
menunjukkan pukul empat. Nanar, aku bertanya kepada orang-orang. Mereka serba
tergesa dan menjawab sekenanya, tak acuh pada kebingunganku. Aku bertanya
kepada petugas stasiun, dia hanya menunjukkan ke bagian informasi. Di tengah
kegalauan itu, dorongan ke kamar kecil memuncak, penjaga di sana sama saja,
menjawab sekenanya.
Di rumah tua tempat lahirku ini, aku tak lagi
merasa sendiri. Kawan-kawanku di kantor pun mengaku keheranan. Kata mereka, aku
kini lebih riang dan terbuka, bukan lagi seperti tugu batu, penyendiri.
Relasiku bertambah dan capaian kerjaku melampaui target. Ya, the best
employee of the month, dengan lompatan penjualan yang tak pernah terjadi
dalam perusahaan ini sebelumnya. Jabatan marketing manajer melambaiku.
Kata Ibu, umurku waktu itu baru dua tahun. Tidak
menangis, hanya berdiam saja sewaktu orang-orang mengantar Ayah ke kuburan.
·
Sudut pandang orang ketiga (kakek tua/si lelaki
tua/ibu/perempuan yang disukai)
Boleh jadi ini memang sebuah kebetulan. Tak jauh
dari tempatku makan, ada kios kecil, bertuliskan "terima service arloji".
Segera kudatangi, rupanya hampir tutup. Ada lemari kaca antik berisi aneka jam,
bermacam-macam jam. Juga seorang lelaki renta, mungkin mendekati 80-an tahun.
Wajah lelaki itu membayang samar di bawah lampu yang lebih terfokus pada
tangannya, tengah menggenggam sebuah jam.
Aneh, seketika itu aku suka padanya
dan perasaan cinta mulai merekah. Matanya yang hening tenang mengingatkan pada
tatapan Ibu yang memandangku berulang sebelum tidur. Rambutnya memang berbeda,
Ibuku lurus, ia ikal bergelombang. Tapi sama-sama sebahu dan selalu ada scarftembus
pandang yang membayangi leher jenjangnya.
a.4 Penokohan
a.4.1 Aku/saya
·
(Pekerja keras)
Kemana-mana, setiap berjumpa klien, mereka memuji
komunikasiku yang optimistis, semangat, serta inspiratif. Padahal bagiku tak
ada yang berubah, masih seperti dulu. Hanya memang, sesekali kutunjukkan
savonette sekadar menyelingi pembicaraan. Tanggapan mereka antusias,
mendorongku mencari referensi lebih sungguh tentang sejarah savonette.
"Konon," ujarku meyakinkan, "Jenis jam saku
ini diciptakan perajin ulung Jerman, Peter Henlein sekitar tahun 1574. Selain
menjadi kebanggaan para bangsawan, belakangan jam saku ini digunakan pula para
masinis guna mengatur kecepatan kereta agar sesuai jadwal dan rencana
perjalanannya. Coba bayangkan, bila tak ada savonette, kereta-kereta akan
saling bertabrakan di banyak stasiun atau bertemu di jembatan secara bersamaan.
Ini tragedi."
·
(Pemarah)
Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan malam ini juga menemui
si tua tukang reparasi arloji. Ingin kuluapkan seluruh emosiku. "Permisi,
apakah ada orang?" pekikku tertahan. Sejenak hening, "Ya, ada apa
anak muda?" jawab seseorang di balik lemari penuh arloji itu. Lelaki tua
itu muncul begitu saja. Ruang remang, hanya ada lampu kecil yang menyorot
tangannya, kosong tanpa sesuatu. Menahan
jengkel, "Bagaimana ini, Bapak. Jarum jam savonette saya kumat lagi
seperti dulu. Apakah sewaktu diperbaiki, kurang kencang menyetelnya?"
tukasku ketus. Nadanya masih datar tak berubah, "Ya, mari aku akan lihat
dulu," timpal si tua. Setelah jam saku itu kembali dipegang olehnya, ia
letakkan dekat dengan telinga. Kemudian ia hanya menyentuh crown jam
tersebut, lalu berkata sekenanya, bahwa tidak ada masalah pada jam ini,
baik-baik saja.
"Benarkah? Gara-gara jam ini, gara-gara jarum jam yang
berkhianat ini, saya kehilangan seorang klien, saya kehilangan seorang calon
istri yang baik!" Meluap sudah marahku. Ia tak seketika menjawab, hanya
bergumaman, tak jelas, seperti menyebut sesuatu atau sepotong kata tertentu:
antara kata buntung atau untung, samar kabur.
Darahku
tersirap naik, seketika kurenggut paksa savonette dari tangannya.
·
(menyayangi
orang tua)
"Sudahlah Pak, sebaiknya mesinnya diganti saja yang
digital. Casing-nya yang antik ini tetap dipertahankan. Tiga hari
pasti jadi," tukas tukang arloji lainnya di salah satu pasar yang dulu
sering dikunjungi Ibu. Nyaris saja aku mengikuti saran itu. Namun, wajah Ibu
membayangi pikiranku, membuatku ragu-ragu mengambil keputusan. Ibu memang
gemati, penuh cinta merawat benda-benda lama; dari kendi peninggalan nenek
hingga sabuk kulit yang katanya dibeli Ayah sewaktu janji bertemu Ibu kali
pertama.
a.4.2 Lelaki tua/ kakek pemilik
toko reparasi jam
·
(tua)
Boleh jadi ini memang sebuah kebetulan. Tak jauh dari
tempatku makan, ada kios kecil, bertuliskan "terima service arloji".
Segera kudatangi, rupanya hampir tutup. Ada lemari kaca antik berisi aneka jam,
bermacam-macam jam. Juga seorang lelaki renta, mungkin mendekati 80-an tahun.
Wajah lelaki itu membayang samar di bawah lampu yang lebih terfokus pada
tangannya, tengah menggenggam sebuah jam.
(Sabar)
Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan malam ini juga menemui
si tua tukang reparasi arloji. Ingin kuluapkan seluruh emosiku. "Permisi,
apakah ada orang?" pekikku tertahan. Sejenak hening, "Ya, ada apa
anak muda?" jawab seseorang di balik lemari penuh arloji itu. Lelaki tua
itu muncul begitu saja. Ruang remang, hanya ada lampu kecil yang menyorot
tangannya, kosong tanpa sesuatu. Menahan jengkel, "Bagaimana ini, Bapak.
Jarum jam savonette saya kumat lagi seperti dulu. Apakah sewaktu diperbaiki,
kurang kencang menyetelnya?" tukasku ketus. Nadanya masih datar tak
berubah, "Ya, mari aku akan lihat dulu," timpal si tua.
a.4.3 Ibu
·
(pecinta barang antik)
Namun, wajah Ibu
membayangi pikiranku, membuatku ragu-ragu mengambil keputusan. Ibu memang
gemati, penuh cinta merawat benda-benda lama; dari kendi peninggalan nenek
hingga sabuk kulit yang katanya dibeli Ayah sewaktu janji bertemu Ibu kali
pertama.
·
(lehernya jenjang, rambutnya lurus,
matanya bening)
Matanya yang hening tenang mengingatkan pada tatapan Ibu
yang memandangku berulang sebelum tidur. Rambutnya memang berbeda, Ibuku lurus,
ia ikal bergelombang. Tapi sama-sama sebahu dan selalu ada scarftembus
pandang yang membayangi leher jenjangnya.
a.5 Alur : Alur maju dan mundur
Alasan: menceritakan tentang peristiwa
dulu tentang sang ibu dan keadaan sang ayah. Cerita ini juga menceritakan
situasi aku/saya pada saat sekarang.
a.6 Amanat (2)
·
Jangan mengandalkan sebuah barang
keberuntungan dalam kehidupan, karena barang keberuntungan bisa rusak. Lebih
baik kita mengandalkan kemampuan diri kita sendiri.
·
Orang tua pasti akan melindungi anaknya
sendiri walaupun ia sudah tiada
b. Unsur Ekstrinsik
b.1 Nilai Agama:-
b.2 Nilai Moral:
·
Kita harus selalu menyayangi/peduli
dengan orang tua kita
Bukti Tekstual:
"Sudahlah Pak, sebaiknya mesinnya diganti saja yang
digital. Casing-nya yang antik ini tetap dipertahankan. Tiga hari
pasti jadi," tukas tukang arloji lainnya di salah satu pasar yang dulu
sering dikunjungi Ibu. Nyaris saja aku mengikuti saran itu. Namun, wajah Ibu
membayangi pikiranku, membuatku ragu-ragu mengambil keputusan. Ibu memang
gemati, penuh cinta merawat benda-benda lama; dari kendi peninggalan nenek
hingga sabuk kulit yang katanya dibeli Ayah sewaktu janji bertemu Ibu kali
pertama.
b.3 Nilai Sosial: Kita
tidak boleh berprasangka buruk terhadap seseorang.
Bukti
Tekstual:
Menahan jengkel, "Bagaimana ini, Bapak. Jarum jam
savonette saya kumat lagi seperti dulu. Apakah sewaktu diperbaiki, kurang
kencang menyetelnya?" tukasku ketus. Nadanya masih datar tak berubah,
"Ya, mari aku akan lihat dulu," timpal si tua.
Setelah jam saku itu kembali dipegang olehnya, ia letakkan
dekat dengan telinga. Kemudian ia hanya menyentuh crown jam
tersebut, lalu berkata sekenanya, bahwa tidak ada masalah pada jam ini,
baik-baik saja.
"Benarkah? Gara-gara jam ini, gara-gara jarum jam yang
berkhianat ini, saya kehilangan seorang klien, saya kehilangan seorang calon
istri yang baik!" Meluap sudah marahku. Ia tak seketika menjawab, hanya
bergumaman, tak jelas, seperti menyebut sesuatu atau sepotong kata tertentu:
antara kata buntung atau untung, samar kabur.
Darahku tersirap naik, seketika kurenggut paksa savonette
dari tangannya. Si tua itu seperti mencoba menahan, wajah kami begitu dekat.
Aku tertegun, matanya seperti kosong tanpa cahaya. Sempat terlintas di dalam
pikiranku, apakah ia buta."Sabar Nak, coba lihat sekali lagi jarum
jamnya." Nadanya kini lebih lembut, dan jam itu terlepas, seketika
berpindah ke tanganku. Masih terbawa ngungun,
kupandangi savonette itu, tak percaya, sungguh aku tak percaya, ketiga jarum
jam itu seiring sejalan, tak satu pun bersimpangan.
b.4 Nilai Budaya:
·
Orang tua pasti akan selalu melindungi
anaknya walaupun sudah meninggal.
Bukti
Tekstual:
Masih terbawa ngungun, kupandangi savonette itu,
tak percaya, sungguh aku tak percaya, ketiga jarum jam itu seiring sejalan, tak
satu pun bersimpangan.
Setibanya di rumah, dengan sepenuh rasa lelah, kunyalakan
televisi. Pada setiap channel terdengar breaking news bahwa
ada kereta petang tadi terguling setelah bertabrakan dengan kereta lainnya.
Mobil-mobil ambulans berlintasan, suara sirinenya ramai berselingan dengan
suara reporter yang melaporkan pandangan mata. Sementara wajah-wajah orang
panik memenuhi layar kaca bergantian. Masih tak percaya, kubuka Twitter,
berduyun tak putus me-retweet tragedi itu. Wajah Ibu, wajah si tua
itu, menggenangi seluruh diriku.
·
Orang tua pasti memberikan barang
peninggalan saat ia sudah meninggal yang bertujuan untuk melindungi kita
Bukti Tekstual:
Sebagaimana kebanyakan cerita tentang benda antik, tak
sengaja aku temukan jam saku tua savonette, pada selipan baju Ibu di lemari
kayu. Warnanya kusam dan muram, sepuhan emasnya pupus terhapus waktu. Ketika
penutupnya kubuka, engselnya hendak lepas. Percuma menyipitkan mata berkali,
tak tersisa lagi merk atau lambang pembuatnya. Hanya seuntai rantai terjuntai,
seakan jam itu sempat direnggut paksa dari pemiliknya.
·
Merawat barang antik/ barang dengan baik
Bukti
tekstual:
Terdorong rasa haru pada Ibu,
kuputuskan memperbaiki savonette itu. Sudah kudatangi banyak tempat reparasi di
kota kelahiranku ini. Mulai outlet-outletjam ternama di mal hingga
toko dan tukang jam kaki lima, mereka terkesan enggan memperbaiki. Ada saja
alasannya, tapi intinya meyakinkanku bahwa sudah tak ada lagi onderdil yang
sesuai dengan savonette itu. Jam saku ini boleh jadi dibuat masa kompeni dulu,
awal atau akhir abad ke-18. Seorang tukang jam setengah bergurau menyampaikan,
"Ini pasti milik Nyai Dasima, atau asisten residen zaman VOC."
Nyaris saja aku mengikuti saran itu.
Namun, wajah Ibu membayangi pikiranku, membuatku ragu-ragu mengambil keputusan.
Ibu memang gemati, penuh cinta merawat benda-benda lama; dari kendi peninggalan
nenek hingga sabuk kulit yang katanya dibeli Ayah sewaktu janji bertemu Ibu
kali pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar