Gurindam Dua Belas merupakan salah satu
puisi Melayu lama, hasil karya Raja Ali Haji seorang sastrawan dan Pahlawan
Nasional dari Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau. Gurindam ini ditulis
dan diselesaikan di Pulau Penyengat pada tanggal 23 Rajab 1264 Hijriyah atau
1847 Masehi pada saat Raja Ali Haji berusia 38 tahun. Karya ini terdiri dari 12
Fasal dan dikategorikan sebagai puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan
petunjuk menuju hidup yang diridai oleh Allah. Berikut ini adalah isi dari
Gurindam 12 pasal 11 beserta makna, pesan dan tanggapan terhadap pesan gurindam :
Gurindam 12
pasal 11:
1. “Hendaklah berjasa kepada yang sebangsa”
Himbauan kepada kita dapat berjasa bagi
negara dan bangsa, optimalkan setiap kemampuan yang kita punya sehingga kita
bisa mengharumkan nama bangsa
2. “Hendaklah jadi kepala, buang perangai
yang cela”
Seorang pemimpin (kepala) hendaklah
memiliki rasa tanggung jawab dan menjauhi akhlak yang tercela.
3. “Hendaklah memegang amanat, buanglah
khianat”
Jagalah
setiap kepercayaan yang telah diberikan oleh orang lain
4. “Hendak marah dahulukan hajat”
“Barangsiapa yang menahan kemarahan,
padahal dia sanggup untuk melepaskan kemarahan itu, maka Allah akan memenuhi
hati orang itu berupa keamanan dan keimanan” (HR. Abu Daud)
5. “Hendak dimulai jangan melalui”
Segala
sesuatu perlu awal untuk dimulai
6. “Hendak ramai, muliakan perangai”
Jika seseorang ingin mendapatkan sesuatu
ataupun silaturrahimnya semakin dipermudah oleh Allah, maka salah satu jalannya
adalah dengan memperbaiki perangai (tingkah laku/akhlak)
“Hendaklah berjasa kepada yang sebangsa”,
gurindam ini mengajak agar kita dapat berjasa bagi negara dan bangsa,
optimalkan setiap kemampuan yang kita punya sehingga kita bisa mengharumkan
nama bangsa. Dari gurindam ini, kita diingatkan kembali untuk berjasa kepada
negara sendiri dan bukan kepada negara asing dengan menggunakan potensi atau
kemampuan yang telah kita miliki. Tentu saja berjasa terhadap negara sendiri
penting, apalagi mempunyai suatu keinginan untuk membangun bangsa sendiri
menjadi yang lebih baik. Banyak mahasiswa berbondong-bondong untuk memasuki
perkuliahan, namun semua hal yang mereka pelajari, apakah itu untuk membangun
bangsa menjadi negara yang maju? Atau melainkan untuk kepentingan diri sendiri?
Hal ini dapat dimulai dari hal yang terkecil, seperti menggunakan produk dalam
negeri, mulai dari makanan, makeup,
pakaian dan masih banyak lagi untuk meningkatkan kualitas produksi. Serta dibanding
kita menyibukkan diri untuk mencari produk luar negeri yang susah didapat, mengapa
kita tidak menyiptakan produk sendiri yang dapat menjadi suatu kebanggan bagi
negara dan diri sendiri?
Salah satu gurindam 12 pasal 11 baitnya
yang ke-2 berbunyi demikian, “Hendaklah jadi kepala, buang perangai yang cela”,
mengartikan bahwa seorang pemimpin (kepala) hendaklah memiliki rasa tanggung
jawab dan menjauhi akhlak yang tercela. Menjadi pemimpin memang sulit, bahkan
menjadi pemimpin dalam suatu kelompok kecil yang mungkin terlihat gampang, karena
seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar dan seorang pemimpinlah
yang seharusnya menjadikan contoh bagi anggota-anggota dalam kelompoknya untuk
memiliki akhlak yang baik. Sebagai contoh, kita sebagai rakyat biasa, mungkin
memandang Presiden Jokowi sebagai seorang yang kita kagumi karena ia menjadi
pemimpin yang menunjukan kepedulian terhadap rakyatnya. Namun, apakah pernah
terlintas jika seorang presiden dikabarkan telah melakukan tindakan tercela
seperti membunuh seseorang? Apakah ia akan tetap diakui sebagai pemimpin yang
diagungkan rakyat? Tentu tidak. Maka dari itu, jadilah seorang pemimpin yang dapat meminimalisir tindakan-tindakan
tercela seperti memprovokasi menuju hal yang merugikan banyak orang, tidak
menghargai pendapat, maupun tidak melakukan tanggung jawabnya.
Menurut HR. Abu Daud, “Hendak marah
dahulukan hajat” memiliki suatu makna yaitu barangsiapa yang menahan kemarahan,
padahal dia sanggup untuk melepaskan kemarahan itu, maka Allah akan memenuhi
hati orang itu berupa keamanan dan keimanan.
Dari gurindam ini, kita diingatkan untuk menahan amarah kita karena
Allah akan berkenan untuk memberikan berkat-Nya kepada kita yang dapat menahan
diri. Marah memang bukan suatu tindakan yang salah, tetapi tidak semua
kemarahan itu harus dikeluarkan. Ada kalanya kita harus menahan kemarahan
tersebut agar tidak memperparah keadaan. Mengapa demikian? Karena dalam keadaan
emosi, pikiran kita tidak dapat terkontrol dan tidak dapat berpikir secara
jernih sehingga kebanyakan orang akan menimbulkan masalah yang lebih besar.
Sebagai contoh, ketika kita mendengar dari seorang teman, bahwa seseorang telah
memfitnah kita. Lalu, kita memilih untuk marah kepada orang yang telah
memfitnah kita sehingga terjadi perselisihan antara kita dengan dia. Padahal hal
itu hanyalah kesalahpahaman. Kita bisa saja memilih untuk tidak marah dan
mendengarkan penjelasan yang sebenarnya sehingga tidak terjadi perselisihan,
akan tetapi ketika kita memilih untuk marah, kita telah menimbulkan masalah
yang lebih besar.
Gurindam “Hendak dimulai jangan melalui”
mengatakan bahwa segala sesuatu perlu awal untuk dimulai. Hal ini mengingatkan
kita untuk memulai segala sesuatu melalui suatu proses, yaitu dari tahap paling
bawah sama halnya seperti membangun sebuah rumah. Jika kita ingin membangun
rumah maka tahap awal yang harus dilakukan yaitu dengan membangun suatu pondasi
yang akan menopang rumah tersebut, dan kita tidak dapat melompat langsung ke
tahap finishing bukan? Serta bukankah
hasil akhirnya akan lebih baik jika kita membangun menggunakan suatu pondasi
dibanding tidak menggunakan pondasi? Dengan memulai dari tahap paling dasar
lalu melangkah selangkah demi selangkah, maka kita akan menerima hasil yang dapat
menimbulkan rasa puas dan bangga tersendiri. Hal ini dapat kita samakan dengan
kehidupan sehari-hari, seperti dalam hal nilai, jabatan, prestasi, kekayaan,
bahkan ketenaran. Banyak orang tidak ingin mengambil tahap dasar yang cenderung
menyulitkan diri sendiri sehingga mereka memilih untuk “melompat” dengan menggunakan banyak cara
hingga keinginan mereka tercapai, seperti menyontek, mencuri, korupsi, dan
masih banyak lagi yang merupakan tindakan tercela. Namun, tanpa mereka sadari,
tindakan mereka telah merugikan lebih banyak orang lagi.
Tentu saja semua orang ingin memiliki banyak
teman bukan? Lalu apa yang harus dilakukan? Sebuah gurindam yang berbunyi “Hendak
ramai, muliakan perangai” mengartikan jika seseorang ingin mendapatkan sesuatu
ataupun silaturrahimnya semakin dipermudah oleh Allah, maka salah satu jalannya
adalah dengan memperbaiki perangai (tingkah laku/akhlak). Gurindam ini mengajak
kita untuk mulai memperbaiki perilaku atau tingkah laku kita jika kita ingin
memiliki kemudahan dalam bersosialisasi. Maka dari itu, kita perlu memperbaiki
tingkah laku kita mulai dari perkataan, perbuatan, serta pemikiran. Dengan
berperilaku serupa dengan Allah, maka Allah akan berkenan untuk mempermudah
kita dalam bersosialisasi. Sebagai contoh ketika kita memilih suatu barang,
kita akan memilih yang terbaik dan bukan yang buruk. Hal ini sama saat memilih
teman, kita cenderung memilih teman yang akan berdampak baik dalam hidup kita
bukan? Maka, dengan berperilaku baik, otomatis mempermudah kita
dalam bersosialisasi.
(Fiona Kristie / 12 IPA 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar