Fandrik HS Putra yang biasa dikenal dengan panggilan Fandrik Ahmad, lahir di Jember pada 29 Juli 1990. Saat ini Fandrik bekerja sebagai pengajar di
Yayasan Pendidik Islam Nurul Mannan. Selain mengajar, aktivitas menulis masih
terus dilakukan di berbagai surat kabar, seperti cerpen berjudul Tenung dan Lelaki Ketujuh.
Kedua cerpen karya Fandrik yang berjudul Tenung dan Lelaki ketujuh memiliki
unsur ekstrinsik yang sama dan menonjol, yaitu nilai-nilai budaya yang berhubungan
dengan mistis/gaib.
Di dalam cerita ini orang-orang memiliki
kepercayaan bahwa kendi tasoddul milik perempuan yang meninggal saat sedang
mengandung. Konon, ruang dalam kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati
sebelum lahir dipercaya oleh warga dapat membaca perkara gaib. Dapat dilihat dari kutipan kalimat berikut :
Hal lain yang membuat Murtaep menjadi terpandang adalah kendi yang
dipakai untuk tenung. Tempat air bercerat yang terbuat dari tanah liat itu
bukanlah sembarang kendi. Orang menyebutnya kendi tasoddul, milik
perempuan hamil yang meninggal sebelum melahirkan. Konon, ruang dalam
kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir.
“Arwah bocah yang mati sebelum lahir dipercaya dapat membaca perkara
gaib. Arwah bocah itu diibaratkan sehelai kapas putih tanpa noda.”
“Kapas putih?”
“Ya, bayi yang baru lahir ibarat kapas putih, Nak. Bersih tanpa noda
dosa.”
Selain unsur
ekstrinsik yang sama, kedua cerpen karya Fandrik ini memilliki unsur intrisik penokohan
perilaku yang sama hal tersebut dapat dilihat dari kalimat dibawah ini,
bahwa dalam cerpen berjudul “Tenung” murtaep selalu membumbui aksinya dengan
usaha campur tangan tuhan maka dapat disimpulkan bahwa tokoh murtaep memiliki
karakter yang baik, soleh, dan taat kepada Tuhan. Sedangkan pada cerpen
berjudul “Lelaki Ketujuh” tokoh lelaki ketuju adalah orang yang rajin beribadah
dan juga ia selalu mengajak istrinya untuk taat beribadah juga. Maka dapat
disimpulkan bahwa tokoh lelaki ketujuh memiliki karakter yang sama dengan
Murtaep yaitu soleh, rajin beribadah, dan taat kepada Tuhan.
Pada cerpen
berjudul “Tenung” tokoh yang bernama Murtaep memiliki karakter yang baik,
soleh, dan taat kepada Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan kalimat
berikut :
Perkara gaib
yang terjadi sangat cepat itu membelalakkan pasang mata. Anak itu tak lagi
mengamuk. Murtaep berusaha menetralisir suasana. Berkoar betapa yang
dilakukannya tadi sebuah usaha mengusir makhluk halus yang terperangkap di
tubuh anak itu. Tak lupa ia membumbui aksinya dengan usaha campur tangan Tuhan.
Pada
cerpen berjudul “Lelaki Ketujuh” tokoh Lelaki Ketujuh juga memiliki karakter
tokoh yang soleh, rajin beribadah, dan taat kepada Tuhan. Hal tersebut dapat
dilihat dari kutipan kalimat berikut :
“Dik,
mari salat. Sebentar lagi Ashar,” tukas lelaki ketujuh itu. Aku
beranjak mengikuti langkahnya ke perigi. Ia berbeda
dengan keenam lelaki sebelumnya. Sejak pernikahan saya dengan
lelaki pertama, baru lelaki ketujuh ini yang senantiasa menjaga lima tiang
waktu saya sebagai manusia beragama.
Tenung
menceritakan sebuah kisah seorang tokoh bernama Murtaep yang meninggal dan kabar kematiannya menyebar sangat cepat
karena murtaep memiliki kesaktian. Murtaep meramalkan bahwa ia akan mati karena
tersambar petir namun ternyata ia mati dengan sangat biasa tidak seperti yang
ia koarkan. Murtaep bisa meramalkan nasib karena ia memiliki sebuah kendi,
namun kendi itu bukan kendi biasa melainkan kendi tasoddul. Kendi tersebut
milik perempuan hamil yang meninggal sebelum melahirkan, konon ruang dalam
kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir. Silus adalah anak
laki-laki tunggal dari tiga bersaudara maka Silus merasa bahwa ialah yang
paling pantas mewarisi kendi tersebut. Silus mencoba menggunakan kendi itu
berkali-kali namun terus menerus gagal, akhirnya silus kesal dan membanting
kendi itu. Suara pecahnya kendi itu terdengar sampai ke kamar sulastri,
kemudian sulastri mengecek apa yang sebenarnya terjadi namun pada saat ia
mengecek ternyata kendi tersebut sudah berada di lantai dengan kondisi yang
utuh seperti semula.
Pesan moral
dari cerita yang berjudul “Tenung” adalah kita sebagai manusia bisa saja
meramalkan nasib jika itu merupakan anugerah dari Tuhan namun semahir apapun
kita, kita hanyalah peramal nasib dan bukan penentu nasib. Penentu nasib kita
adalah Tuhan.
Sementara
itu, Lelaki Ketujuh menceritakan Taris yang berusia 25 tahun sudah menikah sebanyak 6
kali, namun pernikahannya selalu gagal. Pernikahannya hanya bertahan paling
lama 10 hari dan karena itu ia masih perawan walaupun sudah menikah 6 kali
karena setiap malam suaminya selalu berubah wujud menjadi berbagai macam
binatang dan ia menceraikan suaminya setelah hal itu terjadi. Akhirnya ia
diminta oleh orang tuanya untuk menikah lagi dengan lelaki yang ketujuh,
tarispun menyetujuinya walaupun ia takut suaminya akan berubah menjadi binatang
lagi. Namun lelaki ketujuh ini berbeda dengan mantan suaminya yang sebelumnya
karena taris baru pertama kali menikah dengan lelaki yang senantiasa menjaga
lima tiang waktu Taris sebagai manusia. Saat waktu tahajjud seperti yang Taris
duga suaminya berubah menjadi binatang lagi, dan tarispun mengusir suaminya.
Pagi pun tiba dan pada suatu saat Taris dan suaminya merasakan hal yang aneh
dirumahnya. Akhirnya suaminya memutuskan untuk pergi ke kiai Zainur. Kiai
Zainur adalah pengasuh di pesantren dimana suaminya Taris menimba ilmu. Malam
pun tiba dan Kiai Zainur melakukan ritual-ritualnya dan akhirnya menyiramkan
air ke gundukan tanah di dekat pintu, kemudian akhirnya mereka menemukan sebuah
kain kafan dan Kiai Zainur menduga bahwa itu adalah tanda bahwa ada seseorang
yang menginginkan Taris.
Pesan moral
dari cerita yang berjudul “Lelaki Ketujuh” adalah tidak ada yang sulit selama
kita mau berusaha dan terus berdoa dan percaya pada Tuhan.
Maka dari
kedua pesan moral di atas dapat disimpulkan bahwa kedua cerita karya Fandrik
memiliki pesan moral yang hampir sama yaitu kita semua hanyalah manusia biasa
dan kita harus senantiasa berdoa dan meminta pertolongan tuhan dalam
menyelesaikan permasalahan kita.
Alur yang dibangun pada kedua cerpen tersebut tidak diceritakan secara detail tentang asal kekuatan gaibnya. Pada cerpen yang
berjudul “Tenung” di bagian akhirnya diceritakan bahwa kendi tersebut telah
dibanting namun ternyata kendi tersebut kembali utuh, tetapi tidak diceritakan
mengapa kendi tersebut bisa kembali utuh seperti semula. Sementara, pada cerpen yang perjudul “Lelaki Ketujuh” diceritakan
bahwa setiap hari pada malam hari suami tokoh Aku berubah menjadi berbagai
binatang lalu akhirnya ditemukan kain kafan yang diduga merupakan penyebab dari
hal aneh tersebut, namun tidak diceritakan apa hubungannya kain kafan tersebut
terhadap hal aneh tersebut dan tidak dijelaskan apa kekuatan kain kafan
tersebut.
Semoga pada karya berikutnya Fandrik Ahmad bisa mengambil tema atau latar yang berbeda, seperti
kondisi sosial atau politik, ataupun kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. (Leonardo Hansen 12 IPA1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar