Damhuri Muhammad yang lahir pada tanggal 1 Juli 1974, merupakan
salah satu penulis karya sastra yang cukup ternama di mata masyarakat telah
menciptakan berbagai karya sastra, khususnya cerpen yang berkualitas dan sangat
layak untuk dibaca bagi masyarakat. Dalam cerpen yang dibuat oleh Damhuri, Ia
selalu menitikberatkan cerpen-cerpennya dengan nilai moral yang tersirat. Hal
ini merupakan alasan kita untuk membaca cerpen-cerpen karagannya. Banyak novel
serta cerpen buatannya kita jumpai di majalah dan koran nasional, dan salah
satu cerpennya yang berjudul Prahara Meja Makan diterbitkan dalam koran kompas.
Cerpen “Prahara Meja Makan” ini menceritakan kehidupan sebuah keluarga
miskin yang terdiri dari ibu dan satu anak lelaki bernama Buyung, yang memiliki
keinginan untuk melihat mobil sedan, sehingga Ia sering memikirkan cara agar
dapat membeli mobil sedan yang sering kali ia lihat dalam layar televisi hitam
putih milik tetangganya. Sampai suatu hari saudara ibu Buyung datang dan
membawa mobil sedan, sehingga keinginan Buyung untuk melihat mobil sedan pun
terpenuhi, akan tetapi saat Buyung sedang mendekati mobil tersebut, suami dari
saudara ibu Buyung itu membentakknya agar tidak memegang badan mobil tersebut
karena Ia takut mobilnya lecet. Keinginan Buyung untuk memegang sedan pun
hilang, dan setiap saudara Ibunya datang Buyung lebih memilih untuk menyendiri
sambil membayangkan cara untuk memiliki mobil sedan sambil mengembara
peliharaanya ketimbang berkumpul dengan saudara – saudaranya yang angkuh.
Dari sinopsis cerpen tersebut, dapat kita lihat bagaimana kesenjangan
sosial yang terjadi dalam kedua keluarga tersebut, keluarga Buyung berlatar
belakang miskin dan keluarga saudara ibu Buyung berlatar belakang berkecukupan.
Kita pun dapat melihat dari latar belakang sosial yang ada di Indonesia,
terjadinya kesenjangan sosial yang sangat tinggi antara orang yang makmur
dengan fakir miskin. Hal ini dapat dilihat dalam paragraf :
“Sudah lama
Buyung memendam hasrat hendak melihat mobil sedan. Maklum, kampungnya amat udik.
Jalannya nyaris belum pernah dilintasi sedan. Bila ada mobil yang melintas, itu
hanya truk rongsok pengangkut kayu bakar yang datang Senin dan Kamis, dengan
suara mesin serupa erangan pengidap sesak napas paling parah.”
“Di mata mereka, keluarga saudara-saudara
ibu Buyung yang berlimpah harta adalah tauladan tentang orang-orang yang
berhasil menghela peruntungannya. Keluarga besar Buyung harum namanya, tampak
sangat mulia di permukaan, padahal tercela luar biasa di kedalaman.
Bergonta-ganti mobil saban tahun, berderma di sana-sini, tapi perangainya
membusuk di kaus kaki.”
Selain itu kita dapat melihat bagaimana Damhuri menceritakan cerpen ini dengan
alur yang jelas disertakan dengan bahasa yang gampang dimengerti sehingga para
pembaca dapat dengan mudah memetik nilai – nilai yang tersirat dalam cerita
tersebut. Dimulai dari pengenalan watak tokoh dan penokohan yang jelas, sampai
terjadinya permasalahan yang semakin lama semakin membesar, hingga diakhiri
dengan dendam yang tak termaafkan.
Serupa dengan cerpen Damhuri sebelumnya, cerpen ini yang juga dibuat
oleh Damhuri yang berjudul Juru Masak merupakan salah satu cerpen yang paling
tenar yang meceritakan perjuangan sesosok lelaki yang menggapai kesuksesan di
perantauan, melarikan diri dari kampung karena cintanya yang tak mendapat
restu. Dimulai dari sebuah keluarga yang
terdiri dari ayah dan anak lelakinya bernama Azrial, anak seorang juru masak,
jatuh cinta kepada seorang wanita yang bernama Renggogeni, anak tunggal dari
tuan tanah. Akan tetapi, cinta mereka tidak direstui oleh ayah Renggogeni,
dikarenakan Azrial hanyalah anak dari seorang juru masak. Sehingga Renggogeni
dijodohkan dengan Yusnaldi, perwira muda polisi yang karirnya lekas menanjak.
Lalu, diadakanlah pernikahan dengan acara yang mewah dikarenakan mereka adalah
keluarga yang berkelimpahan sehingga mereka harus merayakan penikahan dengan
sangat istimewa. Akan tetapi Makaji, ayah Azrial yang ditugaskan untuk menjadi
juru masak tidak hadir, sehingga makanan yang tersaji sangat mengecewakan para
tamu dalam pesta pernikahan itu, gulai kambing tak ada rasa, kuah gulai rebung
seperti kuah sayur toge dan dagingnya keras, sehingga tidak mengundang selera
para tamu. Ternyata dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak
laki-laki Makaji, datang dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini,
juru masak itu sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan
menghabiskan hari tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang telah
kehilangan juru masak handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian
Makaji sampai juga ke telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat
membayangkan betapa terpiuh-piuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar
kekasih pujaannya telah dipersunting lelaki lain.
Dalam cerpen diatas yang berjudul Juru Masak dapat kita bandingkan
dengan cerpen yang juga dibuat oleh Damhuri yang berjudul Prahara Meja Makan.
Adanya persamaan kesenjangan sosial yang terjadi yaitu keluarga Azrial yang
berlatar belakang miskin dan keluarga Renggogeni yang berlatar belakang
berkelimpahan. Hal ini dibuktikan dalam paragraf :
“Siapa lagi anak gadis Mangkudun kalau bukan Renggogeni,
perempuan masa lalunya. Musabab hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain
adalah Renggogeni, anak perempuan tunggal babeleng itu. Siapa pula yang tak
kenal Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga
wilayah kampung ini miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh Panjang yang
kesulitan uang selalu beres di tangannya, mereka tinggal menyebutkan sawah,
ladang atau tambak ikan sebagai agunan, dengan senang hati Mangkudun akan
memegang gadaian itu.”
“Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak
berbatu, seperti sawah tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tapi
tidak patut rasanya Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata.”
Kedua cerpen yang dibuat oleh Damhuri pun memuat moral yang dapat kita
petik untuk kebaikan masyarakat yaitu jangan memandang rendah orang yang
martabatnya lebih rendah dari kita, karena dimata Tuhan kita sederajat dan
kehidupan dapat diumpamakan seperti roda berputar terkadang kita dapat berada
diatas dan dengan dalam waktu yang singkat kita juga dapat berada dibawah oleh
karena itu dengan adanya kesenjangan sosial baiklah kita yang berkecukupan
dapat membantu orang – orang yang membutuhkan pertolongan kita.
Karya seni sepatutnya tidak lepas dari teori, sejarah
dan kritiknya, melalui kajian dan analisis kita sebagai pembaca memiliki interpretasi masing –
masing yang membentuk suatu kritik terhadap cerpen yang kita baca. Manusia menciptakan
suatu karya seni melalui proses yang dialami dalam kehidupan nyata, dan dari
pengalaman penulis pun akhirnya menceritakan peristiwa yang terjadi dalam
bentuk cerpen. Karya tulis yang
dibuat oleh Damhuri ini sangat menyentuh hati para pembaca, dengan gaya bahasa
yang lugas dan jelas, sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca.
Damhuri dapat menceritakan peristiwa – peristiwa yang kerap kali terjadi dalam
masyarakatt, dan dengan adanya cerpen ini, diharapkan pembaca dapat menjadikan
moral yang terkandung menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar