Minggu, 25 Oktober 2015

Perlukah Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan Untuk Mendidik Anak?



Dunia pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi manusia dan negara, juga menarik untuk dibicarakan. Mengapa pendidikan dianggap sebegitu pentingnya sehingga banyak orang berlomba-lomba untuk masuk ke sebuah institusi pendidikan agar mendapatkan pendidikan terbaik? Pendidikan dianggap penting karena pendidikan memiliki peran dalam pembentukan masa depan. Pendidikan merupakan fondasi yang memerlukan pengokohan  sebelum terjun ke dunia kerja. Bukan hanya membentuk masa depan, dunia pendidikan juga menjadi tempat untuk membangun dan mengembangkan karakter menjadi individu yang lebih dewasa. Kemampuan untuk berpikir, menganalisa, dan memutuskan diasah dalam dunia pendidikan. Pendidikan juga membantu menciptakan gambaran yang jelas mengenai hal-hal di sekitar kita, menghapus semua kebingungan. Hal-hal diataslah yang menjadi faktor mengapa pendidikan menjadi suatu hal yang penting. (Pendidikan penting untuk pengokohan fondasi sebelum memasuki dunia kerja.)
            Dalam sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis pada awal Maret 2015, menunjukan fakta mencengangkan terkait kekerasan di sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Selain itu, data dari Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini menunjukkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan. Bahkan menurut Ketua FMGJ Heru Purnomo, tindak kekerasan yang dialami anak di Indonesia tidak menurun, namun justru semakin mengerikan. Riset tersebut membuktikan bahwa kekerasan masih digunakan dalam sebagian besar dunia pendidikan di Indonesia. Lantas, perlukah kekerasan dalam dunia pendidikan untuk mendidik anak? 
            Kekerasan dalam dunia pendidikan masih digunakan oleh orang tua atau pun pendidik karena dipercaya bahwa dengan melakukan kekerasan seperti hukuman fisik, perilaku positif anak akan terbentuk. Kekerasan yang jumlah kasusnya kian meningkat diduga merupakan warisan budaya kolonial. Sejarah pendidikan kolonial sangat berpengaruh terhadap pola pendidikan di Indonesia, bahkan hingga saat ini. Pendidikan kolonial membangun pola pendidikan tradisional yang memperbolehkan adanya hukuman fisik. 
            Dengan adanya kekerasan dalam dunia pendidikan, murid diharapkan dapat melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan yang diperbuat sang murid. Alasan lain mengapa kekerasan diaplikasikan terhadap peserta didik adalah agar peserta didik dapat merasakan akibat perbuatannya, sehingga ia diharapkan menjadi individu yang lebih menghormati dirinya sendiri dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. 
            Ada lagi yang menggunakan kekerasan terhadap murid dengan tujuan untuk menimbulkan efek jera terhadap pendidik. Efek jera tersebut akan membuat murid mematuhi pendidik. Dengan demikian, pendidik dapat menciptakan suasana belajar sesuai dengan kriteria pendidik. 
            Kekerasan-kekerasan dalam dunia pendidikan masih kerap terjadi di Indonesia, padahal Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang melindungi anak dari tindak kekerasan. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-kejahatan Seksual terhadap anak, dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 
            Sadar atau tidak, pendidikan kolonial telah membentuk mental psikologi masyarakat Indonesia yang seringkali muncul di komunitas sekolah seperti perilaku guru terhadap murid, kakak kelas terhadap adik kelas (senioritas), dan lain-lain. Pengalaman masa lalu yang pernah dialami oleh seorang anak baik kekerasan fisik maupun kekerasan mental akan terus berdampak pada saat dewasa. Kekerasan akan selalu melahirkan kekerasan.
            Dampak yang akan muncul dari kekerasan adalah melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu, terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Dampak ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas. Anak yang sering diberi hukuman fisik juga akan lebih banyak diam, menyendiri, dan terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main atau orang lain. 
            Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika pemberian hukuman fisik/kekerasan dilakukan karena hukuman adalah jalan/solusi terakhir. Yang dimaksud disini adalah, sebaiknya pendidik jangan mengadili tanpa menghakimi atau terburu-buru dalam memberikan hukuman kepada murid. Memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apakah anak tersebut merasa telah melanggar aturan?” atau, “Apakah anak tersebut mengetahui akibat yang akan ditanggungnya setelah melakukan kesalahan tersebut?” akan lebih baik dibandingkan dengan langsung memberikan hukuman kepada perserta didik. 
            Hukuman sebaiknya diberikan kepada murid dengan tujuan untuk memberikan perbaikan. Hukuman yang diberikan pun harus sesuai dengan tingkah anak, karena sifat setiap anak berbeda-beda. Dan yang paling penting, hukuman harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia. (Stefano 12 !PA 1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar