Jujur
Prananto lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 30 Juni 1960. Ia adalah seorang
penulis skenario film Indonesia dan penulis cerpen. Karirnya dimulai dari karya
cerpennya yang sering ditampilkan di Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas. Bahkan, cerpennya
juga diangkat ke layar lebar, seperti Parmin, Kado Istimewa, Tamu dari Jakarta,
Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari, dan Doa yang Mengancam.
Cerpen
“Doa yang Mengancam” menceritakan tentang seorang pemuda miskin yang tinggal di
pinggiran kota. Ia sudah berdoa terus menerus kepada Tuhan untuk diberi kekayaan.
Akan tetapi, Tuhan tidak mengabulkan permintaan pemuda tersebut untuk menjadi
kaya sehingga, pemuda yang bernama
Monsera berdoa lagi untuk mengancam Tuhan jika tidak diberi kekayaan, ia
akan meninggalkan Tuhan. Setelah itu, ia pergi karena hutangnya dan mulai
berjalan keluar dari daerah tempat tinggalnya. Pada hari ke tujuh, ia sudah
tergeletak dan hujun deras sekaligus petir, kilat menyambar tubuhnya. Monsera
ditemukan oleh Sinaro dan dirawat olehnya. Setelah itu, Monsera pun dianugrahi
kemampuan untuk membaca masa lalu. Kemampuan itu membuat Monsera dikenal oleh
orang-orang dan membuat ia menjadi kaya-raya. Monsera lalu kembali ke Kota
Ampari lalu membayar semua hutang-hutangnya. la pergi ke dusun tempat ibunya
tinggal. Monsera mengajak ibunya tinggal bersamanya. Seketika, Monsera melihat
foto ibunya dan terlihat masa lalu ibunya yang dulunya adalah pelacur. Monsera
tidak menyangka hal itu dan berdoa pada Tuhan untuk meyakinkan dirinya bahwa
ibunya bukanlah pelacur. Tetapi, Tuhan tidak memberi jawaban. Sampai akhirnya,
Monsera tidak kuat dan memohon kepada Tuhan untuk membuat dirinya menjadi
manusia biasa dan kembali mengancam Tuhan untuk meninggalkan Tuhan jikalau ia
tidak menjadi manusia biasa. Tetap saja, Tuhan tidak memberi jawaban. Ia lalu
mulai berpikir bahwa karena ancaman pertamanya untuk meninggalkan Tuhan membuat
Tuhan telah meninggalkannya duluan dan semua kemampuan membaca masa lalu adalah
dari setan. Ia lalu berdoa dan mengancam setan dengan akan mengabdi pada Tuhan
jika ia tidak menjadi manusia biasa. Lalu, datanglah hujan, kilat, dan petir
yang menyambar Monsera. Ia pun dirawat lagi. Ketika Mosera sembuh ia menyadari
ia diberi kemampuan membaca masa depan. Kembali lagi, Monsera menjadi pemuda
kaya karena dicari orang untuk dibaca masa depannya. Sehingga, sampai suatu
titik, ia merasa lelah, bosan dan menyempatkan diri untuk beristirahat, dan
melihat pantulan wajahnya di cermin. Muncul sekilas peristiwa saat seorang
pemuda kaya yang letih dan bosan dengan kekayannya, menyamar sebagai rakyat dan
kabur dari rumahnya. Sekelompok penjahat menodongnya dan meminta semua uang
yang dibawa pemuda kaya itu. Pemuda kaya itu tidak membawa uang sesen pun dan
sekelompok penjahat itu marah lalu mematuk pistolnya ke tubuh pemuda kaya.
Monsera pun berteriak karena tidak mau mati dengan cara seperti itu dan tidak
tahu lagi kepada siapa ia harus berdoa.
Cerpen
Doa yang Mengancam juga menunjukkan kondisi sosial masyarakat tentang kebosanan
hidup dalam kemiskinan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
“….memohon agar Kau lepaskan aku dari kemiskinan yang sekian lama
menjerat kehidupanku, tapi nyatanya sampai kini aku tetap miskin dan bahkan
bertambah miskin, ….”
Itulah doa terakhir Monsera, seorang penduduk miskin yang tinggal di
pinggiran Kota Ampari, ibukota negeri Kalyana.
Kutipan tersebut secara jelas memberitahu bahwa
kondisi yang dialami Monsera adalah kemiskinan.
Selain
kondisi sosial, unsur ekstrinsik berupa nilai agama juga tergambar pada cerpen
ini.
“Ya Tuhan,
bertahun-tahun aku berdoa pada-Mu,…”
“….Kalau sampai Matahari terbit esok hari Engkau tak juga mengabulkan
doaku, aku mohon ampun pada-Mu untuk yang terakhir pula, sebab setelah itu aku
akan meninggalkan-Mu.”
Terdapat juga unsur intrinstik penokohan secara
gambaran fisik untuk menggambarkan seorang Monsera.
“Lelaki berbadan kurus itu lalu meninggalkan ibukota, berjalan kaki
memasuki wilayah berhutan, mencari kelinci, umbi-umbian, dan buah-buahan, untuk
bersantap malam, lalu tidur di dahan sebuah pohon besar menanti datangnya
pagi.
”
Ada juga bagian dalam kutipan cerpen yang
menggambarkan sifat tokoh yang suka mengancam.
“Kalau Kau tak juga mengabulkan doaku, ya, Tuhan, aku akan segera
meninggalkan-Mu.”
“Hai, setan! Jangan kau siksa aku dengan pemberianmu yang justru
membuatku menderita. Kembalikanlah aku seperti manusia biasa! Kalau kau tidak
mau melakukannya, aku akan kembali mengabdi pada Tuhan!”
Dapat diambil kesimpulan
bahwa Monsera adalah sosok yang mengabdi pada Tuhan, ia telah bertahun-tahun
berdoa pada-Nya untuk menjadikannya kaya. Sampai ia merasa Tuhan tidak
mengabulkan permintaannya lalu mengancam Tuhan. Maka dari itu, Monera adalah pria
yang krisis iman. Hanya karena Tuhan belum atau tidak mengabulkan doanya, ia langsung
mau bertindak untuk meninggalkan Tuhan. Padahal, iman yang benar dan baik
mengajarkan kita bahwa Tuhan tau apa yang terbaik untuk kita. Maka, ketika
Tuhan belum menjawan doa kita ataupun tidak mengabulkan doa kita, kita tahu bahwa rencana-Nya lebih besar
dan baik daripada rencana kita manusia biasa.
Kita
juga dapat menarik kesimpulan bahwa doa Monsera untuk menjadi kaya adalah
ancaman untuk dirinya. Pada bagian akhir cerita, diceritakan bahwa Monsera
melihat cara bagaimana ia mati karena ditembak oleh penjahat yang meminta
kekayannya. Artinya, tidak semua yang kita ingini akan berakhir baik untuk diri
kita.
Berbeda dengan karya lain
Jujur Prananto yang berjudul Basa-basi. Dalam cerpen Basa-basi, yang menonjol
adalah unsur intrinsik penokohan seorang laki-laki bernama Jumardi. Penokohan
yang terlihat jelas adalah sifat tokoh yang tidak suka basa-basi.
“…ini yang nampaknya menjadi ciri paling
khas dik Jumardi: tidak suka basa-basi.”
“Aku sudah muak dengar omongan basa-basi!”
Cerpen Basa-basi ini juga mengandung
unsur ekstrintik yaitu nilai moral. Dapat dilihat dari kutipan berikut :
”Memang kita harus ngasih komentar gimana kalau bu
Siska bercerita penuh rasa bangga? Masa kita diam saja.”
”Itu lebih bagus.”
”Tapi tidak pantas.”
Hal
itu mengajarkan kita bahwa ketika sesorang sedang bercerita tentang
kebahagiannya, hendaknya kita juga ikut bahagia. Seperti memberikan rasa respect terhadap orang tersebut. Kalau
kita diam saja, seakan kita tidak respect
orang yang bercerita.
”Kenapa kamu kesal? Kenapa harus marah?” tanya Ratih.
”Mendoakan orang yang sakit kan bagus.”
”Bukan cuma bagus, tapi harus.Masalahnya, apakah yang
mereka ucapkan itu benar-benar mereka jalani?Apa pernah kegiatan berdoa untuk
kesembuhan bu Siska itu benar-benar mereka lakukan, entahitu di rumah, di
masjid, di gereja,di wihara atau di mana pun mereka berada? Atau mereka sekadar
mengetikkan kata-kata di keyboard smartphone dan memencet tombol send untuk
menyenang-nyenangkan bu Siska? Aku yakin yang mereka lakukan basa-basi
belaka!!!”
Kutipan
diatas juga mengajarkan kita bahwa lebih baik melakukan sebuah tindakan yang
nyata daripada hanya manis dimulut dan nihil tindakan.
Tidak
hanya unsur ekstrinsik saja, tetapi ada unsur intrinstik pada cerpen Basa-basi
terutama pada gambaran fisik. Inilah kutipan cerpen:
“…Tolong kamu bayangkan:bu Siska dengan berat badan
hampir seratus kilo mengenakan pakaian yang biasa dipakai gadis-gadis Jepang
yang super-langsing,…”
Ibu Siska merupakan atasan Jumardi,
dalam kutipan tersebut dapat diambil kesimpulan, Bu Siska bukanlah orang yang
langsing.
Sekian
dari kritik cerpen karya Jujur Prananto; Basa-basi dan Doa yang Mengancam.
Cerpen Doa yang Mengancam lebih menonjolkan nilai agama sedangkan, cerpen
Basa-basi menonjolkan nilai moral. Tetapi, keduanya memiliki penokohan pada
gambaran fisik. Kedua cerpen ini mengajarkan kita untuk tetap menjadi orang
yang respect terhadap orang lain. Mengajarkan
kita juga bahwa ketika Tuhan tidak mengabulkan doa kita, percayalah, Tuhan
mempunyai rencana yang lebih baik lagi untuk kita. Apa yang kita mau tidak
selalu sesuai dengan apa yang kita butuhkan, dan ancaman bukanlah penyelesaian
untuk doa kita.
Audrey Devina Adyasa
12 IPA 1SMA Dian Harapan Daan Mogot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar