Vulgar, seks, perempuan, dan bahasa yang straight. Mungkin itu yang
akan kita pikirkan jika mendengar dan membaca tulisan
Djenar Maesa Ayu. Djenar Maesa Ayu lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Djenar merupakan salah seorang penulis Indonesia yang
cukup terkenal dengan karya-karyanya yang mengangkat kehidupan metropolitan.
Tulisannya yang khas dan berani ini membuatnya menjadi salah satu penulis yang
patut diberi penghargaan. Karya-karyanya yang selalu membawakan tema
seksualitas seperti cerpen yang berjudul “Menyusu Ayah”, “Jangan main-main
(dengan Kelaminmu)”, “Mereka bilang, saya Monyet”, juga dengan bahasanya
yang straight membuatnya menerima banyak kritik dari berbagai
kalangan. Akan tetapi, tulisannya masih sedap untuk dibaca sampai sekarang
bahkan sudah beberapa kali dicetak. Kesuksesannya menjadi seorang penulis tidak
lain karena ia tetap mempertahankan tulisannya walaupun ia menerima kecaman dan
kritik pedas dari berbagai kalangan hingga banyak pembaca yang kini malah
beralih menunggu tulisannya. Hal itu juga terlihat dalam
cerpen “Air” dan “Saia”.
Cerpen “Air”
menceritakan seorang perempuan muda yang hamil di luar
nikah. Pria yang menghamilinya menolak untuk bertanggung jawab. Meskipun begitu, tokoh
aku memutuskan untuk melahirkan, membesarkan, dan menjaga anaknya dalam
keterbatasan serta mau melakukan apa saja untuk anaknya. Hal ini menunjukkan bagaimana karakter “aku” digambarkan penulis
melalui perilaku/tindakan tokoh. Selain karakter, bahasa yang digunakan penulis
pun tanpa basa-basi.
“Air putih kental itu saya
terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga
lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga. Menerima. Membuahinya.
Ada perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual merajalela. Pun mulai
membukit perut saya. Ketika saya ke dokter kandungan untuk memeriksakannya,
sudah satu bulan setengah usia janinnya.
“Akan
kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda,” kata ayahnya.
Saya akan menjaganya.”
Tokoh-tokoh
yang dihadirkan seolah datang dari sisi gelap dunia, jahat, sinis, dan jauh
dari kesan hero. Mereka yang hadir dalam kumpulan cerpen ini penuh paradoks.
Orang-orang yag merindukan kebebasan dengan cara apa pun. Orang-orang yang
ingin mencari kebahagiaan di tengah dunia yang menyakitkan.
Seperti dalam cerpen “Air” dimana
dapat kita lihat penderitaan seorang perempuan dan ketidak bertanggung jawabnya
seorang laki-laki yang telah melakukan tindakan diluar pernikahan. Namun tidak ingin bertanggung
jawab terhadap anaknya. Sang perempuan yang ingin mencari kebahagian
ditengah-tengah harus mengurus anaknya beserta bekerja ditengah usianya yang
masih sangat muda. Dan sang lelaki yang hanya ingin memanfaatkan perempuan dan
mencari kesenangan untuk dirinya sendiri. Pesan
moral dari cerpen “air” ini juga sangat ditampilkan dengan jelas, yaitu untuk
bertanggung jawab. Tulisan Djenar ini cenderung memilki tujuan tertentu, ia
tidak menulis sebuah cerpen dengan pemikiran yang penting jadi sebuah karya,
tetapi ia ingin menulis cerpen untuk membangun nilai moral di Indonesia dan
menungkapkan isi hatinya sebagai pembelajaran bagi pembacanya.
Anindya Legia
Putri mencatat dalam artikel beritanya di Tempo.co tentang Djenar yaitu, dalam buku
SAIA, Djenar secara konsisten, jujur, dan berani menyuarakan suara perempuan
yang terbungkam dalam kasus seksualitas dan moral, khususnya dalam masyarakat
metropolitan. "Kita ini dilindungi hukum, tapi hukum juga yang tak
melindungi kaum perempuan. Kasus pelecehan seksual di Indonesia itu tidak
mengalami kemunduran ataupun kemajuan. Stuck karena tidak adanya dukungan dari
pemerintah," kata anak dari sutradara Syuman Djaya ini.
Selain itu, latar belakang masyarat
dari cerpen yang ditulis oleh Djenar juga berkaitan dengan kondisi sosial saat
ini yang merupakan unsur ekstrinsik dari cerpen ini. Penulis merasa
ketidakadilan sedang berada pada dirinya. Oleh sebab itulah ide emansipasi
muncul dalam diri penulis. Laki-laki memang menjadi seorang pemimpin namun
bukanlah seorang pemimpin yang baik, bukan laki-laki yang memikirkan
kesejahteraan hidup orang banyak.
“Akan
kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda,” kata ayahnya.Saya akan
menjaganya.” Dari kutipan ini sudah sangat jelas bahwa
kondisi sosial dari cerita ini adalah melakukan hubungan seksual di luar
pernikahan karena di katakan bahwa mereka masih sangat muda. Dengan kata yang
cukup tegas, Djenar menggunkan bakat
yang ia dapat untuk menulis cerpen ini mengingat makin maraknya hubungan
seksual di luar pernikahan bahkan pelecehan seksual di kalangan siswa/i. Yang
merupakan salah satu hal yang membuat Djenar cukup prihatin atas apa yang
terjadi di kehidupan sekarang ini sehingga bertekad untuk menulis cerpen yang
berjudul “Air” ini walaupun akan mendapat banyak kritik karena bahasa yang ia
gunakan cukup eksplisit atau tabu.
Walaupun dikatakan cerpen karya
Djenar ini selalu bertemakan seksualitas, namun berbeda dengan cerpen yang
berjudul Saia ini. Cerpen saia lebih bertemakan kepada kekerasan yang diterima
oleh tokoh “Aku” dari kedua orang tuanya yang selalu bertengkar mengenai semua
hal terkecuali saat menghukum anaknya yang tidak bersalah ini. Sehingga tokoh
“Aku” ini merasa kesepian dan memiliki teman khayalan yang selalu mengajaknya
bermain petak umpet dan menyembunyikan ingatannya. Namun, tetap mengangkat
moral-moral yang bertentangan dengan hukum.
Dapat dilihat dari kutipan cerpen
“Saia” sebagai berikut :“Mereka pun
menghukum saya tanpa belas kasihan. Bergantian melemparkan caci makian.
Bersamaan melayangkan tamparan demi tamparan. Juga tonjokan. Tak terkecuali
tendangan. Mereka tak peduli walau saya sudah menangis minta ampun dan merintih
kesakitan. Sepertinya, hanya saat menghukum saya itulah pendapat mereka tak
lagi berseberangan. Mereka yang semula bagai anjing dan kucing, tiba-tiba
berubah bak teman seperkutuan.”
Sama halnya dengan cerpen “Air”,
cerpen “Saia” ini juga mengandung tokoh yang sisi gelap dunia, jahat, sinis,
dan jauh dari kesan hero. Mereka yang hadir dalam kumpulan cerpen ini penuh
paradoks. Dalam cerpen “Saia” dimana tokoh aku mendapatkan perlakuan kekerasaan
walaupun tidak melakukan kesalahan apapun, dan mencari kesenangannya dengan
bermain petak umpet bersama teman khayalannya. Orang tua di dalam cerpen ini
juga melambangkan sisi yang jahat, yang tidak mempertanggung jawabkan
kewajibannya sebagai orang tua, yang selalu melakukan tindak kekerasan terhadap
anak dan selalu saling bertengkar.
Di tambah tokoh “aku” yang sering
berkhayal memiliki teman karena ia merasa kesepian. Seperti dalam kutipan
berikut : “Ia membawa lari ingatan saya lagi. Entah di mana kali ini Ia
bersembunyi. Yang saya tahu kepiawaian Ia mencari tempat persembunyian makin
hebat saja dari hari ke hari. Jadi pasti akan sulit sekali mencarinya kali
ini.Kami teman semasa kecil. Bisa dibilang, Ia adalah satu-satunya teman yang
saya miliki sebagai anak yang merasa terkucil.” Dimana tokoh “ia” diatas
merupakan teman khayalannya.
Maka, jika ingin mencari unsur kebahagiaan
di cerpen buatan Djenar, maka anda salah besar. Karena kedua cerpen ini sangat
jauh dari unsur bahagia, sebaliknya penuh dengan kejahatan. Seperti membuka
mata kita dari kehidupan di luar sana yang sebenarnya terjadi, berbeda dengan
cerita-cerita dongeng yang biasanya identik dengan happy ending atau live
happily ever after. Menyadarkan pembaca bahwa tindak kejahatan tidak
berkurang, malah semakin tahunnya semakin bertambah.
Kondisi sosial cerpen “Saia”, sama
dengan cerpen “Air”, djenar menulis cerpen ini dengan keprihatinannya akan
kehidupan pada masa sekarang ini. Namun, cerpen “Saia” lebih membahas kondisi
sosial tentang kekerasan dalam sebuah keluarga, dimana orang tua tidak
mensyukuri atas anak yang telah diberikan Tuhan dan tidak bertanggung jawab
dengan kewajibannya sebagai orang tua. Keduanya tetap membahas tentang suatu
keluarga yang telah hancur oleh ego masing-masing.
Dapat kita lihat lagi dalam kutipan : “Mereka pun menghukum saya tanpa belas
kasihan. Bergantian melemparkan caci makian. Bersamaan melayangkan tamparan
demi tamparan. Juga tonjokan. Tak terkecuali tendangan. Mereka tak peduli walau
saya sudah menangis minta ampun dan merintih kesakitan. Sepertinya, hanya saat
menghukum saya itulah pendapat mereka tak lagi berseberangan. Mereka yang
semula bagai anjing dan kucing, tiba-tiba berubah bak teman seperkutuan.”
Bahwa kedua orang tua nya mendukung untuk menghukum anaknnya sendiri.
Djenar menulis cerpen dengan bahasa yang straight, tidak basa-basi, sebagian
besar mengangkat tema seksualitas yang dianggap tabu untuk dibicarakan dalam
masyarakat dan ditambah tokoh-tokoh yang disajikan merupakan tokoh yang penuh
kejahatan, semua ini tidak lain untuk mengungkapkan isi hatinya atas
keprihatinan kehidupan kota masa kini. Itulah yang membuat djenar tidak
menyerah untuk menulis walupun menerima banyak kritik disetiap cerpennya. Akan
tetapi, terkadang karena gaya bahasanya yang penuh mana ini dan merupakan
kategori cerpen kompas, dibutuhkan pembacaan lebih dari sekali untuk mengerti
cerpen ini. Namun, setelah kita membacanya berkali-kali, kita dapat dengan
mumdah mengerti cerita dari cerpen kompas ini, bahkan mengertyang ingin
disampaikan Djenar pada pembaca. (Fiona Kristie / 12 IPA 1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar