Rabu, 21 Oktober 2015

DILEMA PENERUS BANGSA



Dalam dunia pendidikan, penanaman nilai perilaku dan moral tidak kalah penting disamping pelajaran akademis yang disampaikan. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, kedisiplinan, saling menghargai dan menghormati, dan nilai lainnya tidak dapat sepenuhnya didapat dari pelajaran formal. Sayangnya, upaya pembentukan karakter seseorang tidaklah mudah. Disinilah langkah-langkah pembentukan karakter itu harus keras dan tegas. Namun, keras tidak dapat disamakan dengan kekerasan. Keras berarti tegas dan minim akan toleransi, sedangkan kekerasan adalah kontak fisik yang sayangnya sering muncul menyertai proses pembentukan tersebut. 
Sayangnya, kekerasan kerapkali mewarnai dunia pendidikan. Namun tetap perlu diingat bahwa efek hukuman fisik sangat berdampak terhadap psikologi siswa. Siswa berkemungkinan akan menjadi benci terhadap guru, sakit hati, dan/atau mengalami trauma berkepanjangan. Di satu sisi, orangtua dan masyarakat terus menuntut pribadi-pribadi yang dididik untuk hidup baik, jujur, bertanggung jawab, memiliki sopan santun, beragama dengan benar, saling menghormati, serta menghargai sesama. Namun, di sisi lain, mereka menunjukkan budaya kekerasan yang dibiarkan berkembang di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar anak. Inilah dilema dalam menanamkan nilai-nilai dalam membentuk pribadi-pribadi penerus bangsa. Benar-benar diperlukanlah kekerasan dalam pendidikan?
Hukuman fisik mungkin saja adalah warisan budaya kolonial. Sejarah pendidikan kolonial sangatlah berpengaruh ke dalam hidup masyarakat Indonesia sekarang. Dalam bidang pendidikan, pengaruh kolonial membangun pola pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik. Hukuman fisik yang merupakan tindakan yang menyakiti secara fisik bertujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak atau orang lain. Dengan menggunakan metode itu, dipercaya bahwa perilaku positif anak akan terbentuk. Hukuman fisik atau kekerasan untuk menekan perilaku negatif dan membentuk yang positif ini mungkin berhasil pada segelintir orang, namun tidak dapat “dipukul rata” untuk semua orang.
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia sebetulnya bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu sebenarnya telah tertanam kuat sejak dulu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu sejak masa kolonial. Sebagai contoh, masyarakat tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayangnya, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan. Dalam kegiatan ini, tak jarang para senior melakukan tindakan kekerasan pada junior. Hukuman fisik seperti lari keliling lapangan atau dijemur di bawah terik matahari merupakan hal yang biasa, ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecil hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan maksud melatih kekuatan fisik dan mental. Namun, banyak kasus MOS dan OSPEK yang memakan korban jiwa, maka dari hal itu, walaupun tujuan maksud awalnya adalah baik (melatih kekuatan fisik dan mental) namun terkadang malah berakibat fatal.
Kekerasan dalam pendidikan normalnya muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Maka ada pihak yang melanggar dan ada pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang dapat disebut dengan tindak kekerasan. Untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran, seringkali kita temukan cara menstimuli daya juang (untuk tidak melanggar lagi) melalui kekerasan. Padahal, hal itu semestinya dilandaskan pada nilai optimisme, tidak melalui kekerasan. Sanksi kekerasan sebagai konsekuensi memang masih dapat ditoleransi jika untuk maksud memberi pelajaran, sayangnya “kekerasan” yang kita tahu sudah merupakan perwujudan dari sanksi yang kelewat batas dan tidak sesuai dengan pelanggarannya.
Kekerasan dalam pendidikan mencerminkan buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Kurikukum yang ditetapkan tampaknya hanya mementingkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Padahal, masa pendidikan adalah masa yang sangat berpengaruh dalam membentuk pribadi-pribadi penerus bangsa dalam hidupnya.
Kekerasan (dalam kasus ini) guru dalam pendidikan bukanlah cerita lama. Beban tugas guru yang berat, kesejahteraan yang belum baik, rendahnya “kecerdasan” emosional, dan seterusnya, merupakan beberapa sebab mengapa guru bisa  mempraktikkan kekerasan di dalam kelas. Di sisi lain, pengaruh lingkungan, rendahnya perhatian orangtua terhadap anak, narkoba, minuman keras, dan pergaulan bebas lainnya, merupakan sederetan sebab mengapa para siswa susah diatur. Ketika dua hal tersebut digabungkan, maka sekolah hanya akan menghasilkan “robot” yang cerdas. Sistem penilaian, kebijakan yang tidak pernah konsisten, sistem dan proses pembelajaran yang monoton, searah, dan instruktif dari guru, terkadang malah menyebabkan anak-anak merasa tidak lagi nyaman di sekolahnya.
Tindakan kekerasan dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisikdapat berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat), penamparan, tendangan, dll. Dampaknya, tindakan tersebut dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh, bahkan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup oleh si korban.
Kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan media massa. Kekerasan bisa saja merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga timbul budaya kekerasan yang juga banyak dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku. Kekerasan yang awalnya diupayakan untuk membentuk sikap positif, melatih kekuatan fisik dan mental, dan melatih kedisplinan dan daya juang (melalui menerima konsekuensi), terkadang malah berakhir buruk. Praktik kekerasan juga akhirnya menghilangkan proses humanisasi, namun malah menghasilkan robot dan kecacatan fisik maupun mental bagi korbannya.
Pada kenyataannya, praktik kekerasan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, ataupun seorang guru terhadap muridnya. Terlepas dari alasan apapun yang melatarbelakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap saja praktik kekerasan tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di lingkungan pendidikan. Praktik kekerasan mesti dihentikan sekarang juga, karena nasib para penerus bangsa ada di tangan kita.

Nadia Luvena/12IPA1/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar