Selasa, 15 September 2015

Pesan Moral dari Sebuah Tema Cerpen



Fandrik HS Putra yang biasa dikenal dengan panggilan Fandrik Ahmad, lahir di Jember pada 29 Juli 1990. Saat ini Fandrik bekerja sebagai pengajar di Yayasan Pendidik Islam Nurul Mannan. Selain mengajar, aktivitas menulis masih terus dilakukan di berbagai surat kabar, seperti cerpen berjudul Tenung dan Lelaki Ketujuh.
Kedua cerpen karya Fandrik yang berjudul Tenung dan Lelaki ketujuh memiliki unsur ekstrinsik yang sama dan menonjol, yaitu nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan mistis/gaib.
Di dalam cerita ini orang-orang memiliki kepercayaan bahwa kendi tasoddul milik perempuan yang meninggal saat sedang mengandung. Konon, ruang dalam kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir dipercaya oleh warga dapat membaca perkara gaib. Dapat dilihat dari kutipan kalimat berikut :
Hal lain yang membuat Murtaep menjadi terpandang adalah kendi yang dipakai untuk tenung. Tempat air bercerat yang terbuat dari tanah liat itu bukanlah sembarang kendi. Orang menyebutnya kendi tasoddul, milik perempuan hamil yang meninggal sebelum melahirkan. Konon, ruang dalam kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir.
“Arwah bocah yang mati sebelum lahir dipercaya dapat membaca perkara gaib. Arwah bocah itu diibaratkan sehelai kapas putih tanpa noda.”
“Kapas putih?”                                                                                       
“Ya, bayi yang baru lahir ibarat kapas putih, Nak. Bersih tanpa noda dosa.”

Selain unsur ekstrinsik yang sama, kedua cerpen karya Fandrik ini memilliki unsur intrisik penokohan perilaku yang sama hal tersebut dapat dilihat dari kalimat dibawah ini, bahwa dalam cerpen berjudul “Tenung” murtaep selalu membumbui aksinya dengan usaha campur tangan tuhan maka dapat disimpulkan bahwa tokoh murtaep memiliki karakter yang baik, soleh, dan taat kepada Tuhan. Sedangkan pada cerpen berjudul “Lelaki Ketujuh” tokoh lelaki ketuju adalah orang yang rajin beribadah dan juga ia selalu mengajak istrinya untuk taat beribadah juga. Maka dapat disimpulkan bahwa tokoh lelaki ketujuh memiliki karakter yang sama dengan Murtaep yaitu soleh, rajin beribadah, dan taat kepada Tuhan.
Pada cerpen berjudul “Tenung” tokoh yang bernama Murtaep memiliki karakter yang baik, soleh, dan taat kepada Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan kalimat berikut :
Perkara gaib yang terjadi sangat cepat itu membelalakkan pasang mata. Anak itu tak lagi mengamuk. Murtaep berusaha menetralisir suasana. Berkoar betapa yang dilakukannya tadi sebuah usaha mengusir makhluk halus yang terperangkap di tubuh anak itu. Tak lupa ia membumbui aksinya dengan usaha campur tangan Tuhan.
Pada cerpen berjudul “Lelaki Ketujuh” tokoh Lelaki Ketujuh juga memiliki karakter tokoh yang soleh, rajin beribadah, dan taat kepada Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan kalimat berikut :
“Dik, mari salat. Sebentar lagi Ashar,” tukas lelaki ketujuh itu. Aku beranjak mengikuti langkahnya ke perigi. Ia berbeda dengan keenam lelaki sebelumnya. Sejak pernikahan saya dengan lelaki pertama, baru lelaki ketujuh ini yang senantiasa menjaga lima tiang waktu saya sebagai manusia beragama.

       Tenung menceritakan sebuah kisah seorang tokoh bernama Murtaep yang meninggal dan kabar kematiannya menyebar sangat cepat karena murtaep memiliki kesaktian. Murtaep meramalkan bahwa ia akan mati karena tersambar petir namun ternyata ia mati dengan sangat biasa tidak seperti yang ia koarkan. Murtaep bisa meramalkan nasib karena ia memiliki sebuah kendi, namun kendi itu bukan kendi biasa melainkan kendi tasoddul. Kendi tersebut milik perempuan hamil yang meninggal sebelum melahirkan, konon ruang dalam kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir. Silus adalah anak laki-laki tunggal dari tiga bersaudara maka Silus merasa bahwa ialah yang paling pantas mewarisi kendi tersebut. Silus mencoba menggunakan kendi itu berkali-kali namun terus menerus gagal, akhirnya silus kesal dan membanting kendi itu. Suara pecahnya kendi itu terdengar sampai ke kamar sulastri, kemudian sulastri mengecek apa yang sebenarnya terjadi namun pada saat ia mengecek ternyata kendi tersebut sudah berada di lantai dengan kondisi yang utuh seperti semula.
       Pesan moral dari cerita yang berjudul “Tenung” adalah kita sebagai manusia bisa saja meramalkan nasib jika itu merupakan anugerah dari Tuhan namun semahir apapun kita, kita hanyalah peramal nasib dan bukan penentu nasib. Penentu nasib kita adalah Tuhan.
            Sementara itu, Lelaki Ketujuh menceritakan Taris yang berusia 25 tahun sudah menikah sebanyak 6 kali, namun pernikahannya selalu gagal. Pernikahannya hanya bertahan paling lama 10 hari dan karena itu ia masih perawan walaupun sudah menikah 6 kali karena setiap malam suaminya selalu berubah wujud menjadi berbagai macam binatang dan ia menceraikan suaminya setelah hal itu terjadi. Akhirnya ia diminta oleh orang tuanya untuk menikah lagi dengan lelaki yang ketujuh, tarispun menyetujuinya walaupun ia takut suaminya akan berubah menjadi binatang lagi. Namun lelaki ketujuh ini berbeda dengan mantan suaminya yang sebelumnya karena taris baru pertama kali menikah dengan lelaki yang senantiasa menjaga lima tiang waktu Taris sebagai manusia. Saat waktu tahajjud seperti yang Taris duga suaminya berubah menjadi binatang lagi, dan tarispun mengusir suaminya. Pagi pun tiba dan pada suatu saat Taris dan suaminya merasakan hal yang aneh dirumahnya. Akhirnya suaminya memutuskan untuk pergi ke kiai Zainur. Kiai Zainur adalah pengasuh di pesantren dimana suaminya Taris menimba ilmu. Malam pun tiba dan Kiai Zainur melakukan ritual-ritualnya dan akhirnya menyiramkan air ke gundukan tanah di dekat pintu, kemudian akhirnya mereka menemukan sebuah kain kafan dan Kiai Zainur menduga bahwa itu adalah tanda bahwa ada seseorang yang menginginkan Taris.
       Pesan moral dari cerita yang berjudul “Lelaki Ketujuh” adalah tidak ada yang sulit selama kita mau berusaha dan terus berdoa dan percaya pada Tuhan.
       Maka dari kedua pesan moral di atas dapat disimpulkan bahwa kedua cerita karya Fandrik memiliki pesan moral yang hampir sama yaitu kita semua hanyalah manusia biasa dan kita harus senantiasa berdoa dan meminta pertolongan tuhan dalam menyelesaikan permasalahan kita.
        Alur yang dibangun pada kedua cerpen tersebut tidak diceritakan secara detail tentang asal kekuatan gaibnya. Pada cerpen yang berjudul “Tenung” di bagian akhirnya diceritakan bahwa kendi tersebut telah dibanting namun ternyata kendi tersebut kembali utuh, tetapi tidak diceritakan mengapa kendi tersebut bisa kembali utuh seperti semula. Sementara, pada cerpen yang perjudul “Lelaki Ketujuh” diceritakan bahwa setiap hari pada malam hari suami tokoh Aku berubah menjadi berbagai binatang lalu akhirnya ditemukan kain kafan yang diduga merupakan penyebab dari hal aneh tersebut, namun tidak diceritakan apa hubungannya kain kafan tersebut terhadap hal aneh tersebut dan tidak dijelaskan apa kekuatan kain kafan tersebut.
            Semoga pada karya berikutnya Fandrik Ahmad bisa mengambil tema atau latar yang berbeda, seperti kondisi sosial atau politik, ataupun kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. (Leonardo Hansen 12 IPA1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar