Martin
Aleida adalah seorang penulis kelahiran Tanjung Balai, Sumatra Utara yang
bernama asli Nurlan Daulay. Beliau adalah seorang jurnalis dan penulis cerpen
yang telah aktif menulis untuk surat kabar semenjak tahun 1961. Beliau pernah sempat
mendiami balik jeruji pada saat keadaan genting G30S PKI karena terlibat dalam
kegiatan dalam surat kabar Harian Rakyat
yang merupakan Koran resmi PKI. Martin Aleida selalu menempatkan tulisan fiksi
yang berupa cerpen sebagai langit tertinggi. Seperti ketika saat beliau
menjabat sebagai jurnalis resmi Harian
Rakyat, cerpen-cerpen dan puisi karyanya pun mendapatkan halaman terbaik
dan terhormat di dalam koran ini. Martin Aleida adalah penulis yang realis,
beliau tidak pernah bereksperimen bentuk
dan tidak pernah mencari-cari genre. Yang penting bagi beliau adalah pesan moral
yang beliau berikan melalui tiap-tiap karyanya dapat diterima dan dimengerti oleh
sang pembaca dengan baik.
Seperti pada karyanya yang berjudul Surat Nurlan Daulay Kepada Junjungan Jiwanya
dan Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun
Kemudian, kedua cerpen ini memiliki kesamaan dalam hal latar belakang yaitu
kondisi politik pada cerpen. Namun terdapat perbedaan pesan moral yang ingin
disampaikan oleh Nurlan. Dalam cerpen Surat
Nurlan Daulay Kepada Junjungan Jiwanya berisi mengenai kisah hidup asli
dari Nurlan berserta istri dan teman-temannya pada saat beliau di penjara dalam
bentuk sebuah surat. Selama di penjara, mereka disiksa dengan tidak
berperikemanusiaan. Berbeda dengan cerpen Di
kaki Hariara Dua Puluh Tahun kemudian, cerpen ini menceritakan tentang
seorang guru part-time yang bernama
Kartika Suryani yang menjunjung tinggi kejujuran dan hak untuk mengemukakan
pendapat melalui sebuah buku harian untuk murid-muridnya tetapi hal ini
mendapat pertentangan dari guru-guru tetap lain yang terusik akan pendapat muridnya.
Yang kemudian membuat Kartika terpaksa untuk keluar dari sekolah demi memegang
teguh kejujuran dan hak-hak bagi muridnya. Namun sebelum ia keluar, ia membuat
sebuah acara perpisahan kepada murid-muridnya dan membuat janji agar bertemu
kembali di tempat mereka melakukan perpisahan 20 tahun kemudian. Melalui
cuplikan kedua cerpen ini, Martin ingin menyampaikan pesan moral yang mudah
dimengerti bagi pembacanya seperti pada cerpen Surat Nurlan Daulay kepada Junjungan Jiwanya, Beliau ingin
mengingatkan kembali kekejaman yang pernah terjadi pada 50 tahun yang lalu.
Kejadian yang tidak akan pernah dilupakan oleh dirinya dan bangsa kita karena
kejadian tersebut tidak telah melanggar dasar dari negara kita sendiri dan
menyakiti bangsa kita sendiri yaitu bangsa Indonesia dan beliau tidak
menginginkan hal itu terjadi kembali di masa yang akan datang, sedangkan cerpen
Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian,
Martin ingin mengingatkan kembali salah satu budaya di Indonesia yang sudah
mulai luntur yaitu kejujuran. Cerpen ini mengandung pesan moral sangat terasa
kental sekali saat kita membacanya. Pada dunia nyata dapat kita lihat KKN yang
telah meraja-lela di Indonesia dan merugikan negara kita. Menjunjung tinggi
kejujuran adalah hal yang penting dan harus diajarkan sejak dini. Tanpa sifat
jujur, negara kita tidak akan pernah bisa berkembang dan sesama manusia pun
tidak akan mempercayai satu sama lain. Kita harus memupuk kejujuran mulai dari
saat kini dan dari hidup kita sendiri. Bila bukan kita yang memulai sendiri,
siapa yang akan memulainya?
Kedua cerpen tersebut penuh dengan
nilai-nilai yang ingin beliau berikan. Namun kedua cerpen ini memiliki ending yang sedikit menggantung seperti
pada cuplikan cerpen Surat Nurlan Daulay
Kepada Junjungan Jiwanya yang terletak pada paragraf 17 “Las, Orang itu, siapa pun, bisa mengusirku,
namun tak mungkin membungkam kenanganku. Juga ingatanmu. Tidak!” cerpen ini
diakhiri dengan Nurlan yang sedang berada di suatu tempat bekas dimana ia
dipenjara dulu diusir dari tempat itu dan tidak ada kelanjutan setelah dia
diusir dan tidak terlihat suatu penyelesaian, dan sedangkan dari cuplikan
cerpen Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun
Kemudian yang terletak pada paragraf 22 “Persis
dua puluh tahun kemudian, pada hari ini, hari Minggu, sebagaimana yang sudah
disepakati, Kartika sudah duduk menanti di antara akar-akar hariara yang
menjalar melilit-lilit memperkokoh cengkeramannya di tanah.”, cerpen ini
diakhiri dengan hanya diceritakan guru part-time
yang bernama Kartika yang dulunya telah membuat janji dengan murid-muridnya
setelah 20 tahun kemudian semenjak ia keluar dari sekolah tersebut menunggu
murid-muridnya. Cerpen ini tidak menjelaskan bagaimana akhir dari penantiannya,
apakah ia akan bertemu dengan murid-murid dulunya lagi atau tidak.
Selain itu cerpen Nurlan Daulay Kepada Junjungan Jiwanya memiliki
latar tempat dipenjara karena di dalam cerpen tersebut menceritakan mengenai kisah
Martin yang penjara yang juga berupa pengalaman asli dari penulis seperti yang
dapat kita ketahui dari paragraph ke 2 baris 3 “ratusan kawanku digiring ke penjara, dan sebagian besar dilemparkan,
disiksa, mati , di pulau pembuangan.”. Berbeda dengan cerpen Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian yang
berlatar tempat di lingkungan sekolah yang karena juga menceritakan tentang
seorang guru dan murid-muridnya seperti yang tercantum pada paragraf 4 baris 1 “ Kartika memang Cuma seorang guru bantu,
tetapi dia telah membawa suasana baru ke sekolah itu. Dia selalu menyelipkan
kelakar untuk menyingkirkan suasana bengin yang selama ini merajai ruang
belajar.”.
Martin Aleida membuat cerpen ini
dengan menggunakan kata-kata yang sederhana agar kita dapat mengerti makna
sebenarnya pada cerpen ini. Cerpen Surat Nurlan mengandung plot dan latar
belakang yang menonjol, cerpen ini bisa membuat pembacanya menjadi penasaran
dan ingin tahu mengenai istilah-istilah G30S PKI yang ada di dalam cerpen. Alur
pada cerpen ini hanya berupa sebuah surat yang diceritakan, sehingga membuat pembaca
pada awalnya akan sedikit sulit untuk mengerti tentang isi dari cerepn ini dan dengan
akhirnya sedikit menggantung. Sebaliknya cerpen Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun
Kemudian, cerpen ini memiliki nilai-nilai yang menonjol, alur yang diceritakan
jelas dan dapat dimengerti dengan mudah, penokohan dijabarkan dengan baik,
namun sama seperti cerpen yang pertama. Pada akhir dari cerpen ini tidak
diceritakan akhir yang baik sehingga menjadi sedikit menggantung. Alangkah
lebih baik apabila cerpen ini diakhiri dengan diceritakannya pertemuan
murid-muridnya yang menepati janji mereka seperti “kemudian murid-muridnya pun kembali dan menepati janji mereka dua puluh
tahun yang lalu. Melihat mereka yang sudah menjadi orang – orang sukses.
Kartika pun tidak dapat menahan rasa haru dan meneteskan air mata.”. Sehingga
sang pembaca pun dapat membaca dengan lega. Tetapi kedua cerpen ini sudah
sangat baik untuk dibaca. (Virya 12 IPA 1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar