Sitok
Srengenge adalah penulis sastra yang sudah berpengalaman, baik puisi, novel,
maupun cerpen. Antologi puisi yang telah ia hasilkan berjudul Anak Jadah, Ambrosia, dan On Nothing, sedangkan
novel yang pernah ditulis berjudul Menggarami Burung Terbang, dan Trilogi Kutil. Selain novel dan puisi, cerpen, ternyata Sitok juga berkarya dalam
bermain teater, menulis esai, dan mengomposisi musik. Namun, yang akan saya
analisa dan kritik adalah cerpen karya beliau yang berjudul “Bendera”. Banyak
orang mengkritik cerpen karya Sitok dikarenakan bahasanya yang terlalu lugas
dan sederhana dibandingkan dengan statusnya yang sudah dapat disebut
berpengalaman didalam bidang sastra Indonesia.
Doni
Jaya adalah seorang penulis cerpen yang berjudul “Ketika Pohon itu Masih
Mekar”. Cerpen ini merupakan cerpen pertama dan satu-satunya hasil sastra
berbentuk cerita pendek buatannya, sehingga dapat dibilang bahwa Doni Jaya
belum terlalu berpengalaman dalam menuliskan cerpen dibandingkan dengan Sitok.
Cerpen
dapat dinilai dari unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang tertera
didalamnya, selain itu juga dapat dilihat dari gaya penulisan pengarangnya,
apakah menggunakan bahasa yang lugas, sederhana ataupun kompleks.
Jika
kita lihat dari dalam cerpen yang berjudul “Ketika Pohon itu Masih Mekar” karya
Doni Jaya, sesungguhnya cerpen ini mensiratkan arti sebuah pohon cincau yang
menggambarkan sebuah keluarga yang pada masa silamnya bersatu teguh namun
dengan berjalannya waktu, pohon ini semakin rapuh, tua, dan tidak lagi rimbun.
Hal tersebut dapat kita lihat dari dalam cerpennya pada paragraf ke 11
yang tertulis “Ketika kutekan dahan itu
perlahan, permukaan kulitnya yang kasar menjadi retak, Kerkahan di antara
sulur-sulur yang dulu kuat itu mengeluarkan suara berkeriut yang mengerikan.
Lapis demi lapis sulur pembelit batang ternyata sudah renggang dan mulai
terurai.” Paragraf ini mendeskripsikan dan menggambarkan sebuah pohon
cincau yang sudah tua dan tidak sekuat dulu.
Alur
yang digunakan didalam cerpen ini adalah alur yang berjalan maju, namun
beberapa kali mundur untuk melihat masa silam secara sekilas. Masalah utama
yang berada didalam cerpen ini adalah bahwa pohon cincau tua itu merupakan
pohon cincau satu-satunya yang ada di desa tersebut diantara pohon-pohon karet.
Cerpen ini berlatarkan di dalam sebuah desa dimana dikatakan didalam paragraf
ke dua kalimat ke dua “Suatu jenis
ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas pohon karet yang tertancap kokoh di
tanah pedesaan ini.”
Jika
dilihat dari cara penokohannya, cerpen ini seringkali menggambarkan penokohan
secara lebih dari sisi perilaku tokoh, dan tindakan tokoh. Seperti contoh, dari
perilaku sang ibu yang dikatakan pada paragraf ke 5 kalimat kedua dimana
dikatakan “Seakan berusaha untuk tetap terlihat muda dan penuh perhatian
terhadap anak-anaknya.” Sang ibu
yang tak lagi muda berusaha untuk tetap terlihat sehat didepan anaknya. Juga
jika kita lihat dari tindakan sang tokoh “Aku” pada cerpen ini, sesungguhnya
tokoh “Aku” sangat menyukai minuman cincau hasil buatan ibunya. Hal itu
disebutkan pada paragraf ke 18 kalimat pertama yang berbunyi “Aku
mulai menyeruput cincau segar itu dengan bernafsu.”
Nilai-nilai
yang terlihat didalam cerpen ini adalah nilai moral dan nilai budaya. Namun
lebih menonjol dibagian nilai moral terutama pada paragraf 8 kalimat ke 8 dan
juga pada paragraf ke 21 kalimat terakhir dimana dikatakan disana “ Sering
dicabuti orang kampong.” Dan juga “Hasil rampasan mereka.” Dimana
disana dapat terlihat juga latar belakang masyarakatnya pada bagian
perekonomian warga setempat didesa tersebut. Perekonomian warga pada desa
tersebut sedang tidak baik sampai-sampai mereka nekat mengambil barang yang
bukan milik mereka sendiri demi keuntungan masing-masing. Dan, hal tersebut
dapat kita lihat pada paragraf ke 8 kalimatnya yang ke 10 dimana tertulis
“Sekarang hidup makin susah. Bahan baku jajanan makin mahal, dan orang-orang makin nekat buat mendapat sesuatu semurah-murahnya.”
“Sekarang hidup makin susah. Bahan baku jajanan makin mahal, dan orang-orang makin nekat buat mendapat sesuatu semurah-murahnya.”
Menurut
saya sendiri, cerpen ini cukup mudah dimengerti maksudnya. Sang penulis dengan
tersirat menggambarkan bahwa sesungguhnya pohon ini menggambarkan sebuah
keluarga, mungkin diawal akan ada sedikit kebingungan maksud dari penulis
hingga saat kita baca sampai akhir, barulah dapat dimengerti bahwa arti dari
pohon cincau ini adalah merupakan gambaran dari sebuah keluarga. Cerpen ini pun
dapat dibilang baik karena memiliki unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang
dapat kita lihat. Juga, cerpen ini memberikan moral yang jelas sehingga pembaca
akan mendapatkan sesuatu dari membaca cerpen ini. Juga, sang penulis cerpen
ini, yakni Doni Jaya, walaupun ini merupakan cerpen pertamanya, saya dapat
katakana bahwa ia sudah layak untuk mempublikasi cerpennya ini untuk masuk
kedalam cerpen Kompas. Dengan bahasanya yang lugas dan sederhana, cerpen karya
tulis Doni Jaya dapat dimengerti banyak orang-orang awam yang mungkin belum
betul-betul mengerti bahasa sastra yang mendalam.
Cerpen
karya Sitok Srengenge yang berjudul “Bendera” menggambarkan bendera sebagai
seseorang. Cerpen ini memiliki aliran yang sangat mirip bahkan sama dengan
cerpen yang berjudul “Ketika Pohon itu Masih Mekar.” Karena dua-duanya
menggunakan suatu benda untuk menggambarkan sebuah objek lainnya. Namun,
perbedaannya adalah cerpen “Ketika Pohon itu Masih Mekar.” Menggambarkan bahwa
pohon cincau tersebut adalah sebuah keluarga secara tersirat, namun pada cerpen
“Bendera”, makna arti sebuah bendera yang digambarkan oleh seorang anak bernama
Amir dijelaskan secara langsung ataupun tersurat.
Cerpen
“Bendera” juga sama seperti cerpen “Ketika Pohon itu Masih Mekar”, memiliki
latar perdesaan sebagai tempat yang diceritakan. Juga peran-peran yang
diceritakan juga mirip. Tokoh yang ada dicerpen ini merupakan seorang nenek dan
juga seorang anak. Bahkan waktu yang diceritakan juga memiliki kesamaan. Jika
pada cerpen “Ketika Pohon itu Masih Mekar” diceritakan bahwa pada saat itu
adalah Hari Raya, pada cerpen “Bendera”, latar waktu setempat adalah sedang
dalam hari liburan.
Pada
cerpen ini, terlihat bahwa unsur penokohan sangat ditonjolkan. Di dalam cerpen
ini ada 3 penokohan. Yaitu sang nenek dimana penokohannya digambarkan secara
langsung karena dikatakan pada paragraf kedua dan kalimat pertama yang tertulis
“Di mata Amir, Nenek adalah sosok perempuan tua yang bijak dan pintar.” Lalu,
sang nenek dapat kita lihat sifatnya yang suka berhemat uang. Perlakuan hemat
sang nenek dapat dilihat pada paragraf ke 4 kalimat yang ke 2 sampai 4 yang
tertulis “Nenek tersenyum, “Belum perlu,” katanya. “Ini masih bisa
diperbaiki. Tidak baik memboroskan uang. Lebih untung ditabung, siapa tahu akan
ada kebutuhan yang lebih penting.” Penokohan Amir juga digambarkan melalui
tindakannya, yakni disebutkan pada paragraf pertama kalimat ke 4 dan ke 5
dimana dikatakan bahwa “Kalau sedang tidak libur, Amir bangun pagi untuk
bersiap ke sekolah. Amir selalu ingat nasehat nenek.” Pada kalimat
tersebut, dapat kita lihat bahwa tokoh Amir adalah seseorang anak yang rajin
dan patuh kepada sang nenek. Selain penokohan sang Nenek, dan Amir, ada pula
tokoh yang bernama Eyang Coelho. Eyang Coelho digambarkan penokohannya secara
langsung. Dituliskan pada paragraf ke 5 kalimatnya yang ke 6 yang
bertuliskan “Untunglah, Nenek teringat Eyang Coelho, seorang lelaki gaek
yang cengeng dan sedikit manja.” Juga, Eyang Coelho sesungguhnya adalah
seorang penulis. Hal tersebut dapat dilihat didalam paragraf ke 5 kalimat
yang ke 7 dimana dituliskan disana “Eyang Coelho pernah menulis sebuah
cerita tentang pensil.”
Jikalau
pada cerpen “Ketika Pohon itu Masih Mekar” dapat terlihat dua jenis nilai yang
berbeda, pada cerpen kali ini hanya terdapat satu nilai, yaitu nilai moral.
Dari cerpen ini dituliskan bahwa pada saat upacara bendera dilaksanakan, semua
peserta akan ada dalam keadaan khusyuk dan hormat. Hal tersebut dituliskan
didalam paragraf ke 13 kalimat pertama dimana tertulis “Ketika
bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk memberikan
penghormatan.” Lalu latar belakang cerita ini sangat terlihat didalam latar
belakang ideologi negara dimana mengaitkan negara Indonesia kedalam cerpen. Latar
belakang ideologi negara digambarkan pada paragraf ke 7 kalimat ke 3 sampai
5 dimana tertulis “Merah-putih ini lambang negara kita, Indonesia.
Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan, semua warga negara menghormati
bendera negaranya.” Disana dikatakan bahwa setiap warna negara pasti akan
menghormati bendera negaranya sebagai suatu lambang yang berarti bagi negara,
maupun dirinya sendiri.
Menurut
saya, cerpen yang berjudul “Bendera” ini memiliki bahasa yang sangat mudah
dimengerti para orang awam. Lalu, Sitok sebagai penulis sastra yang sudah
berpengalaman seharusnya dapat menggunakan lebih banyak kata-kata berbau
sastra. Bahkan, sebuah kritikan tajam dilontarkan oleh seorang pembaca lain
dari cerpen ini yang bertuliskan bahwa sesungguhnya Sitok seharusnya
benar-benar mempelajari psikologi anak, karena seorang penulis sastra
berpengalaman seharusnya sudah memiliki bahasa yang terkonstruksi secara benar.
Sehingga,
kedua cerpen ini jika kita lihat memang memiliki beberapa kesamaan dan beberapa
perbedaan. Dengan gaya penulisan Doni Jaya dan gaya penulisan Sitok, dapat
dilihat bahwa kedua cerpen ini ditulis menggunakan bahasa yang lugas dan mudah
dimengerti banyak orang. Namun, sesungguhnya Doni sebagai penulis cerpen yang
baru terjun, masih dapat dimaklumi, namun Sitok mendapat banyak kritikan tajam
dari para pembaca karena pembaca sastra Sitok lebih mengharapkan bahasa sastra
yang mendalam. Kedua cerpen ini pun sudah baik karena mangandung unsur-unsur
ekstrinsik dan intrinsic. Juga, cerpen ini pun menterterakan arti dan moral
dibaliknya menggunakan penggambaran subjek-subjek sebagai sebuah objek. (Nikita Laurence 12 IPA 1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar