Sunlie
Thomas Alexander adalah seorang pengarang yang lahir di Belinyu, Pulau Bangka,
7 Juni 1977.Terakhir studi di jurusan Diskomvis, Fakultas Seni Rupa, ISI
Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi dan esai yang dipublikasikan di majalah
Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka, Bernas, Lampung
Post, Sriwijaya Post, Padang Ekspres, Sijori Pos, Sumatera Ekspres, Rakyat
Merdeka, Bangka Pos, majalah Hai dan lain-lain. Terhimpun sejumlah antologi
cerpen dan puisi bersama dan pemenang lomba, di antaranya, Kelekak (2005) dan
Jalan Berantu Menuju Baro. Intens bergiat di Komunitas Rumah lebah, Yogyakarta
dan bersama kawannya di Yogyakarta mendirikan Komunitas Ladang, sebuah kelompok
studi kajian social-budaya dan filsafat. Saat ini berada di Bangka untuk
menyelesaikan bakal novernya Langit Ketiga Puluh Tiga. Cerpennya Jelaga Hio
terpilih sebagai 14 Cerpen Terbaik Sayembara Menulis Cerpen Anugerah Horison
2004.
Ia
adalah seorang penulis yang handal serta terkenal dengan gaya penulisannya yang
dengan alur “flashback” dan juga selalu menggambarkan cerita berlatar belakang
sejarah maupun sejarah dalam waktu yang panjang maupun sejarah dari orang-orang
tertentu yang mereka alami. Seperti 2 cerita yang berjudul “Kenangan akan
Sebuah Pertandingan” dan “Makam Seekor Kuda”.
Dalam
Cerita Kenangan pada Sebuah Pertandingan menceritakan bagaimana pengalaman
menyakitkan seorang pemain bola yang tidak dapat terlupakan. Awalnya kejadian
ia mengingat kejadian tersebut karena setelah pertandingannya yang terakhir
ini, ia tidak pernah menginjakkan kakinya di lapangan bola itu lagi, tetapi
karena anaknya yang sangat rewel suka sekali dalam hal sepak bola. Hal itu
membuat ia menginjakan kakinya lagi di lapangan yang terakhir kali ia bermain
bola. Dalam pertandingan itu diceritakan bagaimana timnya kalah pertandingan sepak
bola yang telah menjadi harga diri kampung itu. Tetapi karena kondisi lapangan
pula yang tidak memenuhi standar tetapi memang hanya ada lapangan itu yang
dapat digunakan sehingga mau tidak mau pertandingan bola dilaksanakan di
lapangan itu. Lapangan itu dikatakan tidak sesuai standar karena dari kalibrasi
lapangan itu saja sudah tidak benar. Lapangan itu miring sebelah sehingga
membuat gawang di sisi lain lebih tinggi dari gawang yang satunya, karena hal
itu tim yang terkadang menempati posisi lebih tinggi biasanya selalu menang.
Tetapi tidak dengan pertandingan terakhir ini tim tokoh utama menempati bagian
gawang yang lebih tinggi terlebih dahulu, tetapi karena hanya suatu ketidak
beruntungan mereka kalah dan tokoh utama yang paling menyesali kejadian itu.
Saat di waktu-waktu terakhir babak ke dua, bola liar telah berada di depan
gawang tim tokoh utama, dan hanya sang tokoh utama yang dapat membuang bola
tersebut jauh-jauh, tetapi hanya karena kondisi lapangan yang miring serta
licin karena huja membuat tokoh utama terpeleset dan hanya menyentuh sedikit
bagian dari bola sebelum ditendang oleh lawannya dan merobek jala gawang tim
tokoh utama, dan hal itu membuat dirinya berhenti bermain bola.
Dalam
cerita Makam Seekor Kuda diceritakan bagaimana pada saat zaman kolonialisme
Belanda ada seorang Komandan yang sangat ditakuti oleh warga keturunan Tionghoa
yang menduduki Indonesia. Dalam cerita itu juga diceritakan bagaimana
perjuangan tokoh utama untuk membuat ibunya menerima pasangannya yang orang
Barat tersebut, tetapi sang ibu tidak suka dengan orang Barat karena mereka
menganggap orang barat itu semuanya orang Belanda. Ibu tidak merestui karena
menurut ibu kakek akan sangat marah jika mengetahui sang tokoh utama
berhubungan dengan orang barat, tetapi kakek sudah meninggal, dan pada suatu
malam kakek mendatangi sang cucuk yang belum tertidur dan kakek bercerita
tentang kuda tersebut. Pada suatu hari perayaan orang-orang Tionghoa, itu hari Pat
Ngiat Pan, puncak perayaan bulan dewa-dewi. Di hari itu orang-orang Tionghoa
sudah siap di klenteng dan siap dengan membawa patung dewa-dewa mereka, tetapi
saat mereka sudah memulainya tiba-tiba berlari 2 serdadu Belanda serta Komandan
Belanda yang ditakuti itu. Kakek dari tokoh utama tersebut menghadap sang
komandan yang menyuruh mereka untuk menghentikan acara mereka tersebut, tetapi
sang kakek menolak karena mereka sudah setengah perjalanan. Sang kakek juga
menceritakan bagaimana ia sudah mendapat izin dari asisten sang komandan,
tetapi sang komandan tetap ingin acara tersebut berhenti karena belum mendapat
persetujuan dari dia sendiri. Sang komandan pun mengamuk dan mengambil
tongkatnya dan hendak memukul patung Dewa Kwan Ti, tetapi sesaat sebelum
tongkat itu hendak mengenainya kuda yang ditunggangi oleh komandan itu tiba-tiba
berdiri dengan menganggkat kedua kaki depannya dan menjadi tidak terkendali.
Serdadu yang panik itu tanpa sengaja memembakan senjata kearah kuda itu dan
hingga kuda itu terkapar tidak bernyawa padahal itu adalah kuda kesayangan sang
Komandan yang telah ia dapatkan dari atasannya yang sebenarnya kuda itu didapat
dari seorang Jenderal Tionghoa. Komandan pun hanya dapat menangis tanpa
mempedulikan dirinya yang terjatuh cukup kencang. Komandan itu kemudia
membuatkan sang kuda itu makam sebelum masa 3 bulan jabatannya berakhir. Sang
komandan pun sempat akan membuat sebuah patung untuk kudanya tetapi masa
jabatannya berakhir. Setelah kejadian itu sang kakek bermimpi tentang ia di
datangi sesosok yang sangat tinggi, gagah dan, berkumis panjang serta membawa senjata
yang tidak asing ia lihat dan juga menunggangi kuda komandan tersebut. Sosok
tersebut tak lain adalah Dewa Kwan Kong sang Dewa Perang, sehingga sang kakek
menganggap bahwa kuda itu adalah kuda titisan dewa untuk menyelamatkan kaum
Tionghoa yang ditindas dibebaskan dengan mengorbankan kuda tersebut. Sehingga
akhirnya mereka sering bersembayang untuk kuda itu karena itu adalah kuda
utusan dari dewa. Setelah itu sang tokoh utama tersebut pun bertanya bagaimana
dengan pasangannya orang Belgia tersebut dan sang kakek setuju sehingga sang
wanita pun ikut untuk berdoa bersama dengan tokoh utama.
Dalam sinopsis kedua cerita itu sama-sama menceritakan bagaimana
dalam karya cerpen Thomas, ia selalu menuliskan dengan cara masa lalu suatu
tokoh dan juga waktu yang telah berlalu cukup lama dalam masa lalu seseorang. Thomas
menceritakan dengan
runtut, satu demi satu, bagaimana tokoh-tokoh ini bereaksi dalam setiap
masalah-masalah yang muncul. Mulai dari perkenalan penokohan dari peran utama,
lalu mulai muncul masalah, sampai bagaimana masalah meningkat dan selesai
melewati alur “Flashback”. Thomas menulis banyak cerpen, mau dari yang melatar
belakangi hal-hal di Indonesia hingga hal-hal yang menyangkut Indonesia tetapi
menyangkut dengan cerita lain. Pengaturan bahasa dan juga alur membuat cerita
tidak bosan untuk dibaca dan juga membuat kita penasaran dengan apa yang
terjadi dalam cerita itu. Bahasa yang mudah juga digunakan disetiap cerpen
Thomas sehingga cerpen tersebut dapat dibaca oleh segala kalangan masyarakat dan
juga mudah dimengerti. Cerita yang ditlusikan juga tidak bertele-tele dan
membuat cerpen ini terasa pendek walaupun cerpen yang kebanyakan ia tulis
lumayan panjang. (Matthew 12 IPA1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar