Pengarang terkemuka dari Bali, I Wayan Suardika, adalah
pengarang dibalik buku kumpulan cerpen yang berjudul Orang Kalah.
Buku terbitan Pusaka Suardika tersebut berisi lima belas cerpen karangan I
Wayan Suardika. Dua dari lima belas cerpen yang saya baca berjudul Penjor dan Duka Abadi Me Made.
Kedua cerpen tersebut memiliki penggambaran kondisi sosial
yang mempunyai kemiripan. Cerpen Penjor dan
Duka Abadi Me Made menggambarkan
kehidupan desa yang masih sangat kental kekeluargaan dan kedekatannya. Penjor
menceritakan mengenai seorang pria paruh baya yang memiliki pandangan
tersendiri mengenai penjor. Kedekatan dan kekeluargaan kehidupan desa pada
cerpen Penjor dapat dilihat dari
kutipan berikut:
1.
Jika
berlangsung mebat di bale banjar atau di rumah warga yang mempunyai hajatan
adat, maka I Beneh akan mengambil bagian pekerjaan yang paling sulit, misalnya
memotong babi dan dari mana harus memulai mengirisnya kemudian membagi-bagi
dagingnya berdasarkan keperluan upacara. Hanya orang-orang tertentu saja yang
bisa mengambil pekerjaan ini, termasuk yang paling diperhitungkan ialah I
Beneh!
2.
Prajuru
adat juga malas melangsungkan rapat jika dilihatnya I Beneh hadir dalam rapat
itu. Jika tidak mengkritik, maka dia akan berbicara panjang lebar tentang
bagaimana seharusnya pembangunan desa berjalan, pendidikan anak dikedepankan,
memandirikan desa dengan memajukan koperasi, membangun kesadaran politik agar
masyarakat desa tak mudah diperdaya dan memiliki daya tawar politik dan
seterusnya.
3.
Pagi
masih berkabut di desa itu. Tapi kesibukan dan suasana hari suci Galungan sudah
sangat terasa. Gaung gamelan dari pengeras suara berkumandang ke pelosok desa,
beberapa perempuan dan anak-anak sudah mengenakan pakaian adat, aroma banten
dan dupa menyemarakkan jalan-jalan lebar di desa.
4.
Kerumunan
itu makin membesar dan mengelilingi ’penjor tegak lurus’ itu. Dan berbagai
komentar pun mengemuka.
5. I Beneh ditegur secara
kekeluargaan, diceramahi, dinasihati, bahwa sesuatu adat yang telah berlangsung
turun-temurun adalah warisan yang harus diteruskan karena dasar kearifannya
ada.
Sementara
itu, Duka Abadi Me Made menceritakan
tentang duka seorang ibu atas kematian putranya. Putra Me Made dituduh mencabut
bendera parpol para preman desa. Dipukulilah putra Me Made, I Wayan, hingga
tewas. Kekeluargaan dan kedekatan di desa tersebut juga masih sangat terasa.
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipa-kutipan berikut ini:
- Pepohonan, juga angin dan kematian, menjadi sekutu paling pilu di tengah puluhan kerumun wajah-wajah duka, hampa, berair mata; menatap sesosok tubuh terbujur kaku di atas rangka bambu di halaman rumah. Harum air bunga berwarna kematian bertabur rata pada sekujur tubuh kaku.
- Sejumlah orang memindahkan mayat itu ke bale delod.
- “Me Made jangan terlalu bersedih.”
“Tetaplah tabah.”
“Nasib memang tak bisa dielakkan.”
“Hyang Widhi bersama Me Made.”
“I Wayan tak sepantasnya menerima kematian
seperti itu.”
Selain kekeluargaan dan kedekatan yang ditonjolkan, kedua
cerpen juga memiliki unsur instrinsik yang menonjol yakni penokohan. Cerpen Penjor dan Duka Abadi Me Made memperlihatkan dengan jelas penokohan karakter. Pada
cerpen Penjor, I Beneh digambarkan
sebagai tokoh yang tidak disukai oleh warga desa dan dianggap setengah gila.
Penokohan tersebut dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:
1. Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa banyak yang tak menyukai I Beneh. Pembawaan lelaki paruh
baya itu sering melukai orang-orang. Semua orang di desa itu dianggapnya dungu.
Semua hal dianggapnya berlangsung salah. Aneh bahwa sejauh itu orang tak berani
membantah I Beneh.
2.
Tetapi bagi orang-orang di desa itu, I Beneh adalah orang
setengah gila, sok pintar dan stres. Setengah dari percakapan mereka di warung
kopi, di sawah, sungai menjelang mandi atau ngobrol santai di bale banjar,
adalah tentang I Beneh. ”Ngomongnya galak di kampung sendiri, tapi waktu rapat
di kantor camat, dia malah bungkam!” gerutu seorang prajuru adat dalam suatu
obrolan di warung kopi samping bale banjar.
Sementara pada cerpen Duka Abadi Me Made, Me Made digambarkan
sebagai tokoh yang tabah dan tenang. Kutipan-kutipan di bawah ini membuktikan
penokohan Me Made:
1.
Tapi wajah mereka menyemburatkan kemurungan, kecuali seorang
perempuan kurus berkebaya hitam. Di tengah rintik hujan, wajah itu
sungguh-sungguh kelihatan lebih teduh, tenang, tabah. Ketika semua usai, ia
menghaturkan suksma ketenangan.
2.
Bahkan ketika akhirnya rumah itu kembali seperti semula; senyap,
sendu, dingin, perempuan paruh baya itu tetap hilir mudik menyelesaikan
runtutan pekerjaan yang bersisa. Nun di bale delod, maut berbaring tak ambil
pusing.
3.
Tapi Me Made tak peduli, tetap saja termangu, tetap saja
membiarkan dirinya hanyut oleh lamunan daripada terusik oleh deru kencang kompor
gas yang menjaga nyala besar api yang membakar jenazah putranya. Matanya yang
tenang dan membagi keteduhan kepada siapa saja itu tampak redup, muram dan
luka.
4. Perempuan itu agak
terperanjat, namun wajahnya refleks tersenyum ketika memandang wajah putrinya.
Saya berharap I Wayan
Suardika tetap menggunakan nilai-nilai agama dan budaya pada cerpen-cerpen yang
akan datang agar budaya Indonesia, Bali khususnya tidak hilang. (Stefano Eka 12 IPA 1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar