Mardi Luhung adalah sastrawan yang lahir di
Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Mardi Luhung merupakan
salah satu penerima anugerah sastra Kusala Sastra Khatulistiwa, pada tahun 2010
melalui kumpulan puisinya, BUWUN/Bawean. Namanya masuk dalam Angkatan 2000
dalam buku karya Korrie Layun Rampan. Mardi Luhung dari SMP sudah mahir menulis
puisi.
Ia,
dengan santai, menulis ‘tukang jagal’, ‘kelamin yang dikerat’, ‘mayat gembong’,
dan ‘kencing’ serta sederet ungkapan khas lainnya dengan logikanya sendiri,
yang mampu membentangkan panorama kehidupan sosial pesisir yang keras. Sebagai
penyair, Mardi Luhung tak henti memperluas dirinya sampai ke tapal-batas
terjauh, bahkan hingga ke yang mustahil.. Lebih dari itu, ia juga menghasilkan
karya cerpen yang bisa ditemukan
di koran Kompas yang berjudulkan Jembatan Tak Kembali dan
Lebih Kuat Dari Mati.
Kesamaan latar belakang dari
cerita Jembatan Tak Kembali dengan Lebih Kuat Dari Mati yaitu menjelaskan
tentang makna hidup. Cerpen pertama berbicara tentang makna kehidupan yang
berkisahkan tentang jembatan yang menghubungkan antara tempat yang mempunyai
segala yang ada sama seperti Surga dengan orang-orang kampung yang ingin hidup
abadi dan mencapai kesempurnaan, sedangkan cerpen ke-2 berkisahkan tentang mati adalah hal yang
tidak mempengaruhi kondisi orang dan kehidupan tidak ada kaitannya dengan Mati.
Cerpen Jembatan Tak Kembali :
“Aku akan bercerita pada kalian.
Bercerita tentang sebuah jembatan. Namanya adalah
Jembatan Tak Kembali. Mengapa diberi nama demikian? Karena, setiap yang menyeberang di jembatan itu, tak akan
kembali. Disergap oleh batas yang ada di seberang
sana. Seberang yang berkabut. Dan berisi kesempurnaan.”
”Sedangkan bagi yang melihatnya. Yang berada di
pingir-pinggir, dan yang tak ikut menyeberang,
cuma bisa melambai. Sambil tetap mengarahkan pandangannya tanpa berkedip. Di hati mereka, pun penuh
dengan doa. Doa yang bermuara pada satu harap: ”Cepat
atau lambat, kami segera juga menyeberang. Menyusul mereka. Menyusul untuk mencapai kesempurnaan. Tunggu
saja.”
”Jose, Jose, ya, itulah nama orang yang tak mau
menyeberangi Jembatan Tak Kembali.
Jembatan untuk memperoleh kesempurnaan. Hanya karena tak mau meninggalkan kucing-kucingnya. Dan karena
ketakmauannya itulah, banyak orang di kampung
yang membicarakannya. Ada yang bangga. Ada yang cuek. Dan ada pula yang diam-diam menyebut Jose sebagai si
aneh. “
Cerpen Lebih Kuat Dari Mati
”Akhirnya,
aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya”
”
Dan itu dapat dilihat dari diriku sendiri. Diri yang kini sudah berumur hampir
70 tahun ini.Diri yang tetap
bisa mandi, makan, jalan-jalan, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh. Diri, yang waktu umur 27
tahun, telah divonis oleh si
dokter cuma bisa hidup 3 bulan.Tapi nyatanya?Hmmm, masih saja bertahan sampai kini. Bahkan, masih
sanggup untuk menikmati apa saja yang enak-enak.
Rawon, tempe penyet, hamburger, nasi kuning, martabak. Atau menonton siaran sepak bola dini hari.”
”Tapi, ahai, ternyata, seperti yang terjadi aku tidak mati.Dan meski 3 bulan telah lewat. Diganti 5, 6, sampai 7 bulan. Terus setahun.Dan sekian puluh tahun (meski kerap kumat dan drop), aku tetap tak mati-mati.Tetap hidup.Bahkan, malah-malah sempat datang ke perayaan pernikahan Ninuk dengan lelaki yang punya usaha penggilingan daging. Dan itu terjadi setahun setelah Ninuk memutuskan untuk pergi dari sisiku.” (Kenny 12 IPA 1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar