Minggu, 13 September 2015

Kisah Hidup Dalam Sebuah Analogi



Sitok Srengenge adalah penulis sastra yang sudah berpengalaman, baik puisi, novel, maupun cerpen. Antologi puisi yang telah ia hasilkan berjudul Anak Jadah, Ambrosia, dan On Nothing, sedangkan novel yang pernah ditulis berjudul  Menggarami Burung Terbang, dan Trilogi Kutil. Selain novel dan puisi,  cerpen, ternyata Sitok juga berkarya dalam bermain teater, menulis esai, dan mengomposisi musik. Namun, yang akan saya analisa dan kritik adalah cerpen karya beliau yang berjudul “Bendera”. Banyak orang mengkritik cerpen karya Sitok dikarenakan bahasanya yang terlalu lugas dan sederhana dibandingkan dengan statusnya yang sudah dapat disebut berpengalaman didalam bidang sastra Indonesia.
Doni Jaya adalah seorang penulis cerpen yang berjudul “Ketika Pohon itu Masih Mekar”. Cerpen ini merupakan cerpen pertama dan satu-satunya hasil sastra berbentuk cerita pendek buatannya, sehingga dapat dibilang bahwa Doni Jaya belum terlalu berpengalaman dalam menuliskan cerpen dibandingkan dengan Sitok.
Cerpen dapat dinilai dari unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang tertera didalamnya, selain itu juga dapat dilihat dari gaya penulisan pengarangnya, apakah menggunakan bahasa yang lugas, sederhana ataupun kompleks.
Jika kita lihat dari dalam cerpen yang berjudul “Ketika Pohon itu Masih Mekar” karya Doni Jaya, sesungguhnya cerpen ini mensiratkan arti sebuah pohon cincau yang menggambarkan sebuah keluarga yang pada masa silamnya bersatu teguh namun dengan berjalannya waktu, pohon ini semakin rapuh, tua, dan tidak lagi rimbun. Hal tersebut dapat kita lihat dari dalam cerpennya pada paragraf ke 11 yang tertulis “Ketika kutekan dahan itu perlahan, permukaan kulitnya yang kasar menjadi retak, Kerkahan di antara sulur-sulur yang dulu kuat itu mengeluarkan suara berkeriut yang mengerikan. Lapis demi lapis sulur pembelit batang ternyata sudah renggang dan mulai terurai.” Paragraf ini mendeskripsikan dan menggambarkan sebuah pohon cincau yang sudah tua dan tidak sekuat dulu.
Alur yang digunakan didalam cerpen ini adalah alur yang berjalan maju, namun beberapa kali mundur untuk melihat masa silam secara sekilas. Masalah utama yang berada didalam cerpen ini adalah bahwa pohon cincau tua itu merupakan pohon cincau satu-satunya yang ada di desa tersebut diantara pohon-pohon karet. Cerpen ini berlatarkan di dalam sebuah desa dimana dikatakan didalam paragraf ke dua kalimat ke duaSuatu jenis ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas pohon karet yang tertancap kokoh di tanah pedesaan ini.”
Jika dilihat dari cara penokohannya, cerpen ini seringkali menggambarkan penokohan secara lebih dari sisi perilaku tokoh, dan tindakan tokoh. Seperti contoh, dari perilaku sang ibu yang dikatakan pada paragraf ke 5 kalimat kedua dimana dikatakan “Seakan berusaha untuk tetap terlihat muda dan penuh perhatian terhadap anak-anaknya.” Sang ibu yang tak lagi muda berusaha untuk tetap terlihat sehat didepan anaknya. Juga jika kita lihat dari tindakan sang tokoh “Aku” pada cerpen ini, sesungguhnya tokoh “Aku” sangat menyukai minuman cincau hasil buatan ibunya. Hal itu disebutkan pada paragraf ke 18 kalimat pertama yang berbunyi “Aku mulai menyeruput cincau segar itu dengan bernafsu.
            Nilai-nilai yang terlihat didalam cerpen ini adalah nilai moral dan nilai budaya. Namun lebih menonjol dibagian nilai moral terutama pada paragraf 8 kalimat ke 8 dan juga pada paragraf ke 21 kalimat terakhir dimana dikatakan disana “ Sering dicabuti orang kampong.” Dan juga “Hasil rampasan mereka.” Dimana disana dapat terlihat juga latar belakang masyarakatnya pada bagian perekonomian warga setempat didesa tersebut. Perekonomian warga pada desa tersebut sedang tidak baik sampai-sampai mereka nekat mengambil barang yang bukan milik mereka sendiri demi keuntungan masing-masing. Dan, hal tersebut dapat kita lihat pada paragraf ke 8 kalimatnya yang ke 10 dimana tertulis
Sekarang hidup makin susah. Bahan baku jajanan makin mahal, dan orang-orang makin nekat buat mendapat sesuatu semurah-murahnya.
            Menurut saya sendiri, cerpen ini cukup mudah dimengerti maksudnya. Sang penulis dengan tersirat menggambarkan bahwa sesungguhnya pohon ini menggambarkan sebuah keluarga, mungkin diawal akan ada sedikit kebingungan maksud dari penulis hingga saat kita baca sampai akhir, barulah dapat dimengerti bahwa arti dari pohon cincau ini adalah merupakan gambaran dari sebuah keluarga. Cerpen ini pun dapat dibilang baik karena memiliki unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang dapat kita lihat. Juga, cerpen ini memberikan moral yang jelas sehingga pembaca akan mendapatkan sesuatu dari membaca cerpen ini. Juga, sang penulis cerpen ini, yakni Doni Jaya, walaupun ini merupakan cerpen pertamanya, saya dapat katakana bahwa ia sudah layak untuk mempublikasi cerpennya ini untuk masuk kedalam cerpen Kompas. Dengan bahasanya yang lugas dan sederhana, cerpen karya tulis Doni Jaya dapat dimengerti banyak orang-orang awam yang mungkin belum betul-betul mengerti bahasa sastra yang mendalam.
            Cerpen karya Sitok Srengenge yang berjudul “Bendera” menggambarkan bendera sebagai seseorang. Cerpen ini memiliki aliran yang sangat mirip bahkan sama dengan cerpen yang berjudul “Ketika Pohon itu Masih Mekar.” Karena dua-duanya menggunakan suatu benda untuk menggambarkan sebuah objek lainnya. Namun, perbedaannya adalah cerpen “Ketika Pohon itu Masih Mekar.” Menggambarkan bahwa pohon cincau tersebut adalah sebuah keluarga secara tersirat, namun pada cerpen “Bendera”, makna arti sebuah bendera yang digambarkan oleh seorang anak bernama Amir dijelaskan secara langsung ataupun tersurat.
            Cerpen “Bendera” juga sama seperti cerpen “Ketika Pohon itu Masih Mekar”, memiliki latar perdesaan sebagai tempat yang diceritakan. Juga peran-peran yang diceritakan juga mirip. Tokoh yang ada dicerpen ini merupakan seorang nenek dan juga seorang anak. Bahkan waktu yang diceritakan juga memiliki kesamaan. Jika pada cerpen “Ketika Pohon itu Masih Mekar” diceritakan bahwa pada saat itu adalah Hari Raya, pada cerpen “Bendera”, latar waktu setempat adalah sedang dalam hari liburan.
            Pada cerpen ini, terlihat bahwa unsur penokohan sangat ditonjolkan. Di dalam cerpen ini ada 3 penokohan. Yaitu sang nenek dimana penokohannya digambarkan secara langsung karena dikatakan pada paragraf kedua dan kalimat pertama yang tertulis “Di mata Amir, Nenek adalah sosok perempuan tua yang bijak dan pintar.” Lalu, sang nenek dapat kita lihat sifatnya yang suka berhemat uang. Perlakuan hemat sang nenek dapat dilihat pada paragraf ke 4 kalimat yang ke 2 sampai 4 yang tertulis “Nenek tersenyum, “Belum perlu,” katanya. “Ini masih bisa diperbaiki. Tidak baik memboroskan uang. Lebih untung ditabung, siapa tahu akan ada kebutuhan yang lebih penting.” Penokohan Amir juga digambarkan melalui tindakannya, yakni disebutkan pada paragraf pertama kalimat ke 4 dan ke 5 dimana dikatakan bahwa “Kalau sedang tidak libur, Amir bangun pagi untuk bersiap ke sekolah. Amir selalu ingat nasehat nenek.” Pada kalimat tersebut, dapat kita lihat bahwa tokoh Amir adalah seseorang anak yang rajin dan patuh kepada sang nenek. Selain penokohan sang Nenek, dan Amir, ada pula tokoh yang bernama Eyang Coelho. Eyang Coelho digambarkan penokohannya secara langsung. Dituliskan pada paragraf ke 5 kalimatnya yang ke 6 yang bertuliskan “Untunglah, Nenek teringat Eyang Coelho, seorang lelaki gaek yang cengeng dan sedikit manja.” Juga, Eyang Coelho sesungguhnya adalah seorang penulis. Hal tersebut dapat dilihat didalam paragraf ke 5 kalimat yang ke 7 dimana dituliskan disana “Eyang Coelho pernah menulis sebuah cerita tentang pensil.
            Jikalau pada cerpen “Ketika Pohon itu Masih Mekar” dapat terlihat dua jenis nilai yang berbeda, pada cerpen kali ini hanya terdapat satu nilai, yaitu nilai moral. Dari cerpen ini dituliskan bahwa pada saat upacara bendera dilaksanakan, semua peserta akan ada dalam keadaan khusyuk dan hormat. Hal tersebut dituliskan didalam paragraf ke 13 kalimat pertama dimana tertulis “Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk memberikan penghormatan.” Lalu latar belakang cerita ini sangat terlihat didalam latar belakang ideologi negara dimana mengaitkan negara Indonesia kedalam cerpen. Latar belakang ideologi negara digambarkan pada paragraf ke 7 kalimat ke 3 sampai 5 dimana tertulis “Merah-putih ini lambang negara kita, Indonesia. Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan, semua warga negara menghormati bendera negaranya.” Disana dikatakan bahwa setiap warna negara pasti akan menghormati bendera negaranya sebagai suatu lambang yang berarti bagi negara, maupun dirinya sendiri.
            Menurut saya, cerpen yang berjudul “Bendera” ini memiliki bahasa yang sangat mudah dimengerti para orang awam. Lalu, Sitok sebagai penulis sastra yang sudah berpengalaman seharusnya dapat menggunakan lebih banyak kata-kata berbau sastra. Bahkan, sebuah kritikan tajam dilontarkan oleh seorang pembaca lain dari cerpen ini yang bertuliskan bahwa sesungguhnya Sitok seharusnya benar-benar mempelajari psikologi anak, karena seorang penulis sastra berpengalaman seharusnya sudah memiliki bahasa yang terkonstruksi secara benar.
            Sehingga, kedua cerpen ini jika kita lihat memang memiliki beberapa kesamaan dan beberapa perbedaan. Dengan gaya penulisan Doni Jaya dan gaya penulisan Sitok, dapat dilihat bahwa kedua cerpen ini ditulis menggunakan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti banyak orang. Namun, sesungguhnya Doni sebagai penulis cerpen yang baru terjun, masih dapat dimaklumi, namun Sitok mendapat banyak kritikan tajam dari para pembaca karena pembaca sastra Sitok lebih mengharapkan bahasa sastra yang mendalam. Kedua cerpen ini pun sudah baik karena mangandung unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsic. Juga, cerpen ini pun menterterakan arti dan moral dibaliknya menggunakan penggambaran subjek-subjek sebagai sebuah objek. (Nikita Laurence 12 IPA 1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar