Minggu, 13 September 2015

Nilai Sebuah Pengorbanan dalam Cerpen



Agus Noor merupakan salah satu seorang sastrawan Indonesia yang lahir di Tegal, tahun 1968. Agus Noor merupakan penulis prosa, cerpen, naskah lakon (monolog dan teater) juga skenario sinetron. Salah satu Prosa Agus Noor yang berjudul “Pemburu” dinyatakan sebagai salah satu karya terbaik majalah sastra Horison episode 1990-2000. Sejumlah kumpulan cerpen: Bapak Presiden yang Terhormat (1999), Memorabilia (2000), Selingkuh itu Indah (2002-2006), Tahun 1992, cerpennya yang berjudul “Musuh” memperoleh penghargaan sastra Festival Kesenian Yogyakarta. Tiga cerpennya yang lain, “Keluarga Bahagia”, “Dzikir Sebutir Peluru”, “Tak Ada Mawar di Jalan Raya” memperoleh Anugerah Cerpen Indonesia dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1999. Agus Noor juga mengikuti Writing Program Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada tahun 1998.
Salah satu cerita pendek yang berjudul “Kupu-kupu seribu peluru”  menjadi salah satu cerpen pilihan kompas pada tahun 2005. Dalam cerpen ini, unsur ekstrinsik yang paling menonjol adalah nilai agama dan latar belakang masyarakatnya. Cerpen ini mempunyai kemiripan dengan cerita Yesus Kristus. Berawal dari kisah seorang anak gadis kecil yang seperti peri yang usil yang ditemukan di sebelah kandang kuda .Semenjak kedatangan gadis kecil ini, keadaan di kota menjadi sangat tenang seakan-akan terbekati. Dan beberapa orang juga mulai bercerita tentang mimpi mereka malam sebelumnya, mulai dari bermimpi melihat gugusan bintang, dan ada juga yang bermimpi mengenai pijar api biru yang meluncur menuju atap gereja, mereka mengangap bahwa mimpi mereka adalah tanda-tanda kedatangan gadis kecil ini.
Setelah gadis ini beranjak dewasa, banyak sekali lak-laki yang terpikat oleh kecantikkannya. Karena itu, banyak sekali istri-istri yang khawatir dengan para suaminya, sampai-sampai banyak orang yang tidak mau datang ke gereja jika gadis ini berada di gereja, sampai suatu ketika gadis ini berkata pada pendeta bahwa lebih baik jika ia tidak pergi ke gereja lagi dan gadis ini sudah mencongkel kedua matanya karena ia tidak mau melihat dosa-dosa lagi dan ia akihirnya kembali ke kandang kuda tempat ia ditemukan. Pada akhirnya gadis ini digelumuti dosa-dosa dan sangat di takuti oleh warga kota sampai akhirnya ia harus di hukum mati dengan menembakan beribu-ribu peluru, tetapi peluru itu malahan menjadi kupu-kupu. Akhirnya kupu-kupu tersebut menghinggapi seluruh tubuhnya yang terentang seperti salib dan mengangkatnya hingga seperti balon udara dan gadis ini berkilauan dalam kemegahan sayap- sayapnya, kemudian gaib ditelan langit.
Dapat dilihat cerpen ini sangat menonjolkan nilai agama, khususnya agama Kristen dan Katholik mulai dari gadis ini ditemukan di sebelah kandang kuda, sedangkan Yesus dilahirkan di kandang domba sampai gadis ini dihukum mati dengan menembakkan beribu-ribu peluru dengan tangannya yang terentang,seperti salib, sedangkan Yesus juga dihukum dengan disalibkan untuk menebus dosa-dosa manusia.
Cerpen ciptaan Agus Noor ini juga gampang untuk dimengerti apalagi oleh remaja karena alurnya jelas dan beliau juga menggunakan kata-kata yang sederhana, tetapi dalam cerpen ini juga terdapat kata-kata yang sedikit kasar seperti “Terkutuklah perempuan itu! dia najis, karena membiarkan puting susunya yang garing dihisap pengemis-pengemis kudis. Dia iblis karena dengan lidahnya mau menjilati borok di sekitar selangkangan pelacur yang terkena sipilis, .... dia sundal karena bersenggama denag ratusan begundal”.
Menurut salah seorang yang mengkirik cerpen ini dikatakan bahwa “Mengenai ide cerita dan topik bahasan yang ada dalam karya Agus Noor juga merupakan keindahan tersendiri, walau kadang—secara pribadi—membuat saya bergidik membacanya” dapat di buktikan di salah satu cuplikan kalimat dari cerpen kupu-kupu seribu peluru, “Gadis itu telah mencongkel kedua biji matanya dengan jari-jarinya sendiri karena tak mau lagi melihat dosa. Darah yang masih basah terus merembes keluar dari liang matanya.”
Berbeda dengan cerpen karangan Agus Noor lainnya yang berjudul “kopi dan cinta yang tak pernah mati” yang menceritakan mengenai dendam seorang anak kepada seorang laki-laki yang telah membunuh ayahnya yang adalah seorang pemilik kedai kopi terenak di kota itu.  Cerpen karangan Agus Noor ini lebih menonjolkan kondisi politik, yaitu pada saat masa Reformasi dimana banyak sekali orang-orang yang melakukan perlawanan dan menuntut kemerdekaan. Karena itu, banyak sekali intelijen yang beraksi dan mencari tahu siapa saja para pengkhianat-pengkhianat bagi Negara tersebut, salah satu korbannya adalah pemilik kedai tersebut. Dengan meninggalnya sang ayah, tokoh “Aku” masih sangat dendam dan menantang pembunuh tersebut untuk meminum secangkir kopi yang ia buat. Namun, sang pembunuh tidak berani karena ia takut jika ia minum kopi itu akan terjadi sesuatu kepada dirinya seperti saat ia membunuh pemilik kedai kopi dengan cara memasukkan arsenik ke dalam kopi pemilik kedai untuk diminum. Seperti judulnya juga, diceritakan bagaimana sang anak yang terus mencari keadilan untuk ayahnya karena tokoh ”Aku” masih menganggap bahwa ayahnya tidak bersalah.
Dari kedua cerpen karangan Agus Noor ini, pengarang memiliki gaya penulisan yang mirip, terutama di latar tempat. Kedua cerpen ini memiliki salah satu latar tempat yang sama, yaitu kedai kopi, dapat dilihat pada cerpen “Kupu-Kupu Seribu Peluru”, “Kisah-kisah ajaib bermekaran, membuat percakapan di kedai kopi yang biasanya berlangsung datar membosankan menjadi lebih bergairah” dan juga pada cerpen “Kopi dan Cinta yang tak pernah mati”, “Orang bisa sepanjang hari duduk di kedai kopi untuk berkumpul, berbual atau menyendiri, mempercakapkan hal-hal rahasia, kasak-kusuk perlawanan…
Dengan berlatar tempat di kedai kopi, menjadikan cerpen ini menonjolkan kondisi sosial, dimana semua warga akan berkumpul bersama untuk hanya sekedar mengobrol ataupun saling bercerita. Sangat jauh berbeda dengan kondisi sosial pada masa sekarang, walaupun kita sudah pergi ke tempat makan ataupun kafe, maupun itu dengan keluarga atau teman, pasti kebanyakan lebih mementingkan gadget daripada rasa kebersamaan yang jarang sekali dimiliki untuk sekedar berkumpul.
Banyak sekali cerpen karangan Agus Noor yang lain, tetapi dengan membaca kedua cerpen karangan Agus Noor ini, Ia dapat menciptakan suatu karangan yang sangat indah, mulai dari alurnya yang sangat jelas dan runtun, nilai-nilai yang baik sampai pesan moral yang mengajarkan tentang kondisi sosial pada masyarakat zaman sekarang.(Shelly Marceline 12 IPA 1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar