Di masa lalu, wanita tidak
begitu menguasai dunia sastra. Tetapi pada zaman sekarang sudah muncul
wanita-wanita yang berani untuk mengusai dunia sastra. Salah satunya adalah Djaenar Maesa Ayu. Karya-karyanya
sudah sangat fenomenal secara mendunia dikarenakan oleh keberanian nya untuk
menggunakan kosakata ekstrim dalam setiap cerita yang ia buat. Didalam
karyanya, ia
berani menyebutkan hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat. Seperti:
menyebutkan alat kelamin, seks, dan lain-lain.
Di dalam karya cerpen Djaenar, gaya
bahasa yang dia gunakan mendetail untuk
mejelaskan suatu keadaan sehingga pembaca mudah merasakan apa yang dialami oleh
tokoh dalam cerita nya. Kemampuannya untuk menyebutkan hal mendetail terlihat
dari cerpennya yang berjudul "Jemari Kiri". Berikut paragraf dari
cerpen "Jemari Kiri".
"Kesal sekali Nayla dibuatnya. Bukan hanya
karena ia sudah tak mampu lagi mengerjakan hal-hal besar dengan keseluruhan
jemari di kedua tangannya saja. Tapi membersihkan kotoran yang menempel di
duburnya setelah buang air besar pun ia tidak bisa. Walaupun tangan kirinya
bisa bergerak seperti biasa, tapi diam saja kelima jarinya. Telapak tangannya
seolah cuma berfungsi sebagai penyanggah jari-jemari yang kesemuanya merunduk
ke bawah. Semakin besar upaya Nayla untuk mengguncangkan tangan kirinya, maka
jejemari itu justru semakin terlihat lemah."
Dari contoh
paragraf di atas, kita dapat merasakan betapa kesusahan si
tokoh karena tangannya tidak dapat bergerak. Kita
dapat merasakan kesusahannya karena si Penulis menjelaskan dengan mendetail
keadaan tokoh. Seperti yang terdapat pada kalimat “Tapi membersihkan kotoran
yang menempel di duburnya setelah buang air besar pun tak bisa”.
Bahasa
yang digunakan dalam cerpen “Jemari Kiri” mudah dimengerti dan hanya dalam
sekali membaca
saja, pembaca akan langsung mengerti alur cerita tersebut. Tetapi berbeda
dengan cerpen Djaenar yang lainnya, yang berjudul “Ikan”. Gaya bahasa yang
digunakan dalam cerpen "Ikan"
lebih sulit dimengerti karena berbahasa kiasan. Berikut paragraf cerpen "Ikan".
Phuih!
Ombak meludahi wajah kami yang ingin tak peduli. Tapi lendir ombak itu melekat
begitu kental, begitu tengik! Mendakwa kelakuan kami sebagai jijik. Dan ia
terpana. Girangnya sirna. Ia bukan lagi ikan yang terbang dan burung yang
berenang. Dan ia menatap seolah saya adalah daging dan tulang yang terbalut
kulit kerang. Muka badak, begitu istilah orang-orang. Maka saya tahu, hampir
tiba saatnya waktu bersenang-senang hilang. Kebenaran dan kesalahan
dipertanyakan. Saat penghakiman
Pada cerpen "Ikan" terdapat kalimat
ombak-ombak mendakwa mereka sebagai jijik. Kalimat tersebut memiliki arti lain,
yaitu orang-orang sekitar menganggap mereka sebagai sesuatu yang jijik. Dalam
membaca cerpen tersebut, diperlukan membaca lebih dari sekali supaya dapat
berpikir lebih panjang supaya mengerti cerita dari cerpen tersebut.
Pada
Cerpen "Jemari Kiri" unsur yang lebih di tonjolkan terdapat pada
bagian penokohan dan nilai agama. Penokohan tokoh utama
dari cerita “Jemari Kiri” lebih ditonjolkan karena menceritakan tentang sudut
pandang seorang anak yang mengalami masalah mental yang menyebabkan ia mendapat
mimpi buruk sejak ia dilecehkan gurunya. Cerpen ini menceritakan seberapa besar
ketakutan tokoh utama jika ia suatu saat menikah lalu ditinggal oleh suaminya
karena pelecehan tersebut merupakan aib besar. Penggambaran tokoh utama dari
cerpen ini melalui perilaku tokoh. Berikut paragraf yang menggambarkan keadaan
tokoh utama yang mengalami masalah mental.
Nayla pun segera
berlari ke dapur untuk mengambil pisau lalu memotong jari-jemari tangan kirinya
satu per satu. Betapa puasnya ia melihat jari-jemari itu jatuh menimpa lantai
batu. Darah bercucuran seperti anak panah hujan. Mengubur jari-jemari kirinya
yang berceceran.
Nilai agama pada cerpen “Jemari
Kiri” juga ditonjolkan karena tokoh utama berusaha menyembuhkan tangannya yang
tidak dapat bergerak dengan mencari cenayang. Seharusnya ia pergi mencari
cenayang atau kepala agama, bukannya dukun/cenayang. Berikut paragrafnya.
Nayla sudah mencoba
berbagai cara agar jari-jemari di tangan kirinya berfungsi normal kembali. Di
luar tindakan yang dilakukannya sendiri, ia pun mencoba berbagai macam jenis
terapi. Mulai dari dokter spesialis tulang, sampai cenayang. Mulai dari ahli
nujum, sampai spesialis tusuk jarum. Tapi tetap saja jari-jemari di tangan
kirinya tak berfungsi seperti biasanya.
Berbeda
dengan cerpen “Jemari Kiri”, cerpen “Ikan” lebih menonjolkan latar tempat dan
nilai sosial. Latar tempat pada cerpen “Ikan” lebih ditonjolkan karena sepanjang
cerita, penulis terus menerus menggambarkan lingkungan tempat kejadian tersebut
sedang berlangsung. Berikut paragraf dari cerpen “Ikan”.
Malam berenang dalam
kesunyian. Deru ombak ditingkahi samar suara musik dari kafe di kejauhan
pantai, saling beradu berebut perhatian. Kami terkapar di atas pasir basah.
Dingin meresap pori-pori kulit kami yang telah menjadi keriput dan merinding.
Entah karena dingin yang memanggang, entah karena nyala yang redup, entah
karena basah yang kering, entah karena entah, karena entah adalah ketidaktahuan
yang sering kali jauh lebih memabukkan daripada kesadaran.
Dari
contoh paragraf diatas, dapat kita ketahui bahwa latar tempat cerpen tersebut
berada di pantai. Buktinya terdapat pada bagian “Deru ombak ditingkahi samar suara musik dari
kafe di kejauhan pantai, saling beradu berebut perhatian. Kami terkapar di atas
pasir basah. Dingin meresap pori-pori kulit kami yang telah menjadi keriput dan
merinding.”
Nilai sosial dari cerpen ini
ditonjolkan karena menceritakan kondisi yang terjadi di tempat klub malam. Di
dalam klub, perilaku-perilaku menyimpang dilakukan oleh orang-orang. Seperti:
mabuk-mabukkan, berpesta pora, dll. Hal tersebut tidak sepatutnya
ditiru/dilakukan oleh masyarakat karena secara sosial itu sudah dianggap salah.
Berikut paragrafnya.
Suara musik di
kejauhan membisikkan mimpi yang mutlak terulang. Sendawa alkohol di permukaan
udara. Bahana tawa. Bercinta di bawah para-para. Pesta pora. Sentuhan menggoda.
Senyum manja. Membuat saya begitu jengah dengan segala aturan-aturan.
Berdasarkan cerpen “Jemari Kiri” dan
“Ikan” karya Djaenar Maesa Ayu, dapat disimpulkan bahwa bahasa yang ia gunakan
mendetail dalam menggambarkan keadaan cerita. Dalam karyanya, ia mampu menulis
cerita yang dengan mudah mampu dimengerti pembaca maupun yang sulit dimengerti
karena berbahasa kiasan. Walaupun cerita dari “Ikan” sulit dimengerti, namun
sesungguhnya hal tersebut dimaksudkan supaya menghidupkan isi cerita. Cerita
“Jemari Kiri” lebih menonjolkan penokohan dan nilai agama. Sedangkan “Ikan”
lebih menonjolkan latar tempat dan nilai sosial. (Thomas Wesley 12 IPA1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar