Yanusa
Nugroho adalah penulis asal Surabaya yang karya cerpennya telah dimuat di
berbagai majalah dan surat kabar seperti Horison
dan Kompas. Selain menulis cerpen, ia
juga menulis cerita bersambung dan novel. Kemahiran Yanusa Nugroho di bidang
sastra telah diakui oleh sastrawan global. Ia telah meraih banyak penghargaan,
diantaranya adalah Penghargaan Multatuli
untuk karyanya ‘Kunang-Kunang Kuning’ dan ‘Anugerah Kebudayaan’ untuk kumpulan cerpennya,
Segulung Cerita Tua. Karya cerpen lain dari Yanusa Nugroho yang
tidak kalah menarik dan dimuat dalam harian Kompas adalah ‘Perkenalkan...
Namaku Gerimis’ dan ‘Bukit Mawar’.
Dalam cerpen terbitannya yang
terbaru, ‘Perkenalkan... Namaku Gerimis’, Yanusa Nugroho bercerita tentang
seseorang yang menderita kerinduan yang akut sehingga sering tertelan
khayalannya sendiri. Tokoh tersebut memimpikan seorang wanita bernama Gerimis,
yang merupakan kekasih idamannya yang setia menemani dia ketika kesepian. ‘Aku’
membayangkan dirinya di pantai, sedang berpacaran dengan Gerimis sembari curhat
tentang kerinduannya akan istrinya dan ‘kekalahannya’ di dunia ini. Cerita ini berputar
sekeliling tema nostalgia dan isolasi. Karena mayoritas cerita berlatar di dalam
imajinasi tokoh ‘Aku’, penggunaan latar belakang masyarakat sangatlah minimal
dalam cerpen ini.
Tidak seperti cerpen ‘Perkenalkan...
Namaku Gerimis’, yang mengisahkan suatu dunia khayalan, cerpen ‘Bukit Mawar’,
yang diterbitkan lebih awal, lebih menekankan latar belakang masyarakat. Cerpen
ini diceritakan dalam sudut pandang orang pertama. Tokoh ‘Aku’ bercerita soal
temannya Arjuna yang sangat mencintai mawar. Siapa itu mawar? Bukan
siapa-siapa. Arjuna mencintai bunga
mawar, dan di lahan kosong miliknya yang besar, ia bermimpi untuk menanam beribu
bunga tersebut. Meskipun usia Arjuna hampir 40 tahun, ia merupakan sosok
pemimpi yang sangat idealis, terturama dalam hal cintanya terhadap mawar,
seperti yang dikomentari tokoh ‘Aku’ dalam cerita: “Ada yang
begitu murni, bodoh—mungkin—dan rasa cinta yang tulus, ketika dia
mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya.”
Penjahat dalam cerpen ini adalah
perusahaan besar tempat tokoh ‘Aku’
bekerja. Mereka ingin membeli tanah Arjuna untuk dibangun mal. Bahkan, mereka
sudah membangun mal tersebut tanpa izin Arjuna. Tentu saja, Arjuna tidak mau
berdiam saja, dia menimbun tanah di sekeliling bangunan itu sehingga tertutup
dan menciptakan sebuah bukit. Di bukit inilah tempat Arjuna menanam mawarnya
pada akhir cerita, dan di kaki bukit mulailah dibangun warung kecil yang
berjualan kopi dan ikan bakar.
Pembaca dapat melihat dengan jelas
kesenjangan sosial yang dialami Arjuna dalam cerpen ini. Perusahaan besar bisa
dengan seenaknya membangun gedung di atas tanah Arjuna, seorang rakyat kecil. Arjuna tidak hanya pasrah begitu saja,
tetapi dia bertindak
secara langsung dan bahkan sempat ke sidang dan masuk dalam berita nasional.
Bukit mawar yang telah dibagun Arjuna telah menjadi simbol bagi para rakyat
jelata akan kemenangan mereka melawan perusahaan besar yang opresif.
Seperti dalam cerita, kehidupan nyata
seringkali juga seperti itu. Sawah dibeli oleh perusahan properti super kaya
yang ingin membangun perumahan di atas tanah tersebut. Tanah yang seharusnya
dipakai untuk membangun taman, fasilitas rekreasi yang sekaligus berfungsi
sebagai penyedot karbon dioksida, malah dipakai untuk membangun mal, yang malah
menyebabkan macet karena letaknya yang kurang strategis. Terkadang, semangat
dan idealisme tokoh Arjuna dibutuhkan dalam jiwa masyarakat untuk dapat
mencegah terjadinya hal seperti ini. Cerpen ini menitipkan sebuah pesan bahwa masyarakat
harus lebih aktif menentang pembangunan yang tidak diinginkan, misalnya dengan
membuat petisi untuk menolak pembangunan pabrik di dekat perumahan.
Walaupun cerpen ‘Perkenalkan... Namaku
Gerimis’ kurang mengintegrasikan latar belakang masyarakat ke dalam alurnya,
bukan berarti nilai-nilai yang dapat dipetik dari cerpen ini tentang dunia
nyata juga sedikit. Walaupun tokoh ‘Aku’ dari cerpen ini lebih melankolis dan
pasrah dibandingkan tokoh Arjuna, sebenarnya, ia masih berharap dan berjuang
agar dapat berhenti dari ‘kecanduannya’ berkhayal. Seperti tokoh ‘Aku’, harapan
juga harus kita pegang dengan teguh agar bisa tegar melewati masa-masa sulit,
seperti saat kehilangan orang-orang yang dicintai.
Dalam dua cerpen ini, Yanusa
Nugroho sering menggunakan metafora dan
simile, seperti ‘...kantormu itu gurita
dengan sejuta tentakel’ dan ‘seperti
duri dalam daging’ dalam cerpen ‘Bukit Mawar’ dan ‘Aku ingin menjelma Santiago’ dalam cerpen ‘Perkenalkan... Namaku
Gerimis’. Terkadang, metafora ini kurang jelas dan hanya dapat dimengerti
beberapa orang yang berpengalaman seperti dalam kasus ‘Aku ingin menjelma Santiago’. Majas tersebut hanya dapat
dimengerti orang yang pernah membaca novel ‘The
Old Man and the Sea’ karya Ernest Hemingway, karena merupakan referensi
kepada tokoh utama novel tersebut. Jika menggunakan majas seperti demikian,
sebaiknya Yanusa Nugroho menyelipkan footnote
yang menjelaskan dengan lebih detil tentang referensi tersebut agar pembaca
awam juga dapat memahami dan menginterpretasikan cerpennya dengan lebih mudah.
Sebaliknya, Yanusa Nugroho telah
mendemonstrasikan ketrampilannya di dunia sastra melalui dua cerpen ini.
Walaupun terkadang cerpennya mengandung majas yang esoterik, melalui dua karya
sastra ini, Yanusa Nugroho telah menciptakan karya yang mengharukan sembari
menggambarkan hubungan sosial dalam masyarakat, melukiskan nilai suatu harapan
dan idealisme, serta menitipkan pesan moral di dalam kisah-kisahnya yang,
walaupun melankolis, mengajar tentang kondisi manusia sekarang.
(Celine
Devianty / 12 IPA 1 SMA Dian Harapan Daan Mogot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar