Dalam dunia pendidikan, penanaman
nilai perilaku dan moral tidak kalah penting disamping pelajaran akademis yang
disampaikan.
Nilai-nilai seperti tanggung jawab, kedisiplinan, saling menghargai dan
menghormati, dan nilai lainnya tidak dapat sepenuhnya didapat dari pelajaran
formal. Sayangnya, upaya pembentukan karakter seseorang tidaklah mudah.
Disinilah langkah-langkah pembentukan karakter itu harus keras dan tegas.
Namun, keras tidak dapat disamakan dengan kekerasan. Keras berarti tegas dan
minim akan toleransi, sedangkan kekerasan adalah kontak fisik yang sayangnya sering
muncul menyertai proses pembentukan tersebut.
Sayangnya, kekerasan kerapkali mewarnai dunia pendidikan. Namun
tetap perlu diingat bahwa efek hukuman fisik sangat berdampak terhadap psikologi
siswa. Siswa berkemungkinan akan menjadi benci terhadap guru, sakit hati,
dan/atau mengalami trauma berkepanjangan. Di satu sisi, orangtua dan
masyarakat terus menuntut pribadi-pribadi yang dididik untuk hidup baik, jujur,
bertanggung jawab, memiliki sopan santun, beragama dengan benar, saling
menghormati, serta menghargai sesama. Namun, di sisi lain, mereka
menunjukkan budaya kekerasan yang dibiarkan berkembang di lingkungan keluarga
dan masyarakat sekitar anak. Inilah
dilema dalam menanamkan nilai-nilai dalam membentuk pribadi-pribadi penerus
bangsa. Benar-benar diperlukanlah kekerasan dalam pendidikan?
Hukuman
fisik mungkin saja adalah warisan budaya kolonial. Sejarah pendidikan kolonial
sangatlah berpengaruh ke dalam hidup masyarakat Indonesia sekarang. Dalam
bidang pendidikan, pengaruh kolonial membangun pola pendidikan tradisional yang
melegitimasikan aksi hukuman fisik. Hukuman
fisik yang merupakan tindakan yang menyakiti secara fisik bertujuan untuk
menekan perilaku negatif seorang anak atau orang lain. Dengan menggunakan
metode itu, dipercaya bahwa perilaku positif anak akan terbentuk. Hukuman fisik
atau kekerasan untuk menekan perilaku negatif dan membentuk yang positif ini
mungkin berhasil pada segelintir orang, namun tidak dapat “dipukul rata” untuk semua
orang.
Kekerasan
yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia sebetulnya bukanlah sesuatu
yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu sebenarnya telah tertanam kuat
sejak dulu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu sejak masa kolonial.
Sebagai contoh, masyarakat tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa
Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama
lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk
menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan
pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada
siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses
belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayangnya, dalam pelaksaannya kedua
kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan. Dalam kegiatan ini, tak
jarang para senior melakukan tindakan kekerasan pada junior. Hukuman fisik
seperti lari keliling lapangan atau dijemur di bawah terik matahari merupakan hal
yang biasa, ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat
kecil hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan maksud melatih
kekuatan fisik dan mental. Namun, banyak kasus MOS dan OSPEK yang memakan
korban jiwa, maka dari hal itu, walaupun
tujuan maksud awalnya adalah baik (melatih kekuatan fisik dan mental) namun
terkadang malah berakibat fatal.
Kekerasan
dalam pendidikan normalnya muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai
dengan hukuman, terutama fisik. Maka ada pihak yang melanggar dan ada pihak
yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan
kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang dapat disebut dengan tindak
kekerasan. Untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran,
seringkali kita temukan cara menstimuli daya juang (untuk tidak melanggar lagi)
melalui kekerasan. Padahal, hal itu semestinya dilandaskan pada nilai optimisme,
tidak melalui kekerasan. Sanksi kekerasan sebagai konsekuensi memang masih
dapat ditoleransi jika untuk maksud memberi pelajaran, sayangnya “kekerasan”
yang kita tahu sudah merupakan perwujudan dari sanksi yang kelewat batas dan
tidak sesuai dengan pelanggarannya.
Kekerasan dalam pendidikan mencerminkan buruknya sistem dan
kebijakan pendidikan yang berlaku.
Kurikukum yang ditetapkan tampaknya hanya mementingkan kemampuan aspek kognitif
dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi
dalam pendidikan. Padahal, masa pendidikan adalah masa yang sangat berpengaruh
dalam membentuk pribadi-pribadi penerus bangsa dalam hidupnya.
Kekerasan (dalam kasus ini)
guru dalam pendidikan bukanlah cerita lama. Beban tugas guru
yang berat, kesejahteraan yang belum baik, rendahnya “kecerdasan” emosional,
dan seterusnya, merupakan beberapa sebab mengapa guru bisa mempraktikkan kekerasan di dalam kelas. Di
sisi lain, pengaruh lingkungan, rendahnya perhatian orangtua terhadap anak,
narkoba, minuman keras, dan pergaulan bebas lainnya, merupakan sederetan sebab
mengapa para siswa susah diatur. Ketika dua hal tersebut digabungkan, maka
sekolah hanya akan menghasilkan “robot” yang cerdas. Sistem penilaian, kebijakan yang tidak pernah konsisten, sistem dan
proses pembelajaran yang monoton, searah, dan instruktif dari guru, terkadang
malah menyebabkan anak-anak merasa tidak lagi nyaman di sekolahnya.
Tindakan kekerasan dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisikdapat berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat), penamparan, tendangan,
dll. Dampaknya, tindakan tersebut dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh, bahkan
dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus ditanggung
seumur hidup oleh si korban.
Kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan
masyarakat dan media massa. Kekerasan bisa
saja merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami
pergeseran cepat, sehingga timbul budaya kekerasan yang juga banyak dipengaruhi
oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku. Kekerasan yang awalnya diupayakan
untuk membentuk sikap positif, melatih kekuatan fisik dan mental, dan melatih
kedisplinan dan daya juang (melalui menerima konsekuensi), terkadang malah
berakhir buruk. Praktik kekerasan juga akhirnya menghilangkan proses
humanisasi, namun malah menghasilkan robot dan kecacatan fisik maupun mental
bagi korbannya.
Pada
kenyataannya, praktik kekerasan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh
teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, ataupun seorang guru terhadap
muridnya. Terlepas dari alasan apapun yang melatarbelakangi tindakan tersebut
dilakukan, tetap saja praktik kekerasan tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi
apabila terjadi di lingkungan pendidikan. Praktik
kekerasan mesti dihentikan sekarang juga, karena nasib para penerus bangsa ada
di tangan kita.
Nadia Luvena/12IPA1/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar